Powered By Blogger

Rabu, 14 Agustus 2019

Kalagemet Yang Tak Disukai Rakyatnya

Semenjak Jayanagara naik takhta, Majapahit sulit mendapat ketenangan. Pemberontakan silih berganti menggugat pemerintahan yang ketika itu tengah berlangsung. Satu-satunya yang bisa membuat raja bertahan di singgasana mungkin hanyalah sikap pemberani dan keahlian dalam strategi perang. Hal ini dikatakan sejarawan mantan Duta Besar Kanada di Indonesia, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni.

Jayanagara menikmati berada di tengah prajuritnya dan di medan tempur. Beberapa kali dia terjun langsung menumpas pemberontakan.

“Menurut beberapa sumber, terjadi sebanyak dua belas kali pemberontakan, meski jumlah sesungguhnya sulit dipastikan,” jelas Drake.

Di awal pemerintahannya, dia sudah harus melawan Nambi, rakryan mapatih kepercayaan raja terdahulu, Wijaya. Dua tahun kemudian, pada 1318 M, muncul lagi pemberontakan Semi.
“Masa-masa kacau penuh pemberontakan dan pertumpahan darah ini disusul oleh letusan besar Gunung Kelud yang memakan banyak korban jiwa. Di mata banyak orang, para dewa sedang murka,” ujar Drake.

Mulai saat itu sejumlah bangsawan diam-diam bertanya mengapa mereka harus terus setia pada raja yang tak punya tujuan lain kecuali menumpuk kekuasaan pribadi. Berbeda dari Wijaya, raja baru ini tampaknya sama sekali tak peduli dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Jayanagara menanggapi kemelut yang terjadi dengan membentuk Pengawal Elit Istana. Pasukan Bhayangkara ini bertugas melindunginya setiap saat.

“Prioritas raja berbeda-beda selama masa hidup mereka, Raja Kertanegara mengirimkan nyaris seluruh pasukannya untuk membantu sekutu jauhnya, sekalipun pasukan paling tangguh se-Asia Tengah tengah mengancam,” jelas Drake.

Kebijakan baru Jayanagara membentuk pengawal elit pun disusul konsekuensi. Nama Gajah Mada muncul ke tengah-tengah perpolitikan Majapahit. Dia mulai menonjol setelah menyelamatkan raja dalam pemberontakan Kuti, yang meletus setahun usai urusan dengan Semi rampung. Gajah Mada juga yang bakal menentukan nasib tragis sang prabu di kemudian hari.

Drake adalah salah satu sejarawan yang percaya kalau Gajah Mada, dengan desakan halus Gayatri, andil dalam kematian Jayanagara. Menurutnya Gayatri, istri Wijaya, ibu Tribhuwana Tunggadewi sekaligus nenek Hayam Wuruk, sudah sejak awal menilai Jayanagara akan menjadi raja yang cacat moral. Anak tirinya itu dianggap tak akan melanjutkan cita-cita Majapahit sebagaimana telah dimulai oleh ayahnya, Kertanegara dan suaminya.

“Jelas raja yang sekarang menjabat memang gandrung akan pertumpahan darah dan mengabaikan masalah-masalah ekonomi,” pikir Drake mengenai putra tiri Gayatri itu. Puncaknya adalah ketika Gayatri mengetahui niat Jayanagara terhadap kedua putrinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Bhre Daha. Sang raja melarang kedua saudari tirinya itu kawin karena akan diperistri sendiri.

Akibatnya, catat Pararaton, tak ada ksatria yang diizinkan datang ke Majapahit. Jika nampak, mereka dibunuh. Sang prabu khawatir mereka menginginkan adik-adiknya. Para ksatria pun menyembunyikan diri.

“Rencana busuk ini dirancang agar anak-anak Gayatri tak bisa menikmati perkawinan normal karena raja takut mereka akan menghasilkan pewaris takhta yang waras,” catat Drake.
Emosi Gayatri meluap. Dia mengadu pada Gajah Mada.

Gajah Mada pun bersiasat. Dia mendekati Tanca, sahabat Kuti yang dihabisi Jayanagara. Tanca termasuk orang dalam yang dekat dengan raja. Kendati begitu Gajah Mada berharap Tanca menyimpan dendam pada sang prabu.

