Partai Komunis Indonesia
adalah salah satu anak sejarah bangsa ini yang mendapat peran atagonis. Namun
begitu tidak ada salahnya kita sebagai generasi penerus bangsa ini
mempelajarinya agar dapat mengambil makna dari setiap pergerakannya. Anak
Bangsa yang maju adalah anak bangsa yang mempelajari setiap episode sejarah
bangsanya, walaupun sejarah itu kelam.
Posting-an kali ini saya
sengaja mengambil salah satu draft pidato DN Aidit untuk memperingati hari
lahir PKI yang ke 35 pada 23 Mei 1955.
Pidato ini diucapkan oleh sekretaris jenderal CCPKI,
D.N. Aidit, pada ulang tahun ke-35 PKI, 23 Mei 1955 yang lalu.
PKI adalah salah satu partai yang
tertua dan terbesar di Indonesia, PKI sudah menjalani pergulatan yang tidak
singkat dan tidak mudah, dan di antara partai-partai politik di Indonesia PKI
adalah barangkali partai yang paling disukai tetapi juga paling dibenci.
Mudah dipahami bahwa sangat
dirasakan perlunya mengenal sejarah dari partai yang demikian. Bagi yang
menyukai, agar kesukaannya itu menjadi kesukaan yang sesadar-sadarnya, dan bagi
yang membenci, agar kebenciannya itu didasarkan pengertian, dan bukan dikarenakan
prasangka.
Keperluan, bahkan keharusan ini,
rasanya cukup memberi alasan bagi penerbit untuk mencetak “Lahirnya PKI dan
perkembangannya” ini.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dibentuk pada tanggal 23
Mei 1929. Jadi, tanggal 23 Mei tahun 1955 ini adalah ulang tahun PKI yang
ke-35.
Lahirnya PKI 35 tahun yang lalu adalah lahirnya satu
Partai kelas buruh Indonesia. Perkembangan Partai ini adalah perkembangan dari
pada sejarah kelas buruh Indonesia dalam memimpin kaum tani dan massa Rakyat
lainnya dalam perjuangan perwira melawan imperialisme dan kaki tangannya, dalam
perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan reaksioner dan mendirikan kekuasaan
Rakyat yang bersendikan persekutuan mayoritas dari pada Rakyat, yaitu
persekutuan kaum buruh dan tani. Hanya kekuasaan Rakyat yang demikian ini
memungkinkan tercapainya Indonesia sosialis di kemudian hari.
Sejarah 35 tahun PKI bukanlah sejarah yang tenang dan
damai, tetapi sejarah yang mengalami banyak pergolakan, banyak marabahaya,
banyak kesalahan, dan banyak pengorbanan. Tetapi juga sejarah yang heroik, yang
gembira, yang banyak pelajaran, dan yang mencatat sukses-sukses.
Perkembangan PKI selama 35 tahun
dapat dibagi sebagai berikut:
1.
Pembentukan Partai Dan Perjuangan
Melawan Teror Putih Pertama (1920 – 1926).
2.
20 Tahun Di Bawah Tanah Dan Front
Anti-fasis (1926 – 1945).
3.
Revolusi Agustus dan Perjuangan
Melawan Teror Putih Kedua (1945 – 1951).
4.
Perluasan Front Persatuan Dan
Pembangunan Partai (1951 - …)
I. Pembentukan Partai Dan
Perjuangan Melawan Teror Putih Pertama (1920 – 1926)
PKI adalah sintesa dari pada gerakan buruh Indonesia
dengan Marxisme-Leninisme. PKI didirikan pada tanggal 23 Mei 1920 bukanlah
sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi sesuatu yang obyektif. PKI lahir dalam
jaman imperialisme, sesudah di Indonesia ada kelas buruh, sesudah di Indonesia
dibentuk serikat buruh-buruh dan dibentuk ISDV (Indonesische Sociaal
Democrastische Vereniging), sesudah Revolusi Sosialis Oktober Rusia tahun 1917.
PKI adalah anak jaman yang lahir pada waktunya.
Bahwa lahirnya PKI karena keharusan jaman menjadi jelas
dari tulisan Kawan Stalin dalam bukunya “Dasar-Dasar Leninisme” sebagai
berikut:
“Imperialisme ialah eksploitasi (pemerasan) yang paling
tidak kenal malu dan penindasan yang paling tidak berperikemanusiaan terhadap
beratus-ratus juta manusia yang mendiami koloni-koloni yang luas dan
negeri-negeri yang tergantung. Tujuan dari eksploitasi dan penindasan ini ialah
untuk mendapat keuntungan-keuntungan luar biasa. Tetapi dalam mengeksploitasi
negeri-negeri ini imperialisme terpaksa membikin jalan-jalan kereta api,
pabrik-pabrik, dan perusahaan-perusahaan di situ, menciptakan pusat-pusat
industri dan perdagangan. Timbulnya suatu kelas kaum proletar, munculnya
inteligensia bumi putera, bangunnya kesadaran nasional, tumbuhnya gerakan untuk
kemerdekaan – demikianlah akibat-akibat yang tidak dapat dihindari dari
“politik’ ini. Pertumbuhan dari pada gerakan revolusioner di semua koloni dan
negeri-negeri tergantung dengan tidak ada kecualinya membuktikan dengan jelas
kenyataan ini. Keadaan ini adalah penting bagi proletariat karena ia dengan
radikal melemahkan kedudukan kapitalisme dengan mengubah koloni-koloni
tergantung dari cadangan-cadangan imperialisme menjadi cadangan-cadangan
revolusi proletar”.
Apa yang dikatakan oleh Kawan Stalin ini sepenuhnya
sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Berhubung dengan penamaan kapital di Indonesia pada permulaan abad ke-20
meningkat dengan cepat, kapital kolonial terpaksa mengadakan perubahan besar
dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Terpaksa diadakan industri-industri untuk
mengerjakan bahan-bahan mentah seperti gula dan karet, terpaksa dibikin
pelabuhan-pelabuhan, jalan-jalan kereta api dan bengkel-bengkel reparasi. Jadi,
walaupun imperialisme berusaha mempertahankan hubungan feodal, tidak bisa
dicegah bahwa tendensi kapitalis juga merasuk ke tengah-tengah bangsa
Indonesia. Dengan demikian, timbullah kelas-kelas baru dalam masyarakat
Indonesia, antara lain kelas proletar. Ini merupakan dasar baru untuk
perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan atas dasar baru inilah berdirinya PKI.
Pemberontakan-pemberontakan kaum tani yang tidak teratur dan terus-menerus
mengalami kekalahan, sekarang diganti oleh perjuangan proletariat yang
terorganisasi dan yang memimpin kaum tani dan kelas-kelas revolusioner lainnya.
Bahwa lahirnya PKI didahului oleh berdirinya serikat
buruh-buruh dan ISDV dapat diterangkan sebagai berikut: dalam tahun 1905
berdiri serikat buruh kereta api yang bernama SS-Bond. Dalam tahun 1908 berdiri
VSTP (Verenigingen van Spoor en Tram Personeel), suatu serikat buruh kereta api
yang militan. Tetapi kemajuan kesadaran kelas buruh Indonesia sudah menghendaki
organisasi yang tidak hanya membatasi diri pada perjuangan serikat buruh. Bulan
Mei 1914 di Semarang berdirilah ISDV, organisasi politik yang menghimpun
intelektual-intelektual revolusioner Indonesia dan Belanda yang bertujuan
menyebarkan Marxisme di kalangan kaum buruh dan Rakyat Indonesia. ISDV inilah
yang pada tanggal 23 Mei 1920 melebur diri menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Mengenai Revolusi Sosialis Oktober 1917 yang mendorong
berdirinya PKI, saya hanya hendak meminjam perkataan Kawan Mao Tse-tung sebagai
berikut:
“Salvo Revolusi Oktober menyadarkan kita akan
Marxisme-Leninisme. Revolusi Oktober membantu orang-orang progresif di Tiongkok
dan di seluruh dunia untuk menerima pandangan dunia proletar sebagai alat
meramalkan masa depan dari pada suatu nasional dan memikirkan kembali
masalah-masalahnya sendiri”.
Dengan berdirinya PKI, teranglah bahwa orang-orang
progresif Indonesia tidak ketinggalan dalam menyambut salvo Revolusi Oktober
yang besar itu. Dengan perkataan lain, orang-orang progresif Indonesia dalam
massa Rakyat Indonesia yang revolusioner tepat pada waktunya ikut memperkuat
front revolusioner baru yang menentang imperialisme dunia. Dengan ini,
perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia menjadi bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari pada perjuangan proletariat sedunia untuk menghancurkan
kapitalisme.
Tentang tugas dari kaum Komunis Indonesia sudah
dijelaskan oleh Lenin dalam seruannya bulan November 1919 kepada kaum Komunis
dari nasional-nasional Timur sebagai berikut:
“Di hadapanmu”, kata
Lenin, “terletak suatu tugas yang tidak pernah dihadapi oleh Komunis di
seluruh dunia. Tugas ini ialah dengan bersandar pada teori dan praktek umum
dari Komunisme, kamu harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan-keadaan istimewa
yang tidak terdapat di negeri-negeri Eropa dan hendaknya cakap mengenakan teori
dan praktek ini pada keadaan-keadaan, dimana massa yang pokok adalah tani, dan
masalah perjuangan yang perlu dipecahkan ialah masalah perjuangan yang bukan
melawan kapital, melainkan melawan sisa-sisa dari Jaman Tengah”.
Dari seruan Lenin ini jelas bahwa kaum Komunis di Timur,
jadi juga kaum Komunis Indonesia, tidak hanya harus menyandarkan diri pada
“teori dan praktek umum dari Komunisme”, tetapi juga harus menyesuaikan
diri dengan “keadaan-keadaan istimewa yang tidak terdapat di
negeri-negeri Eropa”, dan dengan ini yang dimaksudkan Lenin ialah kaum tani.
PKI adalah Partai dari pada kelas yang baru, yaitu kelas
buruh, yang diperlukan untuk memikul pertanggungan jawab sebagai pemimpin. Apa
sebab kelas buruh memikul pertanggungan jawab sebagai pemimpin? Kelas buruh
Indonesia walaupun jumlahnya tidak banyak (kira-kira 6.000.000 penerima upah
dan di antaranya kira-kira 500.000 buruh modern atau proletariat), tapi ia
berlainan dengan kaum tani, karena kelas buruh mewakili kekuatan produktif yang
baru; kelas buruh juga tidak seperti kelas borjuis, sebab kelas buruh mempunyai
tekad perjuangan yang konsekuen, karena kelas ini menderita tiga macam
tindasan, yaitu tindasan imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Karena
lapangan pekerjaan kelas buruh adalah kelas yang paling berdisiplin, dan karena
tidak memiliki alat produksi kelas buruh adalah kelas yang paling konsekuen dan
tidak individualistis. Oleh karena itulah, kelas buruh, walaupun jumlahnya
tidak banyak, harus memikul pertanggungan jawab memimpin.
Berdirinya PKI, yang kemudian terkenal sebagai kampiun
anti imperialisme Belanda, tidak hanya disambut dengan hangat oleh kaum buruh
dan kaum tani Indonesia, tetapi juga oleh golongan-golongan Rakyat lainnya.
Juga dari kalangan massa tentara dan matros PKI mendapat sambutan. PKI
berkembang sangat cepat.
Dalam waktu yang tidak lama, kaum Komunis sudah
mempunyai pengaruh yang besar di dalam PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh)
yang kongresnya dalam bulan Agustus 1920 di Semarang dihadiri oleh 22 serikat
buruh dengan anggota seluruhnya 72.000. Pengaruh kaum Komunis terutama dengan
melalui VSTP yang militan. Ini adalah permulaan tradisi PKI yang baik dalam
gerakan buruh.
