Powered By Blogger

Kamis, 15 Desember 2011

GADIS PANTAI


Resensi Buku
13 Desember 2011
17:28
at office
by cak noer

GADIS PANTAI
Penulis PRAMOEDYA ANANTA TOER




Minggu lalu, sepertinya sudah mejadi hal rutin, saya dan isteri menyempatkan mengunjungi tempat “favorite” saya, toko buku, dan tempat paling membosankan untuk isteri saya, toko buku.
Buku pilhan saya kali ini masih novel karya penulis idola saya “PRAM”, tak pernah bosa saya dengan buku-bukunya yang selalu memberikan inspirasi kehidupan untuk menjadi manusia BEBAS.
"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini..ah tidak..aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan..."
kutipan diawal buku ini, begitu penuh dengan kepedihan dan perlawanan terhadap isolasi kebudayaan terhadap manusia, dikekang, diatur dan dipenjara oleh kebudayaan itu, padahal kebudayaan adalah hasil tingkah laku manusia.
Roman ini sejatinya adalah roman yg tidak terselesaikan, roman ini adalah sebuah trilogi, namun hanya satu buku yang terselamatkan dari keganasan penguasa. Gadis Pantai pun dipastikan tidak ada jika ANU (Universitas Nasional Australia) lewat salah satu mahasiswanya tidak medokumentasikan karya Pram ini. Hanya kepicikan pikir dan kekerdilan tradisi aksara yang memberangus roman ini.
Kali ini Pram ingin menunjukkan kekejian manusia yang berlindung didalam tembok-tembok tebal priyai. Kebebasan manusia menjadi pribadi yang bebas menjadi tumbal atas keganasan penguasa, dan satu lagi yang menjadi konsen pram disetiap roman karyanya, bukan hanya penindasan terhadap hak manusia, wanita yang selalu menjadi pelampiasan zaman, adalah salah satu tulisan pram yang menggerus hati dan pikiran.
Jika anda adalah penyuka feodalisme, jangan baca buku ini, karena anda akan dipukul habis-habisan oleh liukan dan ilustrasi detail tulisan Pram. Tidak hanya alam khayal anda yang akan terhibur dengan membacanya, akal pikiran anda akan terus dicoba untu memikirkan alur khayalan si penulis
Semoga bermanfaat !!!

MALAM MALAM NINA


13 Desember 011
3:41
Cerpen
MALAM MALAM NINA
(sebuah cerpen karya teman yang tidak mau disebutkan namanya)


Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.

Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki

"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?

"Kamu mencintainya, Nina?"

"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.


Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!

"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."

Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.

Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.

Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.


Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"


Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?

"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.


Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!


Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.

Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.

"Apa yang kau inginkan darinya?"

"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. 

PRAM MELAWAN


Resensi Buku
29 November 011
22:57
at office

PRAM MELAWAN
Penyusun P HASUDUNGAN SIRAIT dkk
Penerbit Nalar
Terbit 2011
Halaman 502
Harga Rp. 135,000





Tak bosan-bosannya saya membahas dan membaca karya-karya dari penulis yang satu ini, sepertinya rasa kagum saya tidak pernah habis ketika saya membaca karyanya pertama kali lewat roman politik AROK DEDES, menggugah nalar untuk berpikir kontroversial.
Pramoedya Ananta Toer memang kontroversial hingga akhir hayatnya. Tidak banyak literatur yang mengungkapkan pemikian sastrawan yang dicap sebagai "kiri" itu secara komprehensif.
Hal itu membuat sosok Pramoedya sulit ditangkap secara utuh. Kecurigaan serta stigma yang melekat padanya, semakin membuat tokoh yang diwacanakan sebagai penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra itu, terlupakan.
Padahal menjelang akhir hayatnya, sejumah karyanya mengalami cetak ulang. Di sejumlah forum, karyanya tidak pernah sepi dibicarakan dan diapresiasi. Bahkan tidak sedikit remaja mulai tergila-gila dengan karya Pramodya.
Oleh sebab itu, terbitnya Pram Melawan!, merupakan sebuah titik pijakan baru yang dapat mengantarkan para peminat karya Pram--demikian panggilan pendek Pramoedya--, pemerhati sejarah, maupun peneliti sastra menuju pemahaman semesta Pramoedya secara lebih lengkap.
Buku ini merupakan kumpulan sejumlah wawancara yang dilakukan oleh penyusunnya dengan Pram. Topiknya beragam, dari soal politik, sastra, kebudayaan, keluarga, sosial hingga pengalaman pribadinya ketika dibuang ke pulau Buru.
Dari sinilah pembaca dapat melihat banyak sisi lain dari Pram. Ia seakan ingin orang mengetahui duduk persoalan masa lalunya secara jernih terkait dengan kekuasaan. Ia juga ingin meluruskan siapa yang sebenanya layak disebut sebagai orang yang merampas kebebasan orang lain.
Sementara itu, untuk pihak-pihak yang berseberangan dengannya di masa lalu, Pram seakan ingin mereka melihat alasan-alasan mengapa lelaki pendukung Soekarno itu melakukan sesuatu yang dianggap keliru.
Salah satu pertanyaan yang sering mengusik tentang Pram adalah, apakah ia seorang anggota Partai Komunis Indonesia ketika itu? Ia menjawab, anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tidak otomatis menjadi anggota PKI.
Bagi Pram, Lekra adalah kiri. Namun, kiri tidak berarti komunis. Kiri adalah orang yang tertindas dan tersingkirkan. Golongan seperti inilah yang harus dibela. Merekalah yang harus dimanusiakan. Jadi, keliru jika golongan ini yang harus diperlakukan tidak adil.
Itu juga yang menjadi roh dalam realisme sosial di dalam sastra. Mereka yang tertindas harus dibebaskan, diberi kesadaran. Jadi, realisme sosial akan tetap relevan hingga kapan pun selama rakyat yang tertindas masih ada.
Hal menarik lain yang diungkapkan oleh Pram adalah permusuhan Lekra dengan Manikebu. Menurut pengakuannya, Pram memang melawan orang-orang golongan Manikebu. Alasannya, ia hanya berusaha mencegah demokrasi liberal ala Barat dan melawan orang-orang yang anti terhadap Soekarno.
Menariknya, dalam wawancara yang dilakukan, Pram selalu berbicara terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Seluruh gelora emosi, kekesalan, serta kekecewaannya, tertumpah tanpa beban dalam buku ini.
Buku ini bagaikan sebuah medium bagi Pram untuk menunjukkan realitas dirinya. Sebuah realitas yang berkorespondensi dengan berbagai gejala yang ada di sekitarnya. Realitas ini bagi Pram bukan hanya sesuatu yang hadir dari bawah alam sadar, namun juga sesuatu yang terinternalisasi dari lingkungan.
Kita tungu saja apakah akan ada yang menjawab isi buku ini. Jika pun ada, semoga itu diletakkan dalam keranga sejarah kebudayaan dan kesenian, bukan politik yang tidak berujung

