Powered By Blogger

Senin, 24 September 2012

WAYANG KULIT

24/09/12
OFFICE
18:07

Image result for wayang kulit

WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mememperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul


Image result for wayang kulit
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

DIMULAI DARI SINI (part1)


DIMULAI DARI SINI (part 1)
05/09/12
17:04
office


..akan aku ceritakan padamu, anakku, buah hatiku, darimana asal usulmu, agar kau tidak sombong pada dirimu, agar kau sombong pada dunia, dan agar kau sombong pada ketidakadilan....

Sumenep, banyak yang tidak tahu dimana kota itu berada, atau sama sekali belum pernah mendengar namanya. Di ujung timur pulau Madura, kota dengan ratusan pulau berserakan menemani ujung pulau Madura, sebagai pulau utamanya.
Sumenep, yang dalam bahasa Madura, adalah songeneb, Nama Songènèb sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi / Jawa Kuno yang jika diterjemaahkan mempunyai makna sebagai berikut: Kata “Sung” mempunyai arti sebuah relung/cekungan/lembah, dan kata “ènèb” yang berarti endapan yang tenang, maka jika diartikan lebih dalam lagi Songènèb / Songennep (dalam bahasa Madura) mempunyai arti "lembah/cekungan yang tenang". Penyebutan Kata Songènèb sendiri sebenarnya sudah popular semenjak Kerajaan Singhasari sudah berkuasa atas Jawa, Madura dan Sekitarnya, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Pararaton tentang penyebutan daerah "Sumenep" pada saat sang Prabu Kertanegara mendinohaken (menyingkirkan) Arya Wiraraja (penasehat kerajaan dalam bidang politik dan pemerintahan) ke Wilayah Sumenep, Madura Timur tahun 1926 M '“Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring Sungeneb, anger ing Madura wetan”.' Yang artinya: “Adalah seorang hambanya, keturunan orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura timur.”

