Powered By Blogger

Kamis, 15 Desember 2011

GADIS PANTAI


Resensi Buku
13 Desember 2011
17:28
at office
by cak noer

GADIS PANTAI
Penulis PRAMOEDYA ANANTA TOER




Minggu lalu, sepertinya sudah mejadi hal rutin, saya dan isteri menyempatkan mengunjungi tempat “favorite” saya, toko buku, dan tempat paling membosankan untuk isteri saya, toko buku.
Buku pilhan saya kali ini masih novel karya penulis idola saya “PRAM”, tak pernah bosa saya dengan buku-bukunya yang selalu memberikan inspirasi kehidupan untuk menjadi manusia BEBAS.
"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini..ah tidak..aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan..."
kutipan diawal buku ini, begitu penuh dengan kepedihan dan perlawanan terhadap isolasi kebudayaan terhadap manusia, dikekang, diatur dan dipenjara oleh kebudayaan itu, padahal kebudayaan adalah hasil tingkah laku manusia.
Roman ini sejatinya adalah roman yg tidak terselesaikan, roman ini adalah sebuah trilogi, namun hanya satu buku yang terselamatkan dari keganasan penguasa. Gadis Pantai pun dipastikan tidak ada jika ANU (Universitas Nasional Australia) lewat salah satu mahasiswanya tidak medokumentasikan karya Pram ini. Hanya kepicikan pikir dan kekerdilan tradisi aksara yang memberangus roman ini.
Kali ini Pram ingin menunjukkan kekejian manusia yang berlindung didalam tembok-tembok tebal priyai. Kebebasan manusia menjadi pribadi yang bebas menjadi tumbal atas keganasan penguasa, dan satu lagi yang menjadi konsen pram disetiap roman karyanya, bukan hanya penindasan terhadap hak manusia, wanita yang selalu menjadi pelampiasan zaman, adalah salah satu tulisan pram yang menggerus hati dan pikiran.
Jika anda adalah penyuka feodalisme, jangan baca buku ini, karena anda akan dipukul habis-habisan oleh liukan dan ilustrasi detail tulisan Pram. Tidak hanya alam khayal anda yang akan terhibur dengan membacanya, akal pikiran anda akan terus dicoba untu memikirkan alur khayalan si penulis
Semoga bermanfaat !!!

MALAM MALAM NINA


13 Desember 011
3:41
Cerpen
MALAM MALAM NINA
(sebuah cerpen karya teman yang tidak mau disebutkan namanya)


Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.

Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki

"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?

"Kamu mencintainya, Nina?"

"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.


Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!

"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."

Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.

Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.

Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.


Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"


Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?

"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.


Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!


Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.

Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.

"Apa yang kau inginkan darinya?"

"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. 

PRAM MELAWAN


Resensi Buku
29 November 011
22:57
at office

PRAM MELAWAN
Penyusun P HASUDUNGAN SIRAIT dkk
Penerbit Nalar
Terbit 2011
Halaman 502
Harga Rp. 135,000





