Jawa Timur memiliki sejarah yang panjang
sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia. Banyak warisan sejarah yang
dihasilkan oleh tanah Jawa dibagian timur ini. Salah satunya adalah yang akan
saya bahas saat ini, kerajaan tertua di Jawa Timur.
Ada seorang raja
bijaksana dan berkuasa, namanya Dewasimha. Di bawah lindungannya api
putikeswara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya. Juga Limwa, putranya, yang
bernama Gajayana, melindungi manusia bagaikan anaknya, ketika ayahnya marak ke
langit.
Limwa melahirkan anak
perempuan, namanya Uttejana. Dia adalah permaisuri raja Pradaputra. Dia juga
ibu A-nana yang bijaksana, cucu Gajayana, orang yang selalu berbuat baik
terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan.
Demikianlah sebagian informasi dalam Prasasti
Dinoyo yang beratrikh 682 Saka (760 M). Prasasti ini ditemukan terbelah menjadi
tiga bagian. Bagian tengah yang terbesar ditemukan di Desa Dinoyo, Malang.
Sedangkan bagian atas dan bawah ditemukan di Desa Merjosari dan Dusun Kejuron,
Desa Karangbesuki, Malang.
“Sejauh telah ditemukan, Prasasti Dinoyo
adalah prasasti tertua di wilayah Jawa Timur,” ujar Dwi Cahyono, dosen sejarah
di Universitas Negeri Malang.
Dari prasasti itu dapat diketahui kalau di
wilayah Malang sekarang pernah berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Secara khusus,
prasasti ini memberitakan kalau Gajayana melihat arca Agastya yang dibuat nenek
moyangnya telah lapuk karena terbuat dari kayu cendana. Gajayana menggantinya
dengan batu hitam yang lebih elok.
“Sampai sekarang belum banyak yang tahu kalau
di Jawa Timur ada kerajaan tua, tahunya sudah masa Sindok, Airlangga, lalu
Singhasari, dan Majapahit,” lanjut Dwi.
Melihat angka tahunnya berarti Kerajaan
Kanjuruhan berkembang semasa dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat,
Kalingga dan Mataram Kuno di Jawa bagian tengah. Dengan begitu, Kanjuruhan
menjadi kerajaan pertama yang memulai era kemonarkian di Jawa Timur sekarang.
Menurut Dwi, sistem pemerintahan kerajaan di
Kanjuruhan mungkin dimulai dari pemerintahan Raja Dewa Simha, ayah Gajayana.
Pasalnya dialah yang disebut paling awal di antara tiga deret penguasa dalam
prasasti.
“Dialah penguasa pertama di Jawa Timur yang
menjadi pemangku budaya Hindu sekaligus pemimpin kerajaan yang bercorak India,”
kata Dwi.Prasasti Dinoyo.Dalam Kaladesa, arkeolog
Agus Aris Munandar menyebut berhubung sumber tentang Kerajaan Kanjuruhan sangat
terbatas, hanya Prasasti Dinoyo, kajian tentangnya pun belum ada mendalam.
Nama Kanjuruhan sendiri disinyalir kemudian berubah menjadi Dusun
Kejuron, tak jauh dari Dinoyo, di tepi Kali Metro. Di dusun
itu sampai sekarang berdiri candi Hindu.
Candi itu, menurut Agus, memiliki ciri
arsitektur abad ke-8 M. Relung-relungnya sudah tak berarca yang mungkin
dulunya berisi arca Nandiswara dan Mahakala (di kanan-kiri pintu), Durga
Mahisasuramardini (relung di dinding utara sekarang masih ada), Ganesa (relung
belakang), dan Rsi Agastya (relung selatan). Di dalam bilik candi masih
terdapat lingga-yoni.
“Dengan
ciri arsitektur tuanya dapat dinyatakan bahwa Candi Badut, berkaitan dengan
Prasasti Dinoyo yang ditemukan di kawasan yang tidak terlalu jauh dari candi
itu,” jelas Agus.
Selain Candi Badut, ada pula reruntuhan
bangunan kuno. Penduduk setempat menyebutnya Candi Besuki dan Candi Urung.
Namun, Candi Besuki hanya tinggal pecahan bata besar yang berserakan di tepi
lahan garapan penduduk.
Sulit mengetahui perkembangan Kerajaan
Kanjuruhan karena hanya berdasarkan satu prasasti. Namun, Agus menduga sangat
mungkin Kanjuruhan bertahan selama satu abad kemudian. Rajanya tak lagi
mengeluarkan prasasti karena wilayahnya sudah menjadi bagian dari Mataram
Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sekarang. Kanjuruhan pun diperintah
oleh penguasa daerah yang mungkin dianggap sebagai raja bawahan bergelar rakryan
kanuruhan.
Gelar ini pertama kali muncul dalam Prasasti
Raja Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Kedudukannya menjadi amat penting pada
zaman Dharmmawangsa Airlangga dan masa Kadiri (Abad ke-12 M).
Jabatan itu mulai nampak dalam hierarki
pemerintahan pusat sejak masa Mpu Sindok. Pada masa pemerintahan Raja
Dharmawangsa Airlangga, ia merupakan pejabat terpenting sesudah para putra
raja. Keadaan itu terus berlangsung sepanjang masa Kadiri. Ia pun yang utama di
antara para tanda rakryan ring pakirakiran.
Sementara pada masa Majapahit, ia tetap
anggota kelompok yang sama tapi bukan yang terpenting. Pada masa ini yang
terpenting adalah rakryan mapatih. Sebutan kanuruhan tak
lagi muncul pada abad ke-15.
Kata kanuruhan muncul dalam
beberapa candi perwara di Kompleks Candi Prambanan. Kompleks percandian ini
selesai dibangun pada abad ke-9 M. “Hal itu dapat ditafsirkan bahwa sekira 856
M, wilayah Kanjuruhan telah berpartisipasi dalam pembangunan tempat suci
terbesar bagi umat Hindu Siwa itu,” jelas Agus.
Pejabat bergelar rakryan kanuruhan hingga
kini hanya dijumpai dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur.
Misalnya, Prasasti Balinawan (891 M), Prasasti Kubu-kubu (905 M), Prasasti
Sugih Manek (915 M), dan Prasasti Sanguran (928 M).
Menurut Agus masa surut Kanjuruhan
mungkin bersamaan dengan berkembangnya Mataram Kuno. Kanjuruhan kemungkinan
ditaklukkan Rakai Watukura Dyah Balitung. Pasalnya dari masa raja ini muncul
Prasasti Kubu-kubu (827 Saka/905 M) yang menyebut pada masa pemerintahannya
terjadi penyerangan ke Banten. Agus menafsirkan Banten sebagai daerah di Jawa
Timur dan berkaitan dengan Kerajaan Kanjuruhan.
Meski umurnya tak panjang, menurut Dwi, sudah
cukup alasan untuk menyatakan Kanjuruhan adalah peletak dasar sekaligus
pembentuk sistem sosial-budaya yang teratur di Malang Raya. Lebih jauh lagi,
kerajaan dan watak Kanjuruhan merupakan modal bagi pembangunan
pusat pemerintahan Kerajaan Singhasari hingga pusat negara vasal Majapahit.
“Kehadiran Kerajaan Kanjuruhan menjadi pemicu
bagi lahirnya areal perkotaan di lembah Metro dan Brantas, yang dalam lintas
masa menjadi sentra pemerintahan dan peradaban,” kata Dwi.