Powered By Blogger

Rabu, 24 Januari 2018

Sekilas Tentang Islam Sinkretisme dan Puritan



Sinkretisme kebudayaan inilah yang akhirnya berkembang dan menjadi ciri khas islam nusantara yang tidak ditemukan di belahan bumi lainnya. Sepertiyang dibawa oleh kelompok petani abangan misalnya, adalah system perpaduan antara budaya Islam dan budaya Lokal. Budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permisif terhadap unsut kebudyaan lokal. Oleh karena sifat kebudayaan itu dinamis, maka budaya sinkretis juga dinamis. Sebagai contoh budaya sinkretis yang wujudunya sebagai tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, sesaji, nyalap berkah dan seterusnya, dari dulu hingga sekarang tidaklah sama. Masyarakat saat ini melihat tradisi tersebut sebagai tradisi saat ini, tanpa disadari tradisi tersebut adalah turun temurun yang wujudnya terus berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia pada zamannya. Walaupun tradisi tersebut berubah dan berkembang, namun tetap memperlihatkan adanya suatu benang merah, yaitu hadirnya doa-doa Islam sebagai roh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah dalam budaya Islam sinkretis.

Doa-doa Islami dan peranglat-perangkat lokal tidak diikat oleh aturan tertentu. Seperti dalam “slametan” misalnya, alamin diucapkan ngalamin, alaikum diucapkan ngalaikum dan banyak lagi yang lainnya. Walaupun akan memiliki makna yang berbeda secara Bahasa, namun hal ini diperbolehkan dan sah-sah saja dalam budaya sinkretis. Demikian pula perangkat-perangkat yang disajikan tidaklah harus sama. Setiap komunitas memiliki budayanya sendiri yang direpresentasikan dengan keunikan daerahnya masing-masing. Meskipun memiliki keunikan masing-masing, namun keharmonisan yang terjadi di masyarakat ini tidaklah menimbulkan konflik yang berarti. Kalaupun terjadi konflik kebudayaan, itupun tidak meluas.

Aspek keharmonisan inilah yang membuat kebanyakan masyarakat di pedesaan merasa dekat dengan kelompok Islan sinkretis. Hal ini pula yang membuat mereka masih mempertahankan tradisi sinkretisme, terutama kepercayaan terhadap para tokoh Islam yang dipercaya merupakan seorang “wali” atau wakil Tuhan di dunia. Kebudayaan seperti inilah yang selalu ditentang oleh kaum puritan.
Kaum puritan menerjemahkan Islam haruslah murni. Kegiatan kebudayaan yang mengatasnamakan agama haruslah benar-benar sejalan dengan aturan atau syariat Islam yang tidak dapat kita pungkiri membawa kebudayaan ketika agama Islam diturunkan, yaitu kebudayaan Arab. Kegiatan masyarakat seperti slametan, ziarah makam para wali dan yang lainnya merupakan bid’ah bagi kaum puritan. Sesuatu yang belum pernah ada pada zaman Nabi Muhammad merupakan sebuah keniscayaan kebudayaan yang “haram” dilakukan. Walaupun paham kaum puritan mendapat tantangan dari kebudayaan lokal, namun paham ini terus hidup sebagai sebuah khazanah kebudayaan Islam nusantara.

Begitu pula dengan Islam sinkretis sebagai sebuah kebudayaan lokal tampaknya lebih merupakan objek yang tertekan oleh system budaya Islam puritan yang bersifat ekspansif. Namun demikian, secara subtansif Islam sinkretis juga mengimbangi dengan suatu resistensi terutama yang menyangkut system kepercayaan dan institusi-institusi social dalam bentuk kultur kearifan lokal.
Sejatinya pada tataran teoretis terdapat dua konsep penting yang dimiliki oleh setiap agama, yang dapat mempengaruhi pemeluknya dalam interaksi di antara mereka, yaitu fanatisme dan toleransi. Dua konsep ini selalu dipraktikkan dalam pola yang seimbang, karena ketidakseimbangan di antara keduanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial antar pemeluknya (Turmudi, 2003).

Hal ini sering terlihat di lapangan, bahwa jika fanatisme terlalu kuat sementara toleransi rendah, maka eksistensi agamanya menjadi menguat dan sering menimbulkan permusuhan terhadap penganut agama lain. Sebaliknya, jika fanatisme terlalu lemah sementara toleransi tinggi, maka eksistensi agamanya menjadi melemah karena mereka merasa tidak bangga dengan agama yang dianutnya.

Keanekaragaman budaya, ras, suku bangsa, etnik, dan golongan di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pada tingkat tertentu keanekaragaman itu menimbulkan batas-batas sosial serta perbedaan-perbedaan yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial. Demikian pula keanekaragaman budaya Islam dalam masyarakat pedesaan di Senjakarta, Klaten, baik yang dibawa oleh kelompok pendukung budaya puritanisme maupun pendukung budaya sinkretisme telah mempertegas batas-batas golongan sosial kedua kelompok. Akibatnya, pada tingkat ekstrim, benturan budaya antara kedua kelompok ini pun tidak dapat dihindari. Dalam situasi seperti itu, prasangka-prasangka menjadi lebih mengemuka dan perpecahan pun terjadi. Aspek-aspek simbolik pun dapat berfungsi sebagai penambah faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial.
Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya.

Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.

Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.

Saat Mataram berkuasa, dakwah Islam mulai berubah. Mereka sangat erat memadukan budaya Islam dan budaya sebelumnya. “Dalam segi keagamaan masanya (Sultan Agung) cenderung mengadakan pertimbangan antara Islam dan Hindu,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.

Sutiyono dan Ahmad Dzulfikar dalam Benturan budaya Islam: Puritan & Sinkretis mengatakan, Kerjaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada di pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-Hindu.
Islamisasi Jawa semakin kuat, dan sebaliknya, Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa, seperti Pasuruan (1617 M), Tuban (1619 M), Surabaya (1625 M), Pati (1627 M), dan Giri (1636 M).

Kota-kota itu dihancurkan karena kharisma Islam pesisir yang puritan masih bergema memengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksud politik, yakni pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam sinkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (Kejawaan).

