at office
13:48
13:48
'ARSY , tempat yang dipercaya oleh umat muslim sebagai "singgasana" ALLAH adalah sebuah kepercayaan yang sakral dan abstrak. Keberadaannya dapat kita buktikan secara logis, namun dimana keberadaannya, hanya ALLAH yang tahu. Jika kita membahas mengenai kata "tempat", tentunya adalah sebuah materi yang tidak terlepas dari ruang dan waktu, lalu bagaimana hubungannya dengan ALLAH yang maha SEMPURNA ??? Dalam
bahasa sederhananya, ketika kita menggambarkan bahwa Allah ada diatas
‘Arsy, maka seperti apakah itu ? Ketika kita menyatakan bahwa Allah
lebih dekat dari urat leher kita, lalu seperti apa itu ? Ketika kita
menyatakan bahwa kemanapun kita menghadap maka disitulah Allah, lalu
seperti apakah itu ? Ketika disebutkan bahwa Allah ada dilangit, lalu
langit manakah itu?
Mari
kita membahasnya. Yang pertama menjadi pertanyaan kita adalah, apa
yang dimaksud dengan ‘Arsy Allah tersebut ?
إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy (Qs. 7 al-A’raf : 54)
Terdapat
perbedaan pandangan antara ulama “klasik” atau ulama salaf dengan
ulama-ulama kontemporer dan atau modern dalam menafsirkan istilah
‘Arsy ini. Dimana ulama klasik lebih suka memahami ‘Arsy sebagai
suatu singgasana dimana dari singgasana-Nya inilah Tuhan
mengendalikan kekuasaan-Nya atas makhluk-makhluk-Nya, namun
ulama-ulama tersebut juga lebih suka untuk tidak melakukan pembahasan
lebih jauh mengenainya dan hanya mencukupkan urusannya kepada iman
dan itu menjadi rahasia ALLAH.
Majhul,
Ma qul, Imaan bihi wajib, wa su al anhu bid’ah (tidak diketahui
maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya
adalah wajib, bertanya tentang ini adalah Bid ah Munkarah).
Menjadi
wajar jika pemikiran para ulama salaf ini menjadi sebuah dogmatis
yang tidak bisa ditawar, karena kekhawatiran mereka, bahwa tidak
semua makhluk atau manusia dapat memahami filosofi tentang ALLAH,
apalagi jika pertanyaannya adalah “dimana” ALLAH. Hal ini akan
membuat manusia menjadi bingung, ambigu logikanya dan bahkan banyak
yang tersesat metode berpikirnya.
Sebaliknya,
sebagian ulama lain yang lebih moderat menolak penafsiran ‘Arasy
seperti yang telah disebutkan tadi karena menurut mereka ALLAH tidak
membutuhkan tempat, ruangan dan juga tidak terikat dengan waktu. Jika
dikatakan bahwa ALLAH duduk diatas ‘Arsy maka berarti ALLAH
memiliki wujud yang sama seperti makhluk-Nya yang memerlukan tempat
tinggal dan tempat bernaung, padahal ALLAH Maha Suci dan Maha Mulia
dari semua itu !
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ
Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya (Qs. 112 al-Ikhlas : 4)
Dalam
sifat 20 ketuhanan yang wajib di-imani oleh umat Islam salah satunya
adalah :
ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ (Mukhalafatuhu lilhawadith alias Tuhan itu tidak meyerupai sesuatu apapun).
Tidak
ada yang salah jika kita menggunakan kaca mata kuda “iman” dalam
hal ini, namun sebagai manusia yang haus dalam mencari ilmu ALLAH,
saya memang mencari alternatif lain memahami hal ini. Seperti pada
hakikat, syahadat LA ILA HA ILLAHU ALLAH, dimulai dengan kata
“tidak”, memiliki arti ketiadaan, kosong, baru kemudiaan ber”isi”
dan mempercayainya. Menjalankan ketentuan suatu agama terkadang harus
dimulai dengan kata iman memang sering menjadi sesuatu hal yang tidak
dapat terbantahkan. Keadaan beriman sesorang umumnya berada dalam
kondisi “jadi” dari seseorang itu (sebab ini akan kembali dari
lingkungan mana ia dilahirkan). Analoginya adalah saya menjadi MUSLIM
karena orang tua saya juuga MUSLIM dan seterusnya.
