Powered By Blogger

Senin, 09 Desember 2019

Sriwijaya, Kenyataan atau Sekedar Dongeng


Baru pada permulaan abad ke-20, pengetahuan tentang Sriwijaya lahir. Itu belum lama sampai akhirnya kadatuan itu dinyatakan fiktif oleh budayawan Betawi, Ridwan Saidi, lewat video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis” baru-baru ini.
Awalnya, Sriwijaya baru berupa negeri dengan sebutan Tionghoa yang belum diketahui nama aslinya. Negeri itu tadinya belum dipanggil Sriwijaya tapi Shili Foshi.
Kebetulan orang Tiongkok-lah yang pertama mencatatnya. Adalah I-Tsing yang menuliskan pengalamannya menetap di negeri itu selama sepuluh tahun. Dia seorang biksu yang sempat mengunjungi Shili Foshi dua kali pada sekira abad ke-7 dalam pengembaraannya belajar agama di Nalanda, India.
Dalam catatan I-Tsing, nama Shili Foshi, kerap pula disingkat Foshi. Nama itu digunakan untuk menyebut negara, ibukota, dan sungai yang muaranya digunakan sebagai pelabuhan.
Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, itulah sebutan bagi Sriwijaya dalam catatan resmi kerajaannya.
Sarjana Jepang, Takakusu, yang menerjemahkan karya I-Tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch’uan ke dalam bahasa Inggris (A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) pada 1896 pun belum mengenal Sriwijaya. Nama itu dikira transkrip Tionghoa dari nama asli Sribhoja.
Bahkan sampai pada 1913, Sriwijaya juga belum dikenali sebagai negeri. Namanya malah sempat hanya dianggap sebagai nama seorang raja. Itu dugaan Hendrik Kern, orientalis dan ahli bahasa Sanskerta dari Belanda. Dia menyimpulkannya setelah menerjemahkan Prasasti Kota Kapur, salah satu prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Bangka dari tahun 686. Prasasti itu menurutnya adalah maklumat Sri Paduka Vijaya yang mengutuk para penjahat dan yang berani merusak prasasti, serta mereka yang tak setia.
“Dia masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan,” tulis Slamet Muljana.
Bisa dibilang berkat George Cœdes masyarakat Indonesia bisa mengenal Sriwijaya sebagai sebuah negeri di Sumatra. Arkeolog asal Prancis itu didaulat sebagai penemu negeri Sriwijaya pada 1918 lewat karangannya “Le Royaume de Çrīvijaya.
Terjemahan oleh Kern di mana nama Sriwijaya muncul; ditambah karya I-Tsing di mana nama Shili Foshi dicatat; lalu data epigrafi termasuk beberapa prasasti bangsa Cola, India, seperti Prasasti Tanjore dari 1030 di mana nama Sriwijaya juga disebutkan; memungkinkan Cœdes untuk menetapkan Sriwijaya adalah nama negeri di Sumatra Selatan. Nama itulah yang kemudian ditranskripsikan ke dalam tulisan Tionghoa menjadi Shili Foshi.
“Prasasti Bangka itu tak berasal dari Sri Paduka Vijaya, melainkan seorang tokoh yang tak disebut namanya, kepala dari sebuah negara Melayu yang telah mengenal peradaban India dan bernama Srivijaya,” tulis Cœdes dalam artikelnya.
Prasasti-prasasti Sriwijaya kemudian menawarkan terminologi yang lebih spesifik untuk menyebut apa itu Sriwijaya. Dalam prasasti-prasasti awal Sriwijaya, khususnya prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu yang ditemukan di Palembang, Sriwijaya disebut sebagai kadatuan.
Prasasti Telaga Batu yang baru dipublikasikan J.G. de Casparis, peneliti dari Belanda pada 1956 bahkan mengungkapkan jabatan-jabatan dan pangkat yang mungkin sekali ada di dalam struktur pemerintahan dan kemasyarakatan Sriwijaya. Itu mulai dari putra raja (rajaputra), menteri (kumaramatya), bupati (bhupati), panglima (senapati), pembesar atau tokoh lokal terkemuka (nayaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (haji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja atau buruh (tuha an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyaksi nijavarna), ahli senjata (vasikarana), tentara (catabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kayastha), pengrajin (sthapaka), kapten kapal (puhavam), peniaga (vaniyaga), pelayan raja (marsi haji), dan budak raja (hulun haji).
Kendati disebutkan ada putra raja, pelayan raja, budak raja di prasasti itu, dengan semua data yang ada sejumlah ahli menyimpulkan Sriwijaya bukanlah berbentuk kerajaan. Sistemnya berupa kadatuan. Ini paling tidak berlaku pada akhir abad ke-7 hingga ke-8.
Hermann Kulke, ahli sejarah Asia Tenggara dan India berkebangsaan Jerman, mempublikasikan tulisannya, “Kadatuan Srivijaya, Imperium atau Kraton Sriwijaya?” pada 1993. Lewat tulisan yang kini diterbitkan ulang dalam Kedatuan Sriwijaya, dia berpendapat Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi wilayah lain yang mengakui kedaulatannya. Dia buktikan berdasarkan kajian epigrafi.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Di Sriwijaya terdapat sejumlah wanua-wanua atau permukiman-permukiman yang dikepalai oleh seorang datu. Semuanya berada dalam kendali kadatuan “pusat” yang dipimpin oleh datu pula.
“Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” kata Ninie.
Sejauh ini letak pusat Kadatuan Sriwijaya masih menjadi persoalan. Kemungkinan ibu kotanya sempat berpindah. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Jambi (Jambi). Sementara sejarawan lainnya, George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang.
Umumnya, Palembang memang lokasi yang banyak disepakati sebagai awal pusat pemerintahan Sriwijaya. Itu berdasarkan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang. Prasasti Kedukan Bukit misalnya, yang bertanggal 16 Juni 682 M menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo, bertanggal 23 Maret 684 M, menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra, dan Prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat yang disumpah.
“Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan pusat Sriwijaya,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival tahun lalu, di Hotel Manohara, Magelang.
Sampai kini sudah 101 tahun sejak Cœdes menemukan keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah negeri. Berbagai penelitian dan penggalian sudah dilakukan untuk mengungkap lebih dalam soal Sriwijaya. Namun, rupanya masih banyak hal yang masih perlu dipastikan, termasuk soal pusat pemerintahannya dan soal siapa saja penguasanya. Termasuk juga soal bukti eksistensinya sebagai kesatuan politik di Sumatra. Untuk yang ini, setidaknya Ridwan Saidi masih memerlukannya.