Adalah R Soegondo, Bupati Sumenep (1985 - 1995 ) sebagai pencetus hari jadi kota Sumenep. Hari jadi Kabupaten Sumenep mengacu pada Pelantikan Arya Wiraraja sebagai Adipati Sumenep yang pertama. Artinya sebelum Arya Wiraraja dilantik menjadi Adipati Sumenep, belum ada penguasa lokal yang bergelar sebagai Adipati.
Saat itu Kadipaten Sumenep berada dibawah kekuasaan Kerajaan Singosari, dengan penguasanya Raja Kertanegara. Dengan demikian Arya Wiraraja dilantik oleh Raja Kertanegara, sehingga sumber prasasti yang berhubungan dengan Raja Kertanegara dijadikan rujukan bagi penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumenep. Sumber prasasti yang dapat dijadikan sebagai rujukan adalah prasasti berikut ini :
  1. Prasasti Mula Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255 M.
  2. Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M.
  3. Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M.
  4. Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M.
Sedangkan sumber naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut tokoh Arya Wiraraja, adalah manuskrip berikut :
  1. Naskah Nagakertagama karya Rakawi Prapanca pada tahun 1365 M.
  2. Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M.
  3. Kidung Harsa Wijaya.
  4. Kidung Ranggalawe.
  5. Kidung Pamancangan.
  6. Kidung Panji Wijayakramah.
  7. Kidung Sorandaka.
Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma yang lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang Adipati.
Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat Gunung Wilis Kediri. Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya atau dibawah pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa penuh, dan tidak lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana telah meninggal tahun 1268 M.
Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra (berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala (nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan membayar bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.
Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31 Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M, yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni budaya, seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten Sumenep.
ARTI KATA SONGENNEP
Dari hasil pemaparan diatas dijelaskan bahwa kata Songennep adalah nama asal dari bahasa kuno. Oleh karena itu dalam mencari kata nama wilayah yang erat kaitannya dengan upaya penentuan Hari Jadinya saya menggunakan sebutan / kata Songennep. Songennep, menurut arti katanya (Etimologi), yaitu :
  1. Song berarti relung, geronggang (bahasa Kawi). Ennep berarti mengendap (dengan kata lain tenang). Jadi Songennep berarti lembah bekas endapan yang tenang.
  2. Song berarti sejuk, rindang, payung. Ennep berarti mengendap (kata lain tenang). Jadi Songennep berarti lembah endapan yang sejuk dan rindang.
  3. Songa berarti relung atau cekungan. Ennep berarti tenang. Jadi Songennep berarti lembah, cekungan yang tenang atau sama dengan pelabuhan yang tenang. Setelah kita menelaah sebutan Songennep dari arti katanya (Etimologi).
    Berikut ini akan saya paparkan pendapat-pendapat yang berkembang dikalangan masyarakat sejak dahulu mengenai arti kata Songgennep.
    • Songennep berasal dari kata-kata Moso dalam bahasa Madura berarti lawan/musuh. Ngenep berarti bermalam. Jadi songennep berarti lawan/musuh yang bermalam. Ceritera mengenai asal-usul nama "Songennep" berdasarkan versi ini amat populer dikalangan rakyat di Sumenep. Ceritera / pendapat ini dihubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah di Sumenep pada tahun 1750, yaitu saat diserangnya dan didudukinya Keraton Sumenep oleh K. Lesap (seorang keturunan Pangeran Cakraningrat V dari salah seorang selirnya).
      Pangeran Cakraningrat V, adalah Raja Bangkalan. K. Lesap berhasil menaklukkan sumenep dan dia sempat selama setengah bulan tingga di Keraton sumenep. Hal ini dikisahkan dalam buku Babad Songennep.
      Karena kejadian itu (musuh bermalam di Keraton Sumenep). Kota dikatakan Moso Ngenep, yang artinya musuh bermalam.
      Cerita ini tentunya tidak benar, sebab kitab pararaton yang ditulis tahun 1475-1485 sudah menuliskan nama Songennep. Ini berarti nama Songennep sudah lahir jauh sebelum K. Lesap menyerang Sumenep.
    • Songennep berasal dari kata-kata Ingsun nginep. Ingsun berarti saya, sedangkan nginep berarti bermalam. Pendapat ini kurang populer dikalangan rakyat dibandingkan dengan versi lainnya.
SEKITAR TOKOH ARYA WIRARAJA