semoga bermanfaat !!!











Kamis, 01 Desember 2011

API SEJARAH


Resensi Buku
API SEJARAH
Penulis Ahmad Mansyur Suryanegara
26 November 2011
21:32
at office



Buku ini akan mengubah drastis pandangan anda tentang sejarah Indonesia. Sebuah Gugatan Historiografi Nasional. API SEJARAH yang terdiri dari 2 jilid buku, akan menuntaskan kepenasaran anda tentang kebenaran sejarah Indonesia.
Buku yang sungguh berani ini, pernah dinyatakan hilang dan terancam tidak jadi terbit ketika draft naskahnya “dicuri” oleh “peminjam tanpa permisi” saat seminar API SEJARAH di Gedung Juang ’45, Pemerintah Kotamadya Sukabumi.


Sinopsis
AHMAD Mansur Suryanegara menerbitkan buku baru berjudul API SEJARAH: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan NKRI”. Dosen luar biasa di jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung dan UNPAD ini kembali membuka persoalan sejarah yang ditutup oleh rezim Orde Baru.
Sebagai informas,i buku API SEJARAH ini isinya membongkar sejarah yang disembunyikan, khususnya kezaliman kaum nasionalis dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, penghilangan jejak peran ulama dan organisasi Islam dalam menegakkan NKRI, dan membongkar perselingkuhan kaum priyayi dengan penjajah Belanda.
Pasti sangat mengagetkan. mengapa? Karena jika dilihat dari tinjauan ilmu sejarah, karya Mansur ini bisa disebut sebagai historiografi politik Islam Indonesia versi sejarawan lokal. Kebenaran isinya, tentu sangat tergantung dari data, fakta, dan analisa serta tafsir yang digunakannya. Pastinya akan “mengagetkan” mereka yang selama ini menjadikan buku-buku sejarah versi Nugroho Notosusanto, Asvi Warwan, Sartono Kartodirjo, dan lainnya, sebagai buku yang valid dalam sejarah Indonesia.
Mengapa mengagetkan? Karena isi buku ini menggabungkan antara sejarah Indonesia versi nasional dengan versi Islam. Salah satunya “gugatan” tentang hari kebangkitan nasional dan pembeberan beberapa organisasi pergerakan Indonesia yang sebenarnya tidak berjuang untuk Indonesia, tetapi untuk penjajah. Hal ini mengangetkan bukan? Mungkin akan menggugurkan apa yg kita ketahui selama ini tentang sejarah pergerakan nasional.
Si penulis menguraikan, didirikannya Boedi Oetomo adalah untuk menandingi gerakan umat Islam yang bernama Jamiat Choir (hal.319) dan Serikat Dagang Islamiyah di Bogor sebagai tandingan dari Syarikat Dagang Islam (hal.326) yang kehadirannya mengkhawatirkan eksistensi perekonomian dan kepentingan imperialisme Belanda. Juga tafsirnya tentang sang saka “Merah Putih” sebagai bendera Rasulullah saw.
Bahkan, Ahmad Mansur Suryanegara juga menyajikan fakta tentang penghinaan terhadap Rasulullah saw yang dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937 (hal.508). Lebih banyak lagi persoalan sejarah yang dibongkar dalam buku Api Sejarah ini.

Pendeknya, buku yang lebih dari 600 halaman ini dapat disebut semacam penulisan ulang sejarah Indonesia baru atau membongkar historiografi nasional Indonesia yang ditulis para sejarawan istana.
Dibawah ini akan saya tuliskan review tentang buku ini dari beberapa tokoh yang sudah membaca tuntas 2 jilid buku API Sejarah.

“Sungguh para pembaca sangat perlu menelaah buku API SEJARAH karya Ahmad Mansur Suryanegara ini karena merupakan fakta sejarah yang mengungkap kontribusi para Ulama dan Santri dalam memperjuangkan Islam dan bangsa Indonesia. Hal ini bisa menjadi teladan dan pendorong umat Islam di Indonesia untuk berperan sebagai pejuang bagi agama, bangsa, dan agama.”
(Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., Pimpinan Ponpes Modern Darussalam Gontor)
“Buku yang seharusnya menggugah kesadaran berbangsa pada pangkalnya… Prof. Mansur telah mendudukkan sejarah sungguh sebagai sejarah: bukan hanya catatan peristiwa masa lalu, melainkan peristiwanya itu sendiri. HISTORIA VITAE MAGISTRA itulah yang dipertahankan guru besar yang selalu saya kagumi ini.”
(N.Syamsuddin Ch.Haesy, kolumnis dan pegiat pemberdayaan masyarakat)

