Powered By Blogger

Rabu, 20 Juni 2018

Lahirnya Partai Komunis Indonesia dan Perkembangannya


Partai Komunis Indonesia adalah salah satu anak sejarah bangsa ini yang mendapat peran atagonis. Namun begitu tidak ada salahnya kita sebagai generasi penerus bangsa ini mempelajarinya agar dapat mengambil makna dari setiap pergerakannya. Anak Bangsa yang maju adalah anak bangsa yang mempelajari setiap episode sejarah bangsanya, walaupun sejarah itu kelam.

Posting-an kali ini saya sengaja mengambil salah satu draft pidato DN Aidit untuk memperingati hari lahir PKI yang ke 35 pada 23 Mei 1955.

Pidato ini diucapkan oleh sekretaris jenderal CCPKI, D.N. Aidit, pada ulang tahun ke-35 PKI, 23 Mei 1955 yang lalu.

PKI adalah salah satu partai yang tertua dan terbesar di Indonesia, PKI sudah menjalani pergulatan yang tidak singkat dan tidak mudah, dan di antara partai-partai politik di Indonesia PKI adalah barangkali partai yang paling disukai tetapi juga paling dibenci.

Mudah dipahami bahwa sangat dirasakan perlunya mengenal sejarah dari partai yang demikian. Bagi yang menyukai, agar kesukaannya itu menjadi kesukaan yang sesadar-sadarnya, dan bagi yang membenci, agar kebenciannya itu didasarkan pengertian, dan bukan dikarenakan prasangka.

Keperluan, bahkan keharusan ini, rasanya cukup memberi alasan bagi penerbit untuk mencetak “Lahirnya PKI dan perkembangannya” ini.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dibentuk pada tanggal 23 Mei 1929. Jadi, tanggal 23 Mei tahun 1955 ini adalah ulang tahun PKI yang ke-35.

Lahirnya PKI 35 tahun yang lalu adalah lahirnya satu Partai kelas buruh Indonesia. Perkembangan Partai ini adalah perkembangan dari pada sejarah kelas buruh Indonesia dalam memimpin kaum tani dan massa Rakyat lainnya dalam perjuangan perwira melawan imperialisme dan kaki tangannya, dalam perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan reaksioner dan mendirikan kekuasaan Rakyat yang bersendikan persekutuan mayoritas dari pada Rakyat, yaitu persekutuan kaum buruh dan tani. Hanya kekuasaan Rakyat yang demikian ini memungkinkan tercapainya Indonesia sosialis di kemudian hari.

Sejarah 35 tahun PKI bukanlah sejarah yang tenang dan damai, tetapi sejarah yang mengalami banyak pergolakan, banyak marabahaya, banyak kesalahan, dan banyak pengorbanan. Tetapi juga sejarah yang heroik, yang gembira, yang banyak pelajaran, dan yang mencatat sukses-sukses.
Perkembangan PKI selama 35 tahun dapat dibagi sebagai berikut:
1.                    Pembentukan Partai Dan Perjuangan Melawan Teror Putih Pertama (1920 – 1926).
2.                    20 Tahun Di Bawah Tanah Dan Front Anti-fasis (1926 – 1945).
3.                    Revolusi Agustus dan Perjuangan Melawan Teror Putih Kedua (1945 – 1951).
4.                    Perluasan Front Persatuan Dan Pembangunan Partai (1951 - …)

I. Pembentukan Partai Dan Perjuangan Melawan Teror Putih Pertama (1920 – 1926)
PKI adalah sintesa dari pada gerakan buruh Indonesia dengan Marxisme-Leninisme. PKI didirikan pada tanggal 23 Mei 1920 bukanlah sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi sesuatu yang obyektif. PKI lahir dalam jaman imperialisme, sesudah di Indonesia ada kelas buruh, sesudah di Indonesia dibentuk serikat buruh-buruh dan dibentuk ISDV (Indonesische Sociaal Democrastische Vereniging), sesudah Revolusi Sosialis Oktober Rusia tahun 1917. PKI adalah anak jaman yang lahir pada waktunya.

Bahwa lahirnya PKI karena keharusan jaman menjadi jelas dari tulisan Kawan Stalin dalam bukunya “Dasar-Dasar Leninisme” sebagai berikut:
“Imperialisme ialah eksploitasi (pemerasan) yang paling tidak kenal malu dan penindasan yang paling tidak berperikemanusiaan terhadap beratus-ratus juta manusia yang mendiami koloni-koloni yang luas dan negeri-negeri yang tergantung. Tujuan dari eksploitasi dan penindasan ini ialah untuk mendapat keuntungan-keuntungan luar biasa. Tetapi dalam mengeksploitasi negeri-negeri ini imperialisme terpaksa membikin jalan-jalan kereta api, pabrik-pabrik, dan perusahaan-perusahaan di situ, menciptakan pusat-pusat industri dan perdagangan. Timbulnya suatu kelas kaum proletar, munculnya inteligensia bumi putera, bangunnya kesadaran nasional, tumbuhnya gerakan untuk kemerdekaan – demikianlah akibat-akibat yang tidak dapat dihindari dari “politik’ ini. Pertumbuhan dari pada gerakan revolusioner di semua koloni dan negeri-negeri tergantung dengan tidak ada kecualinya membuktikan dengan jelas kenyataan ini. Keadaan ini adalah penting bagi proletariat karena ia dengan radikal melemahkan kedudukan kapitalisme dengan mengubah koloni-koloni tergantung dari cadangan-cadangan imperialisme menjadi cadangan-cadangan revolusi proletar”.

Apa yang dikatakan oleh Kawan Stalin ini sepenuhnya sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia pada permulaan abad ke-20. Berhubung dengan penamaan kapital di Indonesia pada permulaan abad ke-20 meningkat dengan cepat, kapital kolonial terpaksa mengadakan perubahan besar dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Terpaksa diadakan industri-industri untuk mengerjakan bahan-bahan mentah seperti gula dan karet, terpaksa dibikin pelabuhan-pelabuhan, jalan-jalan kereta api dan bengkel-bengkel reparasi. Jadi, walaupun imperialisme berusaha mempertahankan hubungan feodal, tidak bisa dicegah bahwa tendensi kapitalis juga merasuk ke tengah-tengah bangsa Indonesia. Dengan demikian, timbullah kelas-kelas baru dalam masyarakat Indonesia, antara lain kelas proletar. Ini merupakan dasar baru untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan atas dasar baru inilah berdirinya PKI. Pemberontakan-pemberontakan kaum tani yang tidak teratur dan terus-menerus mengalami kekalahan, sekarang diganti oleh perjuangan proletariat yang terorganisasi dan yang memimpin kaum tani dan kelas-kelas revolusioner lainnya.

Bahwa lahirnya PKI didahului oleh berdirinya serikat buruh-buruh dan ISDV dapat diterangkan sebagai berikut: dalam tahun 1905 berdiri serikat buruh kereta api yang bernama SS-Bond. Dalam tahun 1908 berdiri VSTP (Verenigingen van Spoor en Tram Personeel), suatu serikat buruh kereta api yang militan. Tetapi kemajuan kesadaran kelas buruh Indonesia sudah menghendaki organisasi yang tidak hanya membatasi diri pada perjuangan serikat buruh. Bulan Mei 1914 di Semarang berdirilah ISDV, organisasi politik yang menghimpun intelektual-intelektual revolusioner Indonesia dan Belanda yang bertujuan menyebarkan Marxisme di kalangan kaum buruh dan Rakyat Indonesia. ISDV inilah yang pada tanggal 23 Mei 1920 melebur diri menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mengenai Revolusi Sosialis Oktober 1917 yang mendorong berdirinya PKI, saya hanya hendak meminjam perkataan Kawan Mao Tse-tung sebagai berikut:

“Salvo Revolusi Oktober menyadarkan kita akan Marxisme-Leninisme. Revolusi Oktober membantu orang-orang progresif di Tiongkok dan di seluruh dunia untuk menerima pandangan dunia proletar sebagai alat meramalkan masa depan dari pada suatu nasional dan memikirkan kembali masalah-masalahnya sendiri”.

Dengan berdirinya PKI, teranglah bahwa orang-orang progresif Indonesia tidak ketinggalan dalam menyambut salvo Revolusi Oktober yang besar itu. Dengan perkataan lain, orang-orang progresif Indonesia dalam massa Rakyat Indonesia yang revolusioner tepat pada waktunya ikut memperkuat front revolusioner baru yang menentang imperialisme dunia. Dengan ini, perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pada perjuangan proletariat sedunia untuk menghancurkan kapitalisme.

Tentang tugas dari kaum Komunis Indonesia sudah dijelaskan oleh Lenin dalam seruannya bulan November 1919 kepada kaum Komunis dari nasional-nasional Timur sebagai berikut:

“Di hadapanmu”, kata Lenin, “terletak suatu tugas yang tidak pernah dihadapi oleh Komunis di seluruh dunia. Tugas ini ialah dengan bersandar pada teori dan praktek umum dari Komunisme, kamu harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan-keadaan istimewa yang tidak terdapat di negeri-negeri Eropa dan hendaknya cakap mengenakan teori dan praktek ini pada keadaan-keadaan, dimana massa yang pokok adalah tani, dan masalah perjuangan yang perlu dipecahkan ialah masalah perjuangan yang bukan melawan kapital, melainkan melawan sisa-sisa dari Jaman Tengah”.

Dari seruan Lenin ini jelas bahwa kaum Komunis di Timur, jadi juga kaum Komunis Indonesia, tidak hanya harus menyandarkan diri pada “teori dan praktek umum dari Komunisme”, tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan “keadaan-keadaan istimewa yang tidak terdapat di negeri-negeri Eropa”, dan dengan ini yang dimaksudkan Lenin ialah kaum tani.

PKI adalah Partai dari pada kelas yang baru, yaitu kelas buruh, yang diperlukan untuk memikul pertanggungan jawab sebagai pemimpin. Apa sebab kelas buruh memikul pertanggungan jawab sebagai pemimpin? Kelas buruh Indonesia walaupun jumlahnya tidak banyak (kira-kira 6.000.000 penerima upah dan di antaranya kira-kira 500.000 buruh modern atau proletariat), tapi ia berlainan dengan kaum tani, karena kelas buruh mewakili kekuatan produktif yang baru; kelas buruh juga tidak seperti kelas borjuis, sebab kelas buruh mempunyai tekad perjuangan yang konsekuen, karena kelas ini menderita tiga macam tindasan, yaitu tindasan imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Karena lapangan pekerjaan kelas buruh adalah kelas yang paling berdisiplin, dan karena tidak memiliki alat produksi kelas buruh adalah kelas yang paling konsekuen dan tidak individualistis. Oleh karena itulah, kelas buruh, walaupun jumlahnya tidak banyak, harus memikul pertanggungan jawab memimpin.

Berdirinya PKI, yang kemudian terkenal sebagai kampiun anti imperialisme Belanda, tidak hanya disambut dengan hangat oleh kaum buruh dan kaum tani Indonesia, tetapi juga oleh golongan-golongan Rakyat lainnya. Juga dari kalangan massa tentara dan matros PKI mendapat sambutan. PKI berkembang sangat cepat.