Telah diterangkan diatas, bahwa nama mengandung tanda-tanda (alamat) tertentu (nomen sit omen) dan mempunyai arti khusus. Orang tua memberikan nama anaknya dengan maksud tertentu agar anak tersebut berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandang. Demikian pula nama tokoh dalam sejarah lama, seperti Air langga, Mapanji, Daja Bhaja, Kemeswara, Gajah Mada, Hayam Wuruk dan lain-lain. Didalam kitab Pararaton dikatakan bahwa Arya Wiraraja semula bernama Banyak wedi. Halaman 18 Pararaton (edisi Belanda) menyebutkan sebagai berikut :
"Hana ta Wongira, babatangira buyuting nangka, aran Banak Wide, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatiaring sungennep, angar ing madura wetan".
Selain itu dalam Kitab Kidung Ranggalawe dikatakan sebagai berikut :
Nyanyian I (Durma).
  1. Woten Wongiro binatang buyut Nangka, Banak Wideanami, sinung abhiseka, arya Wiraraja sira, arupa Sinangsayeni, dinohan preneh, kinon angadhipati.
  2. Munggu ing Sumenep parnah Madura Wetan, lawasipun anganti, patang puluh tiga, duk andon balanabrang, sira Wiraraja dadi arasa-rasa, dene dinohan apti.
Mengenai nama Wiraraja saya kira sudah cukup jelas. Nama itu berarti: Raja yang gagah perwira (Wira: Perwira, Kesatria, raja: raja, pemimpin). Gelar Arya menunjukkan bahwa Wiraraja adalah seorang pejabat tinggi, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan jabatannya sebagai adhipati (adhi: pertama, baik, pati: raja, pemimpin). Gelar Arya dalam masyarakat Jawa Baru berubah menjadi Haryo (Pangeran Haryo).
1. ASAL-USUL ARYA WIRARAJA
Mengetahui asal Arya Wiraraja beberapa sumber berbeda mendapat :
  1. PARATON.
    Dalam Bab V halaman 27 :
    "Hanata Wongira, babatangira buyuting nangka aran Bayak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wiraraja".
    Artinya : "Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wirara".
    Selain itu, sumber ini menerangkan bahwa Nambi adalah putera Arya Wiraraja sedangkan Ranggalawe disebutkan sebagai keturunan bangsawan Singosari yang terkenal.
  2. KIDUNG PANJI WIJAYAKRAMA/KIDUNG RANGGALAWE.
    Pupuh Inomor 1220 :
    "Woten Wongira binatang buyut nangka, Banyak Wide anami, sinung Abiseka, Arya Wiraraja..........."
    Ada seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, Banyak Wide namanya, dia diberi gelar Arya Wiraraja"
    Dalam kidung ini dikatakan bahwa Ranggalawe adalah anak dari Arya Wiraraja yang berasal dari desa tanjung Madura Barat.
  3. KIDUNG SORANDAKA.
    Kidung ini menjelaskan bahwa Nambi adalah anak dari Pranaraja. Menarik sekali untuk diketengahkan suatu Hypotesa Prof. Dr. Slamet Mulyono dalam bukunya "Negara Kertanegara dan tafsir sejarahnya" (halaman 127).
    Kita ingin meneliti siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Pranaraja dan Mahapati yang disebut dalam Kidung Sorandaka dan Pararaton. Pranaraja telah disebut pada piagam Kudadu (1294), namun tanpa nama.
    Pada piagam Penanggungan (1296) namanya dijelaskan pada lempengan IV a baris 1 yakni Sang Pranaraja : Mpu Sina.
    Jelaslah sekarang bahwa Ranggalawe alias Arya Adikara adalah putera Wiraraja, sedangkan Mpu Nambi (Tami) adalah putera Mpu Sina.
    Drs.Abdur Rachman dalam bukunya "Peranan Madura menuju puncak kebesaran kerajaan Majapahit", bahwa Arya Wiraraja berasal dari Madura (halaman 54).
    Atas dasar keterangan-keterangan diatas yang didapat dari sumber diatas makin kuatlah dugaan Arya Wiraraja, berasal dari Madura. Adapun desa Nangka yang disebutkan beberapa sumber, diperkirakan nama desa Nangka yang berada di Kabupaten Bangkalan atau desa Karangnangka yang berada di Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep.
2. JABATAN ARYA WIRARAJA SEBELUM MENJADI ADIPATI DI SUMENEP
Kedudukan/jabatan Arya Wiraraja, beberapa sumber berbeda pendapat:
Mangkudimedja dalam buku serat peraraton. Ken Arok 2 menyebutkan kemungkinan Arya Wiraraja adalah seorang babatangan (Penasehat Spiritual), Babatangan itu mungkin dijaman sekarang bisa diartikan tukang membatang atau meramal, yakni ahli nujum. Orang yang kerjaanya menerangkan atau membukukan segala sesuatu yang sifatnya penuh misteri atau rahasia. Namun semua ini barulah merupakan perkiraan dan dugaan belaka, sebab Dokter Brandes sendiri juga belum yakin arti sebenarnya. Dugaan Dokter Brandes, mungkin yang dimaksud adalah karereyan yang artinya babatangan. Sedemikian tadi akhirnya terserah saja kepada yang ingin menyelidiki. Karena kenyataannya banyak kata-kata kuno yang tidak kita temui lagi dijaman sekarang. Bahkan adakalanya sudah berganti arti serta maksud.(hal.71).
3. ALASAN-ALASAN PEMINDAHAN ARYA WIRARAJA KE SUMENEP