“Sejarah memang sarat dengan kepentingan. Itu sebabnya, banyak manipulasi di dalamnya. Sayangnya, kesadaran sejarah di kalangan Umat Islam sangat rendah. Padahal, dahulu kita memiliki sejarahwan-sejarahwan unggul: Thabari, Mas’udi, Ibn Hisyam, Ibn al-Atsir, Ibn Khaldun, dan masih banyak lagi. Karena itu, buku yang ditulis Prof. Mansur sangat berharga untuk menjernihkan sejarah. Semoga banyak lagi sejarahwan Islam yang memiliki kepedulian seperti Prof. Mansur.”
(Prof.Dr.H.Afif Muhammad,M.A, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Sejarah adalah pohon dan pohon yang tumbuh di hutan belantara tetapi punya identitas, sering orang yang tidak seidentitas mau memahami pohon tersebut, akhirnya yang dipahami adalah cabang dan rantingnya, seangkan inti batangnya tidak, sejarah harus diakhronik tidak cukup dengan sinkronik, bukan begitu guruku?”
(Aam Abdillah, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Prof. Mansur Suryanegaraa adalah seorang sejarawan simbolis. Ia seorang pembaca fakta simbol yang handal yang tak ada duanya di kalangan sejarawan, bahkan di seluruh dunia. Fakta sejarah di tangannya menjadi berwarna, unik, hidup, menunjukkan sisi-sisi yang tak terbaca dari sebuah fakta dan oleh karenanya sering mengejutkan. Ini yang tidak dimiliki para sejarawan lain. Sebagai pembaca simbol, ia sangat peka dengan fakat-fakta historis dan menangkapnya secara simbolik. Tapi, ini menghadirkan resiko. Bacaannya menjadi sering tak dimengerti oleh kalangan sejarawan konvensional. Buku dahsyat ini, tentu sangat historis dan berbasis tradisi ilmiah. Tapi, oleh Pak Mansur, dilengkapi dan dihidupkan dengan tatapan simbolik tersebut, menjadikannya menjadi enak dibaca, perlu bahkan wajib bagi yang ingin sejarah Indonesia sesungguhnya. Ala kulli hal, saya tahu, buku ini disuguhkan dengan penuh takzim oleh beliau kepada segmentasi masyarakat yang sangat dihormatinya; Ulama. Untuk merekalah mahakarya ini didedikasikan. Generasi pembawa risalah nubuwah yang membawa pencerahan masyarakat melalui kebenaran dan spiritual enlightenment!”
(Moeflich Hasbullah, Asisten dan murid Prof.Mansur SN di Jurusan SPI UIN Bandung)


resensi novel AROK DEDES


AROK DEDES
Penulis Pramoedya Ananta Toer
24 November 2011
01:45
at office
cak noer
Add caption



Sebenarnya cerita tentang Arok dan Dedes ini telah ribuan kali dikisahkan oleh berbagai cara para penulisnya. Awalnya saya tertarik untuk membeli novel karya Langit Kresna Hariadi, dalam tetralogi petualangan ken Arok, karena sebelumnya saya dibuat terbuai olehnya dalam kisah kepahlawanan Gajah Mada dalam lima buah novel terdahulunya, namun sayang, di toko Gramedia Karawaci Mall, tidak saya dapatkan apa yang saya cari.
Tapi saya tidak putus asa, karena niat ingin membeli buku, maka saya alihkan perhatian ke buku lainnya. Akhirnya pilihan saya jatuh pada penulis yang selama ini cuma saya dengar dan belum satupun saya baca karya tulisnya, Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes.
Sekilas saya baca halaman awal dari buku itu, ingin mencicipi aroma penalaran Pram, yang menurut teman-teman saya memiliki keunikan sendiri dalam menulis novel. Baiklah, buku ini saya beli.
Sesampainya di rumah, tak sabar saya ingin segera membacanya, kesan pertama membaca halaman demi halaman buku ini, penilaian saya adalah, buku ini bukan novel sederhana, setidaknya memerlukan penalaran, tidak bisa disamakan dengan novel-novel yang dihasilkan oleh penulis dalam negeri lainnya yang dapat kita baca dengan santai dan sambil melakukan kegiatan lainnya, atau membacanya karena hanya untuk mengisi waktu.
Kita mulai dengan karakter tokoh dalam novel ini ,karakter yang sudah ada tanpa novel ini ada, yaitu Arok dan Dedes dibuat oleh Pram menjadi sangat kuat, seakan memiliki pribadi yang nyata, dan kita mengenalnya, ini saya pikir karena Pram dengan detail menjabarkan karakter tokoh dalam novelnya. Tokoh-tokoh lainnya, digambarkan sebagai suatu penyeimbang dari alur cerita yang akan membuat kita, pembacanya, seakan terlibat dalam emosi setiap karakter tokoh novelnya, dibuat seakan kita mengerti akan masalah-masalah pada zaman yang susah sangat usang itu. Tokoh-tokoh lainnya yang mengelilingi tokoh utamanya, seperti Umang, dibuatnya sebagai tokoh pinggiran namun penting dan tidak dapat ditiadakan, atau para resi misalnya, dalam sebuah bab, dikisahkan merekan berkumpul untuk merencanakan apa yang harus dilakukan Arok, dan mereka menyebutnya sebuah takdir untuk Arok. Coba kita telaah, bagaimana sekumpulan orang berkumpul dan merencanakan sesuatu untuk dilakukan oleh orang lain, dan mereka menyebutnya takdir?
Kemudian yang membuat saya kaget adalah, apa yang coba diceritakan Pram dalam bukunya ini, merupakan cerita Arok Dedes dari dimensi lain, tidak seperti apa yang dituturkan secara lisan oleh guru-guru sejarah saya, atau yang saya baca dari buku-buku sejarah. Apa yang diceritakan oleh Pram dalam novel ini adalah sebuah kudeta kenegaraan yang dirancang dengan sangat teliti oleh Arok di sebuah sisi, dan Dedes di sisi lainnya, yang tak pernah bertemu pada awalnya, namun karena adanya persamaan tujuan, akhirnya mereka dipertemukan oleh situasi yang mengharuskan mereka harus berkolaborasi, mengkudeta Tunggul Amentung.
Kudeta yang diceritakan oleh Pram, dalam novel ini menurut saya sangat mirip apa yang pernah terjadi di negara kita, Orde baru mengkudeta Orde Lama, ini persepsi, tidak harus dijadikan sebuah bahan perdebatan tentunya, namun jika anda sudah membaca buku ini, anda akan mengerti apa yang menjadi opini saya tentang apa yang coba Pram teriakkan lewat novelnya ini.
Arok Dedes, novel dari Pram, tidak akan membuat anda rugi membeli dan membacanya, apalagi anda penyuka novel dengan alur cerita menantang dan selalu berusaha menerka endingnya, anda akan dibuat kaget, ketika Pram dengan mudah memainkan emosi dan penalaran anda, so, take it, and enjoy!

