Powered By Blogger

Selasa, 20 Februari 2018

Nyi Roro Kidul


Selama berabad-abad sosok sang kanjeng Ratu Laut Kidul, Nyi Roro Kidul menjadi sebuah mitos yang nyata hidup di dalam kehidupan masyarakat Jawa, terutama masyarakat Yogyakarta yang merupakan keturunan dinasti Mataram. Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural ini terus berkembang sehingga sangat susah dibedakan antara kenyataan dan mitos belaka.

Ada beberapa versi terkait asal usul Nyi Roro Kidul. Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, menyatakan bahwa Ratu Kidul ini mulanya adalah putri dari Kerajaan Galuh, sekira abad 13. Ada pula versi yang menyebut dia adalah keturunan penguasa Pajajaran. Kemudian ada yang mengatakan dia keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan, bahkan masih ada yang mengaitkannya dengan Raja Kediri Jayabaya.

Dikisahkan, Ratu Ayu dari Galuh melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul, bayi perempuan itu bisa bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semua lelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan itu pula, roh Raja Sindhula dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak akan bersuami untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak adalah hanya bisa dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa.

Ratu Pantai Selatan ini menunggu suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati, yang memerintah Mataram Islam 1585-1601, pergi ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan. Konon ketekunannya membuat Laut Selatan bergolak. Istana ratu Pantai Selatan yang berada didasarnya porak poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati.

Ratu Kidul pun keluar sarang, muncul di permukaan lautan. Dia tertegun melihat seorang pemuda gagah tengah bersemedi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana bawah Laut Selatan, ratu Pantai Selatan pun berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangan.

Senapati pun bergegas menuju palagan Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan. Panembahan Senapati menang gemilang.

Cucu panembahan senapati, Sultan Agung yang memerintah 1613-1646, membuat tarian bedhaya yang mengisahkan balada cinta kakeknya dengan Ratu Kidul. Saat terjadi palihan nagari 1755, tulis Nancy K. Florida dalam “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu Kidul,” Indonesia Nomor 53 tahun 1992, keraton Yogyakarta mendapat bagian bedhaya semang dan keraton Surakarta bedhaya ketawang. Tarian ini menjadi sakral dan wajib saat upacara penobatan raja baru.

Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka. Dalam pidato tertulisnya yang berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan? Pram menjelaskan para pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa. 

“Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram.

Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara Kompeni yang juga berwarna hijau.

Hubungan Sultan Yogyakarta dengan Nyai Roro Kidul, dalam tulisan Nancy K. Florida, pernah renggang pada saat meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IX, akhir tahun 1988. Namun, saat penobatan Sultan Hamengkubuwono X, dengan melihat histeria massa dalam penobatannya, konon dukungan dan hubungan dengan Nyai Roro Kidul baik-baik saja.

Kini mengemuka wacana bahwa Sultan Hamengkubuwono X akan digantikan oleh anak perempuannya. Dan kedudukan sultan yang selama berabad-abad diemban oleh lelaki (putra mahkota) kemungkinan besar akan beralih kepada seorang ratu (putri mahkota). Dengan demikian, hubungannya dengan Nyi Roro Kidul pun sepertinya harus didefinisi ulang.


*diambil dari beberapa sumber


Senin, 19 Februari 2018

Ambisi Kubilai Khan Menaklukkan Tanah Jawa


Memang tak diceritakan tuntas oleh "bapakku" bagaimana awal dan akhirnya kerajaan Mongol mencoba menguasai tanah jawa. Hanya sebagian kecil cerita tentang orang-orang Mongol ini terselip di cerita bapakku tentang awal berdirinya kerajaan Majapahit. Lewat berbagai media, saya mencoba menakar sendiri seberapa besar para Kubilai ini ingin menguasai Nusantara. Berikut salah satu versi tentang ketertarikan Mongol terhadap tanah Jawa.

“KALAU sudah kalah raja di Daha, saya akan memberikan seorang putri dari Tumapel yang cantik tiada bandingan di Pulau Jawa, itulah yang akan saya katakan kepada Raja Tatar sebagai alat memperdayakan Raja Tatar.”