Tak bosan-bosannya saya membahas dan membaca karya-karya dari penulis yang satu ini, sepertinya rasa kagum saya tidak pernah habis ketika saya membaca karyanya pertama kali lewat roman politik AROK DEDES, menggugah nalar untuk berpikir kontroversial.
Pramoedya Ananta Toer memang kontroversial hingga akhir hayatnya. Tidak banyak literatur yang mengungkapkan pemikian sastrawan yang dicap sebagai "kiri" itu secara komprehensif.
Hal itu membuat sosok Pramoedya sulit ditangkap secara utuh. Kecurigaan serta stigma yang melekat padanya, semakin membuat tokoh yang diwacanakan sebagai penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra itu, terlupakan.
Padahal menjelang akhir hayatnya, sejumah karyanya mengalami cetak ulang. Di sejumlah forum, karyanya tidak pernah sepi dibicarakan dan diapresiasi. Bahkan tidak sedikit remaja mulai tergila-gila dengan karya Pramodya.
Oleh sebab itu, terbitnya Pram Melawan!, merupakan sebuah titik pijakan baru yang dapat mengantarkan para peminat karya Pram--demikian panggilan pendek Pramoedya--, pemerhati sejarah, maupun peneliti sastra menuju pemahaman semesta Pramoedya secara lebih lengkap.
Buku ini merupakan kumpulan sejumlah wawancara yang dilakukan oleh penyusunnya dengan Pram. Topiknya beragam, dari soal politik, sastra, kebudayaan, keluarga, sosial hingga pengalaman pribadinya ketika dibuang ke pulau Buru.
Dari sinilah pembaca dapat melihat banyak sisi lain dari Pram. Ia seakan ingin orang mengetahui duduk persoalan masa lalunya secara jernih terkait dengan kekuasaan. Ia juga ingin meluruskan siapa yang sebenanya layak disebut sebagai orang yang merampas kebebasan orang lain.
Sementara itu, untuk pihak-pihak yang berseberangan dengannya di masa lalu, Pram seakan ingin mereka melihat alasan-alasan mengapa lelaki pendukung Soekarno itu melakukan sesuatu yang dianggap keliru.
Salah satu pertanyaan yang sering mengusik tentang Pram adalah, apakah ia seorang anggota Partai Komunis Indonesia ketika itu? Ia menjawab, anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tidak otomatis menjadi anggota PKI.
Bagi Pram, Lekra adalah kiri. Namun, kiri tidak berarti komunis. Kiri adalah orang yang tertindas dan tersingkirkan. Golongan seperti inilah yang harus dibela. Merekalah yang harus dimanusiakan. Jadi, keliru jika golongan ini yang harus diperlakukan tidak adil.
Itu juga yang menjadi roh dalam realisme sosial di dalam sastra. Mereka yang tertindas harus dibebaskan, diberi kesadaran. Jadi, realisme sosial akan tetap relevan hingga kapan pun selama rakyat yang tertindas masih ada.
Hal menarik lain yang diungkapkan oleh Pram adalah permusuhan Lekra dengan Manikebu. Menurut pengakuannya, Pram memang melawan orang-orang golongan Manikebu. Alasannya, ia hanya berusaha mencegah demokrasi liberal ala Barat dan melawan orang-orang yang anti terhadap Soekarno.
Menariknya, dalam wawancara yang dilakukan, Pram selalu berbicara terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Seluruh gelora emosi, kekesalan, serta kekecewaannya, tertumpah tanpa beban dalam buku ini.
Buku ini bagaikan sebuah medium bagi Pram untuk menunjukkan realitas dirinya. Sebuah realitas yang berkorespondensi dengan berbagai gejala yang ada di sekitarnya. Realitas ini bagi Pram bukan hanya sesuatu yang hadir dari bawah alam sadar, namun juga sesuatu yang terinternalisasi dari lingkungan.
Kita tungu saja apakah akan ada yang menjawab isi buku ini. Jika pun ada, semoga itu diletakkan dalam keranga sejarah kebudayaan dan kesenian, bukan politik yang tidak berujung

semoga bermanfaat !!!











Kamis, 01 Desember 2011

API SEJARAH


Resensi Buku
API SEJARAH
Penulis Ahmad Mansyur Suryanegara
26 November 2011
21:32
at office



Buku ini akan mengubah drastis pandangan anda tentang sejarah Indonesia. Sebuah Gugatan Historiografi Nasional. API SEJARAH yang terdiri dari 2 jilid buku, akan menuntaskan kepenasaran anda tentang kebenaran sejarah Indonesia.
Buku yang sungguh berani ini, pernah dinyatakan hilang dan terancam tidak jadi terbit ketika draft naskahnya “dicuri” oleh “peminjam tanpa permisi” saat seminar API SEJARAH di Gedung Juang ’45, Pemerintah Kotamadya Sukabumi.


Sinopsis
AHMAD Mansur Suryanegara menerbitkan buku baru berjudul API SEJARAH: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan NKRI”. Dosen luar biasa di jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung dan UNPAD ini kembali membuka persoalan sejarah yang ditutup oleh rezim Orde Baru.
Sebagai informas,i buku API SEJARAH ini isinya membongkar sejarah yang disembunyikan, khususnya kezaliman kaum nasionalis dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, penghilangan jejak peran ulama dan organisasi Islam dalam menegakkan NKRI, dan membongkar perselingkuhan kaum priyayi dengan penjajah Belanda.
Pasti sangat mengagetkan. mengapa? Karena jika dilihat dari tinjauan ilmu sejarah, karya Mansur ini bisa disebut sebagai historiografi politik Islam Indonesia versi sejarawan lokal. Kebenaran isinya, tentu sangat tergantung dari data, fakta, dan analisa serta tafsir yang digunakannya. Pastinya akan “mengagetkan” mereka yang selama ini menjadikan buku-buku sejarah versi Nugroho Notosusanto, Asvi Warwan, Sartono Kartodirjo, dan lainnya, sebagai buku yang valid dalam sejarah Indonesia.
Mengapa mengagetkan? Karena isi buku ini menggabungkan antara sejarah Indonesia versi nasional dengan versi Islam. Salah satunya “gugatan” tentang hari kebangkitan nasional dan pembeberan beberapa organisasi pergerakan Indonesia yang sebenarnya tidak berjuang untuk Indonesia, tetapi untuk penjajah. Hal ini mengangetkan bukan? Mungkin akan menggugurkan apa yg kita ketahui selama ini tentang sejarah pergerakan nasional.
Si penulis menguraikan, didirikannya Boedi Oetomo adalah untuk menandingi gerakan umat Islam yang bernama Jamiat Choir (hal.319) dan Serikat Dagang Islamiyah di Bogor sebagai tandingan dari Syarikat Dagang Islam (hal.326) yang kehadirannya mengkhawatirkan eksistensi perekonomian dan kepentingan imperialisme Belanda. Juga tafsirnya tentang sang saka “Merah Putih” sebagai bendera Rasulullah saw.
Bahkan, Ahmad Mansur Suryanegara juga menyajikan fakta tentang penghinaan terhadap Rasulullah saw yang dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937 (hal.508). Lebih banyak lagi persoalan sejarah yang dibongkar dalam buku Api Sejarah ini.