Senin, 15 Januari 2018

Aku Hanya Bisa Diam

Aku hanya bisa diam
Ketika jemarimu menjamah nakal
Aku hanya bisa diam
Ketika lenganmu memeluk binal
Aku hanya bisa diam
Ketika bibirmu mencium hatiku
dan Aku hanya bisa diam
Ketika indahmu merasuk menusuk matiku

Jangan engkau biarkan suasana ini menjadi hitam
Jangan engkau biarkan senja merah merona ini menjadi gelap kelam
dan
Jangan engkau biarkan aku tidak lagi dalam pelukanmu

Resensi Buku : (Novel) Pacar Merah Indonesia







Judul: Pacar Merah Indonesia
Pengarang : Matu Mona
Penerbit : Beranda Publishing
Cetakan : Kedua, Februari 2010
Tebal : 272 halaman
ISBN : 978-979-13013-3-7

Buku ini saya beli beberapa tahun lalu dan sudah saya abaca tuntas. Rasa kangen akan sebuah karya yang berkualitas sedikit terobati ketika saya selesai membaca buku ini, pasalnya saat ini saya sangat jarang menemui sebuah novel berlatar belakang sejarah yang berbobot seperti novel ini.

Sebuah roman dengan latar belakang waktu sekitar tahun 1930 an yang bercerita seorang tokoh pergerakan kemerdekaan, Tan Malaka. Sepak terjangnya yang menjadi buronan Interpol disajikan dalam bentuk roman di novel ini.

Kisah petualangan ini dibumbui juga dengan cerita percintaan antara Pacar Merah dan Ninon Phao. Perempuan ini berusaha keras merebut hati Pacar Merah dan ingin mengikuti ke mana pun ia pergi. Akan tetapi, demi perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan tanah airnya, Pacar Merah menolak dengan halus cinta Ninon dan tetap menganggapnya sebagai adik kandung sendiri. Selain itu, tokoh Pacar Merah digambarkan memiliki kelebihan seperti kemampuan meramal, berubah-ubah sosok, dan berpindah tempat secara gaib.


Harry A Poeze menyatakan bahwa Pacar Merah Indonesia adalah sebuah kisah yang menggabungkan antara fakta dan fiksi. Roman petualangan yang mengambil latar kejadian tahun 1930-1932 ini menampilkan beberapa fakta sejarah tentang gerakan komunis dan kiri radikal di Hindia Belanda dan fiksi spionase, politik, dan percintaan. Tokoh utama cerita ini, Pacar Merah, adalah julukan untuk Tan Malaka yang sering kali dianggap sebagai tokoh misterius dalam pergerakan Indonesia. Tan Malaka juga hidup dalam pelarian terus menerus, terutama setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gagal tahun 1926 dan 1927.

Pengarangnya sendiri, Matu Mona, mengatakan kepada Poeze bahwa ia mendapatkan bahan-bahan untuk menulis cerita itu dari empat atau lima pucuk surat Tan Malaka kepada Adinegoro, Pemimpin Redaksi Pewarta Deli. Dalam surat-surat itu, Tan Malaka mengisahkan pengembaraannya dan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan Indonesia. Adinegoro memperlihatkan surat-surat tersebut kepada Matu Mona yang ketika itu menjadi redaktur Pewarta Deli.


Secara keseluruhan novel ini wajib dimiliki, gagasan tentang kemerdekaan dan alur cerita yang menantang merupakan nilai lebih selain latar belakang sejarah pergerakan kemerdekaan yang menjadi sentral di buku ini. Bagi penyuka sejarah, membaca buku ini akan sangat menyenangkan. 

Selasa, 09 Januari 2018

Kontroversi Kematian Jayanegara


Raja kedua Majapahit, Jayanegara tak pernah dibahas tuntas dalam banyak tulisan. Berbeda dengan Hayam Wuruk yang ditulis gemilang dalam sejarah Majapahit, Jayanegara sering digambarkan sosok yang gagal membawa Majapahit kedalam kejayaan. Jayanegara sering digambarkan seorang yang lemah, egois dan memiliki “kenakalan” tersendiri terhadap wanita. Akibatnya kematiannya pun tak wajar.  Banyak dugaan dan teori konspirasi tentang terbunuhnya Jayanegara, salah satunya seperti tulisan dibawah ini yang dimuat tirto.id pada tanggal 7 Januari 2018.

Suatu hari di tahun 1328, seisi Istana Majapahit sontak geger. Raja Jayanegara tewas bersimbah darah di peraduannya. Penguasa Majapahit kedua ini mati di tangan tabibnya sendiri, Ra Tanca. Jayanegara, yang meminta Ra Tanca mengobati sakit bisulnya, ditikam dari belakang dan tewas seketika. Selain sebagai tabib istana, Ra Tanca juga seorang pengawal raja atau bhayangkara, sama seperti Gajah Mada.

Meskipun tudingan pelaku pembunuhan mengarah kepada Ra Tanca, tapi insiden berdarah ini belum terkuak sepenuhnya. Ada beberapa versi terkait siapa sebenarnya dalang yang menghendaki kematian Jayanegara. Selain Ra Tanca, Gajah Mada masuk dalam daftar tersangka.

Raja yang Tidak Disukai
Jayanegara naik takhta pada 1309. Ia adalah anak dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, dengan seorang putri Kerajaan Dharmasraya dari Sumatera, Dara Petak atau Indreswari. Kitab Pararaton menyebut Jayanegara dengan nama Kalagemet yang ditafsirkan sebagai olok-olok karena nama tersebut memiliki arti “lemah” atau “jahat”.

Memang, banyak orang di Majapahit yang tidak senang dengan naiknya Jayanegara menjadi raja. Salah satu penyebabnya adalah karena Jayanegara berdarah campuran, Jawa dan Melayu, bukan turunan murni dari Kertanagara, raja terakhir Singhasari sebelum Majapahit berdiri.

Selain itu, Jayanegara juga bukan lahir dari permaisuri, melainkan dari istri selir. Padahal, sebelum menikahi Dara Petak, Raden Wijaya sudah punya empat istri yang semuanya adalah putri Kertanagara, seperti ditulis Pitono Hardjowardojo, dkk., Pararaton (1965:46). Namun, Dara Petak berhasil membujuk Raden Wijaya untuk menjadikan putranya, Jayanegara, sebagai putra mahkota.

