Powered By Blogger

Senin, 27 Mei 2019

Selir


Beberapa raja di Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 bangga mempunyai banyak perempuan di Keputren. Kebanggan itu terutama terkait kekuatan seksual sang raja. Raja Jawa Tengah selatan memiliki empat istri resmi atau garwa padmi dan sejumlah istri tak resmi, yaitu selir atau garwa ampeyan. Daya tarik seksual penting dipahami oleh para gadis di lingkungan keraton demi kelangsungan karier sebagai selir.
Di antara istri itu terjadi persaingan. Khususnya persaingan di antara para permaisuri yang ingin keturunannya menjadi penerus raja. Karenanya ada kiat-kita jitu agar perempuan di Keputren menjadi terfavorit. Misalnya, terlihat dari pendidikan yang diberikan kepada anak gadis oleh ibunya di Keraton Surakarta. 
 “Pelajaran tentang menulis, membordir, dan menjahit tidak memiliki tempat, yang dianggap perlu untuk anak perempuan adalah melatih mereka bagaimana mengatur kecantikan,” tulis J.W. Winter sebagaimana dikutip Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-VIX.
J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta mengatakan, pengetahuan yang diberikan kepada perempuan muda hanya satu hal, yaitu bagaimana berparas cantik, berlagak sopan, dan bertingkah laku pantas. Juga bagaimana pergi dengan payudara yang hampir telanjang bulat.
Mereka diajari bagaimana menghindari bicara ketika bergaul. Mereka harus berlatih berpura-pura berwajah merona malu-malu. Gadis-gadis muda itu dididik untuk tahu bagaimana caranya bersikap sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya dipilih sebagai perempuan, yang menurut istilah Winter sebagai piaraan Sunan, di Keputren. Mereka bisa memakai daya tarik seksualnya untuk memikat raja supaya lebih disukai dibanding semua selir yang lain.
“Dari kecil, mereka diajar menepis semua rasa malu,” catatnya.  
Di antara selir-selir Sultan Kedua Yogyakarta, disebutkan dua orang selir dari golongan kedua yang terkenal karena kecantikannya. Pertama, Bendoro Mas Ajeng Rantamsari. Sebelum menjadi selir sultan, dia merupakan penyanyi dan penari (teledek). Suatu pekerjaan yang membutuhkan pesona dan daya tarik seksual luar biasa.
Kedua, Mas Ayu Sumarsonowati. Dia terkenal karena warna kulitnya yang kuning-putih warisan darah peranakan Tionghoa dari pesisir utara.
Kendati begitu, sebagaimana dicatat Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa, sebagai istri bangsawan, menjadi prajurit éstri masih lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan sering kali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Itu meski mereka tak jarang dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.  
Namun, Carey menilai kalau kriteria seksual sebagai kunci hubungan penguasa dan selir itu tak selamanya benar. Latar belakang keluarga perempuan jauh lebih penting.
“Pernikahan diatur dengan tujuan pokok membentuk aliansi politik dengan keluarga lokal yang kuat atau berpotensi bermusuhan,” catatnya.