Minggu, 27 November 2011

CELANA DALAM dan BURUH

Cerpen
at home
12:55
By cak noer



Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama
"Cundaliiii!!"
jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!"
Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!"
jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!).
Sundari tetap tidak mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?"
berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. 
Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.

***

"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo

Sabtu, 26 November 2011

Tetralogi Andrea Hirata

Referensi Buku
at home
03:13
cak noer


Memang sudah basi informasinya, namun pesona hasil karya seorang novelis muda Indonesia ini tak pernah pudar, saya memang tak punya bukunya, namun pernah membaca jilid 1 dari tetraloginya, "laskar pelangi", dan menonton filmnya, begitupun dengan jilid ke dua, "sang pemimpi", belumlah saya baca bukunya, namun filmnya sudah beberapa kali saya tonton.

"Laskar Pelangi", memang awalnya saya tak mengetahui bahwa film itu diawali oleh ide cerdas sang novelis ini, setelah menonton filmnya, barulah saya baca novelnya, tak perlu membeli, karena salah seorang teman, dengan baik hati meminjamkannya. Satu kata penilaian saya untuk novelnya, HEBAT, lebih hebat daripada filmnya. Ketika saya menonton filmnya, memang, film yang bagus, penuh semangat dan menguras emosi, tapi ketika saya membaca bukunya, lebih hebat lagi, kita dibawa ke alam nyata pengalaman sang penulis, namun dalam penalaran khayalan dimensi yang berbeda. Emosi kita dibawa lebih dalam, ke setiap tokoh dengan karakternya sendiri-sendiri, bermain dalam dunia kata-kata dan imajinasi.

Kemudian, buku keduanya, "sang pemimpi", mengingatkan kita, agar memiliki mimpi, karena dengan mimpi manusia memiliki cita-cita yang harus diperjuangkan dengan segenap kemampuannya. Kejadian-kejadian lucu, masih menjadi magnet dari san novelis, mungkin agar para pembacanya tidak bosan dengan apa yang diceritakannya dalam buku ini, yang sebenarnya bukanlah hal unik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membaca dan menonton filmnya, membuat saya percaya dan tetap memelihara mimpi dan cita-cita saya agar menjadi kenyataan.

Tentang buku ketiga "Edensor" dan buku keempat "Maryamah Karpov", belumlah saya baca bukunya, namun menurut informasi yang saya terima dari beberapa teman-teman yang sudah membacanya, dua buku itu sesuatu yang harus dibaca, diselami pendalaman pengalaman sang novelis dalam berpetualang di beberapa negara Eropa dan kepulangannya ke kampung halaman, yang sekali lagi dilalui dengan tidak mudah. Itu semuanya terjadi karena dia masih memelihara mimpi indahnya untuk diusahakan menjadi kenyataan.

Jadi, kenapa kita harus melewatkan tetralogi karya novelis muda bangsa ini yang jenius? Jika anda adalah petualang buku, "seharusnya" anda memiliki salah satu karya terbaiknya dan jika anda sorang "pemimpi", bermimpilah dengan dengan indah sambil membaca "laskar pelangi" dan "sang pemimpi", kemudian bangkit berusaha dengan segenap kemampuan dengan membaca "Edensor" dan "Maryamah Karpov"

Note : BukaBuku.com  memberikan special price untuk tetralogi ini

Rabu, 23 November 2011

Tetralogi Buru


23 November 2011
14:51


tetralogi Buru bisa dibilang merupakan satu upaya Pramoedya Ananta Toer untuk menjawab apa itu menjadi Indonesia. Di akhir tahun 50an, ketika perkara menjadi Indonesia sedang hangat, jika tak bisa dikatakan panas, ia mulai memikirkan satu seri novel yang bisa mencari dan melacak jejak-jejak nasionalisme Indonesia.

Jawaban Pramoedya adalah kembali ke akhir abad 19 hingga awal abad 20. Itulah memang masa subur benih-benih nasionalisme Indonesia mulai disemai dan bertunas. Dalam hal ini, Pramoedya berhasil menemukan tokoh ideal anak kandung semangat ini: Tirto Adhi Soerjo. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno, atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka, tapi seorang wartawan sekaligus penulis roman.



Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) merupakan perintis suratkabar dan kewartawanan nasional. Melalui Tirto, Pramoedya bisa mencomot simbol-simbol nasionalisme Indonesia. Terutama karena Tirto merupakan pendiri suratkabar pertama berbahasa Melayu, Medan Prijaji. Tirto ini pula yang mengerti fungsi organisasi sebagai motor gerakan nasional, dengan membentuk Sarekat Dagang Islam.