Merujuk Nagarakertagama, Haris Daryono Ali Haji (2012:42) dalam buku Menggali Pemerintahan Negeri Doho menyebut, kebiasaan raja-raja di Jawa zaman dulu bahwa yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.

Setelah Jayanegara dinobatkan, banyak terjadi guncangan internal, termasuk timbulnya serangkaian pemberontakan. Para pemimpin pemberontakan ini justru orang-orang yang dulu sangat loyal terhadap Raden Wijaya. Setelah Raden Wijaya wafat, mereka menganggap takhta Majapahit jatuh di tangan orang yang salah.

Dari sekian banyak pemberontakan yang muncul pada era Jayanegara, ada beberapa yang paling membahayakan, antara lain pemberontakan yang dimotori oleh Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316, hingga Kuti pada 1319. 


Namun, Jayanegara selalu lolos dari maut dalam berbagai aksi pemberontakan itu. Nyawanya melayang justru ketika situasi kerajaan sudah agak tenang, di tangan orang dalam istana yang tidak lain adalah tabib sekaligus pengawal kepercayaannya sendiri, Ra Tanca.

Gajah Mada Sebagai Dalang?
Banyak referensi yang menyebut Gajah Mada punya andil dalam peristiwa matinya Jayanegara pada 1328, secara langsung atau tidak. Seorang peneliti sejarah asal Belanda, N.J. Krom, dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis, misalnya, meyakini bahwa Gajah Mada adalah otak pembunuhan itu.

Dikutip dari Parakitri Simbolon (2006) dalam Menjadi Indonesia, Krom meyakini bahwa Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara lantaran telah berbuat tidak senonoh terhadap istrinya. Gajah Mada memperalat Ra Tanca yang juga tabib istana untuk membunuh sang raja.

Buku Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Muljana (1979) mendukung versi ini, meskipun Muljana juga memaparkan versi lainnya. Dituliskan, Gajah Mada pada hakikatnya tidak suka pada terhadap Jayanegara dan menggunakan Ra Tanca sebagai alat untuk mengakhiri nyawa raja yang bertabiat buruk itu.

Pararaton seperti dikutip Muljana juga mengungkapkan, Gajah Mada sudah bersiap di kamar raja tanpa diketahui Ra Tanca. Sesaat setelah Jayanegara ditikam, Gajah Mada mendadak muncul dan segera membunuh Ra Tanca. 

Meskipun ada di tempat kejadian perkara, nama Gajah Mada tetap bersih, bahkan ia disebut sebagai pahlawan. “Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk Tanca sampai mati,” tulis Muljana dalam bukunya.

Gajah Mada diduga memang tidak menyukai Jayanegara yang memiliki tabiat buruk dan kurang piawai dalam mengelola pemerintahan. Gajah Mada juga tidak terlalu cocok dengan Ra Tanca yang menjadi salah satu pesaing dalam kariernya  sesama pengawal raja.

Versi ini dilengkapi oleh Purwadi dalam Jejak Nasionalisme Gajah Mada (2004:84) yang menulis, setelah Jayanegara terbunuh, Gajah Mada segera menangkap Ra Tanca dan mengeksekusinya. Yang menjadi persoalan, eksekusi itu dilakukan tanpa melalui pengadilan terlebih dulu. Tindakan inilah yang lantas memunculkan asumsi bahwa Gajah Mada memang sengaja menggunakan Ra Tanca untuk menghabisi nyawa sang raja. 

Konspirasi Menghabisi Jayanegara
Dalam buku yang sama, Slamet Muljana juga mengungkap versi lain ihwal misteri matinya Jayanegara. Disebutkan bahwa pembunuhan itu memang murni dilakukan oleh Ra Tanca dan telah direncanakan sebelumnya.

Ra Tanca kesal terhadap Jayanegara setelah menerima laporan dari istrinya bahwa sang raja telah berbuat tidak sopan terhadap dua saudara tirinya yang juga putri Raden Wijaya, yakni Dyah Gitarja atau Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat atau Sri Rajadewi.

Mengetahui hal ini, Ra Tanca lantas melapor kepada Gajah Mada, tapi sang patih tidak segera bertindak. Ra Tanca, yang merupakan abdi setia mendiang Raden Wijaya, lantas mengambil tindakan sendiri saat mendapatkan kesempatan mengobati Jayanegara.

Purwadi dalam Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa(2007:97) menyebutkan bahwa Jayanegara memang tidak memperbolehkan dua adik perempuan tirinya itu menikah dan selalu menghalangi jika ada lelaki yang hendak meminang.

Setelah Jayanegara tewas, dua putri Majapahit itu akhirnya menikah. Tribhuwana disunting oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan Singhasari (Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (2001: 540). Sedangkan Sri Rajadewi kawin dengan pangeran lainnya bernama Kudamerta.

Krom, seperti halnya Muljana, juga merilis versi lain ihwal pembunuhan Jayanegara. Menurut versi ini, Ra Tanca sudah berencana membunuh raja, bermula laporan istrinya yang mengaku telah dicabuli Jayanegara. Kebetulan, Ra Tanca mendapat kesempatan membalas ketika dipanggil Jayanegara yang memerlukan bantuannya.

Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni: Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit (2012:96-97) punya kesimpulan yang lebih mengejutkan. Ia menyebut, pembunuhan Jayanegara merupakan konspirasi Gayatri bersama Gajah Mada. Gayatri adalah ibu Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi atau salah satu istri Raden Wijaya sebelum menikahi Dara Petak, ibu Jayanegara. 

Menurut Drake, Gayatri dan Gajah Mada ingin menghabisi nyawa Jayanegara karena kepemimpinan sang raja yang sewenang-wenang, serta niat Jayanegara yang ingin menikahi Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi yang tidak lain saudari tirinya sendiri.

Terlepas dari semua versi itu, karier Gajah Mada memang kian mantap setelah Jayanegara tiada. Tribhuwana Tunggadewi yang naik takhta menggantikan kakak tirinya, mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih atau panglima tertinggi Majapahit pada 1334, jabatan yang belum tentu didapatnya jika Jayanegara atau Ra Tanca masih hidup. 