Pendeknya, buku yang lebih dari 600 halaman ini dapat disebut semacam penulisan ulang sejarah Indonesia baru atau membongkar historiografi nasional Indonesia yang ditulis para sejarawan istana.
Dibawah ini akan saya tuliskan review tentang buku ini dari beberapa tokoh yang sudah membaca tuntas 2 jilid buku API Sejarah.

“Sungguh para pembaca sangat perlu menelaah buku API SEJARAH karya Ahmad Mansur Suryanegara ini karena merupakan fakta sejarah yang mengungkap kontribusi para Ulama dan Santri dalam memperjuangkan Islam dan bangsa Indonesia. Hal ini bisa menjadi teladan dan pendorong umat Islam di Indonesia untuk berperan sebagai pejuang bagi agama, bangsa, dan agama.”
(Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., Pimpinan Ponpes Modern Darussalam Gontor)
“Buku yang seharusnya menggugah kesadaran berbangsa pada pangkalnya… Prof. Mansur telah mendudukkan sejarah sungguh sebagai sejarah: bukan hanya catatan peristiwa masa lalu, melainkan peristiwanya itu sendiri. HISTORIA VITAE MAGISTRA itulah yang dipertahankan guru besar yang selalu saya kagumi ini.”
(N.Syamsuddin Ch.Haesy, kolumnis dan pegiat pemberdayaan masyarakat)

“Sejarah memang sarat dengan kepentingan. Itu sebabnya, banyak manipulasi di dalamnya. Sayangnya, kesadaran sejarah di kalangan Umat Islam sangat rendah. Padahal, dahulu kita memiliki sejarahwan-sejarahwan unggul: Thabari, Mas’udi, Ibn Hisyam, Ibn al-Atsir, Ibn Khaldun, dan masih banyak lagi. Karena itu, buku yang ditulis Prof. Mansur sangat berharga untuk menjernihkan sejarah. Semoga banyak lagi sejarahwan Islam yang memiliki kepedulian seperti Prof. Mansur.”
(Prof.Dr.H.Afif Muhammad,M.A, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Sejarah adalah pohon dan pohon yang tumbuh di hutan belantara tetapi punya identitas, sering orang yang tidak seidentitas mau memahami pohon tersebut, akhirnya yang dipahami adalah cabang dan rantingnya, seangkan inti batangnya tidak, sejarah harus diakhronik tidak cukup dengan sinkronik, bukan begitu guruku?”
(Aam Abdillah, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Prof. Mansur Suryanegaraa adalah seorang sejarawan simbolis. Ia seorang pembaca fakta simbol yang handal yang tak ada duanya di kalangan sejarawan, bahkan di seluruh dunia. Fakta sejarah di tangannya menjadi berwarna, unik, hidup, menunjukkan sisi-sisi yang tak terbaca dari sebuah fakta dan oleh karenanya sering mengejutkan. Ini yang tidak dimiliki para sejarawan lain. Sebagai pembaca simbol, ia sangat peka dengan fakat-fakta historis dan menangkapnya secara simbolik. Tapi, ini menghadirkan resiko. Bacaannya menjadi sering tak dimengerti oleh kalangan sejarawan konvensional. Buku dahsyat ini, tentu sangat historis dan berbasis tradisi ilmiah. Tapi, oleh Pak Mansur, dilengkapi dan dihidupkan dengan tatapan simbolik tersebut, menjadikannya menjadi enak dibaca, perlu bahkan wajib bagi yang ingin sejarah Indonesia sesungguhnya. Ala kulli hal, saya tahu, buku ini disuguhkan dengan penuh takzim oleh beliau kepada segmentasi masyarakat yang sangat dihormatinya; Ulama. Untuk merekalah mahakarya ini didedikasikan. Generasi pembawa risalah nubuwah yang membawa pencerahan masyarakat melalui kebenaran dan spiritual enlightenment!”
(Moeflich Hasbullah, Asisten dan murid Prof.Mansur SN di Jurusan SPI UIN Bandung)


resensi novel AROK DEDES


AROK DEDES
Penulis Pramoedya Ananta Toer
24 November 2011
01:45
at office
cak noer
Add caption