Dalam waktu yang tidak lama, kaum Komunis sudah mempunyai pengaruh yang besar di dalam PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh) yang kongresnya dalam bulan Agustus 1920 di Semarang dihadiri oleh 22 serikat buruh dengan anggota seluruhnya 72.000. Pengaruh kaum Komunis terutama dengan melalui VSTP yang militan. Ini adalah permulaan tradisi PKI yang baik dalam gerakan buruh.

Dalam tahun 1920 di Jawa dan di Sumatera terjadi pemogokan-pemogokan, yang umumnya berakhir dengan kemenangan kaum buruh. Kemenangan-kemenangan ini memberikan semangat dan kegembiraan berjuang pada kaum buruh, mendidik kaum buruh akan pentingnya organisasi dan disiplin, dan membukakan pada kaum buruh dan Rakyat umumnya kebobrokan dari pada peraturan perburuhan kolonial dan pemerintah kolonial.

Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gerakan Buruh membikin khawatir pemerintah, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, bahwa pengaruh Komunis makin besar. Pemerintah berusaha mempengaruhi Serikat Islam (SI) dan mempertajam pertentangan antara kaum Komunis (PKI) dengan SI. Aliran-aliran reformis dalam PPKB disokong oleh pemerintah Belanda dan dengan demikian mempertajam pertentangan antara aliran revolusioner dan aliran reformis.

Dalam Kongres PKI di Kota Gede, Yogyakarta, bulan Desember 1924 dicatat bahwa PKI mempunyai 28 Seksi yang meliputi 1.140 anggota, sedangkan Serikat Rakyat, “Onderbouw” PKI, mempunyai 46 Seksi dan meliputi 31.000 anggota. Jumlah anggota PKI 1.140 dalam tahun 1924 adalah sangat banyak jika dibandingkan dengan anggota Partai Komunis Tiongkok yang hanya berjumlah 900 sebelum Pergerakan “30 Mei” tahun 1925.

Ini adalah bukti bahwa PKI berkembang dengan cepat walaupun mendapat rintangan-rintangan yang besar dari pemerintah kolonial Belanda. Cepatnya perkembangan Serikat Rakyat menunjukkan sambutan kaum tani yang hangat terhadap PKI karena keanggotaan Serikat Rakyat terutama terdiri dari kaum tani.

Tetapi simpati yang luas dari pada massa dan anggota Partai yang banyak tidak dapat dikonsolidasi oleh Partai. Partai memang telah berbuat yang penting dengan membangun semangat anti imperialisme Belanda di kalangan Rakyat, tetapi Partai tidak mampu mengkonsolidasi apa yang sudah dicapainya.

Kesalahan pokok pemimpin-pemimpin PKI ketika itu ialah bahwa mereka telah menjadi mangsa dari pada semboyan-semboyan kekiri-kirian, tidak berusaha keras untuk menjelaskan keadaan, mau memecahkan semua soal dengan satu kali pukul seperti: melikuidasi feodalisme, melepaskan diri dari Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis, menggulingkan pemerintah yang reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya, melikuidasi kaum borjuis nasional. Dengan sendirinya, akibat dari pada ini semua ialah timbul persatuan di antara musuh yang sejati dengan yang bisa menjadi musuh untuk bangkit melawan Partai. Ini berakibat Partai mengisolasi diri sendiri dan ini sangat melemahkan Partai. Partai tidak cukup mengarahkan perhatian anggota-anggotanya kepada pekerjaan-pekerjaan praktis yang kecil-kecil, yang remeh-remeh yang ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dari kaum buruh, kaum tani, dan kaum intelektual pekerja. Padahal hanya di sini, dalam pekerjaan ini, Partai bisa mempersatukan massa pekerja yang luas di sekeliling Partai. Sudah tentu, pekerjaan ini bukannya pekerjaan yang menyenangkan atau enak dan sonder kesukaran-kesukaran. Tetapi, jalan lain tidak ada untuk mengeratkan hubungan Partai dengan massa pekerja.

Sebagaimana dikatakan dalam “Jalan ke Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia”, yaitu laporan umum kepada Kongres Nasional V PKI bulan Maret 1954, dalam tingkat pertama ini :

“Partai masih gelap sama sekali tentang perlunya bersatu dengan borjuasi nasional, dimana slogan Partai ialah ‘sosialisme sekarang juga’, ‘sovyet Indonesia’, dan ‘diktator proletariat’. Penyelewengan ke kiri dari pada Partai ini dikritik secara tepat dan kena oleh Kawan Stalin dalam pidatonya di muka pelajar-pelajar Universitas Rakyat Timur pada tanggal 18 Mei 1925, dimana dikatakannya bahwa penyelewengan ke kiri ini mengandung bahaya mengisolasi Partai dari massa dan mengubah Partai menjadi sekte”.

Penyakit “Komunisme ‘Sayap Kiri’ ” yang menghinggapi Partai memang telah mengubah Partai menjadi suatu sekte, telah mengisolasi Partai dari massa Rakyat yang luas, dan ini memudahkan kekuasaan kolonial yang ganas untuk menghancurkan Partai. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Kawan Stalin bahwa “Perjuangan yang teguh melawan penyelewengan ini adalah syarat yang penting untuk melatih kader-kader yang sungguh-sungguh revolusioner bagi tanah-tanah koloni dan negeri-negeri tergantung di timur”. Kebenaran perkataan Kawan Stalin ini sangat dirasakan dalam perkembangan PKI selanjutnya.

Mengenai pembangunan Partai ketika itu belum mungkin mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pimpinan Partai. Pendidikan teori Marxisme-Leninisme tidak diadakan di dalam Partai, elemen-elemen oportunis menyelundup dan berkuasa di dalam pimpinan Partai, kritik dan otokritik serta cara pimpinan kolektif belum dikenal oleh Partai. Kenyataan ini menyebabkan Partai sangat lemah di lapangan ideologi, politik, dan organisasi.

Dalam keadaan dimana Partai terisolasi dari massa dan dalam keadaan dimana organisasi Partai masih sangat lemah, krisis makin memuncak di Indonesia, penghidupan Rakyat makin lama makin merosot dan perlawanan-perlawanan Rakyat yang tidak terorganisasi terhadap alat-alat pemerintah makin banyak. Dalam keadaan demikian inilah provokasi-provokasi dari pemerintah kolonial Belanda datang bertubi-tubi dalam bentuk-bentuk pemecatan terhadap kaum pemogok, penangkapan terhadap kaum tani, pembubaran sekolah-sekolah yang didirikan oleh PKI atau Serikat Rakyat, pelarangan terhadap surat kabar-surat kabar kaum buruh, penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin kaum buruh, dll. Terutama untuk menghadapi kaum tani, Belanda membikin gerombolan-gerombolan teroris seperti misalnya “Sarekat Hedjo” di Priangan. Semuanya ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Rakyat tanggal 12 November 1926 di Jawa dan permulaan 1927 di Sumatera. Setelah pemberontakan ini terjadi, PKI tampil ke depan untuk sedapat mungkin memberikan pimpinan kepada pemberontakan Rakyat ini adalah sikap yang tepat.

Selama dan sesudah pemberontakan itu, kelemahan-kelemahan Partai menjadi sangat menonjol, misalnya tidak ada kebulatan dalam pimpinan Partai mengenai pemberontakan itu, tidak persiapan untuk menyelamatkan kader-kader dan pimpinan Partai, tidak ada koordinasi antara aksi di satu tempat dengan aksi di tempat lain, tidak ada hubungan antara aksi di desa dengan aksi di kota, dll. Selain dari pada itu, ada lagi orang seperti Tan Malaka, pada waktu itu adalah salah seorang pemimpin PKI, yang tidak bertindak tegas sebelum pemberontakan dimulai, tetapi menyalahkan pemberontakan sesudah pemberontakan terjadi. Lebih dari pada itu, dia ada kliknya terang-terangan melakukan praktek trotskis dengan mendirikan partai baru, Pari (Partai Republik Indonesia), di dalam keadaan dimana PKI sendang menghadapi teror putih dari pemerintah kolonial dan kaki tangannya. Perpecahan di dalam PKI ini lebih menyulitkan pekerjaan PKI yang sudah sulit itu dan memudahkan politik pecah belah Belanda di dalam PKI dan di dalam gerakan kemerdekaan nasional pada umumnya.

Ribuan anggota dan fungsionaris PKI dikejar-kejar dan dihukum, di antaranya ada yang digantung. Banyak yang dibuang ke tengah-tengah rawa Digul di Irian. Hanya beberapa orang pemimpin PKI berhasil menyelamatkan diri ke luar negeri, di antaranya anggota Central Comite PKI, Kawan Musso.

Anggota-anggota dan fungsionaris-fungsionaris PKI, walau pun mereka belum lama menjadi anggota Partai, umumnya mempunyai semangat Partai yang kuat. Dengan tiada menyesal dan dengan senyuman di bibir mereka menuju ke tiang gantungan, menerima putusan hukuman penjara atau pengasingan ke tanah pembuangan. Politik PKI yang konsekuen anti imperialisme Belanda dan sikap yang gagah berani dari anggota-anggota dan fungsionaris-fungsionaris PKI dalam menghadapi kekuasaan kolonial ketika itu mengangkat prestise politik PKI di mata pejuang-pejuang kemerdekaan yang sejati dan di mata Rakyat Indonesia. Ini membesarkan kepercayaan dan kecintaan Rakyat tertindas Indonesia kepada PKI.

Pemberontakan tahun 1926 berakhir dengan kekalahan PKI dan Rakyat Indonesia yang revolusioner. Tetapi satu hal yang tidak bisa dilupakan, bahwa pemberontakan ini telah menunjukkan kepada Rakyat Indonesia, bahwa Belanda bisa dibikin kalang kabut, bahwa kekuasaan kolonial dapat digoyangkan, bahwa kekuasaan ini bukan kekuasaan yang mutlak. Oleh karena itu, pemberontakan tahun 1926 mempunyai arti yang luar biasa besarnya dalam meningkatkan kesadaran politik Rakyat Indonesia.

Kesimpulan dari pada semuanya ialah, bahwa pimpinan PKI belum mampu memperpadukan kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktek revolusi Indonesia, karena pimpinan PKI belum memiliki teori Marxisme-Leninisme dan belum mempunyai pengertian tentang keadaan sejarah dan masyarakat Indonesia tentang tanda-tanda istimewa revolusi Indonesia, dan tentang hukum-hukum revolusi Indonesia. Akibatnya ialah, bahwa Partai tidak mengetahui tuntutan pokok yang obyektif dari Rakyat Indonesia, tuntutan yang menghendaki lenyapnya imperialisme dan feodalisme serta terwujudnya kemerdekaan nasional, demokrasi, dan kebebasan. Selanjutnya, pimpinan Partai tidak menginsyafi bahwa untuk mencapai tuntutan pokok ini harus digalang front persatuan yang luas antara kelas buruh, kaum tani, borjuasi kecil kota, dan borjuasi nasional, yang bersendikan persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh. Dari tidak adanya pengertian tentang semuanya ini timbullah di kalangan pimpinan Partai ketika itu pikiran-pikiran keliru yang mengira bahwa “kaum tani tidak bisa dipercaya dalam semua aksi”, bahwa “kaum pertengahan dan kaum terpelajar sudah menjadi alat kaum modal”, bahwa PKI harus “anti semua kapitalisme” bahwa semboyan PKI adalah “sosialisme sekarang juga”, “soviet Indonesia”, “diktator proletariat”, dsb.