Pernikahan dan Persekutuan

Pernikahan bisa jadi jalan membentuk persekutuanTujuannya untuk mengukuhkan kedudukan, baik sebagai raja maupun penguasa daerah. Perkawinan politis antar keluarga penguasa tercatat dalam banyak prasasti Jawa Kuno, seperti beberapa prasasti masa Mataram Kuno.
Prasasti Mungu Antan (887) menyebut Sang Hadyan Palutungan, selir Sang Dewata ing Pastika atau Rakai Pikatan, raja Mataram Kuno. Ia adalah adik dari Sang Pamgat Munggu.
Prasasti Taji (901) menyebut Sri Bharu Dyah Dheta, anak Rakryan I Wungkaltihang Pu Sanggramadhurandhara, menjadi istri Sang Pamgat Dmung Pu Cintya Pu Sanggramadhurandhara yang mempunyai kedudukan rakarayan i wungkaltihang
“Itu bersinonim dengan rakarayan I halu adalah anak raja yang mempunyai urutan kedua atas takhta setelah putra mahkota atau rakarayan mapatih I hino,” tulis Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penlitian Arkeologi Nasional, dalam Perempuan Jawa.
Lewat Prasasti Cungran II dan Prasasti Geweg diketahui bahwa Mpu Sindok, penguasa Mataram Kuno di Jawa Timur menikahi putri dari Rakryan Bawang. Ia dijadikannya permaisuri bergelar Sri Parameswari Dyah Warddhani Pu Kbi.
“Perkawinan politis antara raja atau kerabat dekatnya dengan putri atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya bertujuan untuk memperkokoh kedudukannya,” kata Titi.
Bahkan untuk tujuan yang sama, kalau memungkinkan perkawinan antar sepupu pun dilakukan. Lumrah terjadi di Jawa. Padahal dalam aturan hukum India tak diperkenankan. Kitab Manawadharmasastra melarang seorang lelaki menikah dengan perempuan yang masih sapinda atau ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si laki-laki.
Namun, dalam prasasti maupun naskah Jawa Kuno, sering disebut pernikahan antarsaudara sepupu. Terutama mereka yang berasal dari kalangan kerajaan. “Mungkin ini dilakukan untuk menjaga harta mereka supaya tak jatuh ke tangan orang lain,” jelas Titi.
Perkawinan semacam itu disebut dalam prasasti paling tidak sejak masa Dharmawangsa Tguh, penguasa Medang pada periode Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Pucangan (1037) mengisahkan perkawinan Airlangga dengan putri Tguh.
Dalam naskah Nagarakrtagama atau Desawarnana disebutkan, Kertarajasa atau Raden Wijaya menikahi empat putri Krtanegara. Mereka adalah sepupu, kendati sepupu derajat ketiga.
“Ayah Kertarajasa, Dyah Lembu Tal, masih saudara sepupu Kertanegara,” jelas Titi.
Perkawinan lainnya terjadi lagi pada masa Majapahit. Raja Hayam Wuruk menikah dengan anak suami bibinya. Wikramawarddhana menikah dengan Kusumawarddhani, putri kakak laki-laki ibunya. Sedangkan Dewi Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya. 
Wijayaparakramawarddhana manikah dengan Jayawarddhani, putri adik perempuan ayahnya. Sementara Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya.
Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan. Penguasa wilayah Kabalan itu adalah cucu perempuan adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya.
Penguasa-penguasa daerah Majapahit pun banyak yang diikat dengan perkawinan. Mereka biasanya kerabat dekat raja. Banyak juga yang masih saudara sepupu. 
Seperti tertulis dalam Prasasti Trowulan II dan Pararaton, Bhre Tumapel Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana mempunyai istri Bhre Singhapura Dyah Sripura Rajasawarddhanadewi.
Pararaton mencatat, mereka masih saudara sepupu. Ayah Dyah Suprabhawa yang bernama Girisawarddhana adalah kakak laki-laki ibunya Rajasawarddhanadewi.
“Perkawinan antarsaudara sepupu juga adalah perkawinan politis yang sudah dilakukan sejak masa Mataram Kuno,” jelas Titi. “Dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke kekeluarga lain.
Kebiasaan itu berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya, pada abad ke-18, Sunan Surakarta menjadikan sejumlah perempuan dari Pulau Madura sebagai permaisuri. Pernikahan ini dilaksanakan untuk memastikan hubungan baik dengan para penguasa lokal Madura. 

