Powered By Blogger

Selasa, 24 Januari 2017

Perang Salib (Resensi Buku)

Pada awalnya saya ragu untuk membeli buku ini, karena harganya sangat mahal (waktu saya masih kuliah). Namun apa boleh buat, kecintaan dan pasion saya terhadap "membaca buku" memugar segala persepsi saya tentang uang (hihihihihi, lebay). 

Buku setebal 800 halaman ini dengan cover tebal dan design wah memang jadi primadona kala itu. Mengangkat fenomena perang salib dari prespektif yang berbeda dari biasanya menjadi senjata utama bagi sang penulis, Carole Hillenbrand. Tidak biasanya, seorang penulis eropa mengambil sudut pandang perang salib dari sisi umat muslim. Kita tahu bersama bahwa perang salib tidak hanya menghasilkan perang yang berkepanjangan dan menumpaskan korban manusia, namun kebudyaan manusia ikut menjadi korbannya. Propaganda yang dilakukan lewat tulisan, syair, dongeng, legenda atau apapun namanya menjadi alat yang ampuh di pihak masing-masing sehingga kebenaran terjadinya perang salib ini sebagai perang suci sangat diragukan.

Jika kita membuka lembaran sejarah, mungkin tidak ada kejadian yang lebih memilukan dan begitu dahsyat dampak jangka panjangnya bagi peradaban daripada Perang Salib. Perang yang terjadi antara 1099 hingga 1291 dan melibatkan seluruh kekuatan Eropa (Kristen) melawan kekuatan muslim di bawah imperium Bani Abbasiyah itu tercatat sebagai salah satu perang terbesar dan terlama sepanjang masa.

Kekejaman perang dan korban baik jiwa maupun materi yang tidak terhitung banyaknya menunjukkan betapa manusia bisa lebih kejam daripada hewan. Ironisnya, mereka berperang atas nama agama.

Dalam jangka panjang, dampaknya diyakini sebagian besar sejarawan sebagai akar dari segala konflik antara Timur (Islam) dan Barat. Hal ini digarisbawahi Carole Hillenbrand, penulis buku The Crusade; Islamic Perspectives (Perang Salib, Sudut Pandang Islam). Carole menegaskan telah terjadi distorsi dalam banyak literatur sejarah tentang Perang Salib yang ditulis sejarawan Eropa dan para orientalis. Selama berabad-abad, sejarah Perang Salib telah dijadikan sebagai propaganda penaklukan Eropa terhadap Islam dan dengan cara sedemikian rupa membentuk pandangan umum masyarakat Barat hingga saat ini terhadap Islam sebagai 'setan' yang harus dimusuhi dan diperangi.

Poin utama pendistorsian sejarah Perang Salib itu menurut Carole adalah pengabsahannya sebagai Perang Suci. Dalam banyak literatur para sejarawan beranjak dari asumsi bahwa Perang Salib merupakan serangkaian operasi militer yang didorong keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, terutama Yerusalem, masuk ke wilayah perlindungan mereka. Dengan kata lain, Perang Salib adalah perang suci untuk mengusir orang-orang kafir dari kerajaan Tuhan.

Bagi guru besar studi Islam dan Bahasa Arab di University of Edinburg ini, penulisan sejarah yang demikian menyiratkan ketidakobjektifan. Sebab, data-data sejarah yang diungkapkan bersifat sepihak dan tidak mempertimbangkan kemungkinan lain yang bisa ditemukan dalam literatur-literatur Islam. Akibatnya, lahirlah kesalahpahaman yang berlangsung selama berabad-abad. Carole tertantang untuk menampilkan perspektif Islam yang lama terkubur dengan menggali kembali berbagai sumber Islam Abad pertengahan. Dia merujuk langsung kepada para sejarawan muslim masa itu seperti Ibn al-Qalanisi, Abu Syamah, Ibnu Jubayr, Ibnu Syaddad, Al-Maqrizi, al-Ishfahani, dan Ibnu Khaldun. Kemudian dia melengkapinya dengan penelitian arkeologis terhadap bangunan-bangunan, prasasti-prasasti, lukisan-lukisan dan benda-benda lain peninggalan Perang Salib.
Yang cukup menarik, dia tidak menyajikannya dalam bentuk yang kronologis. Hal ini bisa dimaklumi sebagai upaya Carole untuk memulai penulisan sejarah yang benar-benar baru dan berbeda dengan para pendahulunya. Dia membagi bab-bab dalam buku itu berdasarkan tema-tema utama Perang Salib dan pergeseran pandangan para sejarawan muslim tentangnya. Dia merangkai semuanya dengan menggunakan hipotesisnya bahwa Perang Salib bagi umat Islam adalah jihad.
Selanjutnya, dengan sengaja Carole memperbandingkan atau bahkan mungkin mempertentangkan konsep jihad dengan konsep perang suci. Dalam mengupas jihad, Carole tidak sekadar menampilkannya dalam kerangka penulisan hukum Islam (fikih). Dia mengombinasikan konsep jihad dalam berbagai literatur fikih dengan fakta-fakta sejarah yang dia temukan. Dia mencatat bahwa pandangan kebanyakan orang barat tentang jihad adalah keliru, demikian halnya dengan pemahaman sebagian kelompok muslim kontemporer.