Senin, 08 Januari 2018

Pentingnya Komoditi Garam Di Era Jawa Kuno


Bulan lalu saya pernah membahas tentang keterkaitan Pulau Madura dan komoditi garam dan saat ini saya akan membahas keterkaitan komoditi garam di era Jawa kuno.

Belajar dari sejarah di berbagai peradaban dunia kuno masa lalu, garam pernah menjadi barang berharga yang nilainya bahkan tidak kalah mahal dengan emas.

Dari masa Jawa klasik sendiri, sejumlah sumber berita tekstual tercatat memuat topik tentang garam secara luas. Ini bisa diartikan bahwa garam memiliki nilai penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Prasasti dari Raja Balitung
Istilah “garem” telah muncul dalam prasasti tembaga dari raja Balitung, bersama dengan padak (garam dari tempat pembuatan garam/pegaraman ~ yang dinamai “garam padak”), minyak (lenga) dan gula, yang dibawa dengan cara dipikul (pinikul) (Naersen, BKI 95, 1937; 441~461).

Bukti di atas mengungkap bahwa istilah ini telah dipergunakan sejak abad X Masehi. Kata jadian ‘agarem’ yang berarti digarami atau bergaram juga terdapat dalam kakawin Ramayana.

Kitab lain, yakni Bomakawya menyingkap pemanfaatan garam untuk membuat telor asin sebagaimana tergambar dalam kalimat ‘ikantigagarem’ (dari tiga kata: ika, antiga (telur), garem).

Prasasti Sarwadhamma/Penampihan II
Sumber yang menyinggung pajak terhadap garam (pagagarem) adalah prasasti Penampihan II (Sarwadhamma) bertarikh Saka 1191 (1269 M).

Selain kata “garem, garam dan padak”, ada juga istilah “uyah”. Istilah dari periode Jawa Kuna/Tengahan yang juga dikenal dalam bahasa Jawa Baru ini terdapat dalam Kidung Tantri Kadiri dari Masa Majapahit, berkaitan dengan makanan (panganan). Kalimat yang terbaca adalah “pinangannya tanpa huyah” yang artinya makanannya kurang/tanpa garam.

Prasasti Garaman
Garam juga di produksi di wanua (desa) Garaman sesuai dengan yang tercatat pada Prasasti Garaman bertarikh Saka 975 (1053 Masehi) yang dikeluarkan oleh raja Jenggala Rakai Halu Mapanji Garasakan.

Toponimi ‘Garaman’ yang berkata dasar ‘garam’ menunjukkan adanya produksi garam di sekitar Lamongan pada abad XI Masehi.

Prasasti tembaga Garaman ditemukan oleh Moh. Dahlan, warga Dusun Mandungan, Kelurahan Widang Kecamatan Babad Kabupaten Lamongan pada tahun 1985. Disekitar Widang kini sudah tidak terdapat desa atau dusun yang memiliki nama yang mirip dengan ‘Garaman’. Alih-alih, tidak jauh dari Bluluk terdapat dusun bernama Graman di daerah Modo. Di daerah tersebut pernah ditemukan sejumlah peninggalan arkeologis di dasar suatu sendang atau kolam pada tahun 1980-an.

Prasasti tembaga mudah dipindahkan sehingga muncul dugaan barangkali prasasti tersebut adalah temuan dari desa Graman yang kemudian terelokasi ke Widang

Prasasti Biluluk
Garam diceritakan panjang lebar pada Prasasti Biluluk yang ditemukan di Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan. Prasasti ini dikeluarkan antara tahun 1288-1317 Saka (1366-1397 Masehi), yakni pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 Masehi) dan Wikramawarddhana (1389-1429 Masehi).

Sejauh ini berhasil ditemukan empat prasasti tembaga (tamra-prasasti) di Biluluk, yang dilabeli “Prasasti Biluluk I, II, III dan IV’.
Kini ‘Bluluk’ menjadi nama satu diantara tujuh dusun di Desa Bluluk, nama desa diantara sembilan desa di Kecamatan Bluluk dan sekaligus nama salah satu diantara 27 kecamatan di Kabupaten Lamongan – tepatnya terletak di sub-area selatan Lamongan. Wilayah yang berada lembah sisi utara Pegunungan Kapur (Kendeng) Tengah ini diapit oleh dua sungai besar, yaitu Bengawan Brantas dan Bengawan Solo.

Batas wilayah kecamatan Bluluk adalah Kecamatan Ngimbang di sebelah timur,  Sukorame di sebelah selatan, dengan Kecamatan Kedungadem (Kabupaten Bojonegoro) di sebelah barat dan Modo di sebelah utaranya.

Perkembangan wilayah Bluluk bermula dari dusun Bluluk yang merupakan nama kuno/ archaic name. Kini Bluluk berkembang menjadi nama dusun, desa hingga kecamatan.

Informasi mengenai garam hanya didapati di dalam lempeng Prasasti Biluluk I yang disuratkan di dua sisi (bhimuka) yang memuat empat baris kalimat pada sisi depan (recto) dan enam baris di sisi belakang (verso). Informasi mengenai garam berada pada sisi recto.

Prasasti bertahun Saka 1288 (1366 Masehi) ini tidak menyebut nama raja yang memberi perintah penetapan putusan. Namun, bila merujuk data Prasasti Biluluk II (11312 Saka = 1391 Masehi), yang menyebut gelar ‘Paduka Bhattara Sri Parameswara’ , maka pemberlakuan prasasti Bililuk II dimaksudkan untuk pempertegas perintah (andikanira talampakanita) yang telah sebelumnya diundangkan oleh Bhattara Sri Paremeswara.

Sesuai dengan yang diberitakan dalam Prasasti Mula-Malurung (1255 Masehi), yang menyatakan bahwa sepeninggal Bhattara Parameswara, tahta digantikan oleh Narrarya Guning Bhaya. Nama ‘Bhre Parameswara’ juga disebut dalam kitab gancaran Pararaton sebagai nama gelar (abhisekanama) Raden Kudamreta. Nama lengkapnya adalah ‘Paduka Bhattara Matahun Sri Bhattara Wijayarasanama Wikramottunggadewa’.