Walaupun dalam tingkat ini organisasi Partai berkembang, tetapi Partai tidak diperkokoh. Anggota-anggota dan kader-kader Partai tidak diperteguh dalam ideologi dan politik, dan mereka tidak mendapat pendidikan Marxisme-Leninisme yang diperlukan. Elemen-elemen yang aktif di dalam Partai tidak dapat dijadikan tulang punggung Partai. Dalam keadaan genting menghadapi provokasi dan terror putih pertama, elemen-elemen yang berkuasa di dalam pimpinan Partai tidak dapat memimpin seluruh Partai untuk menyelamatkan Partai.

Pokoknya, PKI dalam tingkat pertama ini tidak berpengalaman dalam dua soal pokok, yaitu: (1) dalam soal front persatuan dan (2) dalam soal pembangunan Partai.

II. 20 Tahun Di Bawah Tanah Dan Front Anti-Fasis (1926 – 1945)
Sesudah pemberontakan tahun 1926, PKI dinyatakan dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Berhubung dengan PKI tidak bisa lagi bekerja legal dan karena tertarik oleh slogan-slogan kiri, massa revolusioner yang tadinya dipimpin oleh PKI menyambut partai nasionalis kiri, PNI (Partai Nasional Indonesia), yang didirikan dalam tahun 1927. Kader-kader dan anggota-anggota PKI banyak yang memasuki partai kiri ini di samping memasuki organisasi-organisasi massa. Tetapi kegiatan-kegiatan kader-kader dan anggota-anggota PKI ketika itu tidak terpimpin yang baik, karena PKI belum mempunyai pimpinan sentral yang baru.

Sejak kekalahan pemberontakan tahun 1926, mulailah masa menurun dalam gerakan kemerdekaan nasional Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak hanya menindas PKI dan organisasi-organisasi massa revolusioner yang berada di bawah pimpinan PKI, tetapi juga menindas PNI, dengan melakukan macam-macam provokasi, merintangi segala aktivitasnya dan mengasingkan pemimpin-pemimpinnya.

Kesempatan dimana PKI dan partai nasionalis kiri dipukul oleh pemerintah kolonial, digunakan oleh kaum nasionalis kanan yang mempunyai kekuatan pokok dalam Partai Bangsa Indonesia (PBI) untuk mempererat kerja samanya dengan pemerintah Belanda. Mereka memusatkan pekerjaannya pada apa yang mereka namakan pekerjaan “positif”, yang maksudnya ialah mendirikan koperasi-koperasi, sekolah-sekolah, perkumpulan-perkumpulan dagang, dsb. Sampai batas-batas yang tertentu kaum nasionalis kanan berhasil meluaskan pekerjaannya di beberapa daerah sampai ke desa-desa. Belanda suka menamakan mereka “kaum nasionalis yang sehat”, karena aktivitasnya tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah Belanda, dan oleh karena itu juga mendapat fasilitas-fasilitas yang diperlukan dari pemerintah Belanda.

Tetapi masa menurun dalam gerakan kemerdekaan tidak memakan waktu yang panjang. Krisis dunia yang diikuti oleh kemelaratan Rakyat banyak, oleh penghematan, kenaikan pajak, massa ontslag, dsb. menghalangi kerja sama yang tenteram antara kaum nasionalis kanan dengan pemerintah Belanda. Suara-suara radikal dari kalangan kaum buruh, kaum tani, dan intelektual makin lama makin nyaring. Jaman krisis ini terkenal dengan nama “jaman malaise”, atau kaum tani Indonesia menamakannya “zaman meleset”.

Laksana pecutan halilintar di panas terik terjadilah di bulan Februari 1933 pemberontakan anak kapal  “Zeven Provincien” yang mendapat sambutan hangat dari kaum buruh di banyak negeri. Kejadian ini merupakan peristiwa yang penting dalam membangunkan kembali semangat perlawanan Rakyat Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Kemudian, dalam bulan Juli 1933, mengancam pemogokan kereta api di Jawa, yang dengan sangat sulit dapat dicegah oleh pemerintah Belanda dengan bantuan kaum reformis Indonesia.

Di daerah-daerah timbul perlawanan-perlawanan Rakyat, kebanyakannya sebagai tindakan-tindakan dan aksi-aksi perseorangan, sebagai bukti bahwa semangat perlawanan sedang menaik. Penindasan Belanda terhadap aksi-aksi kaum buruh dan perlawanan-perlawanan Rakyat menjadi dipermudah, karena PKI belum berhasil menyusun kembali pimpinan sentralnya secara baik.

Sejak tahun 1932, PKI yang bekerja di bawah tanah mendasarkan aktivitasnya pada program 18 pasal, yang antara lain berbunyi: kemerdekaan penuh bagi Indonesia, pembebasan segera semua tahanan politik dan melikuidasi konsentrasi kamp Boven Digul, hak mogok dan hak demonstrasi, upah sama buat pekerjaan yang sama, berjuang melawan tiap-tiap penurunan upah, sokongan Negara untuk kaum penganggur, tanah untuk kaum tani dan sita tanah kaum imperialis, tuan tanah dan lintah darat, menentang perang imperialis yang baru, dsb. program ini dibuat sebelum kaum fasis (nasional-sosialis) berkuasa di Jerman.

Dalam bulan Maret 1933, kaum fasis Jerman di bawah pimpinan Hitler naik panggung pemerintahan. Kawan Stalin dalam Kongres Partai Komunis Soviet Uni ke-17 antara lain mengatakan bahwa kemenangan fasisme di Jerman ini

… tidak boleh hanya dipandang sebagai gejala kelemahan kelas buruh dan sebagai akibat dari pada pengkhianatan kaum Sosial Demokrat terhadap kaum buruh, yang memberi jalan untuk fasisme; ia juga harus dipandang sebagai gejala kelemahan borjuasi, sebagai gejala dari pada kenyataan bahwa borjuasi sudah tidak mampu lagi memerintah dengan metode-metode parlementerisme dan demokrasi borjuis yang lama, dan, sebagai konsekuensinya, terpaksa dalam politik dalam negerinya menempuh jalan metode pemerintahan yang teroristis – ia harus dianggap sebagai gejala dari pada kenyataan bahwa borjuasi sudah tidak mampu lagi menemukan jalan politik luar negeri yang damai, dan, sebagai konsekuensinya, ia terpaksa mengambil jalan menuju ke politik perang”.

Dengan perkataan lain, untuk mengatasi krisis ekonomi yang sangat dalam, untuk mengatasi krisis umum kapitalisme yang bertambah tajam dan massa Rakyat pekerja yang menjadi makin revolusioner, borjuasi yang berkuasa mencari pembelaan pada fasisme.

Dengan fasisme kaum imperialis berusaha melemparkan beban krisis seluruhnya pada pundak Rakyat pekerja. Mereka berusaha memecahkan masalah pasar dengan jalan memperbudak nasional-nasional yang lemah, dengan lebih mengintensifkan penindasan kolonial dan membagi-bagi kembali dunia dengan mengadakan perang baru. Mereka mau merintangi pertumbuhan kekuatan-kekuatan revolusi dengan menghancurkan gerakan revolusioner dari pada kaum buruh dan tani serta dengan mengadakan serangan militer pada Soviet Uni – benteng proletariat dunia.

Kawan Dimitrov dalam pidatonya di muka Kongres Komintern ke-7 dalam bulan Agustus 1935 antara lain mengatakan, bahwa
“Fasisme Hitler bukan hanya nasionalisme borjuis, tetapi adalah sauvinisme kebinatangan. Ia adalah sistem provokasi dan penyiksaan yang dilakukan pada kaum buruh dan elemen-elemen revolusioner dari kaum tani, borjuasi kecil, dan inteligensia. Ia adalah cara barbar dan kebinatangan Jaman Tengah, ia adalah agresi-agresi yang tak terkendalikan dalam hubungan dengan nasional-nasional lain”.

Perubahan situasi internasional dengan berkuasanya kaum fasis di Jerman berpengaruh besar pada keadaan politik di Indonesia. Soviet Uni mengarahkan perjuangannya terutama pada pembentukan front perdamaian terhadap Negara-negara aggressor, dan Komintern dalam kongresnya bulan Agustus 1935 di Moskow menerima sebuah program yang ditujukan untuk membentuk front Rakyat dan pemerintah Rakyat guna menentang perang dan fasisme. Ini berarti diperlukan kerja sama yang lebih luas antara kaum Komunis dengan elemen-elemen borjuis yang demokratis.

Untuk menyampaikan garis politik anti-fasis ini, dalam tahun 1935 Kawan Musso kembali ke Indonesia dari luar negeri. Kawan Musso tidak hanya menyampaikan garis politik yang baru ini, ia juga berhasil menghimpun kembali kader-kader PKI dan membangun Central Comite PKI yang baru. Tetapi Kawan Musso tidak bisa lama berada di Indonesia, ia harus segera meninggalkan Indonesia lagi karena jejaknya sudah dicium oleh pemerintah Belanda. Dengan demikian, Kawan Musso tidak sempat berbuat banyak untuk pembangunan Partai, sehingga pemimpin-pemimpin PKI harus bekerja dengan tidak ada pegangan yang kuat untuk membangun Partai tipe Lenin dan Stalin.

Atas inisiatif beberapa orang nasionalis kiri dan beberapa orang Komunis didirikan organisasi Rakyat yang legal dengan nama “Gerindo” (Gerakan Rakyat Indonesia). Berdirinya Gerindo memberikan kekuatan baru kepada gerakan kemerdekaan nasional dan gerakan anti-fasis. Atas inisiatif Gerindo dan beberapa partai demokratis lainnya, telah dibentuk Gapi (Gabungan Politik Indonesia), yaitu front persatuan dari pada partai-partai yang bertujuan terbentuknya parlemen bagi Indonesia dan yang menawarkan kerja sama dengan pemerintah Belanda untuk melawan fasisme, terutama fasisme Jepang yang mengancam Rakyat Asia.

Tanggal 23-25 Desember 1939, Gapi mengadakan Kongres Rakyat Indonesia di Jakarta yang dihadiri juga oleh organisasi-organisasi yang bukan partai politik seperti serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi sosial, dsb, dimana soal parlemen menjadi acara yang terutama. Adanya parlemen bagi Indonesia dianggap penting oleh Kongres sebagai syarat untuk membangunkan kekuatan Rakyat dalam menghadapi bahaya fasisme. Kemudian, Kongres Rakyat Indonesia, atas putusan pemimpin-pemimpinnya, dijadikan Majelis Rakyat Indonesia yang dianggap mewakili segenap Rakyat Indonesia. Ini adalah persiapan untuk satu parlemen. Tetapi kenyataan ini dianggap sepi oleh pemerintah Belanda. Ajakan Gapi dan Majelis Rakyat Indonesia kepada Belanda untuk bekerja sama dalam menghadapi serangan fasisme Jepang tidak disambut oleh Belanda sampai saat Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942.