Menurut sejarawan Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Jawa relasi semacam itu disebut sebagai politik penyambung dengan daerah bawahan. Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa, adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk berprokreasi.
Kendati demikian, perkawinan politis tak menjamin hubungan yang langgeng. Seperti terjadi pada masa Singhasari. Kertanegara adalah penguasa yang memakai jalan pernikahan untuk membentuk sekutu politik. Ia mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi untuk dinikahi raja Champa. Champa merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan.

Pun dengan maksud agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singhasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja, putra penguasa Glang Glang yang menjadi bawahan Singhasari, diambil mantu. Sementara Wijaya, panglima perang Singhasari, dinikahkan dengan keempat putri Kertanegara.
Dalam Prasasti Kudadu, Ardaraja disebut putra Raja Jayakatwang. Kertanegara memerintahkannya bersama Wijaya untuk menjumpai musuh yang datang dari utara, yaitu tentara Jayakatwang. Ardaraja bimbang dan memutuskan menyeberang ke pihak musuh. Akibatnya Wijaya mengalami kekalahan.
Menjamin persekutuan politik dengan pernikahan pun rupanya tak sekuat yang diduga. Apa daya, gempuran Jayakatwang, yang telah berhubungan besan pun tak disangka-sangka malah yang mengakibatkan kejatuhan Singhasari.