Tuhan
memberikan kita akal untuk berpikir, untuk menjadi cerdas bukan untuk
jadi figuran dan sekedar ikut-ikutan. Iman adalah kepercayaan
terhadap sesuatu yang tentunya secara ilmiah membutuhkan pembuktian.
Tuhan menjadikan alam semesta ini dengan ilmu-Nya, dan Dia telah
mengukur keseimbangan masing-masing komposisi ciptaan-Nya itu secara
proporsional dan adil. Begitupula ketika Dia mewahyukan kalam-Nya
dalam bahasa manusia, itupun memiliki tujuan agar manusia bisa
mempelajari dan memikirkannya, bukan cuma untuk sebatas percaya atau
habis dalam bentuk kata-kata tiada makna.
Tuhan
secara filsafat adalah tuhan dalam bentuk yang terlalu bervariasi
sebagaimana bisa dibaca melalui pendapat para filosof yang ada (sebut
saja nama socrates, plato, aristoteles, descartes atau juga kant dan
bandingkan semua konsepsi filsafat mereka tentang tuhan). Saya lebih
memilih ranah akal atau rasio untuk memahami Tuhan dan menemukan
eksistensi kebenaran TUHAN.
Kita
tidak mungkin bisa membedakan mana dogma yang benar dan mana dogma
yang salah dengan berdasarkan dogma juga (baca: Iman), artinya
seseorang tidak bisa berdalih dibelakang kata ” iman ” untuk
membenarkan dogma yang ia anut, sebab sekali lagi kata ” iman ”
ini adalah bagian dari dogma yang ada, dan setiap pemeluk
masing-masing agama bisa berkata yang sama, dan yang terjadi adalah
pembenaran subyektif. Akhirnya, semua doktrin keagamaan termasuk
dogma ketuhanan sekalipun tidak berarti apa-apa jika tidak bisa
dicerna secara ilmu melalui akal pikiran yang ada pada
manusia.Mengikuti sesuatu yang mudah dimengerti akan jauh lebih
memuaskan daripada mengikuti sesuatu yang tidak dimengerti atau tidak
diketahui.
Dalam
kaitannya dengan pembahasan kita kali ini, maka saya mengadakan
pendekatan penafsiran istilah ‘Arsy yang disebut selaku
singgasana-Nya Allah adalah sebagai tempat dimana ALLAH
mempertunjukkan kekuasaan-Nya kepada semua hamba-hambaNya.
Dan
itulah alam semesta yang terbentang luas dihadapan kita. Semua isi
alam ini, termasuk benda-benda angkasa seperti bumi, bulan, matahari,
planet-planet, komet, meteor, galaksi, manusia, malaikat, jin, hewan,
tumbuhan dan apa saja yang ada diantara keduanya adalah merupakan
perwujudan dari singgasana Tuhan.
وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya berada diatas alma’ (air)
(Qs. 11 Huud : 7)
Dari
ilmu pengetahuan modern kita bisa mengetahui bahwa angkasa raya
tidaklah kosong hitam saja seperti yang kita lihat dimalam hari,
beberapa hasil observasi sejumlah astronom telah mengemukakan kepada
kita bahwa diangkasa raya sana ada begitu banyak bintang ,
planet-planet, satelit dan bahkan galaksi sebagaimana galaksi yang
kita diami ini (bima sakti/milky way). Belum lagi dengan beragamnya
makhluk hidup yang ada diluar planet bumi kita ini yang biasa kita
sebut sebagai Alien.