Apabila benar demikian, maka ia adalah ‘Bhre Wengker’, yang juga adalah ‘Bhre Matahun’, yang meninggal pada tahun Saka 1310 (1388 Masehi) dan didharmakan di Wisnubhwanapura yang tidak lain adalah Candi Surowono (Surabhana).

Nampaknya, analisa terakhir inilah yang lebih mendekati tokoh yang mengeluarkan perintah untuk warga Biluluk dalam Prasasti Biluluk II. Ada kemungkinan, raja yang mengeluarkan Prasasti Biluluk I adalah Bhattara Parameswara, yakni Bhre Matahun yang sekaligus adalah Bhre Wengker Wijayarajasa yang adalah suami Bhre Daha Raadewi Maharajasa, bibi raja Hayam Wuruk.

Bililuk dalam sisi recto Prasasti Biluluk I tidak disebutkan sebagai ‘desa (thani)’ namun hanya disebut ‘orang-orang di Biluluk (si samasanak ing Biluluk)’. Sisi verso juga menyebutkan daerah lain yang bernama ‘Tanggulunan’.

Ada yang perlu dicermati dalam baris ke-1 sisi verso, yang menyebutkan kata jadian ‘adapur’ di Majapahit, baik terkait dengan Biluluk maupun Tanggulunan. Secara harfiah, kata ‘dapur’ memiliki arti: kesatuan masyarakat pedesaan.

Kata ‘dapur’ juga dididapati di dalam Prasasi Pabanyolan (Gubuk Klakah) dari masa akhir Mahapahit, yang menyebutkan Dapur Pajaran sebagai tempat pertapaan (patapan) semacam mandala kadewagurwan di lembah Tengger-Semeru (kini ‘Desa Pajaran’, Kecamatan Poncokusumo).

Apakah ketika itu Biluluk dan Tanggulunan juga suatu desa yang sekaligus adalah patapan atau semacam mandalakadewagurwan?

Terkait pertanyaan itu, baris awal sisi recto memberitakan tentang ritual pemujaan yang dilakukan setahun sekali (tatkala pajane pisan satahun)’ selama sepekan (sapeken) di Biluluk. Dengan demikian, tentulah di Biluluk terdapat bangunan suci tempat pemujaan agama, yang sayang kini belum ditemukan jejaknya.

Saat berlangsungnya pemujaan itu, warga Desa Biluluk diberi kewenangan (rehane wnang) untuk menimba air asin (acibukana banyu asin).

Kata acibukana memberikan petunjuk bahwa air asin itu berada di permukaan tanah – bukan dalam tanah sehingga untuk mengambilnya cukup secara manual dengan ‘mencibuk’ menggunakan semacam gayung air. Kewenangan itu juga diberikan kepada seluruh warga desa lain di sekitarnya (para dapur ing pinggir samadaya), yang ketika berlangsungnya pemujaan pada kurun waktu sepekan tersebut juga datang ke Biluluk.

Tradisi ini telah berlangsung sejak jaman dulu (hing kunakuna), sehingga terus dijaga kelangsungannya, bahkan dijamin lewat putusan hukum berupa prasasti.

Air asin yang ditimbai oleh banyak orang tersebut sesuai dengan kalimat pada baris ke-4 sisi recto, digunakan untuk ‘cukai (pajak) garam’ yang diistilahkan sebagai pegagarame’, yakni sejumlah : 7 kupang (ku) setiap bulan (nangken wulan).

Perihal ‘pajak terhadap garam (pagarem)’ juga diberitakan dalam prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh Wisnuwarddhana di dalam Prasasti Sarwaddharmma (Penampihan II) bertahun (1191 Saka atau 1269 Masehi) untuk kegiatan ekonomi ‘padadar’ yang bisa diartikan profesi pembuatan lain, atau bisa juga dimaksudkan untuk kerajinan emas, pamedihan (pajak dalam bentuk pakaian) dan pagarem.

Penduduk sekitar masih memiliki memori mengenai ‘banyu asin’ di lembah Bukit Goci di wilayah Bluluk. Air asin yang tersisa sekarang, ada kemungkinan pada masa lalu adalah suatu ‘bledug purba’, yang kini telah mati.

Keberadaan air asin di Biluluk yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan garam menjadi hak warga desa Biluluk yang istimewa, yang dijadikan salah satu mata pencaharianya selain pekerjaan bertani, berdagang (hadagang), membuat atau mencuci pakaian/kain (hamalanten), mewarnai kain (hamedel), membuat arak (hamahat), menyembelih binatang (hajagal),  hamuter (menjajakan barang?), berburu hewan dengan panah (hanglaksa), dan membuat kapur (hangapu). Prasasti Buliluk II juga memberitakan aneka tanaman budidaya, seperti merica (sahang), cabe, kumukus, dan kapulaga.

Disamping itu, Prasasti Biluluk II dan IV memberitakan pekerjaan berkenaan dengan pembuatan peralatan dari besi (wsi), termasuk membuat kuali dari bahan besi (kawali wsi), memahat atau menambang batu (pabatu), mebuat balai atau bangunan rumah/balai (pabale), membuat atap rumah (parahab),mencari rotan (panjalin), menanam kapas (kapas), membuat pagar (parajeg), membuat pasak (pasusuk), dan membuat bendung air (parawuhan, mustinya ‘padawuhan’). Bahkan, terpahat pula beberapa mata pencaharian khusus, seperti berjudi, menyabung ayam, melacur, menganyam bambu, pengukir, membuat/tukang obat, membuat tembikar, pembuat perhiasan, dan lain-lain yang kesemuanya dikenai pajak.

Dalam Prasasti Biluluk III (1317 Saka = 1395 Masehi) bahkan ditambahkan informasi bahwa pajak juga dikenakan untuk pembelian latek (hatuku latek) dan bermacam-macam bea lain. Namun, oleh karena Biluluk ditetapkan sebagai sima atau daerah perdikan, maka pajak tidak disetor kepada pemerintah pusat, melainkan dikelola sendiri secara swatantra.

Kebutuhan akan garam bagi rakyat atau warga dalam (margga/wargga i jro) kerajaan barangkali dipasok dari Biluluk karena lokasinya yang tidak jauh dari pusat pemerintahan (kadatwan Majapahit) di Wilwatikta.