Begitulah Pramoedya kemudian mempergunakan Tirto sebagai model untuk tokoh Minke dalam tetralogi Buru. Karya ini terdiri dari empat rangkaian novel, yang saling bersambung sekaligus masing-masing bisa dianggap karya terpisah: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), danRumah Kaca (1988).
Sekaligus melalui karya tersebut, Pramoedya memperlihatkan betapa nasionalisme Indonesia pada dasarnya merupakan anak kandung yang sah dari modernisme (sekali lagi modern-isme) Indonesia. Barangkali bahkan bisa dikatakan, tetralogi Buru sebagai sebuah karya modern dalam makna yang sesungguhnya: di sana lah “identitas” menjadi penting dan manusia serta kemanusiaan menjadi perkara utama di atas segalanya. Dengan kata lain, modernisme merupakan tema pokok karya ini dan dari sanalah bagaimana nasionalisme Indonesia dibentuk.
Digambarkan Minke merupakan protagonis dengan latar belakang anak priyayi, feodal Jawa. Itu menjadi latar belakang yang kontras karena kemudian Minke bicara mengenai pencerahan, revolusi Prancis, serta kesetaraan (misalnya dikisahkan bagaimana ia lebih suka memilih bahasa Melayu yang tak mengenal strata daripada bahasa Jawa yang berjenjang-jenjang).
Tokoh ini bukan tanpa karakter tragik sama sekali: di satu sisi ia mencoba membebaskan diri dari kungkungan feodalisme, di sisi lain ia demikian terpukau oleh modernisme yang dibawa oleh orang Eropa; keterpukauan yang kadang harus diingatkan oleh teman-teman Eropanya juga. Di satu sisi ia belajar dari orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari belenggu tradisinya, namun sekali lagi, di sisi lain ia harus melawan orang-orang Eropa ini demi merebut kembali tafsir akan kepribumiannya. Jangan dilupakan pula: ia jatuh cinta kepada gadis Indo, gadis Cina, dan puteri Maluku. Di sini ada sejenis kritik tersembunyi: semuanya dilihat dari kepala orang Jawa (Minke), dan menjadi “modern” seolah-olah sekadar menjadi “tidak Jawa” (atau menikah dengan bukan orang Jawa).
“Modern” tak hanya layak dimateraikan kepada novel-novel ini menyangkut temanya, melainkan juga atas bagaimana karya ini ditulis Pramoedya. Ditulis dalam bentuk sejenis memoar, tetralogi Buru memperlihatkan karakter utama dari apa yang disebut modern: segala sesuatu dipersonifikasikan ke dalam diri, subyek. Begitulah bagaimana Indonesia, tepatnya sejarah Indonesia yang sedang bergerak di pergantian abad itu, dilihat dari cara pandang Minke. Meskipun begitu, di beberapa tempat kita bisa menemukan bagaimana subyek ini bergerak dari tokoh satu ke tokoh lain (misalnya Nyai Ontosoroh), hanya untuk menemukan semesta tetap dilihat dengan cara dipersonifikasi.
Secara mengejutkan, di novel keempat, Rumah Kaca, kita menemukan apa yang selama ini menjadi subyek, tak lebih dari obyek. Hanya dengan cara mengetahui apa itu “modern” bisa mengerti permainan ini.
Di novel ini, tafsir mengenai ke-indonesia-an jelas bukan sesuatu proyek gemilang yang berakhir bahagia. Minke meninggal di masa ketika kebanyakan orang justru mulai melupakannya, sendirian dan terasing. Demikian pula penafsiran ini tak juga kunjung gemilang ketika novel tersebut mulai dipikirkan pengarangnya. Barangkali Pramoedya tak akan pernah menuliskan tetralogi Buru seandainya apa yang disebut Indonesia telah terang-benderang dan tak ada masalah. Kenyataannya di awal tahun 60an keadaan demikian gawat: persaingan antara Partai Komunis dan militer nyata terlihat; Soekarno memimpin dengan demokrasi yang “terpimpin”; perang dingin merongrong di luar dan di dalam perbatasan. Tetralogi Buru bisa dikatakan merupakan usaha lebih lanjut Pramoedya dari apa yang telah dilakukan Tirto Adhi Soerjo setengah abad sebelumnya.
Novel ini seolah melengkapi nasib tragik untuk menemukan tafsir menjadi Indonesia yang diangankannya. Meskipun telah direncanakan sejak akhir tahun 50an, tetralogi Buru baru ditulis sekitar dua belas tahun kemudian, di dalam tahanan.
Inilah yang diperoleh Indonesia dalam usahanya menjadi “modern” di tahun 65. Pemberontakan yang gagal oleh segerombolan orang yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September, menjadi awal perburuan orang-orang Komunis dan simpatisannya. Pramoedya yang dikenal sebagai salah satu ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia, menjadi salah satu yang kemudian ditangkap oleh tentara. Itu kali ketiga ia masuk tahanan: pertama kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda di masa agresi militer karena ketahuan membawa selebaran gelap, kedua ditahan A.H. Nasution di masa Soekarno karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia, yang membela keberadaan etnis Cina.
Ia sempat ditahan di penjara Salemba, kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Pada tanggal 16 Agustus 1969, Pramoedya memulai hari-hari pembuangannya yang terentang hingga 10 tahun di Pulau Buru, sebuah pulau di bagian selatan Maluku. Bersama ribuan tahanan politik lainnya, ia menebang kayu, membuka lahan, berternak ayam, dan dilarang menulis. Izin untuk menulis baru ia terima empat tahun kemudian, dan dari sanalah ia menulis beberapa karya penting, di antaranya empat serangkai novel yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai Karya Buru, mengacu ke tempat novel-novel itu ditulis dan pengarangnya ditahan.
Novel pertama, Bumi Manusia, terbit setahun setelah Pramoedya dibebaskan tahun 1979, melalui penerbitan yang didirikannya bersama teman sesama veteran Pulau Buru, Hasta Mitra. Disusul novel kedua, Anak Semua Bangsa enam bulan kemudian. Meskipun memperoleh sambutan penuh antusias dari pembaca, kedua novel ini ditanggapi dengan sinis oleh pemerintah: dibreidel. Seorang mahasiswa bahkan harus masuk penjara karena menjual novel ini. Melalui Hasta Mitra, dengan gigih Pramoedya terus menerbitkan karya-karya burunya, dan dengan gigih pula, Kejaksaan Agung terus membreidelnya.
Inilah harga yang harus dibayar novel “modern” di Indonesia yang konon “modern”.

