Pada awalnya saya
ragu untuk membeli buku ini, karena harganya sangat mahal (waktu saya masih
kuliah). Namun apa boleh buat, kecintaan dan pasion saya terhadap "membaca
buku" memugar segala persepsi saya tentang uang (hihihihihi, lebay).
Buku
setebal 800 halaman ini dengan cover tebal dan design wah memang jadi primadona
kala itu. Mengangkat fenomena perang salib dari prespektif yang berbeda dari
biasanya menjadi senjata utama bagi sang penulis, Carole Hillenbrand. Tidak
biasanya, seorang penulis eropa mengambil sudut pandang perang salib dari sisi
umat muslim. Kita tahu bersama bahwa perang salib tidak hanya menghasilkan
perang yang berkepanjangan dan menumpaskan korban manusia, namun kebudyaan
manusia ikut menjadi korbannya. Propaganda yang dilakukan lewat tulisan, syair,
dongeng, legenda atau apapun namanya menjadi alat yang ampuh di pihak
masing-masing sehingga kebenaran terjadinya perang salib ini sebagai perang
suci sangat diragukan.
Jika kita membuka lembaran sejarah,
mungkin tidak ada kejadian yang lebih memilukan dan begitu dahsyat dampak
jangka panjangnya bagi peradaban daripada Perang Salib. Perang yang terjadi
antara 1099 hingga 1291 dan melibatkan seluruh kekuatan Eropa (Kristen) melawan
kekuatan muslim di bawah imperium Bani Abbasiyah itu tercatat sebagai salah satu
perang terbesar dan terlama sepanjang masa.
Kekejaman perang dan korban baik jiwa maupun materi yang
tidak terhitung banyaknya menunjukkan betapa manusia bisa lebih kejam daripada
hewan. Ironisnya, mereka berperang atas nama agama.
Dalam jangka panjang, dampaknya diyakini sebagian besar
sejarawan sebagai akar dari segala konflik antara Timur (Islam) dan Barat. Hal
ini digarisbawahi Carole Hillenbrand, penulis buku The Crusade; Islamic
Perspectives (Perang Salib, Sudut Pandang Islam). Carole menegaskan telah terjadi
distorsi dalam banyak literatur sejarah tentang Perang Salib yang ditulis
sejarawan Eropa dan para orientalis. Selama berabad-abad, sejarah Perang Salib
telah dijadikan sebagai propaganda penaklukan Eropa terhadap Islam dan dengan
cara sedemikian rupa membentuk pandangan umum masyarakat Barat hingga saat ini
terhadap Islam sebagai 'setan' yang harus dimusuhi dan diperangi.
Poin utama pendistorsian sejarah Perang Salib itu menurut
Carole adalah pengabsahannya sebagai Perang Suci. Dalam banyak literatur para
sejarawan beranjak dari asumsi bahwa Perang Salib merupakan serangkaian operasi
militer yang didorong keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan
tempat-tempat suci umat Kristen, terutama Yerusalem, masuk ke wilayah
perlindungan mereka. Dengan kata lain, Perang Salib adalah perang suci untuk
mengusir orang-orang kafir dari kerajaan Tuhan.
Bagi guru besar studi Islam dan Bahasa Arab di University
of Edinburg ini, penulisan sejarah yang demikian menyiratkan ketidakobjektifan.
Sebab, data-data sejarah yang diungkapkan bersifat sepihak dan tidak
mempertimbangkan kemungkinan lain yang bisa ditemukan dalam literatur-literatur
Islam. Akibatnya, lahirlah kesalahpahaman yang berlangsung selama berabad-abad.
Carole tertantang untuk menampilkan perspektif Islam yang lama terkubur dengan
menggali kembali berbagai sumber Islam Abad pertengahan. Dia merujuk langsung
kepada para sejarawan muslim masa itu seperti Ibn al-Qalanisi, Abu Syamah, Ibnu
Jubayr, Ibnu Syaddad, Al-Maqrizi, al-Ishfahani, dan Ibnu Khaldun. Kemudian dia
melengkapinya dengan penelitian arkeologis terhadap bangunan-bangunan,
prasasti-prasasti, lukisan-lukisan dan benda-benda lain peninggalan Perang
Salib.