Pemindahan Arya Wiraraja ke Sumenep tentunya tidak terlepas dari situasi politik/kekuasaan Singosari serta pandangan politik dari Raja Kertanegara.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh, saya akan memaparkan secara singkat situasi kerajaan Singosari pada masa itu. Pararaton menggambarkan pemerintah itu dalam Bab V. "Kemudian Ranggawuni (Wisnuwardhana) jadi raja seperti 2 ekor pulau dalam satu liang dengan Mahesacempaka".
Dengan dikemukakannya prasasti Mulamalurung (1255) gambaran kerajaan Singosari makin nyata, dalam uraian prasasti tersebut ternyata apa yang diceritakan Pararaton tidak seluruhnya benar, tidak ada penggunaan Anusapati oleh oleh Tohjaya. Tohjaya menjadi raja menggantikan Guning Bhaya (Agmibhaya). Agar lebih jelas lihat lampiran struktur kerajaan Singosari menurut prasasti Mulamalurung tahun 1255.
Namun Mulamalurung tidak menceritakan bahwa KenArok di bunuh di Dampar Kencana. Dengan bercabang garis keturunan Ken Arok pergantian kekuasaan atau sukses tetap memendam bara api.
  • Kidung Harsawijaya, mengatakan arya Wiraraja pada masa Singosari adalah seorang demang.
  • Kidung Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa jabatannya.
  • Demikian juga dalam kitab Pararaton yang diterjemahkan oleh Drs. Pitono (th. 1966) dan pararaton yang diterjemahkan oleh Ki. J. Padmapuspita (th 1956), hanya menyebutkan Arya Wiraraja adalah seorang bawahan (hamba Kertanegara).
  • Drs. Abdur Rachman menyebutkan bahwa jabatan/pangkat Arya Wiraraja adalah Demang Nayapati di Singosari.
Dari beberapa gambaran diatas saya dapat menarik kesimpulan :
  • Gelar Arya Wiraraja menunjukkan bahwa Banyak Wide (Wiraraja) termasuk Pegawai Tinggi atau orang penting dikerajaan Singosari.
  • Penasehat spiritual yang dimaksudkan oleh penterjemah dasarnya seorang penasehat ahli strategi (politikus) yang bisa membaca situasi. Kecemerlangan analisa-analisanya menyebabkan orang mengira dia punya suatu kelebihan sebagai orang yang bisa meramal kejadian-kejadian yang akan datang.
  • Kedudukan jabatan dalam pemerintah Singosari menyebabkan dia dekat sekali hubungannya dengan penguasa Singosari (Raja Kertanegara).
  • Kemungkinan lain yang mendekati kebenaran ialah Demang Kerajaan Bwahan Singosari (Mering) yang menurut prasasti Mulamalurung diperintah oleh Narasingamurti.
Secaningrat (Wisnuwardhana) merasa berhak atas kerajaan Dhaha dan Singosari karena perkawinannya dengan Wanihiun (putera Mahesa Wongateleng). Pada tahun 1250 dia menjatuhkan Dhaha dan Singosari. Namun ia bertindak hati-hati. Narasingamurti (Mahesacempaka) dijadikan ratu Anggabhaya dengan kekuasaan daerah Hering. Ada sedikit benturan dalam penobatan Wisnuwardhana menurut prasati Mulamalurung. "sebuah keterangan yang sangat menarik mengenai penobatan Nararyya Sminingrat kita dapati pula didalam prasasti ini. Keterangan itu menyebutkan bahwa sepenggal Nararyya Tohjaya, semua pejabat dengan pemimpin oleh sang Pamget Ranu Kabayan Sang Apanji Pati-Pati menobatkan Nararyya Sminingrat menjadi raja di Tumapel (Nararyya Sminingrat Tapinasangaken Prajapatya)".
Keterangan tersebut menimbulkan kesan tentang tidak adanya calon yang sah untuk duduk diatas tahta kerajaan atau terdapat bebrapa orang yang tidak berhak yang berusaha untuk menjadi raja.
Menurut prasasti Mulamalurung Wisnuwardhana memerintah mulai tahun 1250 yang menguasai Dhaha dan singosari. Rasa khawatir akan timbulnya sengketa kekuasaan jika kelak dia telah tiada, menybabkan ia buru-buru melantik putera nya Kertanegara sebagai raja muda di Dhaha. Hal ini rupanya untuk mengokohka kekuasaan keturunannya.
Pelantikan Kertanegara sebagai Raja Muda diceritakan dalam prasasti Mulamalurung atau Negarakertagama dalam pupuh XLI 3.12) "Tahun Saka rasa gunung bulan (1176) Batara Wisnu manubatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri janggala berduyun-duyun mengastubagia. Raja Kertanenagara nama gelarnya, tetap demikian seteusnya. Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja Singasari".
4. ARYA WIRARAJA ADIPATI SUMENEP
Pararaton menceritakan secara singkat dilantiknya Arya Wiraraja menjadi Adipati di Sumenep yang berkedudukan di Madura timur, yang berbunyi :
"Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring Sungennep, anger ing madura wetan".
Yang artinya :
Adalah seorang hambanya, keturunan orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura sebelah timur.
Pararaton tidak mencantumkan tanggal maupun tahun peristiwa di atas tersebut. Pararaton hanya menceritakan sesudah Wisnuwardhana mangkat dan Kertanegara menggantikan menjadi raja, Wiraraja dipindahkan ke Sumenep.

