office
14/02/15
14:42
Berawal
dari diskusi ketika nongkrong bareng MUA (Muhammad Nur Arif), teman
kantor, yang membahas perihal penulisan Al-Quran, maka hari ini saya
mencari sumber-sumber tulisan di internet dan buku yang saya punya,
dan saya rangkum sebagai berikut.
DEFINISI
ALQURAN
Al-Qur'an (ejaan
KBBI: Alquran, Arab: القرآن)
adalah kitab
suci agama Islam.
Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun
iman,
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad ,
melalui perantaraan Malaikat
Jibril,
dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad adalah
sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.[1]
ETIMOLOGI
ALQURAN
Ditinjau
dari segi kebahasaan, Al-Qur'an berasal dari bahasa Arab yang berarti
"bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang".
Kata Al-Qur'an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara'a yang
artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada
salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah
Al-Qiyamah yang
artinya
:"Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur'an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya
(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami
telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya".
(Al-Qiyāmah 75:17-18)
TERMINOLOGI
ALQURAN
Dr.
Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: "Kalam
Allah yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dan
ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasuk ibadah".
Adapun
Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai
berikut: "Al-Qur'an
adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi
Muhammad penutup
para nabi dan rasul,
dengan perantaraan Malaikat
Jibril dan
ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita
secara mutawatir,
serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah,
yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan
definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim,
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad ,
tidak dinamakan Al-Qur'an seperti Kitab
Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi
Musa atau Kitab
Injil yang
diturunkan kepada umat Nabi
Isa.
Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad yang
membacanya tidak dianggap sebagai ibadah,
seperti Hadits
Qudsi,
tidak termasuk Al-Qur'an.
STRUKTUR
ALQURAN
- As Sab'uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa', Al-A'raaf, Al-An'aam, Al Maa-idah dan Yunus
SEJARAH KODIFIKASI ALQURAN
Kodifikasi
Al-Qur’an Zaman Rasulullah
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah
atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian
Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun,
yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah
dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu
ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah
merupakan 19/30 dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya
pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz), karena sasaran
yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah
orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang
sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat
ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan/seruan untuk bertauhid
yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga
pembinaan mental dan akhlak.
Adapun
wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat
Madaniyah dan merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan
ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya panjang lebar dan
lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli,
melainkan juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak
masuk Islam dan sudah tentu mereka kurang/belum menguasai bahasa
Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah pada umumnya
berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu
masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai
Allah SWT.[2]
Al-Qur’an
mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17
Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan
tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi
adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu Nabi sedang berada di
gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada
waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada
tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara
wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang
lebih 23 tahun.[3]
Pada
masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih
dahulu Nabi Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian
disampaikan dan diajarkan kepada para sahabatnya pesis seperti apa
yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun.
Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah
menerima ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan meneruskannya pula
kepada para pengikutnya.
Selain
itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang
disebut Khuttab
al-Wahy yang
telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari para sahabat
yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin
ataupun Anshar, baik ketika masih berada di Mekkah maupun di Madinah.
Para penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin
Fuhairah, Amer bin Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi
Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Al-‘Awwam, Khalid bin
Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu
ini menurut orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi
berjumlah 40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad Ali menurut
kutipan Rif’at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah
itu.[4]
Alat-alat
yang mereka gunakan kalau tidak dikatakan primitif masih sangat
sederhana. Para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelapah
kurma), likhaf(batu halus berwarna
putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang
unta), dan aqtab(bantalan dari kayu yang biasa dipasang
di atas punggung unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang
mendapat kepercayaan dari Rasulullah, yaitu Zaid bin Tsabit
menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut:
“Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Al-Qur’an
dari riqa’. Aku mengumpulkannya dari riqa’,
aktaf (tulang unta) dan hafalan-hafalan orang”.
Untuk
menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an
dengan lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak
membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal
ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id
Al-Khudriy yang berbunyi:
لاتكتبوا
عني غير القران ومن كتب عني غير القران
فليمحه (رواه
مسلم)
Janganlah
kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang
telah menulis dari (sumberku)
selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.
Larangan
Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr.
Adnan Muhammad Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang
sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai akurasi AL-Qur’an.
(Ulumul
Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an wa Bayan I’jazihi, hal
86). Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil
“jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam
Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari
Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.[5]
Kepada
para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang
akan mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah
ayat mana. Hal ini disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis,
sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit.
Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya
telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun,
Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah
lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama
untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat
sebelumnya atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan
lafazhbasmalah pada
awal masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam
masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan
bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.[6]
Diriwayatkan
dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:
كنا
عند رسول الله نؤلف القران من الرقاع
Kami
di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.
Maksudnya
mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai
dengan petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt.
Oleh sebab itu, para ulama bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an
adalah bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa urutannya
sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan
perintah dari wahyu Allah swt.
Telah
diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat
kepada Nabi saw. Ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt
memerintahkan kepadamu supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan
ini dari sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata kepada
para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”[7]
Untuk
memperhebat dan memperlancar penulisan Al-Qur’an Rasulullah
menggerakkan kaum muslimin untuk memberantas buta huruf. Berbagai
cara dan usaha telah dilakukan Rasulullah dalam hal ini, antara lain
sebagai berikut:
1. Memberikan
penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang
telah pandai menulis dan membaca.
Rasulullah
saw bersabda:
يوزن
يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء
Pada
hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada.
Berdasarkan
hadis ini berarti orang-orang yang pandai tulis baca ditempatkan
sederajat dengan para pahlawan yang mati syahid di medan pertempuran.
2.Rasulullah
menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta
huruf.
3.Setiap
kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat
dan menyuruh mereka menghafalkannya.
Mengenai
penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Tadwin Al-Qur’an, telah
terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah
dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun
sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini
dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang
terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun
ukurannya.
Al-Suyuti
mengatakan:
وقد
كان القران كتب كله في عهد رسول الله صلي
الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع
واحد ولا مرتب السور
Al-Qur’an
betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa
Rasulullah saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang
seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang
dapat dilihat sekarang ini).
2.
Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Rasulullah
itu menurut yang diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi
dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedang
dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga
lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.[9]
Jadi
setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ketika
menjelaskan pengertian ayat 16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap
penting yang dilalui Rasulullah, yaitu:
Pertama,
tahap penghimpunan Al-Qur’an dibentuk
Rasulullah yakni penghafalan.
Kedua,
tahap pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan di
hadapan Raulullah.
Ketiga,
tahap
penjelasan atau tahap bayan.
Pada
tahap yang terakhir ini Rasulullah diberitahukan pengertian atau
maksud ayat yang beliau terima
Suhuf
Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat dengan
nasakh-nasakh Qur’an yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk
pribadi masing-masing serta ditunjang oleh hafalan para sahabat yang
hafidz Al-Qur’an yang tidak sedikit jumlahnya, maka semuanya itu
dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan
murni, sesuai dengan janji Allah swt dalam surat Al-Hijr: 9, yang
artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an)
dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya/mengamankannya”.
Kodifikasi
Al-Qur’an Zaman Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq
Al-Qur’an
telah selesai diturunkan semuanya pada tanggal 19 Dzulhijjah tahun
ke-10 H, yaitu dengan turunnya ayat yang terakhir di Arafah ketika
Rasulullah mengerjakan Haji Wada’, kira-kira 81 malam sebelum
wafatnya.
Setelah
Rasul wafat, timbullah kekacauan di Jazirah Arab, karena beberapa
orang dari pemimpin qibalah mengadakan pemberontakan. Mereka berusaha
mempengaruhi rakyat supaya turut pula dalam pemberontakan itu.
Tujuannya pemberontakan ini bermacam-macam, antara lain:
1.
Karena ingin membebaskan diri mereka dari tuntutan-tuntutan agama
Islam.
2.
Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan kekuasaan dan pengaruh.
Mereka ini adalah Musailamah Al-Kadzdzab dari suku Bani Hanifah di
Yamamah, Sajah dari suku Bani Taghlab dan Tamim, Thulaihah ibn
Khuwailid dari suku Bani As’ad, dan Al-Aswad Al-Anasi di Yamah.
3.
Orang-orang yang hanya ke luar dari agama Islam tapi tidak mengadakan
tindakan-tindakan lain yang bersifat memusuhi Islam dan kaum
Muslimin.