Begitu ucapan Aria Wiraraja, seorang adipati di Madura, dalam Pararaton yang ditulis pada abad 17. Berbagai sumber naskah Jawa menyebutnya sebagai sahabat bangsa Tatar, sebutan sumber Jawa untuk Mongol. Kira-kira seperti itu sumber naskah Jawa menjelaskan sebab musabab Majapahit kemudian melawan sekutunya sendiri, bangsa Tatar. Putri raja menjadi iming-iming kepada Raja Tatar agar mau membantu melibas sang pengkhianat, Jayakatwang.

Berbeda dengan sumber Tiongkok, seperti catatan Yuan Shi dan catatan para perwira Mongol, yang menyatakan kedatangannya ke Jawa untuk menghukum Kertanagara yang melukai utusan Mongol, Meng Qi. Sedangkan sumber-sumber Jawa tak menyebut perihal Meng Qi atau wajahnya yang dilukai.

“Mungkin beginilah bagaimana orang Jawa dari masa ke masa memahami dan mengingat hubungan utusan dan upeti Jawa ke Tiongkok,” tulis David Bade, pakar perpustakaan, dalam Of Palm WineWomen and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century.

Pararaton mengisahkan ketika akan menggempur Jayakatwang, pendiri Majapahit Raden Wijaya meminta nasihat Aria Wiraraja. Wiraraja akan meminta bantuan Raja Tatar dengan menawarkan putri Tumapel sebagai imbalannya. Padahal, menurut Pararaton, putri Kertanagara itu telah dinikahi oleh Wijaya.

Akhirnya, ketika ditagih janjinya oleh Tatar, Wiraraja mencari-cari alasan. Ketika tiba saatnya menyerahkan sang putri, datanglah orang Tatar ke Jawa. Mereka tak bersenjata, karena dikibuli Wiraraja kalau sang putri akan ketakutan dan bunuh diri jika melihat tentara bersenjata. Tentara Tatar tentu takut kena marah rajanya jika gagal membawa sang putri. Alih-alih membawa pulang putri, mereka justru tak berkutik ketika diserang pasukan Majapahit. Habis dan binasalah orang-orang Tatar.

Kidung Rangga Lawe tak jauh berbeda ketika menuturkan soal putri yang dijanjikan kepada Raja Tatar. Sementara, sedikit berbeda dengan itu, Kidung Harsawijaya menuturkan, tentara Tatar berseteru dengan pasukan Majapahit, karena Harsawijaya (Wijaya) dianggap ingkar janji. Dia gagal menyerahkan putri Jayakatwang kepada Raja Tatar. Sang putri bunuh diri lebih dulu bersama penghuni keputren ketika mengetahui Jayakatwang moksa dalam perang.

“Aria Wiraraja menjanjikan hadiahnya putri raja. Ini tafsiran belakangan sekali,” ujar Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, ketika ditemui di kampus Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok, Jawa Barat.

Menurut Agus peristiwa sebenarnya tak ada kaitan dengan para putri. Wijaya memerangi balik pasukan Mongol lebih karena Wijaya merasa Mongol sudah terlalu lama di Jawa. Sang raja Majapahit itu merasa tak nyaman.

“Jangan lupa juga Harsawijaya digubah belakangan sekali. Oleh karena itu dalam pertempuran sudah mengenakan mesiu. Mungkin digubah abad 19 di Bali. Paling tua abad 18,” kata Agus. Sedangkan peristiwa Mongol terjadi pada abad 13, masa peralihan kerajaan Singhasari ke Majapahit.

Sementara itu, David Bade menjelaskan, selama memerintah Khubilai Khan juga mendapatkan pasangan dari negara lain. Yuan Shi mencatat negara-negara lain biasanya mengirimkan anggota keluarga kerajaan untuk menunjukkan pengakuan atas kekuasaan Yuan.