Kerajaan Tertua Di Tanah Timur Jawa


Jawa Timur memiliki sejarah yang panjang sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia. Banyak warisan sejarah yang dihasilkan oleh tanah Jawa dibagian timur ini. Salah satunya adalah yang akan saya bahas saat ini, kerajaan tertua di Jawa Timur.
Ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, namanya Dewasimha. Di bawah lindungannya api putikeswara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya. Juga Limwa, putranya, yang bernama Gajayana, melindungi manusia bagaikan anaknya, ketika ayahnya marak ke langit.
Limwa melahirkan anak perempuan, namanya Uttejana. Dia adalah permaisuri raja Pradaputra. Dia juga ibu A-nana yang bijaksana, cucu Gajayana, orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan.
Demikianlah sebagian informasi dalam Prasasti Dinoyo yang beratrikh 682 Saka (760 M). Prasasti ini ditemukan terbelah menjadi tiga bagian. Bagian tengah yang terbesar ditemukan di Desa Dinoyo, Malang. Sedangkan bagian atas dan bawah ditemukan di Desa Merjosari dan Dusun Kejuron, Desa Karangbesuki, Malang.
“Sejauh telah ditemukan, Prasasti Dinoyo adalah prasasti tertua di wilayah Jawa Timur,” ujar Dwi Cahyono, dosen sejarah di Universitas Negeri Malang.
Dari prasasti itu dapat diketahui kalau di wilayah Malang sekarang pernah berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Secara khusus, prasasti ini memberitakan kalau Gajayana melihat arca Agastya yang dibuat nenek moyangnya telah lapuk karena terbuat dari kayu cendana. Gajayana menggantinya dengan batu hitam yang lebih elok.
“Sampai sekarang belum banyak yang tahu kalau di Jawa Timur ada kerajaan tua, tahunya sudah masa Sindok, Airlangga, lalu Singhasari, dan Majapahit,” lanjut Dwi.
Melihat angka tahunnya berarti Kerajaan Kanjuruhan berkembang semasa dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat, Kalingga dan Mataram Kuno di Jawa bagian tengah. Dengan begitu, Kanjuruhan menjadi kerajaan pertama yang memulai era kemonarkian di Jawa Timur sekarang.
Menurut Dwi, sistem pemerintahan kerajaan di Kanjuruhan mungkin dimulai dari pemerintahan Raja Dewa Simha, ayah Gajayana. Pasalnya dialah yang disebut paling awal di antara tiga deret penguasa dalam prasasti.
“Dialah penguasa pertama di Jawa Timur yang menjadi pemangku budaya Hindu sekaligus pemimpin kerajaan yang bercorak India,” kata Dwi.Prasasti Dinoyo.Dalam Kaladesa, arkeolog Agus Aris Munandar menyebut berhubung sumber tentang Kerajaan Kanjuruhan sangat terbatas, hanya Prasasti Dinoyo, kajian tentangnya pun belum ada mendalam. Nama Kanjuruhan sendiri disinyalir kemudian berubah menjadi Dusun Kejuron, tak jauh dari Dinoyo, di tepi Kali Metro. Di dusun itu sampai sekarang berdiri candi Hindu.
Candi itu, menurut Agus, memiliki ciri arsitektur abad ke-8 M. Relung-relungnya sudah tak berarca yang mungkin dulunya berisi arca Nandiswara dan Mahakala (di kanan-kiri pintu), Durga Mahisasuramardini (relung di dinding utara sekarang masih ada), Ganesa (relung belakang), dan Rsi Agastya (relung selatan). Di dalam bilik candi masih terdapat lingga-yoni.
 “Dengan ciri arsitektur tuanya dapat dinyatakan bahwa Candi Badut, berkaitan dengan Prasasti Dinoyo yang ditemukan di kawasan yang tidak terlalu jauh dari candi itu,” jelas Agus.
Selain Candi Badut, ada pula reruntuhan bangunan kuno. Penduduk setempat menyebutnya Candi Besuki dan Candi Urung. Namun, Candi Besuki hanya tinggal pecahan bata besar yang berserakan di tepi lahan garapan penduduk.  
Sulit mengetahui perkembangan Kerajaan Kanjuruhan karena hanya berdasarkan satu prasasti. Namun, Agus menduga sangat mungkin Kanjuruhan bertahan selama satu abad kemudian. Rajanya tak lagi mengeluarkan prasasti karena wilayahnya sudah menjadi bagian dari Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sekarang. Kanjuruhan pun diperintah oleh penguasa daerah yang mungkin dianggap sebagai raja bawahan bergelar rakryan kanuruhan.
Gelar ini pertama kali muncul dalam Prasasti Raja Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Kedudukannya menjadi amat penting pada zaman Dharmmawangsa Airlangga dan masa Kadiri (Abad ke-12 M).
Jabatan itu mulai nampak dalam hierarki pemerintahan pusat sejak masa Mpu Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Airlangga, ia merupakan pejabat terpenting sesudah para putra raja. Keadaan itu terus berlangsung sepanjang masa Kadiri. Ia pun yang utama di antara para tanda rakryan ring pakirakiran.
Sementara pada masa Majapahit, ia tetap anggota kelompok yang sama tapi bukan yang terpenting. Pada masa ini yang terpenting adalah rakryan mapatih. Sebutan kanuruhan tak lagi muncul pada abad ke-15.
Kata kanuruhan muncul dalam beberapa candi perwara di Kompleks Candi Prambanan. Kompleks percandian ini selesai dibangun pada abad ke-9 M. “Hal itu dapat ditafsirkan bahwa sekira 856 M, wilayah Kanjuruhan telah berpartisipasi dalam pembangunan tempat suci terbesar bagi umat Hindu Siwa itu,” jelas Agus.
Pejabat bergelar rakryan kanuruhan hingga kini hanya dijumpai dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Balinawan (891 M), Prasasti Kubu-kubu (905 M), Prasasti Sugih Manek (915 M), dan Prasasti Sanguran (928 M).
Menurut Agus masa surut Kanjuruhan mungkin bersamaan dengan berkembangnya Mataram Kuno. Kanjuruhan kemungkinan ditaklukkan Rakai Watukura Dyah Balitung. Pasalnya dari masa raja ini muncul Prasasti Kubu-kubu (827 Saka/905 M) yang menyebut pada masa pemerintahannya terjadi penyerangan ke Banten. Agus menafsirkan Banten sebagai daerah di Jawa Timur dan berkaitan dengan Kerajaan Kanjuruhan.
Meski umurnya tak panjang, menurut Dwi, sudah cukup alasan untuk menyatakan Kanjuruhan adalah peletak dasar sekaligus pembentuk sistem sosial-budaya yang teratur di Malang Raya. Lebih jauh lagi, kerajaan dan watak Kanjuruhan merupakan modal bagi pembangunan pusat pemerintahan Kerajaan Singhasari hingga pusat negara vasal Majapahit.
“Kehadiran Kerajaan Kanjuruhan menjadi pemicu bagi lahirnya areal perkotaan di lembah Metro dan Brantas, yang dalam lintas masa menjadi sentra pemerintahan dan peradaban,” kata Dwi.