Kesempatan datang ketika Jayanagara sakit bengkak. Tanca diantar ke kamar raja untuk menyembuhkannya. Tanca baru berhasil membedah setelah raja melepaskan jimatnya.
“Tak lama Tanca merasa terbakar napsunya oleh berita dari Gajah Mada bahwa istri Tanca digoda raja. Lalu Tanca menikam sang prabu. Raja mati di kamar tidurnya. Tanca pun tewas ditikam balik Gajah Mada,” catat Pararaton.

Menurut Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama, Gajah Mada tak suka pada sikap Jayanagara. Dia menggunakan Tanca untuk memusnahkan sang prabu. Untuk menyamarkan perbuatannya, dia segera membunuh Tanca.

“Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk Tanca sampai mati,” catat Slamet Muljana.

Jayanagara mungkin bukan raja favorit rakyat Majapahit. Slamet Muljana menyebut sejumlah pemberontakan pada masa pemerintahannya karena tidak puas dengan penobatan Jayanagara menggantikan ayahnya, Wijaya, pada 1309.

Pemberontakan Semi dan Kuti pada 1240 Saka (1318 M) dan 1241 Saka (1319 M) dinilai salah satu wujud dari antipati itu. Padahal, Semi dan Kuti merupakan bagian dari tujuh orang dharmaputra yang dibentuk ketika Kertarajasa Jayawardhana atau Wijaya berkuasa. Pararaton memberitakan, maksud dharmaputra ialah pangalasan wineh suka atau pegawai yang diistimewakan. Selain mereka berdua, ada Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak.

Julukan Kala Gemet yang diberikan rakyat padanya pun menyiratkan hal sama. Setidaknya pengarang Kidung Ranggalawe dan Pararaton memberitakan hal yang serupa soal julukan ini.
Dalam Menuju Puncak Kemegahan, Slamet Muljana menjelaskan kata kala berarti penjahat yang mengandung arti ketidaksukaan rakyat atau para pengarang terhadap Jayanagara. “Antipati itu mungkin disebabkan kelakuan tak senonohnya terhadap dua putri keturunan Gayatri,” tulisnya.

Sementara kata Gemet adalah bentuk yang berubah dari kata genet dan gamut yang artinya lemah. Pararaton menyebut Jayanagara banyak menderita sakit. “Demikianlah Kala Gemet adalah nama paraben yang mengandung arti ‘penjahat yang lemah’,” lanjut Slamet.

Peristiwa Tanca mengakibatkan tewasnya Raja Jayanagara. Baik Pararaton maupun Nagarakrtagama mencatat kematian Jayanagara pada 1250 saka (1328 M).

disadur dari majalah historia

Selasa, 13 Agustus 2019

Menggilai Baca Buku

Bapak saya adalah seorang pegawai negri sipil di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Saya tidak mengerti korelasi pekerjaan Bapak saya dengan kegemarannya membaca buku. Yang pasti ketertarikan saya terhadap buku dimulai ketika saya menemukan begitu banyak buku di rangan kerja bapak. Pernah suatu ketika saya diajak bapa ke suatu tempat yang bernama gudang buku. Ini bukan nama sebuah toko buku, tapi benar-benar sebuah gudang yang didalamnya banyak sekali tumpukan buku. Bukannya melebih-lebihkan, tapi mungkin buku di gudan itu ribuan. Ketika itu saya sangat takjub dan berpikir suatu saat saya ingin memiliki buku sebanyak itu. Sampai sekarang sayapun masih tidak mengerti kenapa memiliki dan berkeinginan seperti itu. Tapi faktanya sampai sekarang saya "hobi" mengoleksi buku.

Di era digital saat ini, dimana peran buku tergantikan dengan gadget. Saya masih merasakan read-gasme ketika membaca buku. Tak ada keasyikan fantasi ketika membaca e-book. Walaupun mudah didapat dan gratis, bagi saya buku tak dapat digantikan oleh apapun majunya jaman.