Yang cukup menarik, dia tidak menyajikannya dalam bentuk
yang kronologis. Hal ini bisa dimaklumi sebagai upaya Carole untuk memulai
penulisan sejarah yang benar-benar baru dan berbeda dengan para pendahulunya.
Dia membagi bab-bab dalam buku itu berdasarkan tema-tema utama Perang Salib dan
pergeseran pandangan para sejarawan muslim tentangnya. Dia merangkai semuanya
dengan menggunakan hipotesisnya bahwa Perang Salib bagi umat Islam adalah jihad.
Selanjutnya, dengan sengaja Carole memperbandingkan atau
bahkan mungkin mempertentangkan konsep jihad dengan konsep perang suci. Dalam
mengupas jihad, Carole tidak sekadar menampilkannya dalam kerangka penulisan
hukum Islam (fikih). Dia mengombinasikan konsep jihad dalam berbagai literatur
fikih dengan fakta-fakta sejarah yang dia temukan. Dia mencatat bahwa pandangan
kebanyakan orang barat tentang jihad adalah keliru, demikian halnya dengan
pemahaman sebagian kelompok muslim kontemporer.
Hingga saat ini, pandangan umum yang berlaku di barat
adalah 'Islam agama pedang'. Sedangkan di kalangan muslim banyak yang tidak
memahami seluk beluk jihad. Mereka memandang jihad hanya sebagai sebuah istilah
retoris, seruan penggerak dan pemersatu yang menarik emosi, namun mereka tidak
jelas dalam hal bagaimana jihad itu diwujudkan. Istilah jihad sering dijadikan
buah mulut oleh kepala-kepala negara modern yang tidak memiliki sistem
pendukung dari ahli-ahli hukum, penulis-penulis risalah, dan para pendakwah.
Menurut Carole, konsep jihad sebenarnya mengalami beberapa
tahap evolusi. Dalam setiap tahapan itu, tercermin kehati-hatian dari para
pelakunya dalam menetapkan implikasi-implikasi dan target-target jihad.
Meskipun demikian, proses evolusi itu tidak mengubah esensi jihad yang meliputi
dua hal, yaitu: jihad besar (al-jihad al-akbar) dan jihad kecil (al-jihad
al-ashghar). Jihad besar adalah jihad yang wajib dilakukan setiap muslim
melawan dirinya sendiri, menaklukkan hawa nafsunya sendiri. Nilainya lebih tinggi
dari jihad kecil yaitu perang militer melawan orang-orang kafir.
Tahap pertama evolusi jihad dimulai pada masa Islam awal
pasca-Nabi Muhammad, yaitu masa khulafaurrasyidin dan Bani Umayyah. Pada masa
ini jihad dimaknai sebagai perjuangan menyebarkan agama Islam sebagai rahmat
bagi semua umat manusia. Bahkan, jihad sering kali dianggap sebagai rukun Islam
yang keenam. Motivasinya adalah murni keagamaan, yaitu mengislamkan orang
kafir. Prestasi jihad ini ditandai dengan terbentuknya imperium Islam yang terbentang
dari Spanyol di barat sampai bagian utara India dan Asia tengah di timur.
Tahap kedua adalah pada masa Dinasti Abbasiyah (sejak
akhir abad ke-8). Jihad lebih dilandaskan pada konsep damai, bukan perang, yang
dikenal dengan dar al-shulh (wilayah perdamaian). Maksud dari konsep ini adalah
bahwa negara-negara nonmuslim boleh mempertahankan otonomi mereka dan bebas
dari serangan asalkan mereka mengakui pemerintahan Islam dan membayar upeti.
Hal ini disebabkan oleh faktor kegagalan upaya-upaya untuk merebut
Konstantinopel yang waktu itu merupakan ibu kota imperium Byzantium (Romawi
Timur), dan perpecahan di tubuh masyarakat Islam sendiri, antara Bani Abbasiyah
yang Sunni dengan Bani Fatimiyah di Mesir yang Syiah. Tahap kedua ini
dilanjutkan masa kefakuman jihad, sampai terjadinya Perang Salib.