Dalam tahun 1920 di Jawa dan di Sumatera terjadi
pemogokan-pemogokan, yang umumnya berakhir dengan kemenangan kaum buruh.
Kemenangan-kemenangan ini memberikan semangat dan kegembiraan berjuang pada
kaum buruh, mendidik kaum buruh akan pentingnya organisasi dan disiplin, dan
membukakan pada kaum buruh dan Rakyat umumnya kebobrokan dari pada peraturan
perburuhan kolonial dan pemerintah kolonial.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gerakan Buruh
membikin khawatir pemerintah, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, bahwa
pengaruh Komunis makin besar. Pemerintah berusaha mempengaruhi Serikat Islam
(SI) dan mempertajam pertentangan antara kaum Komunis (PKI) dengan SI.
Aliran-aliran reformis dalam PPKB disokong oleh pemerintah Belanda dan dengan
demikian mempertajam pertentangan antara aliran revolusioner dan aliran
reformis.
Dalam Kongres PKI di Kota Gede, Yogyakarta, bulan
Desember 1924 dicatat bahwa PKI mempunyai 28 Seksi yang meliputi 1.140 anggota,
sedangkan Serikat Rakyat, “Onderbouw” PKI, mempunyai 46 Seksi dan meliputi
31.000 anggota. Jumlah anggota PKI 1.140 dalam tahun 1924 adalah sangat banyak
jika dibandingkan dengan anggota Partai Komunis Tiongkok yang hanya berjumlah
900 sebelum Pergerakan “30 Mei” tahun 1925.
Ini adalah bukti bahwa PKI berkembang dengan cepat
walaupun mendapat rintangan-rintangan yang besar dari pemerintah kolonial
Belanda. Cepatnya perkembangan Serikat Rakyat menunjukkan sambutan kaum tani
yang hangat terhadap PKI karena keanggotaan Serikat Rakyat terutama terdiri
dari kaum tani.
Tetapi simpati yang luas dari pada massa dan anggota
Partai yang banyak tidak dapat dikonsolidasi oleh Partai. Partai memang telah
berbuat yang penting dengan membangun semangat anti imperialisme Belanda di
kalangan Rakyat, tetapi Partai tidak mampu mengkonsolidasi apa yang sudah
dicapainya.
Kesalahan pokok pemimpin-pemimpin PKI ketika itu ialah
bahwa mereka telah menjadi mangsa dari pada semboyan-semboyan kekiri-kirian,
tidak berusaha keras untuk menjelaskan keadaan, mau memecahkan semua soal
dengan satu kali pukul seperti: melikuidasi feodalisme, melepaskan diri dari
Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis, menggulingkan pemerintah yang
reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya, melikuidasi kaum borjuis nasional.
Dengan sendirinya, akibat dari pada ini semua ialah timbul persatuan di antara
musuh yang sejati dengan yang bisa menjadi musuh untuk bangkit melawan Partai.
Ini berakibat Partai mengisolasi diri sendiri dan ini sangat melemahkan Partai.
Partai tidak cukup mengarahkan perhatian anggota-anggotanya kepada
pekerjaan-pekerjaan praktis yang kecil-kecil, yang remeh-remeh yang ada
hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dari kaum buruh, kaum tani, dan kaum
intelektual pekerja. Padahal hanya di sini, dalam pekerjaan ini, Partai bisa
mempersatukan massa pekerja yang luas di sekeliling Partai. Sudah tentu,
pekerjaan ini bukannya pekerjaan yang menyenangkan atau enak dan sonder
kesukaran-kesukaran. Tetapi, jalan lain tidak ada untuk mengeratkan hubungan
Partai dengan massa pekerja.
Sebagaimana dikatakan dalam “Jalan ke Demokrasi
Rakyat Bagi Indonesia”, yaitu laporan umum kepada Kongres Nasional V PKI
bulan Maret 1954, dalam tingkat pertama ini :
“Partai masih gelap sama sekali tentang perlunya bersatu
dengan borjuasi nasional, dimana slogan Partai ialah ‘sosialisme sekarang
juga’, ‘sovyet Indonesia’, dan ‘diktator proletariat’. Penyelewengan ke kiri
dari pada Partai ini dikritik secara tepat dan kena oleh Kawan Stalin dalam
pidatonya di muka pelajar-pelajar Universitas Rakyat Timur pada tanggal 18 Mei
1925, dimana dikatakannya bahwa penyelewengan ke kiri ini mengandung bahaya
mengisolasi Partai dari massa dan mengubah Partai menjadi sekte”.
Penyakit “Komunisme ‘Sayap Kiri’ ” yang menghinggapi
Partai memang telah mengubah Partai menjadi suatu sekte, telah mengisolasi
Partai dari massa Rakyat yang luas, dan ini memudahkan kekuasaan kolonial yang
ganas untuk menghancurkan Partai. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Kawan
Stalin bahwa “Perjuangan yang teguh melawan penyelewengan ini adalah syarat
yang penting untuk melatih kader-kader yang sungguh-sungguh revolusioner bagi
tanah-tanah koloni dan negeri-negeri tergantung di timur”. Kebenaran perkataan
Kawan Stalin ini sangat dirasakan dalam perkembangan PKI selanjutnya.
Mengenai pembangunan Partai ketika itu belum mungkin
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pimpinan Partai. Pendidikan teori
Marxisme-Leninisme tidak diadakan di dalam Partai, elemen-elemen oportunis
menyelundup dan berkuasa di dalam pimpinan Partai, kritik dan otokritik serta
cara pimpinan kolektif belum dikenal oleh Partai. Kenyataan ini menyebabkan
Partai sangat lemah di lapangan ideologi, politik, dan organisasi.
Dalam keadaan dimana Partai terisolasi dari massa dan
dalam keadaan dimana organisasi Partai masih sangat lemah, krisis makin
memuncak di Indonesia, penghidupan Rakyat makin lama makin merosot dan
perlawanan-perlawanan Rakyat yang tidak terorganisasi terhadap alat-alat
pemerintah makin banyak. Dalam keadaan demikian inilah provokasi-provokasi dari
pemerintah kolonial Belanda datang bertubi-tubi dalam bentuk-bentuk pemecatan
terhadap kaum pemogok, penangkapan terhadap kaum tani, pembubaran
sekolah-sekolah yang didirikan oleh PKI atau Serikat Rakyat, pelarangan terhadap
surat kabar-surat kabar kaum buruh, penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin kaum
buruh, dll. Terutama untuk menghadapi kaum tani, Belanda membikin
gerombolan-gerombolan teroris seperti misalnya “Sarekat Hedjo” di Priangan.
Semuanya ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Rakyat tanggal 12 November
1926 di Jawa dan permulaan 1927 di Sumatera. Setelah pemberontakan ini terjadi,
PKI tampil ke depan untuk sedapat mungkin memberikan pimpinan kepada
pemberontakan Rakyat ini adalah sikap yang tepat.
Selama dan sesudah pemberontakan itu,
kelemahan-kelemahan Partai menjadi sangat menonjol, misalnya tidak ada
kebulatan dalam pimpinan Partai mengenai pemberontakan itu, tidak persiapan
untuk menyelamatkan kader-kader dan pimpinan Partai, tidak ada koordinasi
antara aksi di satu tempat dengan aksi di tempat lain, tidak ada hubungan
antara aksi di desa dengan aksi di kota, dll. Selain dari pada itu, ada lagi
orang seperti Tan Malaka, pada waktu itu adalah salah seorang pemimpin PKI,
yang tidak bertindak tegas sebelum pemberontakan dimulai, tetapi menyalahkan
pemberontakan sesudah pemberontakan terjadi. Lebih dari pada itu, dia ada
kliknya terang-terangan melakukan praktek trotskis dengan mendirikan partai
baru, Pari (Partai Republik Indonesia), di dalam keadaan dimana PKI sendang
menghadapi teror putih dari pemerintah kolonial dan kaki tangannya. Perpecahan
di dalam PKI ini lebih menyulitkan pekerjaan PKI yang sudah sulit itu dan
memudahkan politik pecah belah Belanda di dalam PKI dan di dalam gerakan
kemerdekaan nasional pada umumnya.
Ribuan anggota dan fungsionaris PKI dikejar-kejar dan
dihukum, di antaranya ada yang digantung. Banyak yang dibuang ke tengah-tengah
rawa Digul di Irian. Hanya beberapa orang pemimpin PKI berhasil menyelamatkan
diri ke luar negeri, di antaranya anggota Central Comite PKI, Kawan Musso.
Anggota-anggota dan fungsionaris-fungsionaris PKI, walau
pun mereka belum lama menjadi anggota Partai, umumnya mempunyai semangat Partai
yang kuat. Dengan tiada menyesal dan dengan senyuman di bibir mereka menuju ke
tiang gantungan, menerima putusan hukuman penjara atau pengasingan ke tanah
pembuangan. Politik PKI yang konsekuen anti imperialisme Belanda dan sikap yang
gagah berani dari anggota-anggota dan fungsionaris-fungsionaris PKI dalam
menghadapi kekuasaan kolonial ketika itu mengangkat prestise politik PKI di
mata pejuang-pejuang kemerdekaan yang sejati dan di mata Rakyat Indonesia. Ini
membesarkan kepercayaan dan kecintaan Rakyat tertindas Indonesia kepada PKI.
Pemberontakan tahun 1926 berakhir dengan kekalahan PKI
dan Rakyat Indonesia yang revolusioner. Tetapi satu hal yang tidak bisa
dilupakan, bahwa pemberontakan ini telah menunjukkan kepada Rakyat Indonesia,
bahwa Belanda bisa dibikin kalang kabut, bahwa kekuasaan kolonial dapat
digoyangkan, bahwa kekuasaan ini bukan kekuasaan yang mutlak. Oleh karena itu,
pemberontakan tahun 1926 mempunyai arti yang luar biasa besarnya dalam
meningkatkan kesadaran politik Rakyat Indonesia.
Kesimpulan dari pada semuanya ialah, bahwa pimpinan PKI
belum mampu memperpadukan kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktek
revolusi Indonesia, karena pimpinan PKI belum memiliki teori Marxisme-Leninisme
dan belum mempunyai pengertian tentang keadaan sejarah dan masyarakat Indonesia
tentang tanda-tanda istimewa revolusi Indonesia, dan tentang hukum-hukum
revolusi Indonesia. Akibatnya ialah, bahwa Partai tidak mengetahui tuntutan
pokok yang obyektif dari Rakyat Indonesia, tuntutan yang menghendaki lenyapnya
imperialisme dan feodalisme serta terwujudnya kemerdekaan nasional, demokrasi,
dan kebebasan. Selanjutnya, pimpinan Partai tidak menginsyafi bahwa untuk
mencapai tuntutan pokok ini harus digalang front persatuan yang luas antara
kelas buruh, kaum tani, borjuasi kecil kota, dan borjuasi nasional, yang
bersendikan persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh. Dari
tidak adanya pengertian tentang semuanya ini timbullah di kalangan pimpinan
Partai ketika itu pikiran-pikiran keliru yang mengira bahwa “kaum tani tidak
bisa dipercaya dalam semua aksi”, bahwa “kaum pertengahan dan kaum terpelajar
sudah menjadi alat kaum modal”, bahwa PKI harus “anti semua kapitalisme” bahwa
semboyan PKI adalah “sosialisme sekarang juga”, “soviet Indonesia”, “diktator
proletariat”, dsb.