Sama seperti yang dilakukan oleh pada tokoh bangsa, Di awal abad 20, hampir seluruh pendiri bangsa punya cerita dengan buku. Abdul Rivai, dokter bumiputera pertama yang lulus dari Belanda, misalnya. Rivai dikirim belajar ke Belanda dan menuliskan pengalaman-pengalamannya dalam kumpulan artikel yang kemudian diterbitkan menjadi Student Indonesia. Di salah satu artikelnya yang ditulis pada 1901, Rivai mengatakan, “Karena aku membaca, maka aku bertanya siapakah kita?”.

Membaca telah membuat Rivai mempertanyakan siapa dirinya, siapa kaumnya. Itulah untuk kali pertama, persoalan nasionalisme dikumandangkan oleh seorang bernama Abdul Rivai. Pertanyaan itulah yang pada 1912 dijawab oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo dengan mendirikan Indische Partij, partai politik pertama yang mengusung nasionalisme Indonesia di tengah dominasi kolonialisme Belanda.  

Ada lagi Kartini, namanya sohor sebagai pejuang emansipasi wanita. Kartini di sebuah desa kecil di Jepara, hidup dalam limpahan literasi. Pada 1903, Kartini menulis, “Aku benamkan diriku dalam membaca dan membaca.” Pernyataan itu kelak terekam dalam kumpulan suratnya yang dibukukan pada 1911 berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang.  

Dari membaca, Kartini pun kian “melek” terhadap situasi sekitar. Apalagi pada zamannya, Kartini menyaksikan betapa minornya kedudukan perempuan dalam feodalisme masyarakat Jawa. Inilah yang mendorong Kartini menjadi kritis mempersoalkan konsep kesetaraan. Kelak, namanya tercatat dalam sejarah karena memperjuangkan ruang privat bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan.

Yang juga tidak kalah gandrung dengan buku tentu saja Sukarno. Di umurnya yang masih sangat belia (15 tahun), Sukarno memuaskan dahaga intelektualnya dengan memanfaatkan perpustakaan milik perkumpulan teosofi di Surabaya. Selain penerbitan, kelompok teosofi saat itu mempunyai koleksi bibliotik terbaik yang hanya bisa disaingi oleh organisasi seperti Muhammadiyah.

Karena itu, pada 1916 Sukarno pernah menulis, “Buku mengenalkanku pada dunia dengan pikiran-pikiran terhebat dan aku ingin dunia tahu, aku dan bangsaku juga besar.” Melalui buku Sukarno melampaui imajinasi kebanyakan orang-orang sebangsanya. Kendati hidup di dunia kolonial, Sukarno telah membayangkan akan kemerdekaan bangsanya dan menjadi bangsa yang digdaya.      

Pendiri Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang juga gurunya Sukarno ini adalah seorang pembaca buku yang militan. Begitu militannya, bahkan dia pun tidak sungkan melahap buku-buku beraliran kiri. “Aku menemukan api Islam di dalam buku,” kata Tjokro.  Hasil pemikiran Tjokro tentang nilai-nilai sosialis dalam Islam melahirkan buku berjudulIslam dan Sosialisme pada 1924.

Sementara itu, Tan Malaka adalah contoh seorang pembaca yang loyal sekaligus royal. Tan merupakan tipikal yang sedia mengalokasikan biaya kebutuhannya untuk belanja buku. Demi buku, Tan bahkan rela mengencangkan ikat pinggangnya kuat-kuat dengan mengurangi jatah makan. Ini terungkap dalam karya monumentalnya yang terbit pada 1943 berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika.

”Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan,” kata Tan Malaka. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Dalam Madilog, Tan menuturkan kegigihannya menyerap pengetahuan lintas ilmu bukan tanpa tujuan. Mulai dari buku bidang eksakta, ekonomi, politik, hingga sejarah dia pelajari. Semua buku-buku itu membantu Tan membebaskan diri dari sesat pikir atau semacam takhayul di tengah masyarakat kolonial yang dalam istilahnya disebut “logika mistika”. Belenggu pola pikir kolot inilah yang hendak diberantas Tan dari kaum sebangsanya pada zaman itu.  

“Bangsa ini didirikan oleh mereka yang membaca. Bangsa ini basisnya adalah buku. Kalau kita ingin punya masa depan sebagai bangsa, kita tidak boleh kehilangan tradisi membaca....” ujar Rizal.