Namun, Kertanagara menolak mengirimkan anggota keluarganya meski berulangkali diminta. “Apakah itu yang dimaksud teks Jawa soal perintah Mongol agar mengirimkan anggota kerajaan Singhasari ke Yuan? Mungkin, karena Kertanagara hanya punya anak perempuan, dalam teks Jawa diterjemahkan demikian,” catat David.

Menurut David, arti keberadaan putri-putri raja dalam sumber Jawa tak kalah penting daripada takdir Jawa sendiri. Ketiadaan mereka dalam sumber Tiongkok bukan berarti mereka tidak benar-benar ada. Pasalnya dalam sejarah, Kertanagara memang memiliki empat putri yang semuanya menikah dengan Wijaya.

Mengapa sumber Tiongkok tak menyebut soal putri yang menjadi iming-iming dari Wiraraja untuk Raja Tatar? Sumber Cina begitu serius dan faktual sebagaimana disebut W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Catatan sejarah Tionghoa begitu kronologis, lengkap dengan data nama, tanggal, dan kejadiannya. Namun, itu hanyalah kisah soal pasukan perang yang datang lalu pergi dan tak kembali lagi. Sumber Tiongkok lebih menekankan pada penolakan Jawa terhadap Meng Qi karena berdampak pada Mongol. Putri-putri itu tak ada dalam tujuan dan rencana Mongol, baik dalam militer maupun kehidupan mereka setelah kembali dari Jawa.

Sebaliknya sumber naskah Jawa merasa tidak perlu mengingat Meng Qi. Sedangkan penyerahan seorang putri punya arti yang berbeda bagi Jawa: menyerahkan putri sama dengan menyerahkan seluruh negara.


Bagi orang Jawa, otoritas kerajaan tidak hanya di tangan raja. Permaisuri dan raja sama-sama menjadi pusat dari otoritas itu. David melihat, dalam kisah-kisah Jawa, raja yang mendapatkan cinta dari permaisuri juga akan mendapatkan wewenang untuk berkuasa. Dalam hal ini, Wijaya dikisahkan mendapatkan cinta dari para putri Kertanagara. Sementara kedua putri itu tegas menolak cinta dari Jayakatwang dan Raja Tatar.

“Bukan dengan memiliki seorang perempuan raja mendapatkan legitimasinya, melainkan cinta satu sama lain yang mereka miliki. Ini hal penting untuk bisa memahami bagaimana otoritas politik era Majapahit bekerja,” kata David.

Bagi orang Jawa, kisah tentang Wijaya dan para putri Tumapel yang saling mencintai menjelaskan betapa megah dan terberkahinya pemerintahan Majapahit. Kerajaan itu diperintah atas nama cinta.

“Bagi sumber Tiongkok, utusan kerajaan mewujudkan sebuah otoritas kerajaan. Sangat berbeda dengan pola pikir yang diwujudkan dalam sumber Jawa. Malah dalam cerita-cerita Jawa utusan selalu dikisahkan sebagai seseorang yang membawa intrik, pengkhianatan, dan penipuan,” jelas David.


Kedua sumber itu sama-sama sedang membicarakan usaha kedua pihak untuk mendapat pengakuan atas Jawa. Perbedaannya, bagi Mongol masalah ketika kekuasaannya tak diakui dengan tidak memberikan respons semestinya kepada Meng Qi. Sedangkan bagi Jawa, Meng Qi tak punya otoritas apapun dan yang terpenting adalah nasib sang putri raja.
“Jika Khubilai Khan ingin diakui Jawa, maka yang dia butuhkan adalah cinta dari sang putri,” tulis David. “Makna yang lebih dalam dari kisah ini adalah para putri tak hanya melambangkan otoritas. Mereka menciptakan narasi soal penyerahan cinta sebagai kekuatan. Itu diserahkan pada Wijaya, bukan pada Raja Tatar.”

disadur dari beberapa sumber


Selasa, 13 Februari 2018

Sekilas Pergerakan Pemuda Tahun 1966


Negara ini tidak pernah lepas dengan pergerakan pemuda. Mahasiswa menjadi pioner dalam pergerakan tersebut. Sedari tahun-tahun awal pergerakan para pemuda yang sadar akan bangsa dan negara yang merdeka, hingga yang paling mutakhir pada periode reformasi sekitar tahun 1998 - 2000. Tak jarang gerakan itu juga ditunggangi oleh kekuatan politik yang berseberangan dengan sang penguasa. Para kekuatan politik itu memanfaatkan gerakan para pemuda atau mahasiswa untuk menjatuhkan lawan politiknya, atau paling tidak membuat opini masyarakat mengarah pada propaganda yang dikehendaki.