Walaupun dalam tingkat ini organisasi Partai berkembang,
tetapi Partai tidak diperkokoh. Anggota-anggota dan kader-kader Partai tidak
diperteguh dalam ideologi dan politik, dan mereka tidak mendapat pendidikan
Marxisme-Leninisme yang diperlukan. Elemen-elemen yang aktif di dalam Partai
tidak dapat dijadikan tulang punggung Partai. Dalam keadaan genting menghadapi
provokasi dan terror putih pertama, elemen-elemen yang berkuasa di dalam
pimpinan Partai tidak dapat memimpin seluruh Partai untuk menyelamatkan Partai.
Pokoknya, PKI dalam tingkat pertama ini tidak
berpengalaman dalam dua soal pokok, yaitu: (1) dalam soal front persatuan dan
(2) dalam soal pembangunan Partai.
II. 20 Tahun Di Bawah Tanah Dan
Front Anti-Fasis (1926 – 1945)
Sesudah pemberontakan tahun 1926, PKI dinyatakan
dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Berhubung dengan PKI tidak bisa lagi
bekerja legal dan karena tertarik oleh slogan-slogan kiri, massa revolusioner
yang tadinya dipimpin oleh PKI menyambut partai nasionalis kiri, PNI (Partai
Nasional Indonesia), yang didirikan dalam tahun 1927. Kader-kader dan
anggota-anggota PKI banyak yang memasuki partai kiri ini di samping memasuki
organisasi-organisasi massa. Tetapi kegiatan-kegiatan kader-kader dan
anggota-anggota PKI ketika itu tidak terpimpin yang baik, karena PKI belum
mempunyai pimpinan sentral yang baru.
Sejak kekalahan pemberontakan tahun 1926, mulailah masa
menurun dalam gerakan kemerdekaan nasional Indonesia. Pemerintah kolonial
Belanda ternyata tidak hanya menindas PKI dan organisasi-organisasi massa
revolusioner yang berada di bawah pimpinan PKI, tetapi juga menindas PNI, dengan
melakukan macam-macam provokasi, merintangi segala aktivitasnya dan
mengasingkan pemimpin-pemimpinnya.
Kesempatan dimana PKI dan partai nasionalis kiri dipukul
oleh pemerintah kolonial, digunakan oleh kaum nasionalis kanan yang mempunyai
kekuatan pokok dalam Partai Bangsa Indonesia (PBI) untuk mempererat kerja
samanya dengan pemerintah Belanda. Mereka memusatkan pekerjaannya pada apa yang
mereka namakan pekerjaan “positif”, yang maksudnya ialah mendirikan
koperasi-koperasi, sekolah-sekolah, perkumpulan-perkumpulan dagang, dsb. Sampai
batas-batas yang tertentu kaum nasionalis kanan berhasil meluaskan pekerjaannya
di beberapa daerah sampai ke desa-desa. Belanda suka menamakan mereka “kaum
nasionalis yang sehat”, karena aktivitasnya tidak bertentangan dengan kepentingan
pemerintah Belanda, dan oleh karena itu juga mendapat fasilitas-fasilitas yang
diperlukan dari pemerintah Belanda.
Tetapi masa menurun dalam gerakan kemerdekaan tidak
memakan waktu yang panjang. Krisis dunia yang diikuti oleh kemelaratan Rakyat banyak,
oleh penghematan, kenaikan pajak, massa ontslag, dsb. menghalangi kerja sama
yang tenteram antara kaum nasionalis kanan dengan pemerintah Belanda.
Suara-suara radikal dari kalangan kaum buruh, kaum tani, dan intelektual makin
lama makin nyaring. Jaman krisis ini terkenal dengan nama “jaman malaise”, atau
kaum tani Indonesia menamakannya “zaman meleset”.
Laksana pecutan halilintar di panas terik terjadilah di
bulan Februari 1933 pemberontakan anak kapal “Zeven Provincien” yang
mendapat sambutan hangat dari kaum buruh di banyak negeri. Kejadian ini
merupakan peristiwa yang penting dalam membangunkan kembali semangat perlawanan
Rakyat Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Kemudian, dalam bulan
Juli 1933, mengancam pemogokan kereta api di Jawa, yang dengan sangat sulit
dapat dicegah oleh pemerintah Belanda dengan bantuan kaum reformis Indonesia.
Di daerah-daerah timbul perlawanan-perlawanan Rakyat,
kebanyakannya sebagai tindakan-tindakan dan aksi-aksi perseorangan, sebagai
bukti bahwa semangat perlawanan sedang menaik. Penindasan Belanda terhadap
aksi-aksi kaum buruh dan perlawanan-perlawanan Rakyat menjadi dipermudah,
karena PKI belum berhasil menyusun kembali pimpinan sentralnya secara baik.
Sejak tahun 1932, PKI yang bekerja di bawah tanah mendasarkan
aktivitasnya pada program 18 pasal, yang antara lain berbunyi: kemerdekaan
penuh bagi Indonesia, pembebasan segera semua tahanan politik dan melikuidasi
konsentrasi kamp Boven Digul, hak mogok dan hak demonstrasi, upah sama buat
pekerjaan yang sama, berjuang melawan tiap-tiap penurunan upah, sokongan Negara
untuk kaum penganggur, tanah untuk kaum tani dan sita tanah kaum imperialis,
tuan tanah dan lintah darat, menentang perang imperialis yang baru, dsb.
program ini dibuat sebelum kaum fasis (nasional-sosialis) berkuasa di Jerman.
Dalam bulan Maret 1933, kaum fasis Jerman di bawah
pimpinan Hitler naik panggung pemerintahan. Kawan Stalin dalam Kongres Partai
Komunis Soviet Uni ke-17 antara lain mengatakan bahwa kemenangan fasisme di
Jerman ini
… tidak boleh hanya dipandang sebagai gejala kelemahan
kelas buruh dan sebagai akibat dari pada pengkhianatan kaum Sosial Demokrat
terhadap kaum buruh, yang memberi jalan untuk fasisme; ia juga harus dipandang
sebagai gejala kelemahan borjuasi, sebagai gejala dari pada kenyataan bahwa
borjuasi sudah tidak mampu lagi memerintah dengan metode-metode parlementerisme
dan demokrasi borjuis yang lama, dan, sebagai konsekuensinya, terpaksa dalam
politik dalam negerinya menempuh jalan metode pemerintahan yang teroristis – ia
harus dianggap sebagai gejala dari pada kenyataan bahwa borjuasi sudah tidak
mampu lagi menemukan jalan politik luar negeri yang damai, dan, sebagai
konsekuensinya, ia terpaksa mengambil jalan menuju ke politik perang”.
Dengan perkataan lain, untuk mengatasi krisis ekonomi
yang sangat dalam, untuk mengatasi krisis umum kapitalisme yang bertambah tajam
dan massa Rakyat pekerja yang menjadi makin revolusioner, borjuasi yang
berkuasa mencari pembelaan pada fasisme.
Dengan fasisme kaum imperialis berusaha melemparkan
beban krisis seluruhnya pada pundak Rakyat pekerja. Mereka
berusaha memecahkan masalah pasar dengan jalan memperbudak nasional-nasional
yang lemah, dengan lebih mengintensifkan penindasan kolonial dan membagi-bagi
kembali dunia dengan mengadakan perang baru. Mereka mau merintangi pertumbuhan
kekuatan-kekuatan revolusi dengan menghancurkan gerakan revolusioner dari pada
kaum buruh dan tani serta dengan mengadakan serangan militer pada Soviet Uni –
benteng proletariat dunia.
Kawan Dimitrov dalam pidatonya di muka Kongres Komintern
ke-7 dalam bulan Agustus 1935 antara lain mengatakan, bahwa
“Fasisme Hitler bukan hanya nasionalisme borjuis, tetapi
adalah sauvinisme kebinatangan. Ia adalah sistem provokasi dan penyiksaan yang
dilakukan pada kaum buruh dan elemen-elemen revolusioner dari kaum tani,
borjuasi kecil, dan inteligensia. Ia adalah cara barbar dan kebinatangan Jaman
Tengah, ia adalah agresi-agresi yang tak terkendalikan dalam hubungan dengan
nasional-nasional lain”.
Perubahan situasi internasional dengan berkuasanya kaum
fasis di Jerman berpengaruh besar pada keadaan politik di Indonesia. Soviet Uni
mengarahkan perjuangannya terutama pada pembentukan front perdamaian terhadap
Negara-negara aggressor, dan Komintern dalam kongresnya bulan Agustus 1935 di
Moskow menerima sebuah program yang ditujukan untuk membentuk front Rakyat dan
pemerintah Rakyat guna menentang perang dan fasisme. Ini berarti diperlukan
kerja sama yang lebih luas antara kaum Komunis dengan elemen-elemen borjuis
yang demokratis.
Untuk menyampaikan garis politik anti-fasis ini, dalam
tahun 1935 Kawan Musso kembali ke Indonesia dari luar negeri. Kawan Musso tidak
hanya menyampaikan garis politik yang baru ini, ia juga berhasil menghimpun
kembali kader-kader PKI dan membangun Central Comite PKI yang baru. Tetapi
Kawan Musso tidak bisa lama berada di Indonesia, ia harus segera meninggalkan
Indonesia lagi karena jejaknya sudah dicium oleh pemerintah Belanda. Dengan
demikian, Kawan Musso tidak sempat berbuat banyak untuk pembangunan Partai,
sehingga pemimpin-pemimpin PKI harus bekerja dengan tidak ada pegangan yang
kuat untuk membangun Partai tipe Lenin dan Stalin.
Atas inisiatif beberapa orang nasionalis kiri dan
beberapa orang Komunis didirikan organisasi Rakyat yang legal dengan nama “Gerindo” (Gerakan
Rakyat Indonesia). Berdirinya Gerindo memberikan kekuatan baru kepada gerakan
kemerdekaan nasional dan gerakan anti-fasis. Atas inisiatif Gerindo dan
beberapa partai demokratis lainnya, telah dibentuk Gapi (Gabungan
Politik Indonesia), yaitu front persatuan dari pada partai-partai yang
bertujuan terbentuknya parlemen bagi Indonesia dan yang menawarkan kerja sama
dengan pemerintah Belanda untuk melawan fasisme, terutama fasisme Jepang yang
mengancam Rakyat Asia.
Tanggal 23-25 Desember 1939, Gapi mengadakan Kongres
Rakyat Indonesia di Jakarta yang dihadiri juga oleh
organisasi-organisasi yang bukan partai politik seperti serikat-serikat buruh,
organisasi-organisasi sosial, dsb, dimana soal parlemen menjadi acara yang
terutama. Adanya parlemen bagi Indonesia dianggap penting oleh Kongres sebagai
syarat untuk membangunkan kekuatan Rakyat dalam menghadapi bahaya fasisme.
Kemudian, Kongres Rakyat Indonesia, atas putusan pemimpin-pemimpinnya,
dijadikan Majelis Rakyat Indonesia yang dianggap mewakili
segenap Rakyat Indonesia. Ini adalah persiapan untuk satu parlemen. Tetapi
kenyataan ini dianggap sepi oleh pemerintah Belanda. Ajakan Gapi dan Majelis
Rakyat Indonesia kepada Belanda untuk bekerja sama dalam menghadapi serangan
fasisme Jepang tidak disambut oleh Belanda sampai saat Belanda menyerah pada
Jepang pada tanggal 9 Maret 1942.