Selasa, 21 Mei 2019

Perdebatan Para Pendiri Negara Tentang Papua




Sejak awal pulau hitam yang berlimpah kekayaan alam di timur negeri ini sudah menjadi rebutan. Hingga saat ini hal ini masih terjadi. Penemuan harta karun di bumi Papua dimulai dari petualangan penjelajah Belanda, Jean Jacques Dozy pada 1936. Dozy melakukan pendakian di gunung Papua untuk mencari ladang baru eksplorasi minyak saat bergabung dengan perusahaan minyak, Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Wilayah di ujung timur negeri ini kerap memantik silang pendapat sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua. Rekaman perbincangan ini tercatat dalam dalam rapat BPUPKI pada 10—11 Juli 1945.
Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan. Pendapat Kahar Muzakkar dilandasi pertimbangan pragmatis. Namun, dia tetap menghargai rakyat Papua apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela.
“Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka,” kata Kahar tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang terbentang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua. Menurut Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Soal Papua pun demikian. “Papua adalah wilayah Indonesia,” kata Yamin.
Menurut Yamin, posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. “Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukan ke dalam Republik Indonesia,” ujar Yamin. Yamin yang seorang ahli hukum dan pakar sejarah itu juga mengikat Papua dengan gagasan historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku.
“Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin. Dengan dalil itu, maka jelas sudah alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia.
Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan konsep Yamin. Gagasan “ilmiah” Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia.
“Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta. “Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.”
Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani saja oleh Jepang.
Sukarno lalu datang menyampaikan suara yang senada dengan gagasan Yamin. Menurut Sukarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Sukarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua.   
Gagasan Yamin dan Sukarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat.
“Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara,” kata Soetardjo. Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia.
Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara.
Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Sukarno memperoleh suara terbanyak. Konsep ini lah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit.  
Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang representatif. Pasalnya, tiada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak. Wakil Papua baru tampil sebagai delegasi setahun kemudian dalam Konferensi Malino- perundingan yang diselenggarakan pihak Belanda.   
Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa. Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang berasal dari Ambon. Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua.
“Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang tetap akan membuat gejolak dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya sedikit saja,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu nyatanya tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua. Namun Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan. Belanda keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua bahkan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Sengketa panjang Belanda dengan Republik Indonesia pun dimulai.  