Dari semua kisah para tokoh tersebut, barangkali hanya Hatta yang koleksi bukunya masih terjaga dengan baik. Keluarga besar Hatta memutuskan merawat secara swadaya buku-buku itu yang dinilai sebagai warisan paling berharga dari Bung Hatta - selain tentu saja pemikiran dan perjuangan Hatta bagi bangsa dan negara. Menurut Tan Sri Zulfikar Yusuf, salah satu cucu Bung Hatta, sebanyak 18.000 judul buku koleksi Hatta kini tersimpan di rumah peninggalan Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.

Sunat

Seperti lazimnya anak laki-laki di Madura, saya di khitan ketika saya berumur 7 tahun. Di beberapa daerah lainnya di Jawa, anak laki-laki biasanya di khitan setelah berumur 13-14 tahun dengan alasan jika disunat lebih awal akan menghambat pertumbuhan anak itu sendiri. Tapi hal ini tidak berlaku di Madura, dengan alasan umur 7 tahun sudah "baligh". Maka anak laki-laki harus segera disunat dikarenakan kewajiban agama sudah disandang di bahunya.

Membahas tentang sunat, Ada banyak teori soal akar praktik sunat pada laki-laki. Ada pendapat kalau sunat lahir dari kebudayaan Mesir Kuno. Namun, teori terbaru menyebut sunat berasal dari kebudayaan Arab selatan dan sebagian Afrika.

Selama ribuah tahun, menurut Ancient Origins, sunat paling sering digunakan sebagai ritual keagamaan, ritual kedewasaan, dan sebagai hukuman pada masa perang. D. Doyle dalam “Ritual Male Circumcicion: a Brief History” terbit dalam The Journal of the Royal College of Physicians of Edinburgh menjelaskan, sunat telah dipraktikkan di beberapa bagian Afrika seperti Mesir, kepulauan di Laut Selatan, Australia oleh suku Aborigin, dan oleh suku Inca, Aztec, Maya, juga orang-orang Yudaisme, dan Islam.

Telah diketahui banyak orang kalau negeri para Firaun adalah pelopor tradisi sunat. Referensi paling awal soal sunat berasal dari 2.400 SM. Itu terlacak lewat sebuah relief di tanah pemakaman kuno Saqqara yang menggambarkan serangkaian adegan medis, termasuk sunat pisau.

Di Mesir Kuno, praktik ini dilakukan pada remaja pria yang akan diinisiasi menjadi pria dewasa dari kelas bangsawan. “Sunat Mesir mungkin juga telah digunakan untuk membatasi kelas elite khusus,” tulis laman Ancient Origin.
Namun, menurut perkiraan Doyle, orang Mesir mengadopsi sunat dari masa yang jauh lebih awal, dari orang-orang yang tinggal di wilayah yang lebih jauh ke selatan, yang sekarang masuk wilayah Sudan dan Ethiopia.

Orang-orang selatan itu, secara genetik terkait dengan bangsa Sumerian dan Semit. Mereka menurut para antropolog berasal dari Semenanjung Arab dan telah melakukan kontak rutin, seperti berdagang atau bertempur dengan orang Mesir.
Sementara, bagi tetangga mereka, orang Yunani, tradisi sunat ini dipandang aneh. Pada abad kelima, Herodotus mengemukakan pendapatnya lewat sebuah karya The History of Herodotus. "Mereka (orang Mesir, red.) mempraktikkan sunat demi kebersihan, menganggap lebih baik bersih daripada cantik," tulis laman livescience.

Adapun di Israel kuno, sunat memiliki fungsi dan proses yang agak berbeda. Sunat merupakan penanda etnis yang menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Israel.

Sebagaimana orang Yahudi modern, sunat biasanya dilakukan pada bayi, delapan hari setelah kelahiran. Kendati praktik itu bisa juga dilakukan pada orang dewasa, jika diperlukan. Mereka biasanya orang yang tadinya non-Israel tapi kemudian memutuskan ingin masuk ke komunitas Yahudi.

“Salah satu cara yang membedakan agama Kristen dari Yudaisme adalah orang Kristen non-Yahudi tidak perlu disunat,” jelas Ancient Origin.