Kerja sama yang luas antara pemimpin-pemimpin partai-partai dan organisasi-organisasi, tetapi tidak didukung oleh massa Rakyat yang luas, telah menyebabkan gagalnya tuntutan untuk mendapatkan parlemen dan telah menyebabkan gagalnya pergerakan Rakyat memaksa pemerintah Belanda untuk ambil bagian yang aktif dalam perjualang anti-fasis bersama-sama dengan Rakyat Indonesia. Ini disebabkan karena PKI belum merupakan Partai yang berakar di massa, yang dapat menghimpun dan menggerakkan massa Rakyat luas, terutama kaum buruh dan kaum tani. Resolusi-resolusi Gapi dan Majelis Rakyat Indonesia tidak pernah diikuti oleh aksi-aksi massa yang berupa demonstrasi atau aksi-aksi lainnya, yang merupakan tekanan yang berarti pada pemerintah kolonial Belanda.

Akibat dari pada front anti-fasis yang tidak cukup kuat di Indonesia, bala tentara Jepang dapat menduduki Indonesia dengan tiada perlawanan, tidak hanya tiada perlawanan dari tentara Belanda, tetapi juga dari gerakan Rakyat. Material maupun moral Rakyat kurang cukup disiapkan dalam menghadapi fasisme Jepang. Kelanjutannya ialah bahwa pada permulaan PKI berada dalam kedudukan terisolasi dalam perlawanannya terhadap fasisme Jepang. Pada permulaan pendudukan Jepang, anggota-anggota Central Comite PKI dan kader-kader yang penting dari pada PKI banyak yang ditangkap oleh Jepang, dan di antaranya mendapat hukuman mati.

Beberapa bulan sesudah pendudukan Jepang, berdasarkan pengalamannya sendiri Rakyat Indonesia baru sadar akan kekejaman dan kebinatangan fasisme Jepang. Semangat anti-Jepang makin lama makin meluas di tengah-tengah Rakyat, organisasi-organisasi anti-fasis tumbuh dimana-mana, dan banyak yang berada di bawah pimpinan anggota-anggota dan kader-kader PKI yang ketika itu banyak hidup dalam buruan mata-mata Jepang. Penguberan terhadap kaum Komunis dilakukan oleh Jepang dengan tidak henti-hentinya. Karena tidak rapinya organisasi, sering juga Jepang menangkap kader-kader PKI yang penting. Tetapi, walaupun demikian, keganasan Jepang tidak memadamkan perlawanan Rakyat. Dimana-mana timbul pemberontakan seperti di Singaparna, Indramayu, Semarang, dll. Juga di kalangan tentara Peta (Pembela Tanah Air) timbul pemberontakan-pemberontakan, dan yang sangat terkenal ialah pemberontakan tentara Peta di Blitar, Kediri.

Mengenai front anti-fasis sebelum dan sesudah Jepang menduduki Indonesia, dalam laporan umum kepada Kongres Nasional V PKI antara lain dikatakan sbb:
“Front anti-fasis (sebelum pendudukan Jepang, DNA) tidak hanya berhasil menarik borjuasi nasional, tetapi juga sebagian dari borjuasi komprador merapakan tambahan kekuatan dalam front anti-Jepang. Tetapi setelah bala tentara Jepang menduduki Indonesia, sebagian besar borjuasi nasional dan boleh dikata semua borjuasi komprador menjalankan politik bekerja sama dengan Jepang. Borjuasi nasional menjalankan politik kerja sama dengan Jepang, setelah mereka melihat bahwa kekuatan Rakyat melawan Jepang tidak begitu kuat dan mereka mempunyai ilusi bahwa Jepang akan memberikan ‘kemerdekaan’ kepada Indonesia”.

Tetapi dengan meningkatnya semangat anti-Jepang, dan apalagi setelah terjadi pemberontakan-pemberontakan kaum tani dan tentara, makin lama makin kendor kesetiaan kaki tangan Jepang kepada tuannya. Dan akhirnya, tidak sedikit orang-orang yang berkedudukan penting mengadakan hubungan-hubungan dengan gerakan anti-Jepang di bawah tanah. Golongan mahasiswa dan pelajar Indonesia juga ambil bagian yang penting dalam mengadakan perlawanan-perlawanan terhadap Jepang.

Kesimpulan dari pada semuanya ialah, bahwa walaupun semangat anti-Jepang dan anti-Belanda dari pada Rakyat meluap, walau pun prestise politik Partai sangat tinggi karena politik anti-fasisnya yang konsekuen, walau pun situasi di dalam dan di luar negeri sangat baik untuk suatu Revolusi, tetapi tugas untuk menghadapi Revolusi yang meletus dalam bulan Agustus 1945 adalah sangat berat bagi Partai, karena Partai tidak menyimpulkan pengalaman-pengalamannya dalam tingkat pertama dan tingkat kedua mengenai front persatuan, dan karena masih tetap tidak berpengalaman dalam soal pembangunan Partai. Di samping itu, Partai juga tidak berpengalaman dalam perjuangan bersenjata, sesuatu yang sangat diperlukan bagi Partai yang berada di dalam Revolusi.

III. Revolusi Agustus dan Perjuangan Melawan Teror Putih Kedua (1945 – 1951)
PKI berada dalam Revolusi Agustus dalam keadaan dimana belum menyimpulkan pengalaman-pengalamannya mengenai front persatuan, dimana masih tetap tidak berpengalaman dalam pembangunan Partai dan tidak berpengalaman dalam perjuangan bersenjata.

Atas desakan massa dengan juru bicaranya pemimpin-pemimpin revolusioner yang masih muda-muda di antaranya terdapat anggota-anggota PKI yang selama pendudukan Jepang memimpin organisasi-organisasi di bawah tanah, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan  Republik Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 ini adalah penjelmaan dari pada hasrat merdeka Rakyat Indonesia yang selama lebih dari 3 abad penjajahan Belanda belum pernah padam dan dalam masa pendudukan Jepang hasrat ini bertambah besar.

Kaum buruh, kaum tani, golongan pemuda, dan pelajar progresif Indonesia, dengan mengambil contoh dari banyak negeri di Eropa yang membebaskan diri dari imperialisme sesudah tentara fasis dikalahkan, serta mendapat inspirasi dari perjuangan kemerdekaan yang besar dari Rakyat Tiongkok, mengerti akan kemungkinan-kemungkinan suatu revolusi yang telah ditentukan oleh sejarah. Pada saat proklamasi dinyatakan, kecuali tentara Jepang yang sudah kalah, tidak ada pasukan tentara lainnya di Indonesia (kecuali di Irian Barat). Situasi yang baik ini digunakan secara tepat oleh Rakyat Indonesia.

Kaum buruh, kaum tani, golongan pemuda, dan pelajar progresif dengan gigih mempertahankan Republik Indonesia, mula-mula melawan tentara Jepang, kemudian melawan tentara Inggris, dan dalam dua perang kolonial melawan tentara Belanda.

Walaupun perjuangan Rakyat Indonesia ini banyak mengalirkan darah patriot-patriot dan walaupun diadakan bermacam-macam percobaan militer oleh imperialis Belanda untuk menghancurkan Republik, tetapi Republik tetap berdiri.

Belanda hanya berhasil dalam usahanya untuk melemahkan Republik dengan menggunakan penasihat-penasihat Inggris dan Amerika serta bantuan kaki tangannya orang-orang Indonesia sendiri, dengan menempuh jalan panjang, jalan “perundingan secara damai”, intrik, dan provokasi, persetujuan-persetujuan yang menguntungkan imperialisme di bawah ancaman meriam dan bom.

Kaum sosialis kanan di bawah pimpinan Sutan Syahrir, yang sejak permulaan Revolusi sudah menguasai pemerintahan, adalah pemegang-pemegang rol penting dalam melayani politik “perundingan secara damai” di bawah ancaman meriam dan bom. Ini dimungkinkan, karena massa Rakyat Indonesia, berhubung dengan penindasan kolonial yang lama, tak dapat mempunyai barisan yang cukup menguasai ajaran-ajaran revolusioner dari Marx, Engels. Lenin, dan Stalin.

Revolusi Agustus adalah Revolusi dari pada front persatuan nasional, dimana pukulan dipusatkan dan ditujukan pada imperialisme asing dan dimana borjuasi nasional memberikan sokongannya pada Revolusi.
Mengenai front persatuan nasional selama revolusi (1945-1948) dalam laporan umum kepada Kongres Nasional V PKI antara lain dikatakan bahwa:
“Borjuasi nasional kembali masuk ke dalam front persatuan setelah melihat bahwa kekuatan Revolusi Rakyat adalah besar. Revolusi Rakyat yang mempunyai kekuatan besar telah membikin borjuasi nasional pada tahun-tahun permulaan revolusi mempunyai sikap yang teguh”.

Tetapi, dikatakan lebih lanjut, “Kelemahan Partai di lapangan politik, ideologi, dan organisasi menyebabkan Partai tidak mampu memberikan pimpinan kepada keadaan obyektif yang sangat baik ketika itu”.
Mengenai Partai, dalam hubungan dengan borjuasi nasional ini dikatakan bahwa:
“Dalam revolusi ini Partai telah meninggalkan kebebasannya dalam politik, ideologi, dan organisasi dan Partai tidak mementingkan pekerjaannya di kalangan kaum tani, dan inilah sebab pokok dari pada kegagalan revolusi. Lemahnya pimpinan revolusi menyebabkan revolusi terus-menerus mengalami kekalahan-kekalahan di lapangan militer, politik, dan ekonomi dan kekalahan-kekalahan ini telah membikin ragu borjuasi nasional dan akhirnya mereka memilih pihak kaum komprador dan imperialis. Resolusi PKI ‘Jalan Baru untuk Republik Indonesia’ yang disahkan oleh Konferensi PKI bulan Agustus 1948 adalah jalan keluar dari keadaan sulit yang dihadapi oleh Republik Indonesia ketika itu. Tetapi pelaksanaan resolusi ini didahului oleh provokasi pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir yang menelurkan ‘Peristiwa Madiun’.”

Satu hal yang sangat menguntungkan ialah, bahwa pada permulaan Revolusi dapat didatangkan dari Australia dan Eropa buku-buku teori mengenai Marxisme-Leninisme. Tetapi, buku-buku teori ini ditulis dalam bahasa asing, terutama dalam bahasa Inggris dan Belanda, sehingga hanya terbatas sekali kader-kader yang dapat mempelajarinya. Pekerjaan menerjemahkan buku-buku teori ke dalam bahasa Indonesia sangat kurang mendapat perhatian dari elemen-elemen yang berkuasa di dalam pimpinan Partai ketika itu. Tetapi walaupun demikian, buku-buku teori ini telah memungkinkan lahirnya tulang punggung Partai dari kalangan kader-kader Partai yang mempunyai kesempatan mempelajari sendiri buku-buku ini. Walaupun tidak mungkin dalam jumlah yang banyak, tetapi ini adalah kemungkinan pertama kali bagi PKI untuk melahirkan tulang punggung yang berteori dari kalangannya, dan ini merupakan salah satu jaminan yang penting untuk perkembangan PKI selanjutnya.