Kerja sama yang luas antara pemimpin-pemimpin
partai-partai dan organisasi-organisasi, tetapi tidak didukung oleh massa
Rakyat yang luas, telah menyebabkan gagalnya tuntutan untuk mendapatkan
parlemen dan telah menyebabkan gagalnya pergerakan Rakyat memaksa pemerintah
Belanda untuk ambil bagian yang aktif dalam perjualang anti-fasis bersama-sama
dengan Rakyat Indonesia. Ini disebabkan karena PKI belum merupakan Partai yang
berakar di massa, yang dapat menghimpun dan menggerakkan massa Rakyat luas,
terutama kaum buruh dan kaum tani. Resolusi-resolusi Gapi dan Majelis Rakyat
Indonesia tidak pernah diikuti oleh aksi-aksi massa yang berupa demonstrasi
atau aksi-aksi lainnya, yang merupakan tekanan yang berarti pada pemerintah
kolonial Belanda.
Akibat dari pada front anti-fasis yang tidak cukup kuat
di Indonesia, bala tentara Jepang dapat menduduki Indonesia dengan tiada
perlawanan, tidak hanya tiada perlawanan dari tentara Belanda, tetapi juga dari
gerakan Rakyat. Material maupun moral Rakyat kurang cukup disiapkan dalam
menghadapi fasisme Jepang. Kelanjutannya ialah bahwa pada permulaan PKI berada
dalam kedudukan terisolasi dalam perlawanannya terhadap fasisme Jepang. Pada permulaan
pendudukan Jepang, anggota-anggota Central Comite PKI dan kader-kader yang
penting dari pada PKI banyak yang ditangkap oleh Jepang, dan di antaranya
mendapat hukuman mati.
Beberapa bulan sesudah pendudukan Jepang, berdasarkan
pengalamannya sendiri Rakyat Indonesia baru sadar akan kekejaman dan
kebinatangan fasisme Jepang. Semangat anti-Jepang makin lama makin meluas di
tengah-tengah Rakyat, organisasi-organisasi anti-fasis tumbuh dimana-mana, dan
banyak yang berada di bawah pimpinan anggota-anggota dan kader-kader PKI yang
ketika itu banyak hidup dalam buruan mata-mata Jepang. Penguberan terhadap kaum
Komunis dilakukan oleh Jepang dengan tidak henti-hentinya. Karena tidak rapinya
organisasi, sering juga Jepang menangkap kader-kader PKI yang penting. Tetapi,
walaupun demikian, keganasan Jepang tidak memadamkan perlawanan Rakyat.
Dimana-mana timbul pemberontakan seperti di Singaparna, Indramayu, Semarang,
dll. Juga di kalangan tentara Peta (Pembela Tanah Air) timbul
pemberontakan-pemberontakan, dan yang sangat terkenal ialah pemberontakan
tentara Peta di Blitar, Kediri.
Mengenai front anti-fasis sebelum dan sesudah Jepang
menduduki Indonesia, dalam laporan umum kepada Kongres Nasional V PKI antara
lain dikatakan sbb:
“Front anti-fasis (sebelum pendudukan Jepang, DNA) tidak
hanya berhasil menarik borjuasi nasional, tetapi juga sebagian dari borjuasi
komprador merapakan tambahan kekuatan dalam front anti-Jepang. Tetapi setelah
bala tentara Jepang menduduki Indonesia, sebagian besar borjuasi nasional dan
boleh dikata semua borjuasi komprador menjalankan politik bekerja sama dengan
Jepang. Borjuasi nasional menjalankan politik kerja sama dengan Jepang, setelah
mereka melihat bahwa kekuatan Rakyat melawan Jepang tidak begitu kuat dan
mereka mempunyai ilusi bahwa Jepang akan memberikan ‘kemerdekaan’ kepada
Indonesia”.
Tetapi dengan meningkatnya semangat anti-Jepang, dan
apalagi setelah terjadi pemberontakan-pemberontakan kaum tani dan tentara,
makin lama makin kendor kesetiaan kaki tangan Jepang kepada tuannya. Dan
akhirnya, tidak sedikit orang-orang yang berkedudukan penting mengadakan
hubungan-hubungan dengan gerakan anti-Jepang di bawah tanah. Golongan mahasiswa
dan pelajar Indonesia juga ambil bagian yang penting dalam mengadakan
perlawanan-perlawanan terhadap Jepang.
Kesimpulan dari pada semuanya ialah, bahwa walaupun
semangat anti-Jepang dan anti-Belanda dari pada Rakyat meluap, walau pun
prestise politik Partai sangat tinggi karena politik anti-fasisnya yang
konsekuen, walau pun situasi di dalam dan di luar negeri sangat baik untuk
suatu Revolusi, tetapi tugas untuk menghadapi Revolusi yang meletus dalam bulan
Agustus 1945 adalah sangat berat bagi Partai, karena Partai tidak menyimpulkan
pengalaman-pengalamannya dalam tingkat pertama dan tingkat kedua mengenai front
persatuan, dan karena masih tetap tidak berpengalaman dalam soal pembangunan
Partai. Di samping itu, Partai juga tidak berpengalaman dalam perjuangan
bersenjata, sesuatu yang sangat diperlukan bagi Partai yang berada di dalam
Revolusi.
III. Revolusi Agustus dan
Perjuangan Melawan Teror Putih Kedua (1945 – 1951)
PKI berada dalam Revolusi Agustus dalam keadaan dimana
belum menyimpulkan pengalaman-pengalamannya mengenai front persatuan, dimana
masih tetap tidak berpengalaman dalam pembangunan Partai dan tidak
berpengalaman dalam perjuangan bersenjata.
Atas desakan massa dengan juru bicaranya
pemimpin-pemimpin revolusioner yang masih muda-muda di antaranya terdapat
anggota-anggota PKI yang selama pendudukan Jepang memimpin
organisasi-organisasi di bawah tanah, pada tanggal 17 Agustus 1945
diproklamasikan Republik Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 ini adalah
penjelmaan dari pada hasrat merdeka Rakyat Indonesia yang selama lebih dari 3
abad penjajahan Belanda belum pernah padam dan dalam masa pendudukan Jepang
hasrat ini bertambah besar.
Kaum buruh, kaum tani, golongan pemuda, dan pelajar
progresif Indonesia, dengan mengambil contoh dari banyak negeri di Eropa yang
membebaskan diri dari imperialisme sesudah tentara fasis dikalahkan, serta
mendapat inspirasi dari perjuangan kemerdekaan yang besar dari Rakyat Tiongkok,
mengerti akan kemungkinan-kemungkinan suatu revolusi yang telah ditentukan oleh
sejarah. Pada saat proklamasi dinyatakan, kecuali tentara Jepang yang sudah
kalah, tidak ada pasukan tentara lainnya di Indonesia (kecuali di Irian Barat).
Situasi yang baik ini digunakan secara tepat oleh Rakyat Indonesia.
Kaum buruh, kaum tani, golongan pemuda, dan pelajar
progresif dengan gigih mempertahankan Republik Indonesia, mula-mula melawan
tentara Jepang, kemudian melawan tentara Inggris, dan dalam dua perang kolonial
melawan tentara Belanda.
Walaupun perjuangan Rakyat Indonesia ini banyak
mengalirkan darah patriot-patriot dan walaupun diadakan bermacam-macam
percobaan militer oleh imperialis Belanda untuk menghancurkan Republik, tetapi
Republik tetap berdiri.
Belanda hanya berhasil dalam usahanya untuk melemahkan
Republik dengan menggunakan penasihat-penasihat Inggris dan Amerika serta
bantuan kaki tangannya orang-orang Indonesia sendiri, dengan menempuh jalan
panjang, jalan “perundingan secara damai”, intrik, dan provokasi,
persetujuan-persetujuan yang menguntungkan imperialisme di bawah ancaman meriam
dan bom.
Kaum sosialis kanan di bawah pimpinan Sutan Syahrir,
yang sejak permulaan Revolusi sudah menguasai pemerintahan, adalah
pemegang-pemegang rol penting dalam melayani politik “perundingan secara damai”
di bawah ancaman meriam dan bom. Ini dimungkinkan, karena massa Rakyat
Indonesia, berhubung dengan penindasan kolonial yang lama, tak dapat mempunyai
barisan yang cukup menguasai ajaran-ajaran revolusioner dari Marx, Engels.
Lenin, dan Stalin.
Revolusi Agustus adalah Revolusi dari pada front
persatuan nasional, dimana pukulan dipusatkan dan ditujukan pada imperialisme
asing dan dimana borjuasi nasional memberikan sokongannya pada Revolusi.
Mengenai front persatuan nasional selama revolusi
(1945-1948) dalam laporan umum kepada Kongres Nasional V PKI antara lain
dikatakan bahwa:
“Borjuasi nasional kembali masuk ke dalam front
persatuan setelah melihat bahwa kekuatan Revolusi Rakyat adalah besar. Revolusi
Rakyat yang mempunyai kekuatan besar telah membikin borjuasi nasional pada
tahun-tahun permulaan revolusi mempunyai sikap yang teguh”.
Tetapi, dikatakan lebih lanjut, “Kelemahan Partai di
lapangan politik, ideologi, dan organisasi menyebabkan Partai tidak mampu
memberikan pimpinan kepada keadaan obyektif yang sangat baik ketika itu”.
Mengenai Partai, dalam hubungan dengan borjuasi nasional
ini dikatakan bahwa:
“Dalam revolusi ini Partai telah meninggalkan
kebebasannya dalam politik, ideologi, dan organisasi dan Partai tidak
mementingkan pekerjaannya di kalangan kaum tani, dan inilah sebab pokok dari
pada kegagalan revolusi. Lemahnya pimpinan revolusi menyebabkan revolusi
terus-menerus mengalami kekalahan-kekalahan di lapangan militer, politik, dan
ekonomi dan kekalahan-kekalahan ini telah membikin ragu borjuasi nasional dan
akhirnya mereka memilih pihak kaum komprador dan imperialis. Resolusi PKI
‘Jalan Baru untuk Republik Indonesia’ yang disahkan oleh Konferensi PKI bulan
Agustus 1948 adalah jalan keluar dari keadaan sulit yang dihadapi oleh Republik
Indonesia ketika itu. Tetapi pelaksanaan resolusi ini didahului oleh provokasi
pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir yang menelurkan ‘Peristiwa Madiun’.”
Satu hal yang sangat menguntungkan ialah, bahwa pada
permulaan Revolusi dapat didatangkan dari Australia dan Eropa buku-buku teori
mengenai Marxisme-Leninisme. Tetapi, buku-buku teori ini ditulis dalam bahasa
asing, terutama dalam bahasa Inggris dan Belanda, sehingga hanya terbatas
sekali kader-kader yang dapat mempelajarinya. Pekerjaan menerjemahkan buku-buku
teori ke dalam bahasa Indonesia sangat kurang mendapat perhatian dari
elemen-elemen yang berkuasa di dalam pimpinan Partai ketika itu. Tetapi
walaupun demikian, buku-buku teori ini telah memungkinkan lahirnya tulang
punggung Partai dari kalangan kader-kader Partai yang mempunyai kesempatan
mempelajari sendiri buku-buku ini. Walaupun tidak mungkin dalam jumlah yang
banyak, tetapi ini adalah kemungkinan pertama kali bagi PKI untuk melahirkan
tulang punggung yang berteori dari kalangannya, dan ini merupakan salah satu
jaminan yang penting untuk perkembangan PKI selanjutnya.
