Powered By Blogger

Kamis, 27 Juni 2019

Salahkah Jika Dipribumikan

Bagi saya, Islam adalah pondasi. Apa yang kita bangun diatas pondasi itu adalah kebudayaan manusia. Tak harus sama, karena manusia memiliki kearifan sendiri pada setiap kaumnya. Jika sang Nabi Muhammad terlahir di kaum Arab maka tentunya kebudayaan yang melekat adalah kebudayaan Arab. Kemudian apakah kita sebagai umat muslim diharuskan berbudaya Arab ?, sedangkan Islam adalah universal, atau Islam hanya untuk kaum Arab ?. Tulisan salah satu guru bangsa yang saya sadur ini menurut saya adalah jawaban dari permasalahan yang memang tak akan berhenti untuk selalu diperdebatkan. 

Gus Dur : "Salahkah Jika Dipribumikan"
Majalah Tempo 16 Juli 1983

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.

Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.

Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.

Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.

Kalau di bidang politik -termasuk doktrin kenegaraan- dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi di bidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam.

Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.

Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan hadis, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.

Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum Muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang Nasionalisme Arab – yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.

Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif—yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.

Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?

Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam’ terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.

Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?

Senin, 10 Juni 2019

Manusia Madura

Buku ini saya beli dan saya baca beberapa tahun silam, mungkin sepuluh tahun silam. Baru saat ini saya terpikir untuk me-resensinya. Maklumlah, bergumul dengan kemalasan rasanya berat, biar aku saja yang nanggung . . . . . . . ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Oke kita lanjut ke pembahasan buku ini. Orang Madura atau etnis Madura memiliki stereotype yang unik di masyarakat. Tanyakan kepada sepuluh orang dari etnis lainnya (selain etnis Madura) tentang oraang Madura, pasti pendapatnya tidak jauh berbeda. Berwatak tegas cenderung kasar, teguh pendirian, "brangasan", dan bersuara nyaring jika berbicara. Stereotype semacam ini sudah berlaku sejak jaman Hindia Belanda yang terus bertahan sampai dengan saat ini. Kalau boleh saya simpulkan, persepsi terhadap etnis Madura kebanyakan "negatif", kalaupun ada sisi positifnya hanyalah pada cara etnis Madura memegang teguh ajaran Islam.

Buku ini adalah satu-satunya buku yang menjelaskan secara gamblang tentang Madura. Tidak hanya tentang manusia-nya, namun tentang kebudayaannya, adat istiadatnya dan tidak lupa tentang sejarahnya. Dengan bahasa yang sederhana, buku ini sangat enak untuk dibaca pada saat kita santai. Tidak "berat" namun tetap memberikan kita informasi tentang Manusia Madura.


Buku ini saya kira tidak mencoba untuk meluruskan stereotype manusia Madura yang beredar saat ini, namun buku ini memberikan wawasan baru bagi yang sama sekali atau sedikit mengetahui tentang Madura. Saya yang lahir dan besar di Madura, setuju dengan apa yang digambarkan dalam buku ini. Hanya satu menurut saya kekuarangannya, minimnya gambar pada buku ini kurang dapat memberikan pemahaman visual bagi pembaca, namun dengan harga yang relatif murah denganm kualitas cover dan kertas yang bagus, buku ini wajib dimiliki anda semua "pecinta buku".


Penulis : Mien Ahmad Rifai
Tebal : 504 halaman
Terbit : 01 maret 2007
Penerbit : Pilar Media, Yogyakarta
Resensiator :Teguh ali wahyudi

Telasan Topak


Interpretasi terhadap ajaran Islam di Nusantara memiliki keunikan tersendiri. Setiap daerah di Indonesia meng-akulturasi ajaran Islam dengan kearifan lokal sehingga terbentuk kebudayaan baru atau kebudayaan turunan. Di Madura misalkan, ada tradisi unik yang tidak dijumpai di daerah lainnya yaitu tradisi "telasan topak". Masyarakat Madura menikmati hidangan ketupat (dengan lauk pauk "mewah" seperti opor ayam, daging sapi dan yang lainnya) sejatinya hanya pada telasan topak yang dilakukan pada hari ke tujuh setelah hari raya Idul Fitri. Maknanya adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan selama ini.

Dalam sejarahnya tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun di masyarakat Madura. Saya tidak mengetahui pasti kapan pertama kali tradisi ini dilakukan dan kenapa dilakukan di hari ke tujuh setelah hari raya Idul Fitri. Tidak ada literatur resmi yang menjelaskan tentang hal ini, sayang sekali karena tradisi ini merupakan warisan budaya, Namun dari beberapa pitutur para sepuh dapat saya simpulkan bahwa orang Madura (biasanya) akan berpuasa kembali sebanyak lima hari dimulai sehari setelah hari raya Idul Fitri, dan kemudian di tanggal 7 Syawal adalah puncak rasa syukur yang di ejawantahkan dengan  makan besar bersama keluarga besar. Dirayakan dengan besar-besaran melebihi perayaan hari raya Idul Fitri, 


Pendapat para sepuh lainnya adalah bahwa pada bulan Syawal adalah bulan yang baik untuk melaksanakan "hajat" manusia. Seperti selamatan, perkawinan atau hajatan lainnya. Untuk itulah masyakarat Madura akan memaknainya dengan "makan besar" sebagai rasa syukur terhadap karunia yang diberikan Tuhan.

Dapat pula dijumpai di beberapa daerah di Madura, ketupat-ketupat itu akan digantung terlebih dahulu di tempat-tempat yang di anggap sakral seperti tiang rumah (soko guru), pintu rumah dan tempat lainnya yang sekali lagi dianggap sebagai salah satu unsur untuk mendatangkan rejeki. 

Para ibu dan anak-anak perempuannya akan sibuk di dapur. Ibu saya akan mulai sibuk 2 atau 3 hari sebelum telasan topak. Para kaum hawa ini akan mengeluarkan kemampuan yang terbaik untuk meramu semua bumbu masak, agar hidangannya menjadi spesial di telasan topak. Mereka melakukannya dengan senang hati, karena mereka sadar bahwa memasak dan menyediakan makanan adalah tugas utama mereka kepada kehidupan. Hal inilah yang membuat Lebaran Idul Fitri akan kalah meriah dibandingkan "telasan topak" di Madura. Saya teringat salah satu Kyai ahli Sejarah dari Surabaya, Kyai Agus Sunyoto. Beliau berkata bahwa Nusantara ini kaya raya, berlimpah hasil buminya, jadi jangan heran ketika setiap acara (hajat) manusia Nusantara selalu identik dengan makan bersama.

Menikmati hidangan lezat yang spesial, yang hanya bisa dinikmati setahun sekali adalah hal luar biasa bagi saya. Apalagi saat ini ketika saya merantau dan sudah tidak pernah merasakan 'telasan topak", ada rindu yang sangat dendam di hati ini. Bukan hanya rasa di lidah, namun rasa di hati yang sungguh sangat kehilangan moment seperti itu. Saya masih berharap dapat menikmati topak ben opor ajem di telasan topak, mudah-mudahan di sisa umur ini, sebelum selamanya mati, saya dapat menikmati telasan topak walau untuk terakhir kalinya.