Rabu, 19 Oktober 2011

Surat yg tak pernah terkirim


15 10 2011
02:58
at office
cerpen by cak noer


Udara di kamarku sudah mulai sejuk saat beberapa menit lalu istriku, Suci, menyalakan penyejuk ruangan
“aku nyalain ac ya mas?”
gerah...kamu g kedinginan kan?”
kalau dingin nanti aku peluk ya”
sambil tersenyum manis padaku, dia rebahkan badannya di peraduan cinta kami, ditariknya selimut tebal berwarna hijau, warna kesukaannya selain warna coklat.
Istriku, masih aku perhatikan wajahnya ketika dia sudah memejamkan matanya. Walaupun dia tersenyum dalam tidurnya, guratan-guratan lelah di wajahnya masih terlihat, kasihan dia, lelah mungkin dalam hadapi kerasnya hidup, mendampingiku, suaminya. .
Kuletakkan buku yang sedang kubaca, aku lepas kacamata ini, kuletakkan diatas buku yang masih terbuka, sekaligus penanda sampai dimana aku selami tulisan-tulisan itu, lalu kuhampiri dia, duduk aku di pinggir tempat tidur itu. aku belai rambutnya yang lurus, halus dan berwarna hitam,
massss, tidur yukkk, besok lagi baca bukunya , ya?”
kata-katanya bagai hawa angin syurga bagiku, aku membalas ucapannya dengan kucium kepalanya, keningnya, lalu bibirnya, andai kau tahu, Suci, istriku, sampai kapanpun, aku sungguh tak rela jika kau sampai tinggalkan duniaku, karena memang kau duniaku saat ini, tempat aku mencurahkan cinta, tempat aku dipeluk saat air mata ini tak sanggup hadapi kerasnya hati,
Sebagai seorang wanita dan tentunya seorang istri, tidak bisa diremehkan keberadaan mereka di dunia ini, Hawa diciptakan bukan hanya sebagai pelengkap hidup sang Adam, tapi sebagai pendamping, penyeimbang, kawan sekaligus lawan.
Karena wanita, laki-laki seperti aku bisa menanggalkan semua keegoisan sebagai pemimpin, bersujud tekuk lutut di keindahan tubuhnya, karena wanita pula, aku sebagai pria bisa menanggalkan semua logikaku hingga menjadi tak masuk akal dan karena wanita pula, aku bisa bersedih sepanjang hidupku. Dan wanita didepanku saat ini sungguh hebat, tak kalah kesabarannya dengan Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh itu, ketegarannya sebanding dengan Kartini, wanita Jepara dalam kurungan adat feodal, dan terlepas dari kehebatannya, dia tetaplah wanita yang takluk padaku saat aku peluk dalam kenikmatan dunia
tidur duluan yah, sebentar lagi aku nyusul” kataku,
hanya dibalas dengan anggukan dan tetap tersenyum,
akupun melangkah kembali ke meja yang berada di sudut kamar kami, dibelakangnya terdapat kursi kayu seperti umumnya dengan alas bantal kecil, namun bukan kursi itu yang aku pilih, aku pilih kursi goyang yang berada di samping mejaku, dekat dengan jendela kamar kami, jenis kursi peninggalan kolonial Belanda ini sangat nyaman untuk mengendorkan syaraf-syaraf di tubuhku sambil aku gerayangi setiap tulisan dalam buku-buku itu, hampir setiap malam sehabis bekerja, selalu aku ulangi kegemaranku ini.
Malam ini aku gurui otakku sendiri dengan buku tentang gejolak negeri ini pada tahun 1965 – 1966, saat dimana Partai Komunis Indonesia berada pada puncak kejayaannya, sekaligus menjadi pecundang bagi para lawan-lawan politiknya, sekilas aku teringat pada masa laluku, setiap kali akan tidur siang, sewaktu aku umur 7 tahun sampai dengan kira-kira kelas 6 SD, suara bersahaja, berat dan bijaksana, selalu mengantarku berkhayal, cerita dan dongeng-dongengnya, selalu membuat aku kagum padanya, bukan pada ceritanya.
Kesabarannya menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan, kemanusian dan kehebatan bangsa ini, membuat aku tumbuh seperti dalam lautan ilmu. Penuturan ceritanya sistematik, bahasanya dapat aku mengerti dengan jelas, walaupun umurku masih sangat muda saat itu, itulah Bapakku, mentor, guru dan pembimbing hidupku. Manusia yang pendiam, dingin terhadap kehidupan ini namun menjadi bersemangat, berkobar dan “comel” dalam bercerita tentang kehebatan manusia-manusia pribumi. Dialah konduktor dalam orkestra nan megah perkembangan hidupku, dialah dalang budaya yang pandai memainkan wayang-wayang penalaranku menghadapi soal-soal kehidupan, tak tergantikan perannya.
Bapak aku rindu padamu
bangkit aku dari kursi pemalas itu, kuarahkan pandanganku ke lemari tanpa pintu yang disitu berjajar buku-buku koleksiku, semakin aku rindu padamu, bapakku, jika aku lihat buku-buku itu yang sebagian adalah warisan tak ternilai darimu.
Lalu aku berpindah ke kursi dibelakang mejaku, duduk aku terdiam sejenak, masih bingung apa yang aku lakukan untuk melapaskan rinduku pada bapakku, emmmmm ya!
Aku cari secarik kertas putih, tak sulit menemukannya, karena memang letaknya diatas meja sebelah kiri, selanjutnya mataku mencari alat tulis, yah itu dia, kuambil pensil, aku akan menulis surat padamu bapakku, akan kutuliskan bagaimana aku hidup sekarang, akan aku guratkan kerinduanku ini, anakmu yang telah dewasa, dan kumulai surat itu . . . . . .