Mesir bukan satu-satunya budaya Afrika yang mempraktikkan sunat. Sunat umum di kalangan masyarakat Afrika timur. Sebagaimana di Mesir Kuno, biasanya sunat terkait ritus peralihan ke dewasa. Laki-laki muda dari etnis Xhosa dan Zulu secara tradisional memiliki ritual sunat yang rumit, di mana tubuh mereka akan dicat dengan kapur sebelum disunat. Mereka akan diisolasi dari komunitas selama beberapa minggu. Mereka tak boleh berdekatan dengan perempuan.

Setelah disunat, mereka akan meninggalkan kulit khitan yang terpotong di hutan sebagai simbol meninggalkan kehidupan masa kecil untuk menjadi laki-laki, dan kemudian mencuci kapur di sungai.

“Sunat masih dilakukan secara teratur oleh pengusung kebudayaan ini, tetapi biasanya di rumah sakit bukan dengan cara tradisional,” tulis Ancient Origin.

Sunat secara historis tidak hanya di Afrika dan Timur Tengah. Praktik semacam ini juga dilakukan di Oceania dan Australia oleh suku Aborigin. Mereka menggunakan kerang laut sebagai alat pemotongnya. Orang yang disunat ditahan tubuhnya agar menghadap ke atas. Dia berbaring di punggung seorang pria yang berlutut. Lengan dan kakinya dipegangi pria lain.
Untuk menghentikan pendarahan, menurut Doyle, mereka berjongkok atau berdiri di atas asap dari api yang ditutupi dengan daun kayu putih selama beberapa jam. “Ada yang mengatakan, darah yang menetes ke dalam api adalah simbol simpati kepada perempuan yang mengalami menstruasi,” jelasnya.

Di Oceania dan Australia, sunat adalah ritual peralihan ke dewasa sekaligus ujian keberanian.
Bukan hanya sebagai ritual menuju dewasa dan alasan keagamaan, sunat juga digunakan untuk menghukum tentara musuh. Beberapa kasus terjadi di Timur Tengah, Afrika timur, dan Asia Selatan. W.D. Dunsmuir dan E.M. Gordon dari Department of Urology St. George’s Hospital NHS Trust dalam "The History of Circumcision" yang terbit di Journal BJU International menyebut sunat juga dipercaya sebagai tanda kekotoran atau perbudakan. Di Mesir Kuno misalnya, prajurit yang ditangkap sering dimutilasi sebelum dijadikan budak.

Apakah selalu dokter yang melakukan sunat di zaman kuno? Mungkin tidak.  Dunsmuir dan Gordon mengatakan, pada zaman Alkitab sunat dilakukan para ibu ketika bayi baru lahir. Namun, perlahan-lahan tukang sunat (mohel) mengambil alih. Mereka adalah pria yang memiliki keterampilan bedah dan pengetahuan agama yang mumpuni. 

"Setelah berdoa, mohel menyunat bayi itu dan kemudian memberkati anak itu, suatu praktik yang sedikit berubah hari ini," tulisnya.  Sementara dalam masyarakat Mesir Kuno, sunat dilakukan oleh pendeta dengan kuku jempolnya yang sering dilapisi emas. Pun sepanjang abad pertengahan, sunat dilakukan oleh petugas laki-laki yang religius. "Ada kemungkinan bahwa dokter tidak melakukan sunat sampai paruh kedua abad ke-19," lanjutnya.

Bagaimanapun, sunat dulunya merupakan kebiasaan yang langka. Sebagian besar budaya di luar Afrika, Timur Tengah, dan Oseania, semula tidak mempraktikkannya. Namun, praktik di budaya mereka nyatanya berpengaruh signifikan pada peradaban terutama karena salah satu pilar peradaban barat, Israel Kuno, melakukannya.

Sunat masih berlanjut hingga kini. Menurut Ancient Origin, sepertiga dari pria di seluruh dunia disunat, trutama di kalangan Muslim dan Yahudi, karena alasan agama. Di luar itu, sunat tersebar luas di Amerika Serikat dengan alasan kesehatan. Namun, banyak organisasi medis utama dunia tidak setuju ada manfaat yang signifikan dari sunat. Sunat menjadi kontroversi karena kekhawatiran kurangnya informasi cara pembedahan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.