Hingga saat ini, pandangan umum yang berlaku di barat adalah 'Islam agama pedang'. Sedangkan di kalangan muslim banyak yang tidak memahami seluk beluk jihad. Mereka memandang jihad hanya sebagai sebuah istilah retoris, seruan penggerak dan pemersatu yang menarik emosi, namun mereka tidak jelas dalam hal bagaimana jihad itu diwujudkan. Istilah jihad sering dijadikan buah mulut oleh kepala-kepala negara modern yang tidak memiliki sistem pendukung dari ahli-ahli hukum, penulis-penulis risalah, dan para pendakwah.
Menurut Carole, konsep jihad sebenarnya mengalami beberapa tahap evolusi. Dalam setiap tahapan itu, tercermin kehati-hatian dari para pelakunya dalam menetapkan implikasi-implikasi dan target-target jihad. Meskipun demikian, proses evolusi itu tidak mengubah esensi jihad yang meliputi dua hal, yaitu: jihad besar (al-jihad al-akbar) dan jihad kecil (al-jihad al-ashghar). Jihad besar adalah jihad yang wajib dilakukan setiap muslim melawan dirinya sendiri, menaklukkan hawa nafsunya sendiri. Nilainya lebih tinggi dari jihad kecil yaitu perang militer melawan orang-orang kafir.
Tahap pertama evolusi jihad dimulai pada masa Islam awal pasca-Nabi Muhammad, yaitu masa khulafaurrasyidin dan Bani Umayyah. Pada masa ini jihad dimaknai sebagai perjuangan menyebarkan agama Islam sebagai rahmat bagi semua umat manusia. Bahkan, jihad sering kali dianggap sebagai rukun Islam yang keenam. Motivasinya adalah murni keagamaan, yaitu mengislamkan orang kafir. Prestasi jihad ini ditandai dengan terbentuknya imperium Islam yang terbentang dari Spanyol di barat sampai bagian utara India dan Asia tengah di timur.
Tahap kedua adalah pada masa Dinasti Abbasiyah (sejak akhir abad ke-8). Jihad lebih dilandaskan pada konsep damai, bukan perang, yang dikenal dengan dar al-shulh (wilayah perdamaian). Maksud dari konsep ini adalah bahwa negara-negara nonmuslim boleh mempertahankan otonomi mereka dan bebas dari serangan asalkan mereka mengakui pemerintahan Islam dan membayar upeti. Hal ini disebabkan oleh faktor kegagalan upaya-upaya untuk merebut Konstantinopel yang waktu itu merupakan ibu kota imperium Byzantium (Romawi Timur), dan perpecahan di tubuh masyarakat Islam sendiri, antara Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani Fatimiyah di Mesir yang Syiah. Tahap kedua ini dilanjutkan masa kefakuman jihad, sampai terjadinya Perang Salib.