Selama revolusi Partai mempunyai kekuatan-kekuatan
bersenjata, tetapi Partai tidak mampu menguasainya. Secara tidak teratur
kader-kader Partai mempelajari ilmu kemiliteran dan ilmu peperangan
revolusioner. Belajar dari perang revolusioner Rakyat Tiongkok, Kawan Amir
Syarifuddin, yang beberapa kali menjabat menteri Pertahanan dalam pemerintahan,
berjuang untuk memenangkan pikiran, bahwa perang gerilya adalah salah satu
bentuk perjuangan yang tepat untuk memenangkan revolusi. Kawan Amir Syarifuddin
harus berjuang keras melawan pikiran-pikiran dari pemimpin-pemimpin militer
yang memandang rendah perang gerilya. Di satu pihak kawan Amir Syarifuddin
berhasil memenangkan pikirannya, tetapi di pihak lain pelaksanaannya mendapat
rintangan-rintangan karena ditentang oleh mereka yang menganggap rendah perang
gerilya, karena kekurangan kader militer yang mengerti, dan arena dipersulit
oleh tidak adanya politik front persatuan dan politik pembangunan Partai yang
tepat.
Salah satu kesalahan pokok dari pada Partai dalam
belajar dari Revolusi Tiongkok ketika itu ialah, bahwa Partai hanya berusaha
untuk mengetahui persamaan antara revolusi Tiongkok dan revolusi Indonesia,
tetapi tidak berusaha untuk mengetahui perbedaan-perbedaan, tidak melihat
keadaan yang khusus di Indonesia.
Menurut pengalaman di Tiongkok, untuk suatu negeri yang
terbelakang seperti Indonesia, peperangan gerilya, pembentukan daerah-daerah
gerilya bebas dan pengorganisasian tentara pembebasan Rakyat dalam
daerah-daerah ini adalah satu di antara bentuk perjuangan yang tepat untuk
mencapai kebebasan nasional yang penuh. Tetapi di Indonesia bentuk perjuangan
ini tidak mendapat kemungkinan seluas-luasnya seperti di Tiongkok. Ini
disebabkan oleh karena keadaan-keadaan khusus di Indonesia.
Syarat-syarat yang paling menguntungkan untuk bentuk
peperangan gerilya ialah daerah-daerah yang luas, daerah pegunungan dan
hutan-hutan yang luas serta yang jauh letaknya dari kota-kota dan jalan-jalan
perhubungan. Keadaan di Indonesia hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat
ini.
Selanjutnya, dari pengalaman kaum Komunis Tiongkok dapat
kita ketahui bahwa kaum Komunis Tiongkok mendapat daerah belakang yang bisa
dipercaya hanya setelah mereka mencapai daerah Tung Pei (Mancuria) yang
berbatasan dengan Uni Soviet. Setelah mereka mendapatkan Uni Soviet sebagai
daerah belakangnya. Tjiang Kai-sek tidak bisa lagi mengepung kekuatan-kekuatan
revolusi Tiongkok. Lagi pula setelah bisa menghindarkan diri dari bahaya
kepungan musuh, maka kaum Komunis Tiongkok berada dalam kedudukan mengadakan
serangan-serangan berencana terhadap pasukan-pasukan Tjiang Kai-sek.
Revolusi Indonesia tidak mempunyai syarat-syarat
demikian itu. Indonesia adalah negeri yang terdiri dari pulau-pulau. Tentara
pembebasan Rakyat tidak bisa menyandarkan diri pada Negara tetangga yang
bersahabat sebagai daerah belakangnya.
Apakah dengan mengemukakan kenyataan-kenyataan di atas
berarti bahwa peperangan gerilya tidak bisa digunakan di Indonesia? Sama sekali
tidak demikian. Tetapi yang seharusnya kita lakukan, untuk membikin cara
peperangan gerilya lebih efektif dalam keadaan-keadaan yang berlangsung di
Indonesia, ialah mengkombinasikan cara peperangan gerilya dengan aksi-aksi
revolusioner kaum buruh di kota-kota yang diduduki oleh musuh, dengan aksi-aksi
pemogokan ekonomi dan politik yang bersifat umum. Dalam keadaan-keadaan seperti
di Indonesia, adalah mempunyai arti yang istimewa pemogokan-pemogokan kaum
buruh di semua lapangan perhubungan, yaitu kereta api, mobil, lautan, udara,
sebab pemogokan-pemogokan umum oleh proletariat di lapangan-lapangan ini bisa
sangat melemahkan musuh revolusi dan dengan demikian berarti memberi bantuan
yang kuat kepada perjuangan gerilya. Pekerjaan di daerah pendudukan Belanda
yang ditujukan untuk mengorganisasi kaum buruh dan memimpin aksi-aksi kaum
buruh sangat tidak mendapat perhatian kaum Komunis selama Revolusi Agustus.
Selain dari pada itu, selama revolusi Agustus PKI tidak
melakukan pekerjaan yang intensif di kalangan tenaga-tenaga bersenjata Belanda
yang tidak sedikit terdiri dari anak-anak kaum tani dan kaum buruh yang bisa
ditarik ke pihak revolusi. Padahal, pekerjaan revolusioner yang intensif di
tengah-tengah kekuatan bersenjata musuh dapat sangat melemahkan kekuatan musuh
dan ini berarti bantuan yang penting kepada perjuangan gerilya.
Jadi, peperangan gerilya selama Revolusi Agustus bisa
meluas dan dikonsolidasi jika PKI ketika itu meletakkan pemecahannya dalam
pekerjaan mengkombinasikan tiga bentuk perjuangan, yaitu perjuangan gerilya di
desa (terutama terdiri dari kaum tani), aksi-aksi revolusioner oleh kaum buruh
di kota-kota yang diduduki oleh Belanda dan pekerjaan yang intensif di kalangan
tenaga bersenjata Belanda.
Kekalahan-kekalahan dalam perjuangan bersenkata dan
kendornya semangat revolusioner di dalam kekuatan bersenjata senantiasa
berakibat mundurnya pekerjaan front persatuan dan pembangunan Partai.
Tanda-tanda dari pada kekalahan Revolusi Agustus nampak setelah beberapa bagian
dari pada kekuatan bersenjata, dengan dikendalikan oleh orang-orang reaksioner,
menentang gerakan kaum buruh dan kaum tani.
Dalam keadaan dimana Revolusi Agustus hampir kalah, PKI
dalam Konferensinya bulan Agustus 1948, atas usul Kawan Musso, mensahkan sebuah
resolusi yang bernama “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” sebagai
jalan keluar dari keadaan pelik yang dihadapi oleh Republik Indonesia ketika
itu.
Resolusi “Jalan Baru” telah mengingatkan Partai akan
kewajiban-kewajibannya yang terpenting, yang selama revolusi Agustus dilalaikan
atau tidak dikerjakan sama sekali:
Mengenai front persatuan dikatakan
bahwa selama revolusi
“kaum Komunis telah lalai mengadakan front nasional
sebagai senjata revolusi nasional terhadap imperialisme. Walaupun kemudian
mereka mulai sadar akan kepentingan front nasional itu, akan tetapi kaum
Komunis belum paham sungguh-sungguh tentang teknik untuk membentuknya. Beberapa
macam bentuk front nasional selama tiga tahun ini telah didirikan, akan tetapi
selalu tinggal di atas kertas belaka, hanya berupa konvensi di antara
organisasi-organisasi atau di antara pemimpin-pemimpin saja, sehingga jikalau
ada sedikit perselisihan di antara pemimpin-pemimpin front nasional itu lalu
menyebabkan bubarnya. PKI berkeyakinan, bahwa pada saat ini Partai kelas buruh
tidak dapat menyelesaikan sendiri revolusi demokrasi borjuis ini dan oleh
karena itu PKI harus bekerja bersama dengan partai-partai lain. Kaum Komunis
sudah semestinya harus berusaha mengadakan persatuan dengan anggota-anggota
partai-partai dan organisasi-organisasi lain. Satu-satunya persatuan semacam
itu ialah front nasional”.
Mengenai inisiatif yang harus diambil oleh kaum Komunis
dalam membentuk front nasional dikatakan, bahwa inisiatif ini
“sekali-kali tidak berarti, bahwa kaum Komunis memaksa
partai lain atau orang lain supaya mengikutinya, melainkan PKI harus meyakinkan
dengan secara sabar kepada orang-orang yang tulus hati, bahwa satu-satunya
jalan untuk mendapat kemenangan ialah membentuk front nasional yang disokong
oleh semua Rakyat yang progresif dan anti-imperialis. Tiap Komunis harus yakin
benar-benar, bahwa dengan tidak adanya front nasional kemenangan tidak akan
datang”.
Mengenai perjuangan bersenjata dikatakan dalam resolusi
“Jalan Baru”, bahwa perjuangan ini harus diutamakan. Perjuangan bersenjata
harus diutamakan karena imperialis Belanda terus-menerus berusaha memperkuat
tenaga militernya. Selanjutnya dikatakan bahwa
“Tentara sebagai alat kekuasaan Negara yang terpenting
harus istimewa mendapat perhatian. Kader-kader dan anggota-anggotanya harus
diberi pendidikan istimewa yang sesuai dengan kewajiban tentara sebagai aparat
terpenting untuk membela revolusi nasional kita yang berarti pula membela
kepentingan Rakyat pekerja. Tentara harus bersatu dengan dan disukai oleh
Rakyat. Dengan sendirinya dan terutama di kalangan kader-kadernya harus
dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner”.
Resolusi tersebut mengkritik kelalaian memberikan
jaminan kepada anggota-anggota ketentaraan dan kepolisian-negara khususnya, dan
kepada Rakyat pekerja umumnya (buruh dan pegawai negeri), sehingga menyebabkan
terlantarnya nasib mereka.
Mengenai Partai dikatakan bahwa
kesalahan pokok dari kaum Komunis ialah telah mengecilkan rol PKI sebagai
satu-satunya kekuatan yang seharusnya memegang pimpinan kelas buruh dalam
menjalankan revolusi. Berdasarkan kesalahan ini, resolusi “Jalan Baru”
mengatakan bahwa PKI memutuskan memajukan usul”
“supaya di antara tiga Partai yang mengakui dasar-dasar
Marxisme-Leninisme (PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia – DNA) yang
sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah menjalankan
aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi
(peleburan), sehingga menjadi satu Partai Kelas buruh dengan memakai nama yang
bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia…”
Berhubung dengan sokongan PKI pada politik reaksioner
dari kaum sosialis kanan yang dipelopori oleh Sutan Syahrir, resolusi “Jalan
Baru” menyatakan bahwa dengan menyokong politik kaum sosialis kanan itu, PKI
sudah membikin dua macam kesalahan:
Kesalahan pertama, bahwa PKI tidak memahami
ajaran revolusioner, “bahwa revolusi nasional anti-imperialis di jaman sekarang
ini sudah menjadi bagian dari pada revolusi proletar dunia”, bahwa “revolusi
nasional di Indonesia haru berhubungan erat dengan tenaga-tenaga
anti-imperialis lainnya di dunia, yaitu perjuangan revolusioner di seluruh
dunia, baik di negeri-negeri jajahan atau negeri setengah-jajahan, maupun di
negeri-negeri kapitalis…”
Kesalahan kedua, bahwa oleh PKI “tidak cukup
dimengerti perimbangan kekuatan antara Uni Soviet dan imperialis Inggris-USA,
setelah Uni Soviet berhasil dengan sangat cepatnya menduduki seluruh Manchuria.
Pada waktu itu, sudah ternyata kedudukan Uni Soviet yang sangat kuat di benua
Asia, yang mengikat banyak tenaga militer dari pada imperialis USA, Inggris,
dan Australia dan dengan demikian memberi kesempatan baik bagi Rakyat Indonesia
untuk memulai revolusinya. Pada saat itu, kaum Komunis Indonesia sudah membesar-besarkan
kekuatan Belanda dan imperialisme lainnya dan mengecilkan kekuatan revolusi
Indonesia serta golongan anti-imperialis lainnya”.