Tangerang, 15 Oktober 2011
Sembah Sujud ananda untuk Bapakku

Bapakku, apa kabar disana? Sudah lama anakmu ini tidak melihat wajahmu yang bersahaja, selalu tersenyum saat aku membaca sebuah buku. Ya, bapak, saat inipun aku masih giat sekali membaca buku, apapun soalnya, apapun judulnya, yang penting buku, yang bapak bilang dulu adalah jembatan ilmu pengetahuan, yang akan membuat manusia pintar, tidak bodoh,
Masih juga aku sempatkan sebagian pengahasilanku untuk membeli buku, seperti yang juga bapak ajarkan padaku, walaupun terkadang istriku masih bingung dan heran dengan kebiasaanku itu . bapak, dia tidak tahu, kalau itu adalah amanat bapakku, tapi bapak tak perlu khawatir, menantu bapak baik hati, cocoklah untuk mendampingi anakmu ini bapak.
Bapak, anakmu ini begitu rindu padamu, berabad-abad rasanya tak dengarkan lagi kidung indahmu tentang negeri ini. Walaupun sekarang aku bisa membaca buku sesuka hatiku, membeli buku apapun atau berpetualang di dunia internet, yang menurut manusia-manusia jaman ini adalah pengganti kertas-kertas bertuliskan huruf tercetak rapi itu, tapi kharisma suaramu dalam kidung-kidung indah itu tak pernah tergantikan, membekas terpahat dalam akal dan hatiku. Bukan hanya dongeng tentang bagaimana Gajah Mada, tokoh favoritmu yang menaklukkan Nusantara, tapi dongeng kehidupan nyata yang kau gurui padaku, membuat aku sadar akan manusia yang memiliki akal, sebagai pembeda dari binatang. Benar saja Bapak, di kota tempat aku tinggal ini, semakin banyak manusia-manusia yang sudah tak lagi sadar bahwa mereka berakal, mereka hanya sadar akan hawa nafsunya sendiri, bernafsu memiliki dengan apapun jalannya, seperti Sengkuni yang kau ceritakan padaku, bersifat penghasut licik, lebih licik dari rubah, tapi tidak semuanya jahat Bapak, masih ada orang-orang seperti istriku, menantumu, yang kecantikan paras dan hatinya seperti wanita yang juga pernah kau ceritakan padaku, yang kau idolakan, yang kau tunjukkan patungnya setiap kali kita akan mengunjungi kota Malang, Ken Dedes, wanita yang melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Bapak, baru aku rasakan saat ini pahitnya kehidupan, yang belum aku alami saat masih bersamamu, saat masih aku bersandar padamu, manja dan “ngambek” saat tidak dibelikan mainan. Kehidupan memang tidak sederhana saat aku masih menjadi anak kecil dalam genggamanmu. Menjadi manusia seperti bapak, masih belum aku jalani, tapi kelak aku yakin aku pasti akan melewatinya bersamau cucumu, bapak. 
Akan aku ajarkan sebagaimana kau ajarkan kehidupan dunia fana ini padaku. Akan aku dengungkan dongeng-dongeng indah tentang kebesaran raja-raja di tanah pribumi ini seperti yang kau lakukan padaku. Akan aku “perintah”kan anakku dengan otoriter untuk gemar membaca buku dan tak akan aku biarkan anakku, cucumu, nantinya menjadi orang yang tidak berguna bagi Tuhan, agama, keluarga, bangsa dan negaramu, kata-kata itu sungguh melekat di otakku bapak, kata-kata darimu yang serasa menghipnotis kesadaran akalku.
Bapakku, janganlah kau terus bersedih dengan kepergian ebok (ibu), memang dia pelita keluarga kita, sanggup memberikan keseimbangan antara diamnya dirimu dengan cerianya sikapnya. Aku tahu bapak, sedihmu sama dengan sedihku, kehilanganmu itu tak tergantikan, aku juga rasakan. Memang bapak, dia adalah satu-satunya ibuku, tidak yang lainnya. Memang kita berdua dirundung sedih yang tak berkesudahan atas meninggalnya ebok, tapi aku khawatir bapak, kesehatanmu semakin hari semakin menurun, sungguh aku khawatir.
Bapak, perkenankanlah dalam surat anakmu ini, aku ingin bertanya. Walaupun tak akan berpengaruh pada siapa diriku ini, tapi tetap akan aku tanyakan bapak, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu kritis atas kebenaran hakiki, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu bersikap curiga jika sudah tak jelas duduk perkaranya, Bapak, jangan kau bersedih mendengar pertanyaanku ini, maafkan aku bapak aku harus bertanya setelah sekian lama aku simpan pertanyaan ini,
Bapak, siapakah sebenarnya diriku ini? Darah dagingmu sendirikah aku ini? Lahir dari rahim “ebok”? Istri yang sangat kau cintai itu?, sekali lagi maafkan aku bapak, aku harus menanyakannya, karena banyak kejanggalan yang terjadi di keluarga kita.
Masih ingatkan bapak? Saat aku umur 7 tahun, ketika aku masuk rumah sakit karena demam tinggi? Saat suster itu mengambil contoh darahku yang ternyata bergolongan B, sedangkan akhirnya kuketahui Bapak memiliki darah golongan A dan darah Ebok bergolongan O.
Hobby bapak selain baca buku juga photografi, tak pernah ada moment indah kita dulu yang tak pernah bapak ambil, saat aku ulang tahun, saat kita berlibur ke Bali atau saat kita mengunjungi Borobudur. Saat aku bayipun banyak foto diriku, ketika acara “toron tanah” saat aku berumur 6 bulan, saat aku mulai belajar berjalan dan terjatuh atau mungkin saat di hari pertamaku di taman kanank-kanak, yang tak mau masuk kelas saat bayanganmu pergi meninggalkan aku sendiri di pintu ruang kelas, namun Bapak, ada satu moment penting dalam kehidupanku yang entah kau lupa untuk memotretnya atau saat itu film “kodak” nya sudah habis?
Tidak ada satupun foto saat aku didalam kandungan Ebok, tidak ada satupun foto saat Ebok hamil, itulah celahnya bapak, semakin membuat aku curiga, dibalik kebahagian keluarga kita.
Maafkan aku bapak jika saat ini aku tanyakan hal ini, aku sudah lega, hatiku sudah plong, kosong. Aku tak peduli jawabannya bapak, anak siapakah aku sebenarnya dan knapa aku berada di tanganmu dan di pangkuan Ebok, aku tak peduli asal-usulku bapak, yang aku tahu hanya lah engkau dan Ebok, tangan-tangan yang memandikan aku, mengusap air mataku ketika menangis, menyeka peluhku saat aku lelah, jangan kau ambil semua itu dariku bapak, jangan kau asingkan diriku, setelah kau ambil diriku dari keterasingan.
Maafkan aku bapak, maafkan, tiada maksud hatiku untuk membuatmu sedih dengan segala pertanyaan tololku tadi, tentulah aku ini anakmu anak semata wayangmu, anak laki-laki kesayanganmu, kebanggaanmu, yang akan mewarisi ajaran-ajaranmu, tradisimu dan tentunya segala kebijakanmu. Aku memang gegabah bapak, kenapa harus aku cari jawaban-jawaban yang pertanyaannyapun blum tentu benar, banyak tetangga kita yang mengatakan, rambutku ikal sepertimu, keningku seperti punyamu, alisku juga tebal sepertimu, bulu-bulu halus di dekat kuping memanjang kebawah, isyaratkan aku akan berjambang nantinya, persis sepertimu, atau, mataku dan bibirku ini, mewarisi apa yang dimiliki ebok, sungguh bodoh ya aku, bapak, tak aku pikirkan omongan-omongan tetangga kita itu. Sekarang aku bertambah yakin bapak, bahwa aku adalah benar-benar anakmu.
Bapakku, sudah lama ya, kita tak bertemu, aku rindu suasana rumah, aku rindu masakan Ebok, aku rindu suasana sore di teras rumah, aku rindu alam rumah . Namun maaf bapak, saat ini aku masih belum bisa datang padamu, mencium tanganmu sebagai protokolir cintaku padamu, aku masih belum bisa pulang ke rumah bapak, belum bisa, masih banyak tugas disni yang aku harus selesaikan, masih banyak buku yang belum aku selesai baca, belum aku ambil hikmahnya dan kulangkahkan dalam kehidupanku. Belum semua bapak, kebijaksanaan katamu yang aku laksanakan, belum semua, tapi bapak jangan khawatir, anakmu ini masih dalam kesehatan yang memadai untuk menarik gerobak kehidupan, anakamu ini masih seperti Yudhistira, mencoba bijak menelan kehidupan, seperti Bima, perkasa dalam menaklukkan kehidupan dan tentunya seperti Arjuna kebanggaanmu.
Bapakku, jika nanti tiba waktunya, libur, aku pasti akan pulang ke rumah dari pengembaraan ini, datang padamu, senang rasanya aku membayangkan saat itu terjadi.
Jangan bersedih bapakku, bayangkanlah suatu saat kita akan bertemu lagi, melepas rindu yang sudah berkarat, ah bapak, sudah tak sabar rasanya aku bertemu denganmu.
Akhir kata bapakku, sujud dengan cinta selalu aku haturkan padamu Bapak, anakmu yang selalu mencintaimu