Ruang
adalah kekosongan yang ada diantara benda. Saat sesuatu itu memiliki
sekat, pembatas atau juga atap maka dia bisa kita sebut sebagai
ruang. Tanpa keberadaan benda apapun maka dia tidak bisa disebut
sebagai ruang. Hal ini bisa kita paralelkan dengan pendapat Paul
Dirac yang menyatakan bahwa yang disebut sebagai ruang kosong
sesungguhnya merupakan lautan elektrin dalam keadaan negatip tanpa
batas. Sementara kita tahu bahwa keberadaan dari elektron itu sendiri
menjadikannya sebagai keberadaan benda sehingga terbentuklah yang
disebut sebagai ruang.
Pada
tingkat selanjutnya, benda yang senantiasa berputar akan menimbulkan
waktu, dan tanpa adanya putaran benda, maka otomatis akan tiada juga
waktu. Misal, dengan berotasi terhadap matahari sebesar 66,5 derajat
dalam orbitnya dengan tingkat kecepatan konstan 29,79 km/detik seraya
berputar pada porosmya dengan kecepatan 11,18 km/detik maka timbullah
yang disebut dengan istilah hari, jam, menit, detik …. atau dalam
bahasa sederhananya : rotasi planet atau pusingan sebuah benda akan
menimbulkan adanya istilah waktu.
Dalam
Fisika Nuklir, elektron mengalami pusingan atau putaran yang disebut
dengan istilah isospin, dimana elektron sebagai atom yang bermuatan
listrik negatip berputar mengelilingi inti atom yang bermuatan
positip.
Dengan
demikian, maka keberadaan elektron didalam ruang kosong sebagaimana
teori dari Paul Dirac sebelumnya telah menimbulkan apa yang kita
sebut sebagai rotasi dan waktu dan bahwa berkesan terlalu naif dan
bodoh rasanya jika kita berpikiran cuma kita dan bumi kita ini tempat
makhluk hidup bisa tinggal serta bernaung.
Dan diantara ayat-ayat-Nya adalah menciptakan langit dan bumi ; dan Dabbah yang Dia sebarkan pada keduanya. dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.(Qs. 42 Asy-Syura :29)
Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah /hukum-hukum/ Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. 65:12)
Ini
juga mungkin alasannya kenapa Tuhan begitu gigih memerintahkan kepada
manusia untuk mempelajari ilmu tentang alam semesta sembari tidak
melupakan tasbih kepada-Nya, baik tasbih dalam arti berdzikir lisan
mengucap puja dan puji seperti para Malaikat ataupun bertasbih dalam
pengertian sikap tunduk dan patuh serta sadar akan kekecilan diri
dihadapan Yang Kuasa sebagaimana tunduknya alam semesta dan seperti
tunduknya burung-burung dan gunung.
Para Malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak punya rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tidak merasa letih, mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. (Qs. 21 al-anbiyaa : 19 – 20)
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya (Qs. 17 al-israa : 44)
Gunung-gunung dan burung-burung yang bertasbih (Qs. 21 al-anbiyaa : 79)
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat seperti kamu (Qs. 6 al-an’aam : 38)
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (Qs. 3 ali Imron : 191)
Jadi
maksudnya jika ‘Arsy Allah itu adalah alam semesta ini, maka
dimanakah Allah itu sebenarnya ? Apakah benar bahwa Allah itu berada
dimana-mana ? Lalu bagaimana memaknai pahamnya Wahdatul Wujud seperti
yang didengungkan oleh al-Hallaj atau Syaikh Siti Jenar ? Analoginya
adalah jika kita menaruh air pada sebuah gelas yang kosong, selain
air kita juga isi gula dan bubuk kopi misalnya. Kopi dan gula adalah
isi dari kehidupan ini, semisal sistem galaksi, tata surya, planet
dan bahkan manusia.
Air,
tempat dimana semua itu berada melarutkan semuanya dan menjadi satu
sistem yang sempurna, itulah wadah atau tatakan atau singgasana
ataupun ‘Arsynya Tuhan dalam hal ini ! Didalam alam nyata, air
tersebut tidak lain adalah alam semesta yang menaungi segala
benda-benda yang berserak didalam angkasa kita.