5. PERANAN ARYA WIRARAJA DALAM MEMBANTU RADEN WIJAYA MENDIRIKAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Mengenai peranan Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wiraraja menaklukkan Jayakatwang, mengusir tentara Tartar, sampai tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap dalam Pararaton. Kidung Panji Wijayakrama, kidung Ranggalawe dan Kidung Harsawijaya.
Beberapa prasasti seperti Piagam Kedadu (11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29 Otober 1295), menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian Raden Wijaya ke Madura.
  1. Pararaton.
    1. Raden Wijaya menyeberang ke utara turun perahu terhalang malam ditengah sawah didaerah perbatasan Songennep, bermalam ditengah sawah yang baru saja habis disikat pematangnya.
      Sembah Wiraraja : Janganlah Tuanku khawatir hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan-lahan.
    2. kata Raden Wiraraja : Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi dua tanah Jawa nanti, hendaknya kamu menikmati seperduanya, saya seperdua. Kata Wiraraja Bagaimana saja, Tuanku, asal Tuanku dapat menjadi raja saya.
      Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja.
    3. Lama Raden Wijaya bertempat tinggal di Songennep.
      Disitu Arya Wiraraja berkata : Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknyalah Tuan pergi menghamba kepada raja Jayakatong, hendaknya Tuan seakan-akan minta maaf dengan kata-kata yang mengandung arti tunduk; kalau sekiranya raja Jayakatong tak keberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas-lekas pindah bertempat tinggal di Dhaha, kalau rupa-rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan mohon hutang orang terik kepada raja Jayakatong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu. Hamba-hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba-hamba Madura yang menghadap tuanku dekat.
      Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat-lihat orang-orang Jayakatong siapa yang setia, yang berani, sifat-sifat Kebo-Mundarang, sesuadh itu semua dapat diukur hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirobah menjadi desa oleh hamba Madura itu.
  2. Kidung Panji Wijayakrama.
    Dalam Kidung Panji Wijayakrama peranan Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya tidak ada perbedaan yang prinsip jika dibandingkan dengan Pararaton.
  3. Kidung Harsa Wijaya.
    Atas nasehat sang pertapa mereka (Raden Wijaya) menyebrang ke Madura untuk minta bantuan Arya Wiraraja. Dan di Madura Raden Wijaya menentukan saat yang tepat, untuk merencanakan kembalinya atau merebut kerajaannya.
    Kepada Wiraraja ia berjanji akan memberikan separuh kerajaan atas jasa-jasanya dan bantuannya yang tidak terhingga.
    Dari gambara-gambaran yang diceritakan oleh sumber-sumber diatas, peranan Arya Wiraraja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan tentaranya, jauh dibalik itu Wiraraja adalah seorang penganut strategis, dan inspirator berdirinya kerajaan Majapahit.
    Tepatlah kiranya apabila Ia disebut sebagai Aktor intelektualis. Penulis sejarah Majapahit tidak akan pernah lepas dari peranan Arya wiraraja serta orang-orang Madura awal pendirinya.
Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Sumenep