Pengkhianatan Sang Besan


Kertanegara bimbang. Di hadapannya ada mantan patih, Ragananta dan patih penggantinya, Mahisa Anengah. Ragananta berusaha mengingatkan sang raja tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi dari dalam negeri sementara ia sibuk memikirkan politik luar negerinya.
Sang patih tua berpikir adanya kemungkinan balas dendam dari salah satu raja bawahan, Jayakatwang terhadap Singhasari. “Sudah agak lama Jayakatwang tak berseba di Singhasari,” ucap sang bekas patih dalam Kidung Harsawijaya.
Namun, Patih Mahisa Anengah punya pendapat berbeda. Semestinya, kata dia, Jayakatwang berutang budi pada Kertanegara. Tadinya dia cuma juru pengalasan di pura Singhasari. Tapi Kertanegara mengangkatnya menjadi raja Kadiri di bawah kuasa Singhasari.
“Atas semua itu, beliau tak akan memberontak pemerintahan Yang Mulia,” kata Patih Mahisa Anengah.
Apalagi mengingat hubungan mereka. Prasasti Mulamalurung mencatat Turukbali, istri Jayakatwang, adalah saudara Kertanegara. Saudara ipar Kertanegara ini juga rupanya masih sepupunya.
Ditambah lagi, menurut Prasasti Kudadu, Jayakatwang kemudian berbesan dengan Kertanegara. Ardharaja diambil mantu oleh Kertanegara. Melihat itu, rasanya tak mungkin Jayakatwang memberontak.
Kertanegara pun merasa kemungkinan itu tak masuk akal. Ia menjadi tenang kembali. Ia pun menolak pendapat bekas Patih Ragananta. Ia segera melanjutkan rencananya mengirim utusan ke negeri Malayu untuk mengantar hadiah Arca Amoghapasa. Kerajaan pun kosong.
Kekosongan itu dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja, penguasa di Madura. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menjelaskan, pada masa Kertangera, Wiraraja menjabat sebagai demung atau demang. Tapi kemudian ia dilorot dari kedudukannya dan ditempatkan sebagai Bupati Sumenep. Karenanya Wiraraja tak senang kepada Kertanegara.
“Ia merasa diserikkan hatinya. Ia dilorot dari demung dan dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati. Ketika datang kesempatan membalas dendam, segera ia gunakan,” jelas Muljana.
Wiraraja lalu bermaksud menggunakan Jayakatwang untuk melancarkan kesumatnya itu. Putranya ia utus untuk menyampaikan surat.
Baik Kidung Harsawijaya maupun Kidung Panji Wijayakrama, memaparkan isi surat Wiraraja kepada Jayakatwang yang senada. Isinya adalah isyarat tentang kondisi istana Kertanegara. Bahwa Kertanegara telah memecat menteri-menterinya dan menggantinya dengan yang baru. Rakyat dianggap tak puas dengan sikap Kertanegara.
“Jika Tuanku hendak berburu ke tegal lama sekaranglah saatnya…,” tulis Wiraraja dalam suratnya.
Jayakatwang juga terpantik perkataan patihnya kalau moyangnya, Dandang Gendhis atau Kertajaya, binasa karena pemberontakan buyut Kertanegara, Ken Angrok. Kadiri dan bala tentaranya pun musnah akibat dijajah Singhasari.
 “Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun Kerajaan Kadiri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya,” kata sang patih.  
Setelah membaca surat Wiraraja dan pendapat patihnya, Jayakatwang segera memerintahkan Patih Kebo Mundarang untuk membagi dua tentara Kadiri. Sebagian pasukan di bawah Sinapati Jaran Guyang ditugaskan menyerang Singhasari dari utara. Sisa pasukannya di bawah Patih Mundarang menyerang dari selatan.
“Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanegara, tetapi raja Kadiri, Jayakatwang, membuta dan mendurhaka,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. “Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat, berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kadiri.”
Dendam Lama Bersemi Kembali
Selama ini selalu dikatakan bahwa runtuhnya Kerajaan Singhasari akibat serangan raja Jayakatwang dari Kadiri. Pemantiknya adalah dendam Jayakatwang atas kematian buyutnya, Kertajaya yang ditumpas oleh buyut Kertanegara, Ken Angrok.
Menurut Nagarakrtagama, sejak Kertajaya ditumbangkan Sang Rajasa, sudah ada tiga raja yang menggantikannya. Atas perintah Rajasa, raja Jayabasa naik menjadi raja di Kadiri. Ia memerintah selama 36 tahun. Lalu digantikan Raja Sastrajaya yang memerintah 13 tahun. Setelahnya Jayakatwang memerintah di Kadiri.
Soal siapa sebenarnya Jayakatwang, dikisahkan berbeda-beda oleh banyak sumber. Nagarakrtagama mengisahkannya sebagai Raja Kadiri, Pararaton mencatatnya sebagai Raja di Daha. Begitu juga Kidung Panji Wijayakrama yang menceritakannya dengan nama Jayakatong sebagai raja di Daha. Sementara Kidung Harsawihaya menyebutnya dengan jelas sebagai raja di Daha, keturunan Dandang Gendhis.
Ada juga dalam Prasasti Kudadu yang diterbitkan masa pemerintahan Wijaya sebagai peringatan penetapan sima sekaligus balas jasanya kepada Desa Kudadu. Prasasti ini mengisahkan Sri Jayakatyeng dari Gelang Gelang yang menyerang Sri Kertanegara.
“Ia bertindak sebagai musuh, melakukan perbuatan hina, mengkhianati sahabat, mengingkari perjanjian, ingin membinasakan Kertanegara di negara Tumapel,” catat prasasti itu.
Mirip dengan pernyataan prasasti, berita Catatan Dinasti Yuan menyebut Jayakatwang sebagai raja dari Kalang. Namanya disebut dengan Haji Katang. Namun setelah ia berhasil membunuh raja Jawa, Haji Gedanajiala (Kertanegara), ia bertakhta di Daha. Di Daha pulalah terjadi pertempuran akhir antara pasukan Mongol di bawah Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing yang dibantu pasukan Wijaya melawan pasukan Jayakatwang.
Melihat itu, kata ahli epigrafi Boechari, dalam Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti, wajar kalau beberapa sumber, termasuk Kidung Harsawijaya, mencatat alasan pemberontakan Jayakatwang kepada besannya karena dendam. Namun rupanya ada alasan lain yang membuat hubungan keluarga tak lagi berarti.
Petunjuknya ada dalam Prasasti Mulamalurung (1255). Prasasti itu antara lain mencatat anak-anak Raja Wisnuwardhana, ayah Kertanegara, yang ditetapkan sebagai penguasa wilayah. Salah satunya disebutkan wilayah Gelang Gelang yang dikuasai Turukbali, putri Wisnuwardhana, istri Jayakatyang yang juga kemenakan Wisnuwardhana.
Sementara Nararya Murdhaja, putra Wisnuwardhana yang bergelar Kertanegara dinobatkan di Daha. Ia menguasai wilayah Kadiri.
“Jadi, Jayakatwang adalah pangeran dari Gelang Gelang, menyerang dari Gelang Gelang dan setelah berhasil menggulingkan Kertanegara ia menguasai Daha,” jelas Boechari.
Sekali lagi, Jayakatwang adalah cucu buyut Kertajaya, raja Kadiri yang dikalahkan Ken Angrok. Ia bisa saja merasa tak senang wilayah kekuasaan moyangnya, yaitu Kadiri, justru diambil raja untuk diberikan kepada putra mahkota. Sementara ia hanya diambil mantu dan mendampingi istrinya sebagai penguasa Gelang Gelang.
“Mungkin ini adalah sebab yang lain mengapa ia memberontak terhadap Kertanegara,” kata Boechari.
Artinya, kendati sudah diikat hubungan perkawinan sedemikian rupa, Jayakatwang masih menyimpan sakit hati terhadap Kertanegara sejak lama. Namun, sejak menerima surat Wiraraja hingga akhirnya menyerang, ia membutuhkan waktu 38 tahun.
Menurut Boechari mungkin Jayakatwang tengah menanti saat yang tepat. Pun ia mungkin juga dilema karena terikat perjanjian damai dengan penguasa Singhasari. “Ia ipar sekaligus besan Kertenegara,” kata Boechari.
Karenanya tak berlebihan jika Prasasti Kudadu mengatakan kalau Jayakatwang telah mengkhianati sahabat dan mengingkari janji waktu ia menyerang Kertanegara. Pada akhirnya menyatukan keluarga lewat perkawinan politik juga tak cukup memperoleh koalisi permanen.