Selama revolusi Partai mempunyai kekuatan-kekuatan bersenjata, tetapi Partai tidak mampu menguasainya. Secara tidak teratur kader-kader Partai mempelajari ilmu kemiliteran dan ilmu peperangan revolusioner. Belajar dari perang revolusioner Rakyat Tiongkok, Kawan Amir Syarifuddin, yang beberapa kali menjabat menteri Pertahanan dalam pemerintahan, berjuang untuk memenangkan pikiran, bahwa perang gerilya adalah salah satu bentuk perjuangan yang tepat untuk memenangkan revolusi. Kawan Amir Syarifuddin harus berjuang keras melawan pikiran-pikiran dari pemimpin-pemimpin militer yang memandang rendah perang gerilya. Di satu pihak kawan Amir Syarifuddin berhasil memenangkan pikirannya, tetapi di pihak lain pelaksanaannya mendapat rintangan-rintangan karena ditentang oleh mereka yang menganggap rendah perang gerilya, karena kekurangan kader militer yang mengerti, dan arena dipersulit oleh tidak adanya politik front persatuan dan politik pembangunan Partai yang tepat.

Salah satu kesalahan pokok dari pada Partai dalam belajar dari Revolusi Tiongkok ketika itu ialah, bahwa Partai hanya berusaha untuk mengetahui persamaan antara revolusi Tiongkok dan revolusi Indonesia, tetapi tidak berusaha untuk mengetahui perbedaan-perbedaan, tidak melihat keadaan yang khusus di Indonesia.

Menurut pengalaman di Tiongkok, untuk suatu negeri yang terbelakang seperti Indonesia, peperangan gerilya, pembentukan daerah-daerah gerilya bebas dan pengorganisasian tentara pembebasan Rakyat dalam daerah-daerah ini adalah satu di antara bentuk perjuangan yang tepat untuk mencapai kebebasan nasional yang penuh. Tetapi di Indonesia bentuk perjuangan ini tidak mendapat kemungkinan seluas-luasnya seperti di Tiongkok. Ini disebabkan oleh karena keadaan-keadaan khusus di Indonesia.
Syarat-syarat yang paling menguntungkan untuk bentuk peperangan gerilya ialah daerah-daerah yang luas, daerah pegunungan dan hutan-hutan yang luas serta yang jauh letaknya dari kota-kota dan jalan-jalan perhubungan. Keadaan di Indonesia hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat ini.

Selanjutnya, dari pengalaman kaum Komunis Tiongkok dapat kita ketahui bahwa kaum Komunis Tiongkok mendapat daerah belakang yang bisa dipercaya hanya setelah mereka mencapai daerah Tung Pei (Mancuria) yang berbatasan dengan Uni Soviet. Setelah mereka mendapatkan Uni Soviet sebagai daerah belakangnya. Tjiang Kai-sek tidak bisa lagi mengepung kekuatan-kekuatan revolusi Tiongkok. Lagi pula setelah bisa menghindarkan diri dari bahaya kepungan musuh, maka kaum Komunis Tiongkok berada dalam kedudukan mengadakan serangan-serangan berencana terhadap pasukan-pasukan Tjiang Kai-sek.

Revolusi Indonesia tidak mempunyai syarat-syarat demikian itu. Indonesia adalah negeri yang terdiri dari pulau-pulau. Tentara pembebasan Rakyat tidak bisa menyandarkan diri pada Negara tetangga yang bersahabat sebagai daerah belakangnya.

Apakah dengan mengemukakan kenyataan-kenyataan di atas berarti bahwa peperangan gerilya tidak bisa digunakan di Indonesia? Sama sekali tidak demikian. Tetapi yang seharusnya kita lakukan, untuk membikin cara peperangan gerilya lebih efektif dalam keadaan-keadaan yang berlangsung di Indonesia, ialah mengkombinasikan cara peperangan gerilya dengan aksi-aksi revolusioner kaum buruh di kota-kota yang diduduki oleh musuh, dengan aksi-aksi pemogokan ekonomi dan politik yang bersifat umum. Dalam keadaan-keadaan seperti di Indonesia, adalah mempunyai arti yang istimewa pemogokan-pemogokan kaum buruh di semua lapangan perhubungan, yaitu kereta api, mobil, lautan, udara, sebab pemogokan-pemogokan umum oleh proletariat di lapangan-lapangan ini bisa sangat melemahkan musuh revolusi dan dengan demikian berarti memberi bantuan yang kuat kepada perjuangan gerilya. Pekerjaan di daerah pendudukan Belanda yang ditujukan untuk mengorganisasi kaum buruh dan memimpin aksi-aksi kaum buruh sangat tidak mendapat perhatian kaum Komunis selama Revolusi Agustus.

Selain dari pada itu, selama revolusi Agustus PKI tidak melakukan pekerjaan yang intensif di kalangan tenaga-tenaga bersenjata Belanda yang tidak sedikit terdiri dari anak-anak kaum tani dan kaum buruh yang bisa ditarik ke pihak revolusi. Padahal, pekerjaan revolusioner yang intensif di tengah-tengah kekuatan bersenjata musuh dapat sangat melemahkan kekuatan musuh dan ini berarti bantuan yang penting kepada perjuangan gerilya.

Jadi, peperangan gerilya selama Revolusi Agustus bisa meluas dan dikonsolidasi jika PKI ketika itu meletakkan pemecahannya dalam pekerjaan mengkombinasikan tiga bentuk perjuangan, yaitu perjuangan gerilya di desa (terutama terdiri dari kaum tani), aksi-aksi revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota yang diduduki oleh Belanda dan pekerjaan yang intensif di kalangan tenaga bersenjata Belanda.

Kekalahan-kekalahan dalam perjuangan bersenkata dan kendornya semangat revolusioner di dalam kekuatan bersenjata senantiasa berakibat mundurnya pekerjaan front persatuan dan pembangunan Partai. Tanda-tanda dari pada kekalahan Revolusi Agustus nampak setelah beberapa bagian dari pada kekuatan bersenjata, dengan dikendalikan oleh orang-orang reaksioner, menentang gerakan kaum buruh dan kaum tani.

Dalam keadaan dimana Revolusi Agustus hampir kalah, PKI dalam Konferensinya bulan Agustus 1948, atas usul Kawan Musso, mensahkan sebuah resolusi yang bernama “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” sebagai jalan keluar dari keadaan pelik yang dihadapi oleh Republik Indonesia ketika itu.

Resolusi “Jalan Baru” telah mengingatkan Partai akan kewajiban-kewajibannya yang terpenting, yang selama revolusi Agustus dilalaikan atau tidak dikerjakan sama sekali:

Mengenai front persatuan dikatakan bahwa selama revolusi
“kaum Komunis telah lalai mengadakan front nasional sebagai senjata revolusi nasional terhadap imperialisme. Walaupun kemudian mereka mulai sadar akan kepentingan front nasional itu, akan tetapi kaum Komunis belum paham sungguh-sungguh tentang teknik untuk membentuknya. Beberapa macam bentuk front nasional selama tiga tahun ini telah didirikan, akan tetapi selalu tinggal di atas kertas belaka, hanya berupa konvensi di antara organisasi-organisasi atau di antara pemimpin-pemimpin saja, sehingga jikalau ada sedikit perselisihan di antara pemimpin-pemimpin front nasional itu lalu menyebabkan bubarnya. PKI berkeyakinan, bahwa pada saat ini Partai kelas buruh tidak dapat menyelesaikan sendiri revolusi demokrasi borjuis ini dan oleh karena itu PKI harus bekerja bersama dengan partai-partai lain. Kaum Komunis sudah semestinya harus berusaha mengadakan persatuan dengan anggota-anggota partai-partai dan organisasi-organisasi lain. Satu-satunya persatuan semacam itu ialah front nasional”.

Mengenai inisiatif yang harus diambil oleh kaum Komunis dalam membentuk front nasional dikatakan, bahwa inisiatif ini
“sekali-kali tidak berarti, bahwa kaum Komunis memaksa partai lain atau orang lain supaya mengikutinya, melainkan PKI harus meyakinkan dengan secara sabar kepada orang-orang yang tulus hati, bahwa satu-satunya jalan untuk mendapat kemenangan ialah membentuk front nasional yang disokong oleh semua Rakyat yang progresif dan anti-imperialis. Tiap Komunis harus yakin benar-benar, bahwa dengan tidak adanya front nasional kemenangan tidak akan datang”.

Mengenai perjuangan bersenjata dikatakan dalam resolusi “Jalan Baru”, bahwa perjuangan ini harus diutamakan. Perjuangan bersenjata harus diutamakan karena imperialis Belanda terus-menerus berusaha memperkuat tenaga militernya. Selanjutnya dikatakan bahwa
“Tentara sebagai alat kekuasaan Negara yang terpenting harus istimewa mendapat perhatian. Kader-kader dan anggota-anggotanya harus diberi pendidikan istimewa yang sesuai dengan kewajiban tentara sebagai aparat terpenting untuk membela revolusi nasional kita yang berarti pula membela kepentingan Rakyat pekerja. Tentara harus bersatu dengan dan disukai oleh Rakyat. Dengan sendirinya dan terutama di kalangan kader-kadernya harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner”.

Resolusi tersebut mengkritik kelalaian memberikan jaminan kepada anggota-anggota ketentaraan dan kepolisian-negara khususnya, dan kepada Rakyat pekerja umumnya (buruh dan pegawai negeri), sehingga menyebabkan terlantarnya nasib mereka.

Mengenai Partai dikatakan bahwa kesalahan pokok dari kaum Komunis ialah telah mengecilkan rol PKI sebagai satu-satunya kekuatan yang seharusnya memegang pimpinan kelas buruh dalam menjalankan revolusi. Berdasarkan kesalahan ini, resolusi “Jalan Baru” mengatakan bahwa PKI memutuskan memajukan usul”
“supaya di antara tiga Partai yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme (PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia – DNA) yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan), sehingga menjadi satu Partai Kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia…”

Berhubung dengan sokongan PKI pada politik reaksioner dari kaum sosialis kanan yang dipelopori oleh Sutan Syahrir, resolusi “Jalan Baru” menyatakan bahwa dengan menyokong politik kaum sosialis kanan itu, PKI sudah membikin dua macam kesalahan:
Kesalahan pertama, bahwa PKI tidak memahami ajaran revolusioner, “bahwa revolusi nasional anti-imperialis di jaman sekarang ini sudah menjadi bagian dari pada revolusi proletar dunia”, bahwa “revolusi nasional di Indonesia haru berhubungan erat dengan tenaga-tenaga anti-imperialis lainnya di dunia, yaitu perjuangan revolusioner di seluruh dunia, baik di negeri-negeri jajahan atau negeri setengah-jajahan, maupun di negeri-negeri kapitalis…”

Kesalahan kedua, bahwa oleh PKI “tidak cukup dimengerti perimbangan kekuatan antara Uni Soviet dan imperialis Inggris-USA, setelah Uni Soviet berhasil dengan sangat cepatnya menduduki seluruh Manchuria. Pada waktu itu, sudah ternyata kedudukan Uni Soviet yang sangat kuat di benua Asia, yang mengikat banyak tenaga militer dari pada imperialis USA, Inggris, dan Australia dan dengan demikian memberi kesempatan baik bagi Rakyat Indonesia untuk memulai revolusinya. Pada saat itu, kaum Komunis Indonesia sudah membesar-besarkan kekuatan Belanda dan imperialisme lainnya dan mengecilkan kekuatan revolusi Indonesia serta golongan anti-imperialis lainnya”.