Tahap ketiga terjadi pada masa Perang Salib. Inilah awal
kebangkitan kembali jihad. Tahap ini terbagi menjadi dua. Pertama, jihad dengan
tujuan menaklukkan kembali kota suci Yerusalem. Puncaknya adalah jatuhnya Yerusalem
ke tangan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin). Jihad ini bersifat reaksioner, yaitu
sebagai perlawanan terhadap serangan tentara Salib. Kedua, jihad dengan tujuan
sebagai pertahanan-–untuk membersihkan dunia Islam Sunni dari kehadiran orang
kafir dan kaum bid'ah. Jihad bukan lagi agresi militer ke wilayah orang kafir,
tetapi perjuangan untuk mendudukkan wilayah muslim di tempat yang pertama.
Puncaknya adalah jatuhnya Acre ke tangan umat Islam yang berarti pengusiran
kaum Frank (tentara Salib) dari seluruh bumi Islam.
Menurut Carole, dalam rentang waktu antara awal berdirinya
imperium Islam pada abad ke-8 sampai berakhirnya Perang Salib di akhir abad
ke-13 telah terjadi pergeseran makna yang sangat signifikan dalam konsep jihad.
Jihad tidak lagi dimaksudkan untuk 'memerangi' atau 'mengislamkan' orang kafir.
Tetapi jihad lebih ditujukan sebagai 'reaksi' atas agresi dari luar. Motivasi
jihad pun tidak semata-mata bersifat ideologis (murni agama). Dalam
perang-perang kaum muslim melawan tentara Salib, elemen ideologis jihad selalu
berjalan paralel dengan banyak faktor lainnya: ekspansionisme,
kepentingan-kepentingan politik-militer, xenophobia, faktor-faktor ekonomi, dan
rasa takut terhadap erangan dari Eropa.
Lebih jauh lagi, Carole melihat bahwa penegasan fungsi
jihad sebagai pendorong utama bagi gerakan penaklukan, penyebaran agama, dan
pertahanan yang penting di sepanjang sejarah Islam, memiliki relevansi dengan
kesadaran Arab dan muslim dewasa ini. Perang Salib dipandang oleh banyak kaum
muslim sebagai upaya pertama Barat untuk menjajah 'wilayah Islam'. selain itu,
Perang Salib merupakan model penggunaan elemen jihad yang berhasil mengusir
bangsa asing, yakni para tentara Salib, dari wilayah muslim. Banyak kaum muslim
di era 1990-an yang memandang Israel sebagai Negara tentara Salib yang baru dan
harus dilawan dengan jihad. Perlawanan itu juga diberlakukan terhadap Amerika
Serikat yang dianggap sebagai dalang dan penyokong utama Israel, dan
Negara-negara Barat lain yang berada di belakangnya. Ironisnya, keadaan
Yerusalem saat ini menunjukkan banyak kemiripan dengan keadaan Yerusalem pada
masa Perang Salib.
Akhirnya, Carole mengakui bahwa pandangan sepihak buku ini
(hanya dari perspektif muslim) sama bias dan sama tidak lengkapnya dengan
pendekatan yang mempelajari Perang Salib hanya dari sudut pandang Eropa.
Namun, tujuan dari buku ini memang hanya untuk memberi
perimbangan. Tugas yang masih harus terus dilakukan adalah menyeimbangkan
bukti-bukti dari semua pihak 'kaum Eropa barat, Bizantium, Yahudi, Kristen
Timur, dan Islam' sehingga bisa diperoleh pandangan yang lebih menyeluruh
tentang Perang Salib. Dengan demikian, kesalahpahaman tentang fakta di seputar
Perang Salib bisa segera dihapuskan, konflik berdarah atas nama agama segera
berakhir, dan perdamaian abadi yang dicita-citakan oleh semua agama tercapai.