Seperti yang dikisahkan oleh salah satu pelaku sejarah pergerakan mahasiswa pada tahun 1966. Dalam kisahnya dia bercerita bagaimana terjadinya gesekan antar pergerakan mahasiswa yang terpecah diakibatkan oleh kekuatan politik pada saat itu.

WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara,seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

“Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten 82 tahun lalu tersebut.

Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengordinasi anak-anak muda sesama “marhanenis” untuk melakukan reaksi atas demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno.

“Bung Karno itu kan ibarat bapak kami sendiri, wajar dong jika kami saat itu melakukan pembelaan terhadap beliau …” katanya kepada Historia.

Memasuki tahun 1966, desakan kelompok kanan untuk mengeliminasi Presiden Sukarno dan kekuatan-kekuatan kiri semakin besar. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didominasi aktivis-aktivis HMI dan PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) hampir tiap waktu turun ke jalan.

“Demonstrasi tersebut kerap diringi juga aksi penempelan poster dan pamflet yang isinya menggugat pemerintahan Sukarno dan PKI,” ujar John R. Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Aliansi kelompok mahasiswa kiri yang terdiri dari GMNI Ali-Surachman, Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), tentu tak diam saja. Mereka pun membuat demonstrasi tandingan dan balik merobek poster-poster yang ditempelkan massa KAMI lalu menggantinya dengan poster-poster yang diantaranya berbunyi : “Hidup Bung Karno!” atau “KAMI kanan dan Ditunggangi Nekolim!”

Menurut Soe Hok Gie, beberapa hari sebelum turun ke jalan, perwakilan GMNI-Germindo telah datang menemui Presiden Sukarno. Di hadapan sang presiden, mereka berjanji untuk membela Bung Karno sampai mati. Hok Gie juga juga melansir sebuah kabar yang ia dapat dari Soeripto, kawannya yang bekerja di KOTI (Komando Operasi Tertinggi) bahwa telah disediakan sejumlah dana untuk menandingi demonstrasi KAMI dan mendirikan Barisan Sukarno.

“Jumlahnya 100 juta rupiah…” tulis Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.

Bentrok antara massa akhirnya tak terelakan. Bukan saja di jalanan, di kampus-kampus pun terjadi adu aksi berujung perkelahian. Suasana semakin kritis karena kedua pihak sama-sama didukung oleh kesatuan-kesatuan tentara. Itu terbukti saat chaos berlangsung di Salemba, suatu peleton pasukan Cakrabirawa sempat membuat pos di suatu sudut kampus UI.

“Sementara pasukan-pasukan Kostrad dan RPKAD berpakaian preman selalu siap melindungi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti Sukarno,” tulis John Maxwell.

Perkembangan politik pada akhirnya tidak berpihak ke kubu kelompok sayap kiri. Pada Maret 1967, Presiden Sukarno dilengserkan lewat sidang MPRS. Jenderal Soeharto naik sebagai pejabat Presiden.Begitu berkuasa, Soeharto langsung memberangus kekuatan-kekuatan kiri termasuk Germindo dan CGMI.

GMNI sendiri tentu saja langsung terkena imbas angina politik yang tengah bertiup kencang. Unsur-unsur kanan kaum yang bercokol di PNI (Partai Nasional Indonesia) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja kembali menemukan momentumnya. Tanpa perlu waktu lama mereka pun membersihkan GMNI dari unsur-unsur kiri dan lewat kongres-nya yang kelima mengganti pimpinannya dengan orang-orang pro Orde Baru.

* sumber majalah Historia