Resolusi menyatakan bahwa PKI mengubah politiknya, yaitu dengan tegas membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, yang dalam prakteknya telah menjadi sumber dari pada bermacam-macam keruwetan di antara pemimpin-pemimpin dan Rakyat jelata. Penolakan persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga otokritik yang keras di kalangan PKI.

Disimpulkan dalam Resolusi tersebut bahwa kesalahan-kesalahan prinsipiil dari pada PKI selama Revolusi Agustus ialah karena lemahnya ideologi Partai. Berhubung dengan ini diputuskan bahwa anggota-anggota Partai harus mempelajari teori Marxisme-Leninisme. Tiap-tiap Komunis diwajibkan membaca dan mempelajari teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani agar supaya dengan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan praktek dengan erat. Teori yang tidak dihubungkan dengan massa tidak dapat merupakan kekuatan, akan tetapi sebaliknya yang berhubungan erat dengan massa merupakan kekuatan yang maha hebat.

Demikianlah, dengan resolusi “Jalan Baru” diletakkan dasar-dasar untuk pekerjaan yang lebih baik dari pada PKI di lapangan front persatuan, perjuangan bersenjata, dan pembangunan Partai. Resolusi “Jalan Baru” adalah merupakan hukuman yang tidak mengenal ampun terhadap oportunisme di dalam dan di luar Partai. Ia adalah langkah penting untuk menyelamatkan revolusi Indonesia yang sedang dalam bahaya dan langkah penting yang pertama untuk membangun Partai tipe Lenin dan Stalin.

Politik baru PKI telah memungkinkan timbulnya pasang baru dalam revolusi Indonesia. Rapat-rapat umum yang diadakan oleh PKI, dimana program baru PKI dijelaskan, mendapat kunjungan puluhan sampai ratusan ribu orang. Massa menyambut ajakan PKI dengan antusias untuk meneruskan peperangan kemerdekaan melawan imperialisme Belanda. Kedok pemerintah reaksioner yang berkuasa ketika itu dan kedok partai Masyumi yang anti-Komunis mulai terbuka di hadapan massa. Massa mulai memahamkan bahwa jalan baru yang ditunjukkan oleh PKI adalah satu-satunya jalan untuk memenangkan revolusi.

Takut akan pasang baru dalam revolusi Indonesia, imperialisme Belanda dan Amerika dengan kaki tangannya orang-orang Indonesia mempergiat usahanya dan menetapkan tindakan-tindakannya untuk menghancurkan PKI dan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh PKI.

Akhirnya, bulan Agustus 1948, timbul provokasi-provokasi di Solo dan kemudian di beberapa tempat lain. Opsir-opsir tentara yang revolusioner dibunuh secara pengecut. Kantor-kantor serikat-serikat buruh dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) diduduki dengan paksa oleh pasukan tentara yang tertentu. Kaum sosialis kanan, kaum trotskis, dan partai Masyumi merupakan pembantu-pembantu imperialis yang giat dalam merealisasi politik anti-Komunis.

Dalam pertengahan September 1948 terjadi insiden di Madiun di kalangan tentara, antara golongan yang menyetujui politik reaksioner dan provokatif dari pemerintah ketika itu dengan golongan yang tetap setia pada revolusi. Kejadian ini disebut oleh pemerintah Hatta dan dengan mengatakan, bahwa di Madiun terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan kaum Komunis mendirikan Negara Soviet. Dengan alasan dusta ini pemerintah menyerukan kepada semua aparatnya untuk mengejar, menangkap, dan membunuh anggota-anggota serta pengikut-pengikut PKI. Dengan ini mengamuklah teror putih yang kedua, duplikat dari pada teror putih Pemerintah Belanda tahun 1926-1927. Tetapi yang kedua ini lebih kejam dan lebih ganas dari yang pertama. Juga anggota-anggota Masyumi dimobilisasi untuk mengejar, menangkap, dan membunuh Komunis. Dalam keadaan demikian, tidak ada jalan lain bagi kaum Komunis kecuali mengangkat senjata dan membela diri dengan sekuat tenaga terhadap teror putih yang sedang mengamuk.

Provokasi Madium adalah satu persiapan untuk perang kolonial Belanda yang baru yang terjadi dalam bulan Desember 1948, dan semuanya ini merupakan persiapan untuk memaksa Indonesia lebih jauh berkapitulasi kepada imperialisme Belanda. Memang, tidak lama kemudian diadakan gencatan senjata dengan Belanda yang diikuti oleh Konferensi Meja Bundar di negeri Belanda.

Selama peperangan melawan Belanda pada akhir tahun 1948 sampai permulaan tahun 1949, kader-kader dan anggota-anggota PKI, termasuk mereka yang dikeluarkan atau melarikan diri dari penjara-penjara pemerintah Hatta, dengan gagah berani ambil bagian dalam membela Republik Indonesia di front-front terdepan. Kenyataan ini membuka mata Rakyat akan kepalsuan fitnahan-fitnahan kaum reaksioner yang dilemparkan kepada PKI selama “Peristiwa Madiun”. Perlawasan PKI yang gigih terhadap tentara Belanda menaikkan prestise politik PKI di mata Rakyat dan ini telah membikin pemerintah tidak mungkin mengeluarkan PKI dari undang-undang.

Pada tanggal 2 November 1949, ditandatanganilah persetujuan KMB yang khianat oleh pihak Indonesia dan pihak Kerajaan Belanda. Selama perundingan, Amerika Serikat menempatkan Marle Cochran di Nederland, sebagai tukang bagi instruksi kiri dan kanan.

Keadaan front persatuan sejak Provokasi Madiun (1948) sampai turun panggungnya pemerintah Masyumi, Kabinet Sukiman (1951), dalam laporan umum kepada Kongres V PKI dikatakan bahwa:
“borjuasi nasional memisahkan diri dari front persatuan anti-imperilisme dan memihak pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir yang memprovokasi ‘Peristiwa Madiun’. Borjuasi nasional ikut berkapitulasi kepada imperialisme dengan menyetujui persetujuan KMB yang khianat… Politik borjuasi nasional yang memisahkan diri dari front persatuan terasa sangat berat bagi Partai, karena Partai, berhubung kelemahan pekerjaannya di kalangan kaum tani, belum dapat bersandar kepada kaum tani. Keadaan ini memaksa Partai menjalankan taktik untuk mendapatkan waktu guna menarik kembali borjuasi nasional ke dalam front persatuan anti-imperialisme dan untuk memperbaiki serta memperkuat pekerjaan Partai di kalangan kaum tani. Kebenaran taktik Partai ini dibuktikan oleh perkembangan politik dalam negeri yang baru yang dimulai dalam tahun 1952”.

Kesimpulan dari pada semuanya ini ialah:
Revolusi Agustus (1945-1948) telah mengalami kekalahan karena PKI dalam menghadapi revolusi ini masih belum menyimpulkan pengalaman-pengalamannya dalam soal front persatuan dan tidak berpengalaman dalam soal perjuangan bersenjata dan dalam soal pembangunan Partai.

Tetapi walaupun revolusi ini kalah, ia telah membikin PKI berpengalaman dalam front persatuan. Revolusi ini telah memberikan pengalaman yang penting pada PKI tentang sifat bimbang dari pada borjuasi nasional, bahwa dalam keadaan yang tertentu kelas ini bisa ikut dan bersikap teguh berpihak pada revolusi, tetapi dalam keadaan lain ia bisa guncang dan mengkhianat. Oleh karena itu, proletariat dan PKI harus senantiasa tidak henti-hentinya menarik borjuasi ke dalam revolusi, tetapi juga harus berjaga-jaga akan kemungkinan mereka mengkhianati revolusi. Sifat dualisme dari borjuasi nasional Indonesia sangat mempengaruhi garis politik dan pembangunan Partai. Maju mundurnya Partai dan maju mundurnya revolusi banyak tergantung pada hubungan Partai dengan borjuasi nasional. Demikianlah pula sebaliknya.

Dalam berserikat dengan borjuasi nasional, Partai tidak boleh meninggalkan kebebasannya dan tidak boleh melengahkan sekutu yang paling bisa dipercaya, yang paling banyak jumlahnya, yaitu kaum tani.

Revolusi ini juga telah membikin PKI menjadi berpengalaman mengenai soal pembangunan Partai, telah membikin kader-kader PKI lebih mengerti tentang keadaan masyarakat Indonesia, tentang tanda-tanda istimewa dan hukum-hukum revolusi Indonesia, telah memungkinkan kader-kader PKI mempelajari teori Marxisme-Leninisme dan belajar memperpadukan teori Marxisme-Leninisme dengan praktek revolusi Indonesia.

Juga satu pengalaman, bahwa dalam revolusi, perjuangan bersenjata adalah bentuk perjuangan yang terpenting. Perkembangan Partai, di samping sangat tergantung pada front persatuan, juga sangat tergantung pada perjuangan bersenjata. Maju mundurnya perjuangan bersenjata sangat berpengaruh pada maju-mundurnya front persatuan dan Partai.
Walau tidak secara lengkap, pengalaman-pengalaman selama revolusi telah disimpulkan dalam resolusi “Jalan Baru”. Resolusi “Jalan Baru” merupakan langkah pertama yang penting dalam menciptakan satu Partai Komunis yang di-bolsjewik-kan, yang meluas ke seluruh negeri, yang berhubungan erat dengan massa dan yang diperkokoh dalam ideologi, politik, dan organisasi.
“Peristiwa Madiun” telah membikin kader-kader dan anggota-anggota PKI menjadi lebih waspada dan lebih militan.

IV. Perluasan Front Persatuan Dan Pembangunan Partai (1951 - …)
Periode ini dimulai dengan sidang Pleno Central Comite dalam bulan April 1951 yang berhasil merencanakan Konstitusi PKI. Rencana Konstitusi ini setelah disampaikan kepada organisasi-organisasi bawahan telah menimbulkan diskusi yang luas di dalam Partai. Dengan tidak menunggu pengesahannya oleh Kongres, seluruh Partai serempak bersedia menggunakan rencana Konstitusi ini sebagai pegangan dalam aktivitas pembangunan Partai sehari-hari, dan pengalaman-pengalaman praktis yang didapat dari pelaksanaan Konstitusi ini akan dijadikan bahan-bahan untuk membikin amandemen-amandemen.

Diskusi dan pelaksanaan rencana Konstitusi PKI sangat mendorong perkembangan Partai, meninggikan tingkat politik anggota-anggota Partai, menghidupkan demokrasi internal Partai, menghidupkan kritik dan otokritik di dalam Partai, memperkuat disiplin, ideologi, dan kesatuan tenaga Partai. Partai mulai mengerti dan mulai melaksanakan dua tugasnya yang pokok, yaitu: tugas penggalangan front persatuan dan tugas pembangunan Partai. Semuanya ini terjadi di bawah kekuasaan pemerintah reaksioner, pemerintah Sukiman (Masyumi).