*sumber majalah online Historia

Borobudur dan Misterinya Versi KH. Fahmi Basya


Borobudur tak pernah kehabisan 'misterinya". Setiap saat bermunculan teori baru tentang pembangunan bangunan megah ini. Salah satu versinya adalah pendapat dari KH, Fahmi Basya, seorang ahli matematika yang bertahun-tahun meneliti tentang Borobudur. KH. Fahmi Basya berpendapat bahwa Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman.

Sebelum membahas hasil penelitian KH Fahmi Basya tentang Borobudur, mai kita menengok sebentar sejarah yang diakui tentang Nabi Sulaiman dan Borobudur. Sami bin Abdullah al-Maghluts, dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Nabi Sulaiman diperkirakan hidup pada abad ke-9 Sebelum Masehi (989-931 SM), atau sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sementara itu, Candi Borobudur sebagaimana tertulis dalam berbagai buku sejarah nasional, didirikan oleh Dinasti Syailendra pada akhir abad ke-8 Masehi atau sekitar 1.200 tahun yang lalu. Karena itu, wajarlah bila banyak orang yang mungkin tertawa kecut, geli, dan geleng-geleng kepala bila disebutkan bahwa Candi Borobudur didirikan oleh Nabi Sulaiman AS. 

Candi Borobudur merupakan candi Budha. Berdekatan dengan Candi Borobudur adalah Candi Pawon dan Candi Mendut. Beberapa kilometer dari Candi Borobudur, terdapat Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan, dan lainnya. Candi-candi di dekat Prambanan ini merupakan candi Buddha yang didirikan sekitar tahun 772 dan 778 Masehi. Lalu, apa hubungannya dengan Sulaiman? Benarkah Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang hebat dan agung itu? Apa bukti-buktinya? Benarkah ada jejak-jejak Islam di candi Buddha terbesar itu? Tentu perlu penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak untuk membuktikan validitas dan kebenarannya. 

Namun, bila pertanyaan di atas diajukan kepada KH Fahmi Basya, ahli matematika Islam itu akan menjawabnya; benar. Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang ada di tanah Jawa. Dalam bukunya, Matematika Islam 3 (Republika, 2009), KH Fahmi Basya menyebutkan beberapa ciri-ciri Candi Borobudur yang menjadi bukti sebagai peninggalan putra Nabi Daud tersebut. Di antaranya, hutan atau negeri Saba, makna Saba, nama Sulaiman, buah maja yang pahit, dipindahkannya istana Ratu Saba ke wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman, bangunan yang tidak terselesaikan oleh para jin, tempat berkumpulnya Ratu Saba, dan lainnya. Dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba disebutkan dalam surah An-Naml [27]: 15-44, Saba [34]: 12-16, al-Anbiya [21]: 78-81, dan lainnya. Tentu saja, banyak yang tidak percaya bila Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. 

Di antara alasannya, karena Sulaiman hidup pada abad ke-10 SM, sedangkan Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi. Kemudian, menurut banyak pihak, peristiwa dan kisah Sulaiman itu terjadi di wilayah Palestina, dan Saba di Yaman Selatan, sedangkan Borobudur di Indonesia. Tentu saja hal ini menimbulkan penasaran. Apalagi, KH Fahmi Basya menunjukkan buktibuktinya berdasarkan keterangan Alquran. Lalu, apa bukti sahih andai Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman atau bangunan yang pembuatannya merupakan perintah Sulaiman? 