Resolusi menyatakan bahwa PKI mengubah politiknya, yaitu
dengan tegas membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, yang dalam
prakteknya telah menjadi sumber dari pada bermacam-macam keruwetan di antara
pemimpin-pemimpin dan Rakyat jelata. Penolakan persetujuan Linggarjati dan
Renville berarti juga otokritik yang keras di kalangan PKI.
Disimpulkan dalam Resolusi tersebut bahwa
kesalahan-kesalahan prinsipiil dari pada PKI selama Revolusi Agustus ialah
karena lemahnya ideologi Partai. Berhubung dengan ini diputuskan bahwa
anggota-anggota Partai harus mempelajari teori Marxisme-Leninisme. Tiap-tiap
Komunis diwajibkan membaca dan mempelajari teori revolusioner dan diwajibkan
mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani agar supaya
dengan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan praktek dengan
erat. Teori yang tidak dihubungkan dengan massa tidak dapat merupakan kekuatan,
akan tetapi sebaliknya yang berhubungan erat dengan massa merupakan kekuatan
yang maha hebat.
Demikianlah, dengan resolusi “Jalan Baru” diletakkan
dasar-dasar untuk pekerjaan yang lebih baik dari pada PKI di lapangan front persatuan,
perjuangan bersenjata, dan pembangunan Partai. Resolusi “Jalan Baru” adalah
merupakan hukuman yang tidak mengenal ampun terhadap oportunisme di dalam dan
di luar Partai. Ia adalah langkah penting untuk menyelamatkan revolusi
Indonesia yang sedang dalam bahaya dan langkah penting yang pertama untuk
membangun Partai tipe Lenin dan Stalin.
Politik baru PKI telah memungkinkan timbulnya pasang
baru dalam revolusi Indonesia. Rapat-rapat umum yang diadakan oleh PKI, dimana
program baru PKI dijelaskan, mendapat kunjungan puluhan sampai ratusan ribu
orang. Massa menyambut ajakan PKI dengan antusias untuk meneruskan peperangan
kemerdekaan melawan imperialisme Belanda. Kedok pemerintah reaksioner yang
berkuasa ketika itu dan kedok partai Masyumi yang anti-Komunis mulai terbuka di
hadapan massa. Massa mulai memahamkan bahwa jalan baru yang ditunjukkan oleh
PKI adalah satu-satunya jalan untuk memenangkan revolusi.
Takut akan pasang baru dalam revolusi Indonesia,
imperialisme Belanda dan Amerika dengan kaki tangannya orang-orang Indonesia
mempergiat usahanya dan menetapkan tindakan-tindakannya untuk menghancurkan PKI
dan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh PKI.
Akhirnya, bulan Agustus 1948, timbul provokasi-provokasi
di Solo dan kemudian di beberapa tempat lain. Opsir-opsir tentara yang
revolusioner dibunuh secara pengecut. Kantor-kantor serikat-serikat buruh dan
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) diduduki dengan paksa oleh pasukan tentara
yang tertentu. Kaum sosialis kanan, kaum trotskis, dan partai Masyumi merupakan
pembantu-pembantu imperialis yang giat dalam merealisasi politik anti-Komunis.
Dalam pertengahan September 1948 terjadi insiden di
Madiun di kalangan tentara, antara golongan yang menyetujui politik reaksioner
dan provokatif dari pemerintah ketika itu dengan golongan yang tetap setia pada
revolusi. Kejadian ini disebut oleh pemerintah Hatta dan dengan mengatakan,
bahwa di Madiun terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan kaum Komunis
mendirikan Negara Soviet. Dengan alasan dusta ini pemerintah menyerukan kepada
semua aparatnya untuk mengejar, menangkap, dan membunuh anggota-anggota serta
pengikut-pengikut PKI. Dengan ini mengamuklah teror putih yang kedua, duplikat
dari pada teror putih Pemerintah Belanda tahun 1926-1927. Tetapi yang kedua ini
lebih kejam dan lebih ganas dari yang pertama. Juga anggota-anggota Masyumi
dimobilisasi untuk mengejar, menangkap, dan membunuh Komunis. Dalam keadaan
demikian, tidak ada jalan lain bagi kaum Komunis kecuali mengangkat senjata dan
membela diri dengan sekuat tenaga terhadap teror putih yang sedang mengamuk.
Provokasi Madium adalah satu persiapan untuk perang
kolonial Belanda yang baru yang terjadi dalam bulan Desember 1948, dan semuanya
ini merupakan persiapan untuk memaksa Indonesia lebih jauh berkapitulasi kepada
imperialisme Belanda. Memang, tidak lama kemudian diadakan gencatan senjata
dengan Belanda yang diikuti oleh Konferensi Meja Bundar di negeri Belanda.
Selama peperangan melawan Belanda pada akhir tahun 1948
sampai permulaan tahun 1949, kader-kader dan anggota-anggota PKI, termasuk
mereka yang dikeluarkan atau melarikan diri dari penjara-penjara pemerintah
Hatta, dengan gagah berani ambil bagian dalam membela Republik Indonesia di
front-front terdepan. Kenyataan ini membuka mata Rakyat akan kepalsuan
fitnahan-fitnahan kaum reaksioner yang dilemparkan kepada PKI selama “Peristiwa
Madiun”. Perlawasan PKI yang gigih terhadap tentara Belanda menaikkan prestise
politik PKI di mata Rakyat dan ini telah membikin pemerintah tidak mungkin
mengeluarkan PKI dari undang-undang.
Pada tanggal 2 November 1949, ditandatanganilah
persetujuan KMB yang khianat oleh pihak Indonesia dan pihak Kerajaan Belanda.
Selama perundingan, Amerika Serikat menempatkan Marle Cochran di Nederland,
sebagai tukang bagi instruksi kiri dan kanan.
Keadaan front persatuan sejak Provokasi Madiun (1948)
sampai turun panggungnya pemerintah Masyumi, Kabinet Sukiman (1951), dalam
laporan umum kepada Kongres V PKI dikatakan bahwa:
“borjuasi nasional memisahkan diri dari front persatuan
anti-imperilisme dan memihak pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir yang memprovokasi
‘Peristiwa Madiun’. Borjuasi nasional ikut berkapitulasi kepada imperialisme
dengan menyetujui persetujuan KMB yang khianat… Politik borjuasi nasional yang
memisahkan diri dari front persatuan terasa sangat berat bagi Partai, karena
Partai, berhubung kelemahan pekerjaannya di kalangan kaum tani, belum dapat
bersandar kepada kaum tani. Keadaan ini memaksa Partai menjalankan taktik untuk
mendapatkan waktu guna menarik kembali borjuasi nasional ke dalam front
persatuan anti-imperialisme dan untuk memperbaiki serta memperkuat pekerjaan
Partai di kalangan kaum tani. Kebenaran taktik Partai ini dibuktikan oleh
perkembangan politik dalam negeri yang baru yang dimulai dalam tahun 1952”.
Kesimpulan dari pada semuanya ini
ialah:
Revolusi Agustus (1945-1948) telah mengalami kekalahan
karena PKI dalam menghadapi revolusi ini masih belum menyimpulkan
pengalaman-pengalamannya dalam soal front persatuan dan tidak berpengalaman
dalam soal perjuangan bersenjata dan dalam soal pembangunan Partai.
Tetapi walaupun revolusi ini kalah, ia telah membikin
PKI berpengalaman dalam front persatuan. Revolusi ini telah memberikan
pengalaman yang penting pada PKI tentang sifat bimbang dari pada borjuasi
nasional, bahwa dalam keadaan yang tertentu kelas ini bisa ikut dan bersikap
teguh berpihak pada revolusi, tetapi dalam keadaan lain ia bisa guncang dan
mengkhianat. Oleh karena itu, proletariat dan PKI harus senantiasa tidak
henti-hentinya menarik borjuasi ke dalam revolusi, tetapi juga harus
berjaga-jaga akan kemungkinan mereka mengkhianati revolusi. Sifat dualisme dari
borjuasi nasional Indonesia sangat mempengaruhi garis politik dan pembangunan
Partai. Maju mundurnya Partai dan maju mundurnya revolusi banyak tergantung
pada hubungan Partai dengan borjuasi nasional. Demikianlah pula sebaliknya.
Dalam berserikat dengan borjuasi nasional, Partai tidak
boleh meninggalkan kebebasannya dan tidak boleh melengahkan sekutu yang paling
bisa dipercaya, yang paling banyak jumlahnya, yaitu kaum tani.
Revolusi ini juga telah membikin PKI menjadi
berpengalaman mengenai soal pembangunan Partai, telah membikin kader-kader PKI
lebih mengerti tentang keadaan masyarakat Indonesia, tentang tanda-tanda
istimewa dan hukum-hukum revolusi Indonesia, telah memungkinkan kader-kader PKI
mempelajari teori Marxisme-Leninisme dan belajar memperpadukan teori
Marxisme-Leninisme dengan praktek revolusi Indonesia.
Juga satu pengalaman, bahwa dalam revolusi, perjuangan
bersenjata adalah bentuk perjuangan yang terpenting. Perkembangan Partai, di
samping sangat tergantung pada front persatuan, juga sangat tergantung pada
perjuangan bersenjata. Maju mundurnya perjuangan bersenjata sangat berpengaruh
pada maju-mundurnya front persatuan dan Partai.
Walau tidak secara lengkap, pengalaman-pengalaman selama
revolusi telah disimpulkan dalam resolusi “Jalan Baru”. Resolusi “Jalan Baru”
merupakan langkah pertama yang penting dalam menciptakan satu Partai Komunis
yang di-bolsjewik-kan, yang meluas ke seluruh negeri, yang berhubungan
erat dengan massa dan yang diperkokoh dalam ideologi, politik, dan organisasi.
“Peristiwa Madiun” telah membikin kader-kader dan
anggota-anggota PKI menjadi lebih waspada dan lebih militan.
IV. Perluasan Front Persatuan Dan
Pembangunan Partai (1951 - …)
Periode ini dimulai dengan sidang Pleno Central Comite
dalam bulan April 1951 yang berhasil merencanakan Konstitusi PKI. Rencana
Konstitusi ini setelah disampaikan kepada organisasi-organisasi bawahan telah
menimbulkan diskusi yang luas di dalam Partai. Dengan tidak menunggu
pengesahannya oleh Kongres, seluruh Partai serempak bersedia menggunakan
rencana Konstitusi ini sebagai pegangan dalam aktivitas pembangunan Partai
sehari-hari, dan pengalaman-pengalaman praktis yang didapat dari pelaksanaan
Konstitusi ini akan dijadikan bahan-bahan untuk membikin amandemen-amandemen.
Diskusi dan pelaksanaan rencana Konstitusi PKI sangat
mendorong perkembangan Partai, meninggikan tingkat politik anggota-anggota
Partai, menghidupkan demokrasi internal Partai, menghidupkan kritik dan
otokritik di dalam Partai, memperkuat disiplin, ideologi, dan kesatuan tenaga
Partai. Partai mulai mengerti dan mulai melaksanakan dua tugasnya yang pokok,
yaitu: tugas penggalangan front persatuan dan tugas pembangunan Partai.
Semuanya ini terjadi di bawah kekuasaan pemerintah reaksioner, pemerintah
Sukiman (Masyumi).