Rabu, 08 Mei 2019

The Jacatra Secret

Sudah lama ya, tidak menulis. Bukan karena kesibukan dunia, tapi karena hati tak tergerak untuk membangkitkan semangat menulis. Baiklah di hampir pertengahan tahun 2019 ini, semoga diriku bisa melecut semangatku sendiri untuk terus menulis, memberikan warisan kepada langit dan bumi.

Kali ini saya akan mereview sebuah novel fiksi sejarah. Novel ini terlewat dari pantauan saya. Biasanya, setiap novel yang berlatar sejarah selalu menjadi incaran saya untuk saya lahap habis hanya dalam beberapa hari, berapapun tebal halamannya. Saya mengetahui novel ini setelah saya menonton acara "tonight show" di youtube. Pada episode tersebut, tonight show membahas hal-hal yang berhubungan dengan kontroversi konspirasi. Ya, semenjak terbitnya novel yang berjudul "da vinci code" milik Dan Brown, dunia gandrung akan teori konspirasi. Tak terkecuali di bumi nusantara ini. 

Salah satu impactnya adalah munculnya sebuah novel yang berjudul The Jacatra Screat. Novel yang bercerita tentang simbol2 satanic di Jakarta. Ditulis oleh penulis muda yang berbakat, Rizki Ridyasmara. Bagi pemerhati dan penyuka sejarah, novel ini adalah salah satu novel yang wajib harus dibaca. Selain memuat informasi fakta sejarah, novel ini juga memiliki keunikan tersendiri. Banyak tokoh fiksi dalam novel ini yang disesuaikan dengan kondisi sejarah Indonesia ataupun dalam keterkaitannya dengan teori konspirasi. Tokoh2 neolib misalnya, yg diperankan oleh profesor Sudrajat, memberikan kesan kita sedang membaca novel karya orang Amerika atau Eropa. Kenapa ? karena kita selama ini disuguhkan novel2 dengan tema seperti ini hanya dari novel2 luar negeri (CMIIW). Jarang sekali novel nusantara yang mengambil tema teori konspirasi seperti ini.

Daya tarik lainnya dari novel ini adalah pendeskripsian tentang bangunan2 tua di Jakarta. Tidak terpikir sebelumnya tentang hal itu, atau kita tidak pernah tahu keberadaannya. Keterkaitannya dengan simbol2 fremasonry adalah hal yang mengagetkan bagi saya.

Walapun memang banyak yang bilang dan jika boleh jujur, novel ini adalah banyak terpengaruh dari novel The Da Vinci Code. Bahkan menurut sebagian orang novel ini adalah "jiplakan" dari novel Dan Brown itu, namun saya tetap salut kepada penulisnya. Ditengah2 kegersangan dunia "buku" dan kemauan manusia nusantara untuk membaca buku, novel ini bisa menjadikan ketertarikan baru manusia2 nusantara untuk mulai kembali membaca buku.

Overall novel ini OKlah, saya sangat merekomendasikan anda semua untuk membeli dan membacanya. Satu hal lagi, selalu beli buku yg original ya, no KW. Agar para penulis Indonesia terus berkarya dan industri buku dapat terus exis.