(Artikel ini merupakan penggalan dari artikel utuh yang lebih komprehensif berjudul Urgensi garam dalam prasasti Biluluk dan fluktuasi garam lintas masa tulisan sejarawan UM Dwi Cahyono dari sumber patembayancitralekha.com)


Kamis, 04 Januari 2018

Snouck Hurgronje


Perjalanan pulang saya dari office to home penuh dengan perjuangan yang menyenangkan. Berhimpitan dengan sesama manusia di salah satu rangkaian commuter line menjadikan saya semakin bertambah paham kenapa manusia diciptakan berbeda-beda. Untuk mengisi waktu luang biasanya saya mendengarkan musik sambil membaca. Berita, artikel bahkan novel biasanya menjadi rutinitas di dalam gerbong kereta.

Kemarin sore ketika saya membuka halaman facebook, ada yang memposting tentang salah satu tokoh yang kontroversial di Indonesia. Pertama kali mendengar namanya ketika saya berada di tingkat pertama masa kuliah. Dosen Hukum Islam saya waktu itu pernah beberapa kali menyebut namanya. Snouck Hurgronje, manusia yang menjadi kontroversi pada masanya di bumi Hindia Belanda.

Dari berbagai sumber yang pernah saya baca, saya coba menuliskan sepak terjang tokoh ini. Snouck Hurgronje dilahirkan di Oosterhout pada 8 Februarl 1857 dan meninggal di Leiden 15 Juni 1936. la dibesarkan di tengah keluarga pendeta terkemuka Protestan yang sangat konvensional dan ortodok. Snouck belajar di Leiden yang lingkungannya saat itu sudah sangat liberal. Kala itu ilmu perbandingan agama dan perbandingan sejarah agama yang berkembang di Eropa sangat dipengaruhi oleh teori-teori evolusi Charles Darwin, yang melahirkan suatu teori kebudayaan, yang bahwa kebudayaan Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak dari proses perkembangan kebudayaan dunia.

Sebagai sarjana dan pakar Islamologi, Snouck pada 1894 mendapatkan semacam tugas dari Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda untuk belajar bahasa Melayu ke Arab. Karena Kementerian Negeri Belanda saat itu mengalami kesulitan untuk mengirimkan orang-orang konsultannya ke negeri jajahannya di Asia, terutama di Nusantara bagian Asia Tenggara. Snouck yang sudah dianggap sangat memahami soal-soal umat Islam dipandang cocok untuk ditugaskan ke negeri jajahannya di Nusantara, tapi Snouck waktu itu belum bisa berbahasa Melayu. Oleh kerenanya, ia harus belajar dulu bahasa Melayu ke Arab pada orang-orang Nusantara yang ada di Arab.

Selama di Arab, enam bulan pertama Snouck tinggal di Jeddah, la berhasil bergaul dengan ulama-ulama asal Nusantara (Indonesia) sambil terus belajar bahasa Melayu. Seorang ulama Nusantara yang paling dekat dengan Snouck di Jeddah waktu itu adalah Reden Aboe Bakar Djajadiningrat asal Priangan, Jawa Barat. Malah atas saran dan bujukan Aboe Bakar ini Snouck Hurgronjen kemudian masuk agama Islam di rumah Aboe Bakar di Jeddah pada 4 Januari 1885. Dan bahkan yang memberikan nama Abdul Ghafar untuk Snouck Hurgronje setelah masuk agama Islam ialah Raden Aboe Bakar itu.

Berita Snouck masuk Islam di Arab yang berganti nama Abdul Ghafar menjadi berita santer di kalangan orientalis dunia. Mereka seakan tak percaya kalau Snouck Hurgronje telah masuk Islam secara terang-terangan. Sebab mereka (para orientalis) ini belum menemukan dukumen resmi pengukuhan Snouck masuk Islam. Karena yang mereka tahu Snouck pergi ke Arab (Mekkah) bukan untuk masuk Islam, melainkan untuk belajar agama Islam.

Sebab, bagi Snouck, Islam adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh, dan harus diperlakukan dengan bijaksana oleh pihak Kolonial Belanda. Makanya tak heran, kalau selama di Arab Snouck bekerja keras menuntut ilmu pengetahuan agama Islam. Hampir semua kitab tafsir seperti Tafsir al-Baidhawi, Tafsir al-Bajuri, Al-Ikna’ dan kitab Tuhfah dipelajari sungguh-sungguh dan mendalam oleh Snouck, terutama setelah Snouck pindah ke Mekkah dari Jeddah pada enam bulan kedua ke datangannya ke Arab.

Selama tinggal di Mekkah, Snouck bergaul dengan ulama-ulama besar setempat, sampai kemudian ia kembali ke Belanda pada 1885. Tiga tahun setelah Snouck kembali ke negerinya itu, ia berhasil menerbitkan dua jilid buku dengan judul Mekkah. Ketika buku itu diedarkan, maka nama Snouck Hurgronje pun tersohor ke seluruh dunia. Buku itu dianggap sangat penting bagi tujuan politik kolonial di dunia.

Bertugas di Aceh
Ketika koloni Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) didirikan pada tahun 1800, agama monoteistik dominan bagi sebagian besar masyarakat adat di Hindia Nusantara yang adalah Islam. Karena sinkretisme agama yang kuat, bentuk Islam dicampur dengan unsur-unsur dari agama yang lebih tua. Pedagang Arab dan peziarah haji yang kembali dari Mekkah, banyak dinyatakan interpretasi Islam yang lebih ortodoks. Hal ini menyebabkan munculnya varian ketat dari Islam dengan sebutan 'santri' dengan muslim yang lainnya disebut "abangan".

Kebanyakan gereja-gereja Kristen berpegang pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Protestan dan Katolik misi menunjukkan interpretasi dalam mengikuti strategi pemerintah, tetapi tetap menikmati otonomi yang cukup. Selain itu kolonialisme Belanda tidak pernah didasarkan pada kefanatikan agama. Namun selama abad ke-19 misionaris Kristen menjadi semakin aktif, secara teratur mengarah ke bentrokan atau gesekan, antara Kristen dan Islam dan antara denominasi Kristen yang berbeda.