Menurut Fahmi Basya, dan seperti yang penulis lihat melalui relief-relief yang ada, memang terdapat beberapa simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan. Pada relief yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang. "Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman'." (QS Al-Baqarah [2]: 248). 

Kedua, pekerjaan jin yang tidak selesai ketika mengetahui Sulaiman telah wafat. (QS Saba [34]: 14). Saat mengetahui Sulaiman wafat, para jin pun menghentikan pekerjaannya. Di Borobudur, terdapat patung yang belum tuntas diselesaikan. Patung itu disebut dengan Unfinished Solomon. 

Ketiga, para jin diperintahkan membangun gedung yang tinggi dan membuat patung-patung. (QS Saba [34]: 13). Seperti diketahui, banyak patung Buddha yang ada di Borobudur. Sedangkan gedung atau bangunan yang tinggi itu adalah Candi Prambanan. 

Keempat, Sulaiman berbicara dengan burung-burung dan hewan-hewan. (QS An-Naml [27]: 20-22). Reliefnya juga ada. Bahkan, sejumlah frame relief Borobudur bermotifkan bunga dan burung. Terdapat pula sejumlah relief hewan lain, seperti gajah, kuda, babi, anjing, monyet, dan lainnya. 

Kelima, buah 'maja' yang pahit. Ketika banjir besar (Sail al-Arim) menimpa wilayah Saba, pepohonan yang ada di sekitarnya menjadi pahit sebagai azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. "Tetapi, mereka berpaling maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr." (QS Saba [34]: 16). 

Keenamn, nama Sulaiman menunjukkan sebagai nama orang Jawa. Awalan kata 'su'merupakan nama-nama Jawa. Dan, Sulaiman adalah satu-satunya nabi dan rasul yang 25 orang, yang namanya berawalan 'Su'. 

Ketujuh, Sulaiman berkirim surat kepada Ratu Saba melalui burung Hud-hud. "Pergilah kamu dengan membawa suratku ini." (QS An-Naml [27]: 28). Menurut Fahmi, surat itu ditulis di atas pelat emas sebagai bentuk kekayaan Nabi Sulaiman. Ditambahkannya, surat itu ditemukan di sebuah kolam di Candi Ratu Boko. 

Selain bukti-bukti di atas, kata Fahmi, masih banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan bahwa kisah Ratu Saba dan Sulaiman terjadi di Indonesia. Seperti terjadinya angin Muson yang bertiup dari Asia dan Australia (QS Saba [34]: 12), kisah istana yang hilang atau dipindahkan, dialog Ratu Bilqis dengan para pembesarnya ketika menerima surat Sulaiman (QS An-Naml [27]: 32), nama Kabupaten Sleman, Kecamatan Salaman, Desa Salam, dan lainnya. Dengan bukti-bukti di atas, Fahmi Basya meyakini bahwa Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. Bagaimana dengan pembaca? Hanya Allah yang mengetahuinya. Wallahu A'lam.

Kamis, 07 November 2019

Ketegangan Antara Soekarno dan Aidit Karena HMI

Menjadi salah satu kader dan sekaligus alumni HMI, bagi saya adalah hal luar biasa membanggakan. Melihat sejarahnya yang panjang, HMI salah satu organisasi kemahasiswaan yang tetap exist sampai dengan saat ini, walaupun perannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara tidak sehebat dulu. Saking hebatnya, pernah suatu ketika terjadi ketegangan antara Presiden Soekarno dan DN Aidit dikarenakan HMI.