Untuk
memadamkan pemberontakan ini, maka khalifah Abu Bakar yang baru saja
terpilih sesudah wafat Rasulullah, membentuk 11 pasukan tentara yang
masing-masing dipimpin oleh seorang amir (panglima), antara lain
Khalid ibn Walid. Tapi walaupun demikian tidaklah sedikit korban yang
jatuh. 360 orang dari golongan Anshar dan 300 orang dari golongan
Muhajirin, termasuk di dalamnya 70 para qurra. Pertempuran
di Yamamah ini mencemaskan pemimpin Islam di Madinah, terutama Umar
ibn Khattab. Ia khawatir kalau-kalau pertempuran semacam itu terjadi
lagi ditempat lain yang mengakibatkan pula gugurnya para qurra. Hal
ini akan mengakibatkan habisnya secara berangsur-angsur orang yang
hafal Qur’an. Kalau ini benar-benar terjadi demikian, niscaya
Al-Qur’an tidak akan lagi terpelihara dengan semestinya. Ini
disebabkan karena yang menjadi faktor pertama di masa itu dalam
memelihara Al-Qur’an ialah hafalan mereka. Umar lalu mengusulkan
kepada Abu Bakar supaya mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan
Al-Qur’an itu. Pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, Umar di
satu pihak dan Abu Bakar dan Zaid di pihak lain. Akhirnya setelah
diadakan musyawarah dan menugaskan kepada Zaid untuk melaksanakan
pengumpulan Al-Qur’an itu. Tugas ini dilaksanakan oleh Zaid dengan
sangat teliti.
Zaid
sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang
penulis wahyu yang utama dan hafal Al-Qur’an. Ia dalam menjalankan
tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:
1.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di
rumah Nabi.
2.
Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Zaid
tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau
disaksikan dengan dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu
benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah/petunjuknya.
Tugas
menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu
kurang lebih 1 tahun, yakni antara sesudah terjadi perang Yamamah dan
sebelum wafatnya Abu Bakar.
Al-Qur’an
itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada
lembaran-lembaran yang telah disebutkan di atas, bahkan juga
didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an,
kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan
susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah.
Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi
nama Mushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu
Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.
Maka
faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini
ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang
terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun
ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah
ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan
hati kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara,
dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan
atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh
khalifah Abu Bakar sendiri.
Lembaran-lembaran
AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar
mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1.
Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2.
Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak
di nasakhbacaannya.
3.
Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu
adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4.
Mushhaf itu memiliki Qira-ah
Sab’ah yang
dinuqil
secara
shahih.
Tidak
syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam
pengumpulan Al-Qur’an. Umar yang terkenal dengan
terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentu punya
arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan
besar, karena ia dipercaya menghimpun Kitab Suci Al-Qur’an yang
memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga kerja keras. Tak
bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagaidecision
maker menduduki
posisi tersendiri. Tak berlebihan bial Ali bin Abi Thalib memujinya
dengan mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam
masalah mushhaf adalah Abu Bakar. Dialah orang yang pertama yang
(mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.
Kodifikasi
Al-Qur’an Zaman Khalifah Usman bin Affan
Latar
belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana
mestinya, sebab yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum
muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di
setiap kampung terkenalqira’ah
sahabat
yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu. Penduduk
Syam memakai qira’ah Ubai
bin Kaab. Penduduk Kufah memakaiqira’ah
Abdullah
bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu
Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan
bentuk qira’ah dikalangan
mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara
mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian
yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
Perbedaan
tersebut ialah:
1.
Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki
itu tidak sama susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini
disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak memerintahkan
supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat
tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah
berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an itu terdiri dari 114
kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam
masing-masing surat itu.
2.
Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah
karena Rasulullah sendiri memang memberikan kelonggaran kepada
qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca dan melafadzkan
ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing.
Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka
untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an itu, tetapi kemudian
kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau
dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang
lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-masing
qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan
merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka
menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek
mereka masing-masing.
Orang
yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan
ini ialah seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam
pertempuran, ketika kaum muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan.
Di dalam perjalanan ia pernah mendengar perbedaan qiraat kaum
muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim sedang
bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata
kepada yang lain:قراءتي
أحسن من قراءتك”Bacaanku
lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir melihat
kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap
khalifah Usman dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan
didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu Hudzaifah berkata
(Al-Suyuti, I, 1979:61):
أدرك الآ
مة قبل أن يختلفوا إختلاف اليهود و النصاري
Tertibkanlah
umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihannya orang-orang
Yahudi dan Nasrani.
Usul
Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.
Itulah
sebabnya, Usman kemudian berpikir dan merencanakan untuk membendung
sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir penyakit sebelum
kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat
yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan
meredakan fitnah dan persengketaan itu.