Wassalam

Kubaca lagi surat yang sudah aku tulis itu, ada linangan air mata, tapi ada juga kebanggaan, yang pasti rasa rindu yang amat sangat tercurah pada surat itu, setelah dua kali aku baca dan aku periksa, tak ada satupun kata-kata yang salah tulis, bapakku pasti akan memarahi aku jika dalam menulis bahasa Indonesia saja tak becus!
Aku pandangi meja kerjaku lagi, kucari amplop yang sesuai dengan ukuran kertas suratku itu, nah, itu dia, akhirnya kutemukan amplop itu yang juga berwarna putih. Kulipat menjadi tiga bagian dua lembar kertas tadi yang berisi guratan-guratan kerinduanku terhadap bapakku, setelah itu aku masukkan ke dalam amplop, kuberikan perekat pada pinggir penutupnya, kemudian kubalik amplop itu dan kutuliskan alamat rumahku. Jalan Aries nomor 22, Perum Satelit, Sumenep Madura.
Puas aku, tersenyum, kutimang-timang surat rindu itu, besok akan aku poskan dengan lebel “kilat khusus”, dan dalam 3 hari akan sampai ke tangan bapakku, beliau pasti senang membaca surat kerinduan dari anaknya tersayang.
Kuhirup udara dingin kamarku ini, kupejamkan mataku, dan akupun kembali tersenyum puas, kupastikan dalam akalku tak ada yang kurang dalam surat ini, semuanya sudah aku tumpahkan didalamnya.
Kucari tas kerjaku, tas kulit berwarna coklat yang setiap hari menemaniku nikmati aktivitas kerjaku, tas itu adalah hadiah dari istri tercintaku. Akan aku masukkan surat itu, kubuka penutup tasku, di bagian depannya terdapat dua ruang kecil, nah ini dia pikirku, kubuka reslitingnya, dan . . . . .
astaga!!!
kuperhatikan lagi isi tasku itu, dengan tangan gemetar dan rasa heran tingkat tinggi, aku ambil isi tas itu,
kupikir dengan akal warasku, sambil kupegang isi tasku tadi, lebih dalam lagi dengan mata melotot, nafas di dadaku mulai memburu, detak jantungku sudah mulai tak karuan, ternyata . . . .
ya, ternyata isi tasku tadi adalah sama dengan barang yang akan aku masukkan tadi ke dalam tasku.
Bentuk amplopnya sama, tulisanku tergurat di depan amplop itu, alamatnya sama persis dengan yang kutulis barusan, alamat rumah bapakku!!!
Kubangun kembali kesadaranku, akal dan hatiku kupaksa untuk berpikir dan merasakan kenyataan.
astaghfirullah”, bapak, kau  . . . . . .