Awal tahun 1965. wajah Menteri Agama Saifuddin Zuhri tetiba mengeruh. Pernyataan Presiden Sukarno yang memberitahukan bahwa pemerintah berencana akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sama sekali tak bisa diterimanya. Ketika ditanya alasannya, Bung Karno menyebut HMI merupakan organisasi anti revolusi.
“Kadar anti revolusi-nya sampai di mana,Pak?” tanya Zuhri, seperti dikisahkannya dalam buku Berangkat dari Pesantren.
“Yaahh, mereka suka bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain,” jawab Sukarno.
Zuhri lantas menolak tuduhan itu. Dia secara halus menyebut presiden hanya akan jatuh kepada tindakan berlebihan jika membubarkan HMI. Sukarno menukasnya dan terjadilah “perdebatan” sengit.
“Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan  gewetan (perasaan hati) Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak cukuplah hanya sampai di sini,”ujar Zuhri. Sukarno terdiam.
“Oohhhhh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara untuk membantu saya…” katanya kemudian.
Setelah perdebatan itu mereda dan kedua pihak sempat terdiam, tetiba Bung Karno berkata memecahkan kesunyian: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.”
Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya.
“Dapat dipahami jika situasi kemudian menjadi panas. Generasi Muda Islam (Gemuis) pada 13 September 1965 lantas mengadakan demonstrasi (tandingan) di Jalan Merdeka Barat dalam rangka solidaritas terhadap HMI,” tulis Sulastomo dalam Hari-Hari yang Panjang 1963-1966.
Di kampus UI Salemba, terjadi kekisruhan. Seorang pemimpin mahasiswa yang dikenal pro PKI diturunkan secara paksa oleh para aktivis HMI pimpinan Fahmi Idris. Gegara-nya: sang pimpinan mahasiswa itu menyerukan aksi pengganyangan HMI di UI.
Puncak kekisruhan terjadi pada 29 September 1965. Malam hari, CGMI mengadakan rapat umum “menuntut pembubaran HMI” yang dihadiri puluhan ribu anggota PKI di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Seperti diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno, kegiatan itu juga menghadirkan para tokoh, di antaranya: Presiden Sukarno, Menteri Perguruan Tinggi&Ilmu Pendidikan Johannes Leimena, Menteri Penerangan Achmadi dan Ketua CC PKI D.N. Aidit.
Sikap pemerintah sendiri awalnya akan disampaikan oleh Menteri Penerangan Achmadi. Namun begitu berdiri di depan mikrofon, teriakan-teriakan “bubarkan HMI” dari puluhan ribu peserta rapat umum seolah tak mau berhenti. Karena tak berhasil menenangkan massa, Achmadi merasa kesal lalu turun dari podium.
Gagal menyampaikan sikap, pidato lantas dilanjutkan oleh Leimena. Dengan berteriak sekeras-kerasnya, sang menteri berkata:
“Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI! HMI adalah organisasi yang nasionalistik, patriotik dan loyal kepada pemerintah. Pemerintah banyak mendapatkan sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan Nekolim.”
Usai Leimena, tibalah giliran Presiden Sukarno. Seperti biasanya dengan suara mengguntur, Si Bung berkata di hadapan lautan manusia yang ada di depannya:
“Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya,setuju?!”
Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya.
“Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!”
Seterusnya pidato Aidit tidak terbendung. Bukan hanya memprovokasi pembubaran HMI, dia pun memperingatkan kepada para anggotanya tentang bahaya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri hingga sampat empat dan lima. Jelas-jelas dia sudah menantang Presiden Sukarno dalam “perang pidato” itu.Sukarno sendiri berusaha untuk tampil elegan dan tak terpancing oleh pidato Aidit. Sebelum meninggalkan Senayan, dengan lantang dia menegaskan bahwa tidak ada pembubaran terhadap HMI. Soal, organisasi kontra revolusioner, dia mengatakan sudah pasti soal itu akan ditangani oleh pemerintah.
“CGMI pun, apabila ternyata kontra revolusioner, juga akan dibubarkan!” kata Bung Karno.
Ketegangan pun terus berlangsung. Gegara soal HMI, hubungan Sukarno-Aidit memburuk. Hingga terjadi Gerakan 30 September dua hari kemudian.
sumber : majalah Historia

Rabu, 14 Agustus 2019

Kalagemet Yang Tak Disukai Rakyatnya

Semenjak Jayanagara naik takhta, Majapahit sulit mendapat ketenangan. Pemberontakan silih berganti menggugat pemerintahan yang ketika itu tengah berlangsung. Satu-satunya yang bisa membuat raja bertahan di singgasana mungkin hanyalah sikap pemberani dan keahlian dalam strategi perang. Hal ini dikatakan sejarawan mantan Duta Besar Kanada di Indonesia, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni.

Jayanagara menikmati berada di tengah prajuritnya dan di medan tempur. Beberapa kali dia terjun langsung menumpas pemberontakan.

“Menurut beberapa sumber, terjadi sebanyak dua belas kali pemberontakan, meski jumlah sesungguhnya sulit dipastikan,” jelas Drake.

Di awal pemerintahannya, dia sudah harus melawan Nambi, rakryan mapatih kepercayaan raja terdahulu, Wijaya. Dua tahun kemudian, pada 1318 M, muncul lagi pemberontakan Semi.
“Masa-masa kacau penuh pemberontakan dan pertumpahan darah ini disusul oleh letusan besar Gunung Kelud yang memakan banyak korban jiwa. Di mata banyak orang, para dewa sedang murka,” ujar Drake.

Mulai saat itu sejumlah bangsawan diam-diam bertanya mengapa mereka harus terus setia pada raja yang tak punya tujuan lain kecuali menumpuk kekuasaan pribadi. Berbeda dari Wijaya, raja baru ini tampaknya sama sekali tak peduli dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Jayanagara menanggapi kemelut yang terjadi dengan membentuk Pengawal Elit Istana. Pasukan Bhayangkara ini bertugas melindunginya setiap saat.

“Prioritas raja berbeda-beda selama masa hidup mereka, Raja Kertanegara mengirimkan nyaris seluruh pasukannya untuk membantu sekutu jauhnya, sekalipun pasukan paling tangguh se-Asia Tengah tengah mengancam,” jelas Drake.