Hubungan antara pemerintah dan Islam dalam keadaan tidak nyaman. Kekuatan kolonial Belanda menggunakan prinsip pemisahan gereja dan negara dan ingin tetap netral dalam urusan agama. Namun yang sama pentingnya adalah keinginan untuk menjaga perdamaian dan ketertiban yang mana Islam adalah sumber awal inspirasi untuk memberontak melawan pemerintahan kolonial. Motif sosial dan politik terkait dengan keinginan agama berulang kali meledak menjadi kerusuhan dan perang seperti Perang Padri (1821-1837) dan Perang Aceh (1873-1904) di Sumatera.

Mekkah memang tidak hanya telah memberikan inspirasi bagi lahirnya dua buku itu yang ditulis Snouck, tapi Mekkah juga telah membuat Snouck Hurgronje menjadi awal pemahamannya terhadap Aceh. Selama di Mekkah, Snouck menjalin hubungan akrab dengan seorang ulama asal Aceh bernama Habib Abdurrahman Az-Zahir. Ulama ini adalah bekas penasehat utama Sultan Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmudsyah (1870-1874 M). Namun karena diragukan integritasnya sebagai perantara dalam hubungan antara Sultan Aceh dengan pihak Belanda, maka Habib Abdulrahman dipecat oleh Sultan Aceh. Tetapi pemerintah Belanda memberikan pensiun kepada Habib Abdurrahman untuk hidup dan tinggal di Mekkah.

Dari dasar pemahamannya terhadap Aceh di Mekkah, maka ketika Snouck mengetahui berkecamuknya perang Aceh melawan Belanda, Snouck menawarkan diri pada Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda agar ia dapat ditugaskan ke Aceh. Maka pada 1889, Snouck mendapat kesempatan pertama bertugas di Batavia (Jakarta sekarang). Gubernur Jenderal C Picnaeker Hordijk di Batavia waktu itu nnengangkat Snouck menjadi Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.

Tahun 1893 Snouck ditugaskan ke Aceh dengan tugas utamanya untuk menyusun saran-sarannya terhadap penyelesaian perang Aceh dengan Belanda. Pertama sekali Snouck tinggal di Aceh adalah di Ulee Lheue sebagai tempat yang menjadi markas utama militer Belanda. Di Ulee Lheue inilah Snouck berhasif menyususun sebuah laporan pertamanya tentang Aceh, yaitu Atjeh Verslag sebagal laporan yang menjadi dasar kebijakan polilik dan militer Belanda dalam menghadapi Aceh.

Menurut van Koningsveld, bagian pertama laporan Snouck tentang Aceh berupa uraian antropologi masyarakat Aceh, pengaruh Islam sebagai dasar keyakinan orang Aceh, serta peranan ulama dan Uleebalang dalam masyarakat Aceh. Dalam laporan itu Snouck juga menguraikan bahwa perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, Sedangkan Uleebalang menurut Snouck bisa diajak menjadi calon sekutu Belanda, karena kepentingannya adalah berniaga.

Snouck juga menulis bahwa Islam bagi masyarakat Aceh juga harus dinilai negatif, karena Islam bisa membangkitkan fanatisme anti Belanda di kalangan rakyat Aceh. Karenanya, para pemuka agama dalam masyarakat Aceh hendaknya dapat ditumpas agar pengaruh Islam menjadi tipis di Aceh. Dengan demikian para Uleebalang menurut Snouck akan mudah diajak bersekutu dengan Belanda.

Satu kegagalan pemerintah Belanda di Aceh, menurut Snouck adalah akibat tidak adanya pengetahuan Belanda terhadap Aceh sebagai wilayah Islam. Itu sebabnya, ketika Snouck bertugas di Aceh, di samping mempelajari karakter masyarakatnya secara antropologis (adat dan budaya Aceh), ia juga mengkaji kitab-kitab para ulama Aceh. Di antaranya kitab Umdatu al-Muhtajin karangan Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala, sebagai kitab yang dianggap Snouck sangat berpengaruh bagi pengembangan Tarekat Syatariyah di Aceh.

Kembali di Belanda Snouck diterima beberapa profesor di Universitas Leiden, termasuk bahasa Arab, bahasa Aceh dan pendidikan Islam. Dia terus menghasilkan banyak studi akademis yang rumit dan menjadi otoritas internasional pada semua hal yang berkaitan dengan dunia Arab dan agama Islam. Saran ahli tentang isu-isu mendesak sering dicari oleh negara-negara Eropa lainnya dan banyak karyanya sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis dan Inggris. Pada tahun 1925 ia bahkan menawarkan guru besar di Mesir Universitas Nasional bergengsi di Kairo, universitas utama di Timur Tengah. Pada tahun 1927 ia mengundurkan diri sebagai Rektor magnificus dan profesor, tetapi tetap aktif sebagai penasihat hingga kematiannya di Leiden pada 1936.

Selama dan setelah masa akademisnya Snouck tetap menjadi penasihat kolonial progresif dan kritikus. Visi reformis untuk memecahkan tantangan hubungan abadi antara Belanda dan Hindia didasarkan pada prinsip asosiasi. Untuk mencapai hubungan masa depan ini dan mengakhiri pemerintahan dualis ada Hindia Belanda, ia menganjurkan otonomi peningkatan melalui pendidikan barat elit pemerintahan adat. Pada tahun 1923 ia menyerukan: "reformasi Kuat dari konstitusi Hindia Belanda" di mana "kita harus istirahat dengan konsep inferioritas moral dan intelektual pribumi" dan memungkinkan mereka "tubuh demokratis yang bebas dan representatif dan otonomi optimal". Unsur-unsur konservatif di Belanda bereaksi dengan membiayai sebuah sekolah alternatif bagi Pegawai Negeri Sipil di Colonial Utrecht.

Paling tidak Snouck Hurgronje menjadi salah satu pemicu bersatunya umat muslim di Nusantara kala itu. Sepek terjangnya di Acem memberikan wacana baru bagu kamu intelektual muslim. Namanya memang menjadi bahasan setiap perkumpulan muslim hingga saat ini. Allah memang memiliki rencana yang tidak dipahami manusia, mengirimkan “iblis” untuk menyatukan kekuatan iman muslim Indonesia.

* diambil dari beberapa sumber

Selasa, 02 Januari 2018

Resensi Buku : (Novel) Siapa Pengkhianat Diponegoro ?