Karena sadar akan bahaya yang mengancam dari gerakan
Rakyat revolusioner dan dari PKI yang sedang tumbuh, karena melihat bahwa
“Provokasi Madiun” ternyata tidak “mematikan” gerakan revolusioner dan PKI,
kaum imperialis asing dan kaum reaksioner dalam negeri menjadi mata gelap dan
membikin komplotan lagi untuk menghancurkan PKI. Sekarang tidak dengan
provokasi di Solo atau di Madiun, tetapi dengan satu “serangan” terhadap pos
polisi di Tanjung Priok, yang oleh pemerintah Sukiman diproklamasikan sebagai
“serangan Komunis”! Kira-kira 2000 orang Komunis dan orang-orang progresif
lainnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi atas desakan Rakyat,
sesudah berbulan-bulan meringkuk di dalam penjara, semua dikeluarkan dengan tak
seorang pun bisa dihadapkan ke muka pengadilan. Gagalnya Sukiman (Masyumi)
dengan Razia Agustus-nya adalah menunjukkan bahwa gerakan revolusioner di
Indonesia sudah bangun kembali dan mempunyai kekuatan.
Masih di dalam suasana Razia Agustus, pada permulaan
tahun 1952, PKI mengadakan Konferensi Nasional yang membicarakan secara
mendalam politik terhadap pemerintah Sukiman. Konferensi memutuskan bahwa
pemerintah Sukiman harus dijatuhkan dengan membentuk front anti pemerintah
Sukiman yang luas, dengan berusaha menarik borjuasi nasional. Mengenai
gerombolan DI-TII yang pada waktu itu melakukan teror besar-besaran di Jawa
Barat dan Jawa Tengah, Konferensi berpendapat bahwa gerombolan-gerombolan ini
adalah alat kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri untuk menjepit
gerakan Rakyat revolusioner di antara kekuatan-kekuatan reaksioner yang ada di
kota-kota dengan yang ada di desa-desa, agar dengan demikian kaum reaksioner
dapat menghancurkan gerakan revolusioner dan dapat berkuasa penuh atas seluruh
negeri. Konferensi memutuskan, supaya segenap kekuatan Partai dikerahkan, dan
bersama-sama dengan aparat-aparat Negara dan partai-partai serta
organisasi-organisasi demokratis lainnya menghancurkan gerombolan-gerombolan
teroris DI-TII. Selain dari pada itu, Konferensi mengambil putusan-putusan
penting untuk memperkuat ideologi dan organisasi Partai. Untuk memungkinkan
pelaksanaan tugas Partai yang berat dan pelik ketika itu, Konferensi memutuskan
untuk meluaskan keanggotaan Partai.
Dengan desakan yang terus-menerus dari gerakan Rakyat
yang demokratis, dengan makin condongnya borjuasi nasional ke kiri, dan sebagai
hasil dari pada pertentangan-pertentangan di kalangan golongan-golongan yang
berkuasa di dalam negeri, pemerintah Sukiman terpaksa turun panggung dan pada
tanggal 1 April 1951 berdirilah pemerintah Wilopo (PNI) yang segi-segi
politiknya yang maju disokong oleh PKI. Dalam pemerintah Wilopo ini duduk juga
menteri-menteri dari Masyumi dan PSI. Karena tindakan-tindakan menteri-menteri
dari Masyumi dan PSI yang anti-Rakyat, seluruh kekuatan demokratis, termasuk
PNI sendiri, menjatuhkan cabinet Wilopo. Atas desakan yang lebih kuat dari
Rakyat, pada tanggal 30 Juli 1953 berdirilah pemerintah Ali Sastroamidjojo
(PNI) tanpa Masyumi-PSI. PKI menyokong segi-segi yang maju dari politik
pemerintah Ali Sastroamidjojo.
Terbentuknya pemerintah yang politiknya mempunyai
segi-segi maju dan yang disokong oleh kelas buruh dan Rakyat banyak,
membuktikan adanya gelombang naik dari pada gerakan revolusioner di Indonesia.
Ini menunjukkan makin bersatunya kekuatan-kekuatan nasional, termasuk borjuasi
nasional, dalam menghadapi kekuatan-kekuatan reaksioner dari luar dan dalam
negeri. Dalam keadaan demikian, sampai batas-batas yang tertentu gerakan
revolusioner dan PKI dapat berkembang.
Dalam gelombang naik dari pada gerakan revolusioner ini,
dalam bulan Oktober 1953 diadakan rapat Pleno Central Comite PKI,
sebagai persiapan untuk Kongres Nasional V PKI. Dalam sidang Pleno ini
dimasukkan amandemen-amandemen untuk perbaikan rencana Konstitusi, dibikin
rencana Program PKI, laporan umum kepada Kongres, dan putusan terhadap Tang
Ling Djie-isme, yaitu aliran oportunis di dalam Partai yang mau mengembalikan
garis politik dan organisasi Partai kepada keadaan sebelum ada resolusi “Jalan
Baru”. Sidang Pleno Central Comite ini telah merumuskan usul-usul kepada
Kongres untuk memecahkan semua masalah penting dan pokok dari pada revolusi
Indonesia.
Dalam bulan Maret 1954, dilangsungkan Kongres
Nasional V PKI yang bersejarah dengan tujuan untuk menjawab semua
masalah penting dan pokok dari pada revolusi Indonesia, untuk pekerjaan yang
lebih baik dari pada Partai dalam menggalang front persatuan, untuk menjawab
semua masalah pokok pembangunan Partai dan untuk mengeratkan hubungan PKI
dengan massa. Dalam Kongres ini, disahkan semua dokumen yang dirancangkan oleh
Sidang Pleno Central Comite bulan Oktober 1953. Di samping itu, disahkan pula
Manifes Pemilihan Umum PKI dan diputuskan untuk memperluas keanggotaan dan
organisasi Partai.
Setelah menganalisa keadaan masyarakat Indonesia, dalam
Program PKI ditetapkan bahwa Indonesia sekarang adalah negeri setengah-jajahan
dan setengah-feodal. Berhubung dengan itu dikatakan”
“Selama keadaan di Indonesia masih tetap tidak berubah,
artinya, selama kekuasaan imperialisme belum digulingkan dan sisa-sisa
feodalisme belum dihapuskan, Rakyat Indonesia takkan mungkin membebaskan diri
dari keadaan melarat, terbelakang, pincang, dan tak berdaya dalam menghadapi imperialisme.
Kekuasaan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme tidak akan hapus di Indonesia
selama kekuasaan negara di negeri kita dipegang oleh tuan tanah dan komprador
yang berhubungan erat dengan kapital asing karena mereka mau mempertahankan
penindasan imperialis dan sisa-sisa feodal di negeri kita, karena mereka paling
takut kepada Rakyat Indonesia.
Jika Indonesia mau maju dari suatu negeri
setengah-jajahan dan setengah-feodal menjadi negeri merdeka, demokratis, makmur
dan maju, maka adalah soal yang pokok, di atas segala-galanya, untuk mengganti
pemerintah tuan-tuan feodal dan komprador dan menciptakan pemerintah Rakyat,
pemerintah Demokrasi Rakyat”.
Mengenai pemerintah Rakyat dikatakan dalam Program PKI,
bahwa pemerintah ini:
“akan merupakan pemerintah front persatuan nasional,
yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan kaum tani di bawah pimpinan
kelas buruh. Mengingat terbelakangnya ekonomi negeri kita, PKI berpendapat
bahwa pemerintah ini harus tidak merupakan pemerintah diktator proletariat
melainkan pemerintah diktator Rakyat. Pemerintah ini bukannya harus
melaksanakan perubahan-perubahan sosialis, melainkan perubahan-perubahan
demokratis. Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua
tenaga anti-feodal dan anti-imperialis, yang mampu memberikan tanah dengan
cuma-cuma kepada kaum tani, yang mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi Rakyat,
suatu pemerintah yang mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap
persaingan asing, yang mampu meninggikan tingkat hidup material kaum buruh dan
menghapus pengangguran. Dengan singkat, ia akan merupakan suatu pemerintah
Rakyat yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui
jalan demokrasi dan kemajuan”.
Tetapi bagaimana jalannya untuk keluar dari keadaan setengah
jajahan dan setengah feodal dan untuk membentuk pemerintah Rakyat? Program PKI
menjawab:
“Jalan keluar terletak dalam mengubah imbangan kekuatan
antara kaum imperialis, kelas tuan tanah dan borjuasi komprador di satu pihak,
dan kekuatan Rakyat di pihak yang lain. Jalan keluar terletak dalam
membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, terutama kaum buruh dan
kaum tani”.
Tentang rol kaum buruh dalam
mengubah imbangan kekuatan ini dikatakan:
“Kelas buruh harus memelopori perjuangan seluruh Rakyat.
Untuk tujuan ini, kelas buruh sendiri harus meningkatkan aktivitasnya, mendidik
dirinya sendiri dan menjadi kekuatan yang besar dan sadar. Kelas buruh tidak
hanya harus melakukan perjuangan untuk memperbaiki tingkat hidupnya, ia juga
harus meningkatkan tugas-tugasnya ke tingkat yang lebih luas dan lebih tinggi.
Ia harus membantu perjuangan kelas-kelas lainnya. Kelas buruh harus membantu
perjuangan kaum tani untuk tanah, perjuangan kaum inteligensia untuk hak-haknya
yang pokok, perjuangan borjuasi nasional melawan persaingan asing, perjuangan
seluruh Rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional dan kebebasan-kebebasan
demokratis. Rakyat bisa mencapai kemenangan hanya apabila kelas buruh Indonesia
sudah merupakan kekuatan yang bebas, sadar, matang dalam politik, terorganisasi
dan mampu memimpin perjuangan seluruh Rakyat, hanya apabila Rakyat sudah
melihat kelas buruh sebagai pemimpinnya”.
Berdasarkan analisa dari pada kelas-kelas di dalam
masyarakat Indonesia, Program PKI membikin jelas kawan dan lawan yang
sungguh-sungguh di dalam revolusi. Berdasarkan analisa ini juga Kongres
Nasional V PKI memutuskan meletakkan kewajiban penting di atas pundak PKI,
yaitu kewajiban membentuk front persatuan dari pada semua kekuatan nasional
dari pada revolusi, yaitu kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi
nasional. Front persatuan ini harus terbentuk berdasarkan persekutuan buruh dan
tani, seluas-luasnya dan hasil perjuangan revolusioner dari pada massa. Inilah
syarat bagi Rakyat Indonesia untuk mendirikan suatu pemerintah Rakyat, untuk
mengalahkan lawan-lawan revolusi, yaitu kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan
borjuasi komprador.
Untuk menggalang front persatuan nasional yang
sungguh-sungguh, kewajiban PKI yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke
dalam front persatuan nasional. Tentang ini dikatakan dalam laporan umum kepada
Kongres Nasional V:
“… agar kaum tani dapat ditarik, kewajiban yang terdekat
dari pada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme…
Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu perjuangan
mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan tuntutan bagian kaum tani.
Dengan demikian, berarti mengorganisasi dan mendidik kaum tani ke arah tingkat
perjuangan yang lebih tinggi. Inilah dasar untuk membentuk persekutuan kaum
buruh dan kaum tani sebagai basis dari pada front persatuan nasional yang
kuasa”.
Mengenai perjuangan parlementer dan sokongan PKI pada
pemerintah Wilopo dan kemudian pemerintah Ali Sastroamidjojo Program PKI
menyatakan:
“PKI memandang pekerjaan dalam parlemen bukan sebagai
pekerjaan Partai yang pokok dan tidak memandang perjuangan parlementer sebagai
satu-satunya bentuk perjuangan”.
