Islam bisa diterima oleh
masyarakat Nusantara dan bahkan menjadi mayoritas melalui jalan yang panjang.
Tidak mudah memang jika awalnya masyarakat nusantara sudah memiliki system
tatanan agama dan kebudyaan yang mapan. Pada awalnya Islam sejatinya memiliki
kebudayaan sendiri yang dibawa oleh para penyebar agama ini. Setibanya di
nusantara, kebudayaan tersebut melebur atau menjadi sebuah kebudayaan yang
baru.
Sinkretisme kebudayaan inilah yang akhirnya
berkembang dan menjadi ciri khas islam nusantara yang tidak ditemukan di
belahan bumi lainnya. Sepertiyang dibawa oleh kelompok petani abangan misalnya,
adalah system perpaduan antara budaya Islam dan budaya Lokal. Budaya Islam
sinkretis merupakan gambaran suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari
sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permisif terhadap unsut kebudyaan lokal.
Oleh karena sifat kebudayaan itu dinamis, maka budaya sinkretis juga dinamis.
Sebagai contoh budaya sinkretis yang wujudunya sebagai tradisi slametan,
tahlilan, yasinan, ziarah, metik, sesaji, nyalap berkah dan seterusnya, dari
dulu hingga sekarang tidaklah sama. Masyarakat saat ini melihat tradisi
tersebut sebagai tradisi saat ini, tanpa disadari tradisi tersebut adalah turun
temurun yang wujudnya terus berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia pada
zamannya. Walaupun tradisi tersebut berubah dan berkembang, namun tetap
memperlihatkan adanya suatu benang merah, yaitu hadirnya doa-doa Islam sebagai
roh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah dalam budaya Islam sinkretis.
Doa-doa Islami dan peranglat-perangkat lokal
tidak diikat oleh aturan tertentu. Seperti dalam “slametan” misalnya, alamin
diucapkan ngalamin, alaikum diucapkan ngalaikum dan banyak lagi yang lainnya.
Walaupun akan memiliki makna yang berbeda secara Bahasa, namun hal ini
diperbolehkan dan sah-sah saja dalam budaya sinkretis. Demikian pula
perangkat-perangkat yang disajikan tidaklah harus sama. Setiap komunitas
memiliki budayanya sendiri yang direpresentasikan dengan keunikan daerahnya
masing-masing. Meskipun memiliki keunikan masing-masing, namun keharmonisan
yang terjadi di masyarakat ini tidaklah menimbulkan konflik yang berarti.
Kalaupun terjadi konflik kebudayaan, itupun tidak meluas.
Aspek keharmonisan inilah yang membuat
kebanyakan masyarakat di pedesaan merasa dekat dengan kelompok Islan sinkretis.
Hal ini pula yang membuat mereka masih mempertahankan tradisi sinkretisme,
terutama kepercayaan terhadap para tokoh Islam yang dipercaya merupakan seorang
“wali” atau wakil Tuhan di dunia. Kebudayaan seperti inilah yang selalu
ditentang oleh kaum puritan.
Kaum puritan menerjemahkan Islam haruslah murni.
Kegiatan kebudayaan yang mengatasnamakan agama haruslah benar-benar sejalan
dengan aturan atau syariat Islam yang tidak dapat kita pungkiri membawa
kebudayaan ketika agama Islam diturunkan, yaitu kebudayaan Arab. Kegiatan
masyarakat seperti slametan, ziarah makam para wali dan yang lainnya merupakan
bid’ah bagi kaum puritan. Sesuatu yang belum pernah ada pada zaman Nabi
Muhammad merupakan sebuah keniscayaan kebudayaan yang “haram” dilakukan.
Walaupun paham kaum puritan mendapat tantangan dari kebudayaan lokal, namun
paham ini terus hidup sebagai sebuah khazanah kebudayaan Islam nusantara.
Begitu pula dengan Islam sinkretis sebagai
sebuah kebudayaan lokal tampaknya lebih merupakan objek yang tertekan oleh
system budaya Islam puritan yang bersifat ekspansif. Namun demikian, secara
subtansif Islam sinkretis juga mengimbangi dengan suatu resistensi terutama
yang menyangkut system kepercayaan dan institusi-institusi social dalam bentuk
kultur kearifan lokal.
Sejatinya pada tataran teoretis
terdapat dua konsep penting yang dimiliki oleh setiap agama, yang dapat
mempengaruhi pemeluknya dalam interaksi di antara mereka, yaitu fanatisme dan
toleransi. Dua konsep ini selalu dipraktikkan dalam pola yang seimbang, karena
ketidakseimbangan di antara keduanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial
antar pemeluknya (Turmudi, 2003).
Hal ini sering terlihat di lapangan, bahwa jika fanatisme terlalu kuat sementara toleransi rendah, maka eksistensi agamanya menjadi menguat dan sering menimbulkan permusuhan terhadap penganut agama lain. Sebaliknya, jika fanatisme terlalu lemah sementara toleransi tinggi, maka eksistensi agamanya menjadi melemah karena mereka merasa tidak bangga dengan agama yang dianutnya.
Keanekaragaman budaya, ras, suku bangsa, etnik, dan golongan di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pada tingkat tertentu keanekaragaman itu menimbulkan batas-batas sosial serta perbedaan-perbedaan yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial. Demikian pula keanekaragaman budaya Islam dalam masyarakat pedesaan di Senjakarta, Klaten, baik yang dibawa oleh kelompok pendukung budaya puritanisme maupun pendukung budaya sinkretisme telah mempertegas batas-batas golongan sosial kedua kelompok. Akibatnya, pada tingkat ekstrim, benturan budaya antara kedua kelompok ini pun tidak dapat dihindari. Dalam situasi seperti itu, prasangka-prasangka menjadi lebih mengemuka dan perpecahan pun terjadi. Aspek-aspek simbolik pun dapat berfungsi sebagai penambah faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial.
Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa
telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak
dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya.
Pascakesultaan Demak, estafet
dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram.
Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.
Meski Demak mampu mengislamkan
tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir.
Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun,
Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam
dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.
Saat Mataram berkuasa, dakwah
Islam mulai berubah. Mereka sangat erat memadukan budaya Islam dan budaya
sebelumnya. “Dalam segi keagamaan masanya (Sultan Agung) cenderung mengadakan
pertimbangan antara Islam dan Hindu,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.
Sutiyono dan Ahmad Dzulfikar
dalam Benturan budaya Islam: Puritan & Sinkretis mengatakan,
Kerjaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada di
pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang
ortodoks dengan paham Jawa-Hindu.
Islamisasi Jawa semakin kuat, dan
sebaliknya, Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram
menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa, seperti
Pasuruan (1617 M), Tuban (1619 M), Surabaya (1625 M), Pati (1627 M), dan Giri
(1636 M).
Kota-kota itu dihancurkan karena
kharisma Islam pesisir yang puritan masih bergema memengaruhi wilayah
pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksud politik, yakni
pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam sinkretis, mengingat rakyat
pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (Kejawaan).