Kebijakan baru Jayanagara membentuk pengawal elit pun disusul konsekuensi. Nama Gajah Mada muncul ke tengah-tengah perpolitikan Majapahit. Dia mulai menonjol setelah menyelamatkan raja dalam pemberontakan Kuti, yang meletus setahun usai urusan dengan Semi rampung. Gajah Mada juga yang bakal menentukan nasib tragis sang prabu di kemudian hari.

Drake adalah salah satu sejarawan yang percaya kalau Gajah Mada, dengan desakan halus Gayatri, andil dalam kematian Jayanagara. Menurutnya Gayatri, istri Wijaya, ibu Tribhuwana Tunggadewi sekaligus nenek Hayam Wuruk, sudah sejak awal menilai Jayanagara akan menjadi raja yang cacat moral. Anak tirinya itu dianggap tak akan melanjutkan cita-cita Majapahit sebagaimana telah dimulai oleh ayahnya, Kertanegara dan suaminya.

“Jelas raja yang sekarang menjabat memang gandrung akan pertumpahan darah dan mengabaikan masalah-masalah ekonomi,” pikir Drake mengenai putra tiri Gayatri itu. Puncaknya adalah ketika Gayatri mengetahui niat Jayanagara terhadap kedua putrinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Bhre Daha. Sang raja melarang kedua saudari tirinya itu kawin karena akan diperistri sendiri.

Akibatnya, catat Pararaton, tak ada ksatria yang diizinkan datang ke Majapahit. Jika nampak, mereka dibunuh. Sang prabu khawatir mereka menginginkan adik-adiknya. Para ksatria pun menyembunyikan diri.

“Rencana busuk ini dirancang agar anak-anak Gayatri tak bisa menikmati perkawinan normal karena raja takut mereka akan menghasilkan pewaris takhta yang waras,” catat Drake.
Emosi Gayatri meluap. Dia mengadu pada Gajah Mada.

Gajah Mada pun bersiasat. Dia mendekati Tanca, sahabat Kuti yang dihabisi Jayanagara. Tanca termasuk orang dalam yang dekat dengan raja. Kendati begitu Gajah Mada berharap Tanca menyimpan dendam pada sang prabu.

Kesempatan datang ketika Jayanagara sakit bengkak. Tanca diantar ke kamar raja untuk menyembuhkannya. Tanca baru berhasil membedah setelah raja melepaskan jimatnya.
“Tak lama Tanca merasa terbakar napsunya oleh berita dari Gajah Mada bahwa istri Tanca digoda raja. Lalu Tanca menikam sang prabu. Raja mati di kamar tidurnya. Tanca pun tewas ditikam balik Gajah Mada,” catat Pararaton.

Menurut Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama, Gajah Mada tak suka pada sikap Jayanagara. Dia menggunakan Tanca untuk memusnahkan sang prabu. Untuk menyamarkan perbuatannya, dia segera membunuh Tanca.

“Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk Tanca sampai mati,” catat Slamet Muljana.

Jayanagara mungkin bukan raja favorit rakyat Majapahit. Slamet Muljana menyebut sejumlah pemberontakan pada masa pemerintahannya karena tidak puas dengan penobatan Jayanagara menggantikan ayahnya, Wijaya, pada 1309.

Pemberontakan Semi dan Kuti pada 1240 Saka (1318 M) dan 1241 Saka (1319 M) dinilai salah satu wujud dari antipati itu. Padahal, Semi dan Kuti merupakan bagian dari tujuh orang dharmaputra yang dibentuk ketika Kertarajasa Jayawardhana atau Wijaya berkuasa. Pararaton memberitakan, maksud dharmaputra ialah pangalasan wineh suka atau pegawai yang diistimewakan. Selain mereka berdua, ada Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak.

Julukan Kala Gemet yang diberikan rakyat padanya pun menyiratkan hal sama. Setidaknya pengarang Kidung Ranggalawe dan Pararaton memberitakan hal yang serupa soal julukan ini.
Dalam Menuju Puncak Kemegahan, Slamet Muljana menjelaskan kata kala berarti penjahat yang mengandung arti ketidaksukaan rakyat atau para pengarang terhadap Jayanagara. “Antipati itu mungkin disebabkan kelakuan tak senonohnya terhadap dua putri keturunan Gayatri,” tulisnya.

Sementara kata Gemet adalah bentuk yang berubah dari kata genet dan gamut yang artinya lemah. Pararaton menyebut Jayanagara banyak menderita sakit. “Demikianlah Kala Gemet adalah nama paraben yang mengandung arti ‘penjahat yang lemah’,” lanjut Slamet.

Peristiwa Tanca mengakibatkan tewasnya Raja Jayanagara. Baik Pararaton maupun Nagarakrtagama mencatat kematian Jayanagara pada 1250 saka (1328 M).

disadur dari majalah historia