Gelas
tempat dimana semua itu bernaung, itulah Tuhannya dalam hal ini, yang
tentu saja berada menaungi air selaku wadah pelarut dan secara
otomatis menaungi juga semua benda-benda lain yang larut dan ada
didalam air itu sendiri.
Itulah
kenapa, didalam sejumlah ayat al-Qur’an ada disinggung istilah
Wajah ALLAH, Tangan-Nya, Kursi-Nyasebagaimana terdapat dalam
ayat-ayat berikut :
Dan adalah kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah Wajah Allah (Qs. 2 al-Baqarah : 115)
Maka Maha Suci Dia yang ditangan-Nya kekuasaan atas semuanya (Qs. 36 Yaasin : 83)
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (Qs. 55 ar-Rahman : 27)
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. (Qs. 2 al-Baqarah: 255)
Apakah
ini berarti kita bisa melihat Tuhan berdasarkan analogi diatas ?.
jelas tidak mungkin kita melihat Tuhan meskipun kita menggunakan
analogi diatas. Sebab larutan yang menaungi semua benda atau elemen
tadi begitu pekatnya terlihat dari dalam sehingga menutupi eksisten
wujud asli dari sang gelas. Begitupula halnya dengan kita, tidaklah
mungkin melihat wujud asli dari Allah itu sendiri sebab alam semesta
ini, angkasa raya kita ini begitu pekat dengan selimut hitamnya,
begitu penuh dengan lapisan-lapisan atau tingkat kekelamannya, begitu
jauh dan luasnya sehingga tak mungkin terukur secara panjang, lebar
dan luas jarak dari satu titik ketitik yang lain. Bahkan menentukan
titik-titik semesta raya inipun kita tidak akan pernah mampu. Dimana
awalnya dan dimana juga ujung semestanya, semua terlalu pekat untuk
bisa ditembus. Tetapi satu hal, Allah pastinya ada dan menaungi semua
ini.
Pada
kasus Nabi Musa, Allah menyingkapkan sedikit cahaya-Nya menguak
kegelapan semesta yang melingkupi-Nya sehingga akibatnya, pingsanlah
Musa dan gunungpun hancur karena tak kuatnya.
7:143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.
Lalu akan muncul pertanyaan, dengan analogi diatas, berarti TUHAN menjadi satu dengan MAKHLUK ? Perlu keberanian logika untuk membeturkan hal ini dengan keimanan ISLAM. Mari kita lihat ayat berikut,
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Haadid [57] ayat 3)
Memahami
ayat ini perlu tingkat kedewasaan yang tinggi dalam berpikir secara
logika dan kedalaman batin dalam menuntun metode berpikir kita.
Seperti apa yang dikatakan oleh Syeh Siti Jennar, “disini hanya ada
AKU”, yang oleh para pengikutnya diartikan sudah bersatunya sang
guru dengan penciptanya. Kita harus berhati-hati dalam memahami hal
ini, walaupun tujuan kita adalah mencari pembuktian materi, namun
kita janganlah lupa, bahwa akal pikiran kita ada batasnya, bahwa
memang kita bisa membuktikan keberadaan ALLAH dengan segala
ciptaaNYA, namun bertemu denganNYA adalah batas akal pikiran kita.
Pembuktin
logis dengan pendekatan deskrptif yang dipadukan dengan Al-Quran
adalah sebuah langkah yang nyata untuk membuktikan benar atau
tidaknya keIManan kita sebagai muslim, sehingga pengetahuan kita
bersifat obyektif dengan keselarasan antara perkataan/teks (dalam hal
ini adalah Al-Alquran) dan kenyataan (alam semesta). Tujuannya adalah
satu (menurut saya), memperbanyak ilmu kita tentang ALLAH, walaupun
kita tidak akan mampu menyerapnya lebih dari setetes air di lautan,
namun dengan paling tidak, dengan ilmu itu kita mengetahui siapa kita
(manusia), sehingga tidak sombong kepada sang pencipta, ALLAH.