Penulis                   : E.R Asura
Penyunting            : Pustaka Iman
Genre                     : Fiksi Sejarah
Penerbit                 : Moka Media
Halaman                : 428 Halaman
ISBN                        : 9786027926059

Sebenarnya buku ini sudah lama saya beli dan sudah habis terbaca, namun baru kali ini saya coba me-resensinya. Ketertarikan saya terhadap novel yang satu ini karena ketertarikan saya akan sejarah. Apalagi novel ini menceritakan dalah satu tokoh idola saya, Pangeran Diponegoro.

Konflik perebutan khas tahta keraton nusantara tersaji gamblang di novel ini. Walaupun fiksi, namun latar belakang sejarahnya adalah kenyataan yang ada. Sang dictator Sultan Rama (Sultan Hamengkubuwono ke II) ditampilkan sebagai seorang yang berpendirian kuat dan tegas menjunjung tradisi keraton. Sedangkan karakter Sultan Hamengkubuwono ke III ditampilkan sebagai seorang yang ragu-ragu dan sedikit mendukung politik kerajaan Belanda.

Anak Hamengkubuwono III dari selir, Pangeran Diponegoro sebagai tokoh utama dalam novel ini sangat kuat karakternya. Pemikirannya memiliki visi jauh kedepan walaupun masih berusia muda dan penulis seakan-akan mengambil sebagian sifat dari Sultan Rama pada diri Pangeran DIponegoro.

Persinggungan dengan Kanjeng Ratu Ageng, para ulama dan rakyat biasa, menorehkan pengalaman batin yang lengkap bagi  Raden Ontowiryo kelak dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. Kanjeng Ratu Ageng menjadi patron spiritualisme bagi Raden Ontowiryo dengan tokoh Arjunanya. Para ulama memberi wawasan keislaman yang diharmonisasi dengan mistik Jawa dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai jalan tempuhnya. Dan rakyat biasa telah menularkan kehalusan pekerti. Saat ketiganya berkelindan, justru ia sering kali gamang melihat kenyataan penderitaan rakyat kian memuncak, kekisruhan keraton yang semakin memudarkan karismanya, dan bau amis darah yang semakin terasa dekat, sehingga tak memiliki ruang untuk mencari pembenaran di hadapan Gusti Allah. Rentang 1800-1812 menjadi masa kalabendu sekaligus akan mewujudnya ramalan Parang Kusumo dan Kanjeng Sunan Kalijogo di bumi Mataram. 

Buku ini memang menceritakan sepak terjang Pangeran Diponegoro dalam “memulai” perang Jawa. Perang yang membuat bangkrut VOC serta Kerajaan Belanda. Sejak masih di pesantren, Pangeran Diponegoro sudah menebar benih persatuan rakyatnya. Dibumbui oleh kisah percintaan sorang prajurit wanita, kemudian bagaimana seorang saudagar tiongkok menjadi kepercayaan Belanda di keraton sampai lemahnya sang Sultan Hamengkubuwono IV dalam adu politik dengan Belanda mewarnai alur cerita di novel ini.

Namun ada yang membuat saya kurang nyaman selama membaca novel ini, terkadang alur cerita yang disajikan kurang “nyambung” secara keseluruhan. Mungkin sang penulis bermaksud untuk memberikan suguhan misteri kepada membaca, tapi menurut saya kurang pas. Ditambah Bahasa yang disajikan kurang enak dibaca. Dibandingkan dengan novel dari LKH, kualitas tuliasan novel ini masih jauh dari kata sempurna.

Secara keseluruhan novel ini wajib dikoleksi para penyuka sejarah. Ada gambaran lain dimana sang legenda Diponegoro memperjuangkan kebenaran. Dari novel ini “mungkin” pembaca bisa menemukan realita sejarah yang belum diketahui. Suatu prestasi sendiri bagi sang penulis yang bisa menyatukan kenyataan sejarah dengan roman fiksi sehingga batas kenyataan dan fiki itu sendiri tak berbatas.




Resensi Buku : (Novel) Spora

Penulis                   : Alkadiri
Penyunting            : Dyah Utami
Genre                     : Horor Fiksi
Penerbit                 : Moka Media
Halaman                : 238 Halaman
ISBN                        : 979-795-910-4

Melihat gambar sampulnya membuat pikiran saya menerawang, berangan-angan tentang petualangan misteri sci-fi.Teka-teki yang akan membuat pembaca buku ini ketagihan membayangkan kelanjutan dari halaman berikutnya. Benar saja, halaman-halaman awal dari novel ini menggugah selera saya untuk semakin hanyut oleh cerita yang dibangun oleh pengarangnya.

Ketegangan dimulai ketika salah seorang siswa SMU menemukan sesosok mayat yang kepalanya hancur di halaman sekolahnya. Alif namanya, menjadi tokoh utama dalam novel ini. Petualangannya bersama Rina dan Fiona dibumbui oleh perasaan ketiganya. Antara sahabat atau gadis yang disukai. 

Misteri dari cerita pada novel ini mungkin agak sedikit "hambar" menurut saya karena sebagai orang Indonesia, "spora" yang jadi penjahatnya jauh dari "budaya" lokal. Tapi saya akui, penulis mencoba sesuatu yang berbeda dari kebiasaan orang Indonesia memaknai "horor".

Penulis berhasil membawa saya benar-benar hanyut dalam setiap kalimat pada lembaran-lembaran buku ini. Sesuatu yang tidak saya duga dan akhir yang benar-benar tidak saya duga adalah nilai lebih dari novel ini. Saya pernah beberapa kali membaca novel dari penulis Indonesia, novel ini adalah salah satu yang terbaik untuk genre anak muda. Bacaan ringan tanpa unsur yang "jelimet" ditampilkan dengan apik oleh penulisnya. Tidak banyak - menurut saya - penulis Indonesia yang seperti ini,

Kesimpulannya adalah sangat recomended novel ini sebagai bacaan di kala kebosanan melanda. Memang misterinya tidak seberat ketika kita membaca novel "Sherlock Holmes", namun sudah cukup membuat pembacanya terjebak alur cerita yang memang diinginkan penulisnya. Salut untuk "Alkadiri" sang penulis.