Tetapi ini tidak berarti bahwa PKI mengabaikan pemilihan
umum dan perjuangan parlementer, dan bahwa PKI mengambil sikap yang satu dan
sama terhadap pemerintah-pemerintah yang ada sampai sekarang dan terhadap
pemerintah-pemerintah yang akan ada di kemudian hari sampai terbentuknya
pemerintah Demokrasi Rakyat.
“PKI”, kata
program tersebut, “mendasarkan politiknya atas analisa Marxis mengenai
keadaan yang konkret dan perimbangan kekuatan. PKI telah ambil bagian dan terus
akan ambil bagian yang paling aktif dalam perjuangan parlementer. PKI, sadar
sepenuhnya akan tanggung jawab politiknya, menjalankan pekerjaan parlementer
dengan penuh kesungguh-sungguhan. PKI bukannya tidak membeda-bedakan sikap
terhadap tiap-tiap pemerintah yang lampau. Dalam keadaan-keadaan yang tertentu,
Partai beroposisi terhadap pemerintah dan berseru kepada massa untuk
menggulingkannya, dalam keadaan-keadaan lain, Partai menyokong pemerintah dan
dalam keadaan-keadaan yang lain lagi turut dalam pemerintah”.
Perjuangan parlementer dan sokongan PKI kepada
pemerintah Ali Sastroamidjojo juga harus ditujukan untuk memperluas dan
memperkuat front persatuan nasional.
Sebagaimana dikatakan dalam laporan umum kepada Kongres
Nasional V, kewajiban menggalang front persatuan adalah kewajiban urgen yang
pertama dari PKI.
Kewajiban urgen yang kedua dari pada PKI ialah
meneruskan pembangunan PKI yang meluas ke seluruh negeri, yang mempunyai
karakter massa yang luas dan yang sepenuhnya dikonsolidasi di lapangan
ideologi, politik, dan organisasi.
Mengenai ini, Kongres mengingatkan akan perkataan kawan
Stalin, bahwa kalau kita mau menang dalam revolusi kita harus mempunyai Partai
revolusioner tipe Lenin atau sebagai yang dikatakan oleh Mao Tse-tung, Partai
tipe Lenin-Stalin.
Partai demikian tidak mungkin dibentuk jika PKI tidak
menguasai teori Marxisme-Leninisme. Peranan pelopor dari pada Partai hanya
mungkin jika Partai dipimpin oleh teori yang maju. Hanya Partai yang menguasai
teori Marxisme-Leninisme yang bisa memelopori dan memimpin kelas buruh dan
massa Rakyat banyak lainnya.
Kongres juga berpendapat bahwa PKI hanya bisa memenuhi
kewajiban sejarahnya yang besar dan berat jika Partai terus-menerus melakukan
perjuangan yang tidak kenal ampun terhadap kaum oportunis kanan maupun “kiri”
di dalam barisannya sendiri. Berdasarkan ini, Kongres membenarkan dan
memperkuat putusan sidang Central Comite bulan Oktober 1953 mengenai Tan Ling
Djie-isme. Kongres membikin resolusi khusus mengenai Tan Ling Djie-isme dan
menyimpulkan, bahwa “Tan Ling Djie-isme sebenarnya sudah berkuasa di dalam PKI
selama revolusi tahun 1945-1948 dan sampai pada permulaan tahun 1951”. Kongres
menetapkan bahwa:
“Tan Ling Djie-isme di lapangan ideologi adalah
subyektivisme, adalah aliran dogmatis dan empiris di dalam Partai, yang telah
menyebabkan Partai membikin kesalahan-kesalahan kanan dan “kiri” yang sangat
merusak pertumbuhan Partai dan pertumbuhan gerakan revolusioner”.
Kongres memperingatkan bahwa Partai tidak boleh sombong
jika mencapai kemenangan-kemenangan, Partai harus senantiasa melihat
kekurangan-kekurangan di dalam pekerjaannya, Partai harus berani mengakui
kesalahan-kesalahannya dan dengan terang-terangan dan jujur memperbaiki
kesalahan-kesalahannya. Partai akan menjadi tak terkalahkan jika Partai tidak
takut pada kritik dan otokritik, jika Partai tidak menyembunyikan
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan dalam pekerjaannya, jika Partai
mengajar dan mendidik kader-kadernya menarik pelajaran dari kesalahan-kesalahan
pekerjaan Partai dan pandai memperbaikinya tepat pada waktunya.
Karena Indonesia adalah negeri borjuis kecil, artinya
negeri, dimana perusahaan-perusahaan pemilik-pemilik kecil masih sangat banyak
terdapat, maka ideologi borjuasi kecil, yaitu subyektivisme, mempunyai basis
sosial yang kuat. Maka itu, Kongres menetapkan bahwa bagi Partai adalah sangat
penting melawan subyektivisme di dalam Partai. Kedua macam subyektivisme, yaitu
dogmatisme dan empirisme, adalah sama-sama berbahaya di dalam Partai, bisa
menyebabkan Partai menjalankan oportunisme kanan dan “kiri”. Subyektivisme
hanya bisa dilawan jika Partai mengajar anggota-anggotanya memakai metode
Marxis-Leninis dalam menganalisa situasi politik dan dalam menghitung kekuatan
kelas, dan jika Partai memimpin perhatian anggota-anggota ke arah penyelidikan
dan studi di lapangan sosial dan ekonomi.
Untuk mempersatukan massa pekerja yang luas di
sekeliling Partai, Partai harus mengarahkan perhatian anggota-anggotanya kepada
pekerjaan-pekerjaan praktis yang kecil-kecil, yang remeh-remeh, yang ada
hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dari kaum buruh, kaum tani, dan kaum
intelektual pekerja. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang menyenangkan atau
enak dan sonder kesukaran-kesukaran. Tetapi hanya inilah jalan untuk
mengeratkan hubungan Partai dengan massa dan untuk tidak lagi menjadikan Partai
mangsa dari pada semboyan-semboyan kekiri-kirian.
Demikian pokok-pokok yang diputuskan untuk membangun
Partai. Dengan ini, kewajiban kedua yang urgen dari pada PKI menjadi jelas.
Dengan ini, berarti PKI belajar dari pengalamannya sendiri untuk membangun dan
menjadikan dirinya Partai tipe Lenin-Stalin.
Mengenai front persatuan dan pekerjaan PKI untuk front
persatuan sejak tahun 1951 oleh Kongres disimpulkan sbb:
“… persatuan dengan borjuasi nasional makin bertambah
erat, tetapi persekutuan kaum buruh dan kaum tani masih belum kuat. Dengan
perkataan lain, Partai masih tetap belum mempunyai fundamen yang kuat. Dalam
tingkat ini, Partai dengan keras harus melawan penyelewengan ke kanan yang
memberi arti yang berlebih-lebihan kepada persatuan dengan borjuasi nasional
dengan mengecilkan arti pimpinan kelas buruh dan arti persekutuan kaum buruh
dan kaum tani. Bahaya ini ialah bahaya melepaskan sifat bebas dari pada Partai,
bahaya meleburkan diri dengan borjuasi. Di samping itu, sudah tentu Partai juga
harus dengan keras mencegah penyelewengan ke kiri, mencegah sektarianisme,
yaitu sikap yang tidak mementingkan politik front persatuan dengan borjuasi
nasional dan memelihara front persatuan itu dengan sekuat tenaga. Karena klik
borjuasi komprador bersandar pada imperialisme yang berlainan, dan arena
politik Partai sekarang ini pertama-tama ditujukan kepada imperialisme Belanda
dan bukan kepada semua imperialisme asing, maka telah timbul pertentangan yang
bertambah tajam di kalangan kaum imperialis sendiri dan
pertentangan-pertentangan ini dengan sendirinya juga timbul di kalangan
komprador-kompradornya. Terbentuknya front persatuan dengan borjuasi nasional
ini membukakan kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan dan pembangunan
Partai dan bagi pekerjaan Partai yang terdekat, yaitu menggalang persekutuan
kaum buruh dan kaum tani anti-feodalisme. Pembangunan Partai dan penggalangan
persekutuan kaum buruh dan kaum tani adalah jaminan bagi pimpinan proletariat
atas front persatuan nasional”.
Kongres Nasional V PKI, belajar dari sejarah PKI yang
panjang, dan berpedoman pada Marxisme-Leninisme, telah melikuidasi periode
sebelum tahun 1951 di dalam PKI. Dengan berhasilnya Kongres ini secara
definitif jaman lama yang gelap dari pada Partai sudah ditutup untuk
selama-lamanya, dan periode baru berkembang dengan suburnya, periode yang
dimulai dalam tahun 1951.
Dalam bulan November 1954, dengan dilangsungkannya
sidang Pleno Central Comite ke-2, periode baru ini dikembangkan
dengan putusan untuk lebih memperluas front persatuan. Berdasarkan analisa
keadaan politik di Indonesia, sidang Central Comite ini menetapkan bahwa PKI
sudah menjadi kekuatan nasional yang penting dan besar, yang tidak mungkin
diabaikan oleh kawan maupun lawan. Berdasarkan analisa sejarah dan keadaan
kepartaian di Indonesia, Central Comite memutuskan supaya PKI aktif
mengusahakan adanya kerja sama antara PKI dengan partai-partai lain, terutama
dengan partai-partai Nasionalis dan partai-partai yang berdasarkan Islam.
Tentang ini dikatakan dalam putusan tersebut antara lain:
“Kerja sama antara Partai dan massa Komunis dengan
partai dan massa Nasionalis dan Islam bagi kita bukan hanya sesuatu yang dapat
dibatasi sampai selesainya pemilihan umum yang akan datang, sebagaimana sering
dikatakan oleh pemimpin-pemimpin Nasionalis dan Islam. Kita menghendaki kerja
sama juga sampai sesudah pemilihan umum, dengan tidak peduli siapa yang akan
menang nanti. Dan apa yang kita inginkan ini adalah sesuai dengan semboyan
Republik kita ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (berbeda tetapi satu)”.
Putusan penting yang lain dari Central Comite ialah
tentang cara pimpinan kolektif
“sebagai syarat yang tidak boleh tidak untuk
mengkonsolidasi Partai di lapangan ideologi dan organisasi, untuk membikin Partai
lebih militan dan untuk mempererat hubungan Partai dengan massa. Dengan Partai
yang demikian, persatuan yang lebih luas dari pada semua kekuatan nasional
pasti akan menjadi kenyataan”.
Dan seluruh uraian di atas jelaslah, bahwa selama 35
tahun proses pembangunan dan pembolsjewikan Partai adalah sangat erat
hubungannya dengan garis politik Partai, dengan tepat atau tidak tepatnya
Partai memecahkan masalah front persatuan, terutama dalam mengatur hubungannya
dengan borjuasi nasional. Sebaliknya, semakin Partai dibolsjewikan, maka
semakin tepatlah garis politik Partai dan semakin tepat pula Partai dapat
memecahkan masalah front persatuan, terutama dalam mengatur hubungannya dengan
borjuasi nasional.
Setia pada sejarahnya yang heroik dan patriotik, belajar
dari pengalamannya yang didapat dengan pengorbanan putra-putra Indonesia yang
terbaik dan berpedoman pada Marxisme-Leninisme yang kreatif, PKI meneruskan
tugas sejarahnya. Dalam keadaan sekarang, PKI tidak akan henti-hentinya dan
dengan sekuat tenaganya bekerja untuk memperluas dan memperkuat front persatuan
nasional. Di samping itu, dengan tidak henti-hentinya dan dengan sekuat
tenaganya PKI akan meneruskan pembangunan dan pembolsjewikan dirinya, sebagai
jaminan pokok untuk selamat dan suksesnya front persatuan nasional.