Usman
ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih
empat orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin
Hisyam. Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia
dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada
tahun 24 H.[21]
Tugas
panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau
menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran
yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang
lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin
sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.
Kepada
panitia ini khalifah Usman memberikan patokan-patokan sebagai
berikut:
1. Supaya
panita itu berpedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Al-Qur’an,
di samping tulisan-tulisan yang ada pada mushhaf Abu Bakar.
2. Jika
terjadi pertikaian, antara panitia itu sendiri tentang bacaan
Al-Qur’an, maka panitia hendaklah menuliskannya menurut dealek suku
Quraisy, karena Al-Qur’an itu diturunkan menurut dealek mereka.
Setelah
panitia itu selesai mengerjakan tugasnya, maka naskah yang dipinjam
dari Hafsah dikembalikan kepadanya. Kemudian Usman memerintahkan
untuk mengumpulkan dan membakar semua lembaran-lembaran yang
bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, selain dari lembaran-lembaran yang
ada pada mushhaf, dan naskah-naskah yang baru ditulis oleh panitia.
Panitia tersebut menulis sebanyak 5 buah mushhaf. 4 buah di antaranya
dikirimkan ke daerah-daerah, yaitu Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, dan
yang satu lagi tetap di Madinah untuk khalifah Usman. Inilah yang
dinamakan mushhaf Usman atau mushhaf Al-Imam.[22]
Kini
tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushhaf lainnya. Ia khawatir,
kalau-kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap
beredar. Padahal pada mushhaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan
itu terdapat kalimat yang bukan Al-Qur’an. Karena merupakan catatan
khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa
kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Usman
memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang
memenuhi persyaratan berikut:
1. Harus
terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2. Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3. Kronologi
surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan
mushhaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan mushhaf Usman.
4. Sistem
penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qiraat
yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.
5. Semua
yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis
dimushhaf sebagian sahabat, di mana mereka juga menulis makna ayat di
dalam mushhaf, atau penjelasan Nasikh-Mansukh.
Adapun
manfaat dari usaha penulisan kembali Al-Qur’an di masa khalifah
Usman ini, di antaranya:
1. Kaum
muslimin telah dapat disatukan dalam mushhaf-mushhaf yang seragam
ejaan tulisannya.
2. Mereka
juga dapat disatukan pada qiraat yang sama yang tidak menyalahi ejaan
tulisan pada mushhaf itu, walaupun setelah wafatnya
khalifah Usman sampai sekarang ini masih tetap ada bermacam-macam
qiraat, namun qiraat-qiraat itu adalah yang telah diakui kebenarannya
dan diriwayatkan dengan mutawatir dari Rasulullah, dan tidak pula
berlawanan dengan ejaan tulisan pada mushhaf Usman itu. Adapun
qiraat-qiraat yang tidak sesuai dengan ejaan tulisan itu telah dapat
dilenyapkan.
3. Kaum
muslimin dapat pula disatukan mengenai susunan surat pada
mushhaf-mushhaf mereka. Dengan demikian dapatlah dihindarkan bahaya
yang lebih besar, sebab kalau susunan mushhaf itu tidak seragam di
mana-mana tentulah akan timbul keragu-raguan pada generasi yang akan
datang kemudian tentang kebenaran Al-Qur’an itu.
4. Dengan
adanya 5 buah nushhaf yang resmi itu, maka kaum muslimin telah
mempunyai standar yang akan menjadi pedoman mereka dalam membaca,
menghafal dan memperbanyak mushhaf-mushhaf Al-Qur’an itu, sehingga
penyiaran dan pemeliharaan Al-Quran itu lebih baik dan lebih terjamin
keasliannya.[24]
Persamaan
dan Perbedaan Proses Kodifikasi
Pengumpulan
Al-Qur’an oleh Abu Bakar berbeda dengan yang dilakukan oleh Usman.
Dari uraian di atas kita dapat membedakan yang dilakukan oleh kedua
khalifah itu.
Pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah memindahkan ayat-ayat
Al-Qur’an dari pelapah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu
mushhaf. Sementara sebab pengumpulannya adalah karena gugurnya
para huffadzh.Sedang
pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman adalah sekedar memperbanyak
salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar untuk
dikirimkan ke berbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan
Al-Qur’an adalah terjadinya perbedaan qiraah dalam membaca
Al-Qur’an. Wallahu
A’lam Bishshawab.