Tahap ketiga terjadi pada masa Perang Salib. Inilah awal kebangkitan kembali jihad. Tahap ini terbagi menjadi dua. Pertama, jihad dengan tujuan menaklukkan kembali kota suci Yerusalem. Puncaknya adalah jatuhnya Yerusalem ke tangan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin). Jihad ini bersifat reaksioner, yaitu sebagai perlawanan terhadap serangan tentara Salib. Kedua, jihad dengan tujuan sebagai pertahanan-–untuk membersihkan dunia Islam Sunni dari kehadiran orang kafir dan kaum bid'ah. Jihad bukan lagi agresi militer ke wilayah orang kafir, tetapi perjuangan untuk mendudukkan wilayah muslim di tempat yang pertama. Puncaknya adalah jatuhnya Acre ke tangan umat Islam yang berarti pengusiran kaum Frank (tentara Salib) dari seluruh bumi Islam.
Menurut Carole, dalam rentang waktu antara awal berdirinya imperium Islam pada abad ke-8 sampai berakhirnya Perang Salib di akhir abad ke-13 telah terjadi pergeseran makna yang sangat signifikan dalam konsep jihad. Jihad tidak lagi dimaksudkan untuk 'memerangi' atau 'mengislamkan' orang kafir. Tetapi jihad lebih ditujukan sebagai 'reaksi' atas agresi dari luar. Motivasi jihad pun tidak semata-mata bersifat ideologis (murni agama). Dalam perang-perang kaum muslim melawan tentara Salib, elemen ideologis jihad selalu berjalan paralel dengan banyak faktor lainnya: ekspansionisme, kepentingan-kepentingan politik-militer, xenophobia, faktor-faktor ekonomi, dan rasa takut terhadap erangan dari Eropa.
Lebih jauh lagi, Carole melihat bahwa penegasan fungsi jihad sebagai pendorong utama bagi gerakan penaklukan, penyebaran agama, dan pertahanan yang penting di sepanjang sejarah Islam, memiliki relevansi dengan kesadaran Arab dan muslim dewasa ini. Perang Salib dipandang oleh banyak kaum muslim sebagai upaya pertama Barat untuk menjajah 'wilayah Islam'. selain itu, Perang Salib merupakan model penggunaan elemen jihad yang berhasil mengusir bangsa asing, yakni para tentara Salib, dari wilayah muslim. Banyak kaum muslim di era 1990-an yang memandang Israel sebagai Negara tentara Salib yang baru dan harus dilawan dengan jihad. Perlawanan itu juga diberlakukan terhadap Amerika Serikat yang dianggap sebagai dalang dan penyokong utama Israel, dan Negara-negara Barat lain yang berada di belakangnya. Ironisnya, keadaan Yerusalem saat ini menunjukkan banyak kemiripan dengan keadaan Yerusalem pada masa Perang Salib.
Akhirnya, Carole mengakui bahwa pandangan sepihak buku ini (hanya dari perspektif muslim) sama bias dan sama tidak lengkapnya dengan pendekatan yang mempelajari Perang Salib hanya dari sudut pandang Eropa.
Namun, tujuan dari buku ini memang hanya untuk memberi perimbangan. Tugas yang masih harus terus dilakukan adalah menyeimbangkan bukti-bukti dari semua pihak 'kaum Eropa barat, Bizantium, Yahudi, Kristen Timur, dan Islam' sehingga bisa diperoleh pandangan yang lebih menyeluruh tentang Perang Salib. Dengan demikian, kesalahpahaman tentang fakta di seputar Perang Salib bisa segera dihapuskan, konflik berdarah atas nama agama segera berakhir, dan perdamaian abadi yang dicita-citakan oleh semua agama tercapai.


Agama dan Budaya


Pertanyaan pertama ketika saya diajarkan bagaimana melaksanakan sholat oleh ibu saya adalah "kenapa saya harus beragama" ?.  Sebenarnya pertanyaan itu terus menggema di telinga saya dan menggelitik hati serta pikiran saya untuk menemukan jawabannya. Namun dari semua pencarian itu, jawaban pertama yang berasal dari ibu sayalah yang mempesona, "kita beragama agar hidup kita mendapat ridho ALLAH". Jawaban yang singkat dan menyejukkan hati saya. Kemanapun akal pikiran saya berkelana menerobos liarnya dunia, jawaban ibu saya menjadi dasar berpikir saya.

Manusia sejatinya adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan langkah hidupnya. Akal dan hati adalah kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia menjadi sempurna. Melalui kehidupan, manusia menghasilkan sebuah perilaku keseharian yang bermuara pada kebudyaan manusia itu sendiri. Jadi sangan jelas bahwa budaya berasal dari manusia. Sedangkan agama ada yang berasal dari firman Tuhan, agama Samawi. Dan agama yang berasal dari kebudayaan manusia, kita menyebutnya sebagai agama kepercayaan kepada nenek moyang.

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.

Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani, menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek keberagamaan seperti itu secara proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa “sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada Allah SWT. 

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak Islam?.

Apa yang dilakukan para wali songo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah sebuah contoh kolaborasi antara kebudayaan dan agama. Keberhasilan mereka dalam meramu kebudayaan dalam khasanah agama menjadikan Islam dapat diterima oleh masyarakat waktu itu. Satu hal yang menjadi warisan wali songo adalah Islam dengan kebudyaan nusantara, bukan kebudayaan Arab.