Sebenarnya cerita tentang Arok dan Dedes ini telah ribuan kali dikisahkan oleh berbagai cara para penulisnya. Awalnya saya tertarik untuk membeli novel karya Langit Kresna Hariadi, dalam tetralogi petualangan ken Arok, karena sebelumnya saya dibuat terbuai olehnya dalam kisah kepahlawanan Gajah Mada dalam lima buah novel terdahulunya, namun sayang, di toko Gramedia Karawaci Mall, tidak saya dapatkan apa yang saya cari.
Tapi saya tidak putus asa, karena niat ingin membeli buku, maka saya alihkan perhatian ke buku lainnya. Akhirnya pilihan saya jatuh pada penulis yang selama ini cuma saya dengar dan belum satupun saya baca karya tulisnya, Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes.
Sekilas saya baca halaman awal dari buku itu, ingin mencicipi aroma penalaran Pram, yang menurut teman-teman saya memiliki keunikan sendiri dalam menulis novel. Baiklah, buku ini saya beli.
Sesampainya di rumah, tak sabar saya ingin segera membacanya, kesan pertama membaca halaman demi halaman buku ini, penilaian saya adalah, buku ini bukan novel sederhana, setidaknya memerlukan penalaran, tidak bisa disamakan dengan novel-novel yang dihasilkan oleh penulis dalam negeri lainnya yang dapat kita baca dengan santai dan sambil melakukan kegiatan lainnya, atau membacanya karena hanya untuk mengisi waktu.
Kita mulai dengan karakter tokoh dalam novel ini ,karakter yang sudah ada tanpa novel ini ada, yaitu Arok dan Dedes dibuat oleh Pram menjadi sangat kuat, seakan memiliki pribadi yang nyata, dan kita mengenalnya, ini saya pikir karena Pram dengan detail menjabarkan karakter tokoh dalam novelnya. Tokoh-tokoh lainnya, digambarkan sebagai suatu penyeimbang dari alur cerita yang akan membuat kita, pembacanya, seakan terlibat dalam emosi setiap karakter tokoh novelnya, dibuat seakan kita mengerti akan masalah-masalah pada zaman yang susah sangat usang itu. Tokoh-tokoh lainnya yang mengelilingi tokoh utamanya, seperti Umang, dibuatnya sebagai tokoh pinggiran namun penting dan tidak dapat ditiadakan, atau para resi misalnya, dalam sebuah bab, dikisahkan merekan berkumpul untuk merencanakan apa yang harus dilakukan Arok, dan mereka menyebutnya sebuah takdir untuk Arok. Coba kita telaah, bagaimana sekumpulan orang berkumpul dan merencanakan sesuatu untuk dilakukan oleh orang lain, dan mereka menyebutnya takdir?
Kemudian yang membuat saya kaget adalah, apa yang coba diceritakan Pram dalam bukunya ini, merupakan cerita Arok Dedes dari dimensi lain, tidak seperti apa yang dituturkan secara lisan oleh guru-guru sejarah saya, atau yang saya baca dari buku-buku sejarah. Apa yang diceritakan oleh Pram dalam novel ini adalah sebuah kudeta kenegaraan yang dirancang dengan sangat teliti oleh Arok di sebuah sisi, dan Dedes di sisi lainnya, yang tak pernah bertemu pada awalnya, namun karena adanya persamaan tujuan, akhirnya mereka dipertemukan oleh situasi yang mengharuskan mereka harus berkolaborasi, mengkudeta Tunggul Amentung.
Kudeta yang diceritakan oleh Pram, dalam novel ini menurut saya sangat mirip apa yang pernah terjadi di negara kita, Orde baru mengkudeta Orde Lama, ini persepsi, tidak harus dijadikan sebuah bahan perdebatan tentunya, namun jika anda sudah membaca buku ini, anda akan mengerti apa yang menjadi opini saya tentang apa yang coba Pram teriakkan lewat novelnya ini.
Arok Dedes, novel dari Pram, tidak akan membuat anda rugi membeli dan membacanya, apalagi anda penyuka novel dengan alur cerita menantang dan selalu berusaha menerka endingnya, anda akan dibuat kaget, ketika Pram dengan mudah memainkan emosi dan penalaran anda, so, take it, and enjoy!