Karena sadar akan bahaya yang mengancam dari gerakan Rakyat revolusioner dan dari PKI yang sedang tumbuh, karena melihat bahwa “Provokasi Madiun” ternyata tidak “mematikan” gerakan revolusioner dan PKI, kaum imperialis asing dan kaum reaksioner dalam negeri menjadi mata gelap dan membikin komplotan lagi untuk menghancurkan PKI. Sekarang tidak dengan provokasi di Solo atau di Madiun, tetapi dengan satu “serangan” terhadap pos polisi di Tanjung Priok, yang oleh pemerintah Sukiman diproklamasikan sebagai “serangan Komunis”! Kira-kira 2000 orang Komunis dan orang-orang progresif lainnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi atas desakan Rakyat, sesudah berbulan-bulan meringkuk di dalam penjara, semua dikeluarkan dengan tak seorang pun bisa dihadapkan ke muka pengadilan. Gagalnya Sukiman (Masyumi) dengan Razia Agustus-nya adalah menunjukkan bahwa gerakan revolusioner di Indonesia sudah bangun kembali dan mempunyai kekuatan.

Masih di dalam suasana Razia Agustus, pada permulaan tahun 1952, PKI mengadakan Konferensi Nasional yang membicarakan secara mendalam politik terhadap pemerintah Sukiman. Konferensi memutuskan bahwa pemerintah Sukiman harus dijatuhkan dengan membentuk front anti pemerintah Sukiman yang luas, dengan berusaha menarik borjuasi nasional. Mengenai gerombolan DI-TII yang pada waktu itu melakukan teror besar-besaran di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Konferensi berpendapat bahwa gerombolan-gerombolan ini adalah alat kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri untuk menjepit gerakan Rakyat revolusioner di antara kekuatan-kekuatan reaksioner yang ada di kota-kota dengan yang ada di desa-desa, agar dengan demikian kaum reaksioner dapat menghancurkan gerakan revolusioner dan dapat berkuasa penuh atas seluruh negeri. Konferensi memutuskan, supaya segenap kekuatan Partai dikerahkan, dan bersama-sama dengan aparat-aparat Negara dan partai-partai serta organisasi-organisasi demokratis lainnya menghancurkan gerombolan-gerombolan teroris DI-TII. Selain dari pada itu, Konferensi mengambil putusan-putusan penting untuk memperkuat ideologi dan organisasi Partai. Untuk memungkinkan pelaksanaan tugas Partai yang berat dan pelik ketika itu, Konferensi memutuskan untuk meluaskan keanggotaan Partai.

Dengan desakan yang terus-menerus dari gerakan Rakyat yang demokratis, dengan makin condongnya borjuasi nasional ke kiri, dan sebagai hasil dari pada pertentangan-pertentangan di kalangan golongan-golongan yang berkuasa di dalam negeri, pemerintah Sukiman terpaksa turun panggung dan pada tanggal 1 April 1951 berdirilah pemerintah Wilopo (PNI) yang segi-segi politiknya yang maju disokong oleh PKI. Dalam pemerintah Wilopo ini duduk juga menteri-menteri dari Masyumi dan PSI. Karena tindakan-tindakan menteri-menteri dari Masyumi dan PSI yang anti-Rakyat, seluruh kekuatan demokratis, termasuk PNI sendiri, menjatuhkan cabinet Wilopo. Atas desakan yang lebih kuat dari Rakyat, pada tanggal 30 Juli 1953 berdirilah pemerintah Ali Sastroamidjojo (PNI) tanpa Masyumi-PSI. PKI menyokong segi-segi yang maju dari politik pemerintah Ali Sastroamidjojo.
Terbentuknya pemerintah yang politiknya mempunyai segi-segi maju dan yang disokong oleh kelas buruh dan Rakyat banyak, membuktikan adanya gelombang naik dari pada gerakan revolusioner di Indonesia. Ini menunjukkan makin bersatunya kekuatan-kekuatan nasional, termasuk borjuasi nasional, dalam menghadapi kekuatan-kekuatan reaksioner dari luar dan dalam negeri. Dalam keadaan demikian, sampai batas-batas yang tertentu gerakan revolusioner dan PKI dapat berkembang.

Dalam gelombang naik dari pada gerakan revolusioner ini, dalam bulan Oktober 1953 diadakan rapat Pleno Central Comite PKI, sebagai persiapan untuk Kongres Nasional V PKI. Dalam sidang Pleno ini dimasukkan amandemen-amandemen untuk perbaikan rencana Konstitusi, dibikin rencana Program PKI, laporan umum kepada Kongres, dan putusan terhadap Tang Ling Djie-isme, yaitu aliran oportunis di dalam Partai yang mau mengembalikan garis politik dan organisasi Partai kepada keadaan sebelum ada resolusi “Jalan Baru”. Sidang Pleno Central Comite ini telah merumuskan usul-usul kepada Kongres untuk memecahkan semua masalah penting dan pokok dari pada revolusi Indonesia.

Dalam bulan Maret 1954, dilangsungkan Kongres Nasional V PKI yang bersejarah dengan tujuan untuk menjawab semua masalah penting dan pokok dari pada revolusi Indonesia, untuk pekerjaan yang lebih baik dari pada Partai dalam menggalang front persatuan, untuk menjawab semua masalah pokok pembangunan Partai dan untuk mengeratkan hubungan PKI dengan massa. Dalam Kongres ini, disahkan semua dokumen yang dirancangkan oleh Sidang Pleno Central Comite bulan Oktober 1953. Di samping itu, disahkan pula Manifes Pemilihan Umum PKI dan diputuskan untuk memperluas keanggotaan dan organisasi Partai.

Setelah menganalisa keadaan masyarakat Indonesia, dalam Program PKI ditetapkan bahwa Indonesia sekarang adalah negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal. Berhubung dengan itu dikatakan”
“Selama keadaan di Indonesia masih tetap tidak berubah, artinya, selama kekuasaan imperialisme belum digulingkan dan sisa-sisa feodalisme belum dihapuskan, Rakyat Indonesia takkan mungkin membebaskan diri dari keadaan melarat, terbelakang, pincang, dan tak berdaya dalam menghadapi imperialisme. Kekuasaan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme tidak akan hapus di Indonesia selama kekuasaan negara di negeri kita dipegang oleh tuan tanah dan komprador yang berhubungan erat dengan kapital asing karena mereka mau mempertahankan penindasan imperialis dan sisa-sisa feodal di negeri kita, karena mereka paling takut kepada Rakyat Indonesia.
Jika Indonesia mau maju dari suatu negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal menjadi negeri merdeka, demokratis, makmur dan maju, maka adalah soal yang pokok, di atas segala-galanya, untuk mengganti pemerintah tuan-tuan feodal dan komprador dan menciptakan pemerintah Rakyat, pemerintah Demokrasi Rakyat”.

Mengenai pemerintah Rakyat dikatakan dalam Program PKI, bahwa pemerintah ini:
“akan merupakan pemerintah front persatuan nasional, yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan kaum tani di bawah pimpinan kelas buruh. Mengingat terbelakangnya ekonomi negeri kita, PKI berpendapat bahwa pemerintah ini harus tidak merupakan pemerintah diktator proletariat melainkan pemerintah diktator Rakyat. Pemerintah ini bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis, melainkan perubahan-perubahan demokratis. Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua tenaga anti-feodal dan anti-imperialis, yang mampu memberikan tanah dengan cuma-cuma kepada kaum tani, yang mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi Rakyat, suatu pemerintah yang mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap persaingan asing, yang mampu meninggikan tingkat hidup material kaum buruh dan menghapus pengangguran. Dengan singkat, ia akan merupakan suatu pemerintah Rakyat yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui jalan demokrasi dan kemajuan”.

Tetapi bagaimana jalannya untuk keluar dari keadaan setengah jajahan dan setengah feodal dan untuk membentuk pemerintah Rakyat? Program PKI menjawab:
“Jalan keluar terletak dalam mengubah imbangan kekuatan antara kaum imperialis, kelas tuan tanah dan borjuasi komprador di satu pihak, dan kekuatan Rakyat di pihak yang lain. Jalan keluar terletak dalam membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, terutama kaum buruh dan kaum tani”.

Tentang rol kaum buruh dalam mengubah imbangan kekuatan ini dikatakan:
“Kelas buruh harus memelopori perjuangan seluruh Rakyat. Untuk tujuan ini, kelas buruh sendiri harus meningkatkan aktivitasnya, mendidik dirinya sendiri dan menjadi kekuatan yang besar dan sadar. Kelas buruh tidak hanya harus melakukan perjuangan untuk memperbaiki tingkat hidupnya, ia juga harus meningkatkan tugas-tugasnya ke tingkat yang lebih luas dan lebih tinggi. Ia harus membantu perjuangan kelas-kelas lainnya. Kelas buruh harus membantu perjuangan kaum tani untuk tanah, perjuangan kaum inteligensia untuk hak-haknya yang pokok, perjuangan borjuasi nasional melawan persaingan asing, perjuangan seluruh Rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional dan kebebasan-kebebasan demokratis. Rakyat bisa mencapai kemenangan hanya apabila kelas buruh Indonesia sudah merupakan kekuatan yang bebas, sadar, matang dalam politik, terorganisasi dan mampu memimpin perjuangan seluruh Rakyat, hanya apabila Rakyat sudah melihat kelas buruh sebagai pemimpinnya”.

Berdasarkan analisa dari pada kelas-kelas di dalam masyarakat Indonesia, Program PKI membikin jelas kawan dan lawan yang sungguh-sungguh di dalam revolusi. Berdasarkan analisa ini juga Kongres Nasional V PKI memutuskan meletakkan kewajiban penting di atas pundak PKI, yaitu kewajiban membentuk front persatuan dari pada semua kekuatan nasional dari pada revolusi, yaitu kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional. Front persatuan ini harus terbentuk berdasarkan persekutuan buruh dan tani, seluas-luasnya dan hasil perjuangan revolusioner dari pada massa. Inilah syarat bagi Rakyat Indonesia untuk mendirikan suatu pemerintah Rakyat, untuk mengalahkan lawan-lawan revolusi, yaitu kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan borjuasi komprador.

Untuk menggalang front persatuan nasional yang sungguh-sungguh, kewajiban PKI yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke dalam front persatuan nasional. Tentang ini dikatakan dalam laporan umum kepada Kongres Nasional V:
“… agar kaum tani dapat ditarik, kewajiban yang terdekat dari pada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme… Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu perjuangan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan tuntutan bagian kaum tani. Dengan demikian, berarti mengorganisasi dan mendidik kaum tani ke arah tingkat perjuangan yang lebih tinggi. Inilah dasar untuk membentuk persekutuan kaum buruh dan kaum tani sebagai basis dari pada front persatuan nasional yang kuasa”.

Mengenai perjuangan parlementer dan sokongan PKI pada pemerintah Wilopo dan kemudian pemerintah Ali Sastroamidjojo Program PKI menyatakan:
“PKI memandang pekerjaan dalam parlemen bukan sebagai pekerjaan Partai yang pokok dan tidak memandang perjuangan parlementer sebagai satu-satunya bentuk perjuangan”.

Tetapi ini tidak berarti bahwa PKI mengabaikan pemilihan umum dan perjuangan parlementer, dan bahwa PKI mengambil sikap yang satu dan sama terhadap pemerintah-pemerintah yang ada sampai sekarang dan terhadap pemerintah-pemerintah yang akan ada di kemudian hari sampai terbentuknya pemerintah Demokrasi Rakyat.
“PKI”, kata program tersebut, “mendasarkan politiknya atas analisa Marxis mengenai keadaan yang konkret dan perimbangan kekuatan. PKI telah ambil bagian dan terus akan ambil bagian yang paling aktif dalam perjuangan parlementer. PKI, sadar sepenuhnya akan tanggung jawab politiknya, menjalankan pekerjaan parlementer dengan penuh kesungguh-sungguhan. PKI bukannya tidak membeda-bedakan sikap terhadap tiap-tiap pemerintah yang lampau. Dalam keadaan-keadaan yang tertentu, Partai beroposisi terhadap pemerintah dan berseru kepada massa untuk menggulingkannya, dalam keadaan-keadaan lain, Partai menyokong pemerintah dan dalam keadaan-keadaan yang lain lagi turut dalam pemerintah”.

Perjuangan parlementer dan sokongan PKI kepada pemerintah Ali Sastroamidjojo juga harus ditujukan untuk memperluas dan memperkuat front persatuan nasional.

Sebagaimana dikatakan dalam laporan umum kepada Kongres Nasional V, kewajiban menggalang front persatuan adalah kewajiban urgen yang pertama dari PKI.

Kewajiban urgen yang kedua dari pada PKI ialah meneruskan pembangunan PKI yang meluas ke seluruh negeri, yang mempunyai karakter massa yang luas dan yang sepenuhnya dikonsolidasi di lapangan ideologi, politik, dan organisasi.

Mengenai ini, Kongres mengingatkan akan perkataan kawan Stalin, bahwa kalau kita mau menang dalam revolusi kita harus mempunyai Partai revolusioner tipe Lenin atau sebagai yang dikatakan oleh Mao Tse-tung, Partai tipe Lenin-Stalin.

Partai demikian tidak mungkin dibentuk jika PKI tidak menguasai teori Marxisme-Leninisme. Peranan pelopor dari pada Partai hanya mungkin jika Partai dipimpin oleh teori yang maju. Hanya Partai yang menguasai teori Marxisme-Leninisme yang bisa memelopori dan memimpin kelas buruh dan massa Rakyat banyak lainnya.

Kongres juga berpendapat bahwa PKI hanya bisa memenuhi kewajiban sejarahnya yang besar dan berat jika Partai terus-menerus melakukan perjuangan yang tidak kenal ampun terhadap kaum oportunis kanan maupun “kiri” di dalam barisannya sendiri. Berdasarkan ini, Kongres membenarkan dan memperkuat putusan sidang Central Comite bulan Oktober 1953 mengenai Tan Ling Djie-isme. Kongres membikin resolusi khusus mengenai Tan Ling Djie-isme dan menyimpulkan, bahwa “Tan Ling Djie-isme sebenarnya sudah berkuasa di dalam PKI selama revolusi tahun 1945-1948 dan sampai pada permulaan tahun 1951”. Kongres menetapkan bahwa:
“Tan Ling Djie-isme di lapangan ideologi adalah subyektivisme, adalah aliran dogmatis dan empiris di dalam Partai, yang telah menyebabkan Partai membikin kesalahan-kesalahan kanan dan “kiri” yang sangat merusak pertumbuhan Partai dan pertumbuhan gerakan revolusioner”.

Kongres memperingatkan bahwa Partai tidak boleh sombong jika mencapai kemenangan-kemenangan, Partai harus senantiasa melihat kekurangan-kekurangan di dalam pekerjaannya, Partai harus berani mengakui kesalahan-kesalahannya dan dengan terang-terangan dan jujur memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Partai akan menjadi tak terkalahkan jika Partai tidak takut pada kritik dan otokritik, jika Partai tidak menyembunyikan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan dalam pekerjaannya, jika Partai mengajar dan mendidik kader-kadernya menarik pelajaran dari kesalahan-kesalahan pekerjaan Partai dan pandai memperbaikinya tepat pada waktunya.

Karena Indonesia adalah negeri borjuis kecil, artinya negeri, dimana perusahaan-perusahaan pemilik-pemilik kecil masih sangat banyak terdapat, maka ideologi borjuasi kecil, yaitu subyektivisme, mempunyai basis sosial yang kuat. Maka itu, Kongres menetapkan bahwa bagi Partai adalah sangat penting melawan subyektivisme di dalam Partai. Kedua macam subyektivisme, yaitu dogmatisme dan empirisme, adalah sama-sama berbahaya di dalam Partai, bisa menyebabkan Partai menjalankan oportunisme kanan dan “kiri”. Subyektivisme hanya bisa dilawan jika Partai mengajar anggota-anggotanya memakai metode Marxis-Leninis dalam menganalisa situasi politik dan dalam menghitung kekuatan kelas, dan jika Partai memimpin perhatian anggota-anggota ke arah penyelidikan dan studi di lapangan sosial dan ekonomi.

Untuk mempersatukan massa pekerja yang luas di sekeliling Partai, Partai harus mengarahkan perhatian anggota-anggotanya kepada pekerjaan-pekerjaan praktis yang kecil-kecil, yang remeh-remeh, yang ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dari kaum buruh, kaum tani, dan kaum intelektual pekerja. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang menyenangkan atau enak dan sonder kesukaran-kesukaran. Tetapi hanya inilah jalan untuk mengeratkan hubungan Partai dengan massa dan untuk tidak lagi menjadikan Partai mangsa dari pada semboyan-semboyan kekiri-kirian.

Demikian pokok-pokok yang diputuskan untuk membangun Partai. Dengan ini, kewajiban kedua yang urgen dari pada PKI menjadi jelas. Dengan ini, berarti PKI belajar dari pengalamannya sendiri untuk membangun dan menjadikan dirinya Partai tipe Lenin-Stalin.

Mengenai front persatuan dan pekerjaan PKI untuk front persatuan sejak tahun 1951 oleh Kongres disimpulkan sbb:
“… persatuan dengan borjuasi nasional makin bertambah erat, tetapi persekutuan kaum buruh dan kaum tani masih belum kuat. Dengan perkataan lain, Partai masih tetap belum mempunyai fundamen yang kuat. Dalam tingkat ini, Partai dengan keras harus melawan penyelewengan ke kanan yang memberi arti yang berlebih-lebihan kepada persatuan dengan borjuasi nasional dengan mengecilkan arti pimpinan kelas buruh dan arti persekutuan kaum buruh dan kaum tani. Bahaya ini ialah bahaya melepaskan sifat bebas dari pada Partai, bahaya meleburkan diri dengan borjuasi. Di samping itu, sudah tentu Partai juga harus dengan keras mencegah penyelewengan ke kiri, mencegah sektarianisme, yaitu sikap yang tidak mementingkan politik front persatuan dengan borjuasi nasional dan memelihara front persatuan itu dengan sekuat tenaga. Karena klik borjuasi komprador bersandar pada imperialisme yang berlainan, dan arena politik Partai sekarang ini pertama-tama ditujukan kepada imperialisme Belanda dan bukan kepada semua imperialisme asing, maka telah timbul pertentangan yang bertambah tajam di kalangan kaum imperialis sendiri dan pertentangan-pertentangan ini dengan sendirinya juga timbul di kalangan komprador-kompradornya. Terbentuknya front persatuan dengan borjuasi nasional ini membukakan kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan dan pembangunan Partai dan bagi pekerjaan Partai yang terdekat, yaitu menggalang persekutuan kaum buruh dan kaum tani anti-feodalisme. Pembangunan Partai dan penggalangan persekutuan kaum buruh dan kaum tani adalah jaminan bagi pimpinan proletariat atas front persatuan nasional”.

Kongres Nasional V PKI, belajar dari sejarah PKI yang panjang, dan berpedoman pada Marxisme-Leninisme, telah melikuidasi periode sebelum tahun 1951 di dalam PKI. Dengan berhasilnya Kongres ini secara definitif jaman lama yang gelap dari pada Partai sudah ditutup untuk selama-lamanya, dan periode baru berkembang dengan suburnya, periode yang dimulai dalam tahun 1951.

Dalam bulan November 1954, dengan dilangsungkannya sidang Pleno Central Comite ke-2, periode baru ini dikembangkan dengan putusan untuk lebih memperluas front persatuan. Berdasarkan analisa keadaan politik di Indonesia, sidang Central Comite ini menetapkan bahwa PKI sudah menjadi kekuatan nasional yang penting dan besar, yang tidak mungkin diabaikan oleh kawan maupun lawan. Berdasarkan analisa sejarah dan keadaan kepartaian di Indonesia, Central Comite memutuskan supaya PKI aktif mengusahakan adanya kerja sama antara PKI dengan partai-partai lain, terutama dengan partai-partai Nasionalis dan partai-partai yang berdasarkan Islam. Tentang ini dikatakan dalam putusan tersebut antara lain:
“Kerja sama antara Partai dan massa Komunis dengan partai dan massa Nasionalis dan Islam bagi kita bukan hanya sesuatu yang dapat dibatasi sampai selesainya pemilihan umum yang akan datang, sebagaimana sering dikatakan oleh pemimpin-pemimpin Nasionalis dan Islam. Kita menghendaki kerja sama juga sampai sesudah pemilihan umum, dengan tidak peduli siapa yang akan menang nanti. Dan apa yang kita inginkan ini adalah sesuai dengan semboyan Republik kita ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (berbeda tetapi satu)”.

Putusan penting yang lain dari Central Comite ialah tentang cara pimpinan kolektif
“sebagai syarat yang tidak boleh tidak untuk mengkonsolidasi Partai di lapangan ideologi dan organisasi, untuk membikin Partai lebih militan dan untuk mempererat hubungan Partai dengan massa. Dengan Partai yang demikian, persatuan yang lebih luas dari pada semua kekuatan nasional pasti akan menjadi kenyataan”.

Dan seluruh uraian di atas jelaslah, bahwa selama 35 tahun proses pembangunan dan pembolsjewikan Partai adalah sangat erat hubungannya dengan garis politik Partai, dengan tepat atau tidak tepatnya Partai memecahkan masalah front persatuan, terutama dalam mengatur hubungannya dengan borjuasi nasional. Sebaliknya, semakin Partai dibolsjewikan, maka semakin tepatlah garis politik Partai dan semakin tepat pula Partai dapat memecahkan masalah front persatuan, terutama dalam mengatur hubungannya dengan borjuasi nasional.

Setia pada sejarahnya yang heroik dan patriotik, belajar dari pengalamannya yang didapat dengan pengorbanan putra-putra Indonesia yang terbaik dan berpedoman pada Marxisme-Leninisme yang kreatif, PKI meneruskan tugas sejarahnya. Dalam keadaan sekarang, PKI tidak akan henti-hentinya dan dengan sekuat tenaganya bekerja untuk memperluas dan memperkuat front persatuan nasional. Di samping itu, dengan tidak henti-hentinya dan dengan sekuat tenaganya PKI akan meneruskan pembangunan dan pembolsjewikan dirinya, sebagai jaminan pokok untuk selamat dan suksesnya front persatuan nasional.

*disadur dari naskah pidato yang dibuat oleh DN Aidit