Powered By Blogger

Selasa, 27 Desember 2016

SEDULUR

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)

Apa yang anda pikirikan jika membaca Surah Al Kafirun ? Orang - orang kafirkah ? atau Tuhan yang mana yang akan kita sembah ?. 

Bagi saya surah Al Kafirun adalah dasar pemikiran tentang bagaimana toleransi diterapkan. Manusia sejatinya memang diciptakan berbeda - beda. Memiliki kebudayaan yang berbeda adalah hakikat hidup manusia, tidak bisa kita ingkari, namun perbedaan itulah yang melahirkan rahmatan lil alamin.

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan "sekitar"nya sebagai teman hidupnya. Jika kita berdasar pada hakikat penciptaan manusia pertama, Adam tidak bisa hidup tanpa Hawa dan juga membutuhkan alamnya sebagai tempat sosialisasi dirinya terhadap kehidupan. Adam diciptakan berbeda daripada Hawa, walaupun memilki konsepsi yang sama. TUHAN menciptakan perbedaan diantara manusia untuk melengkapi kekurangan diantaranya. Manusia memang memilki kesempurnaan dibandingkan makhluk lainnya, namun manusia juga memilki kekurangan sebagai individu. Kekurangan itulah yang akan melengkapi kesempurnaan. Bayangkan jika semua manusia diciptakan sama persis maka kita tak akan lagi bisa membedakan Adam atau Hawa.

Dengan perbedaan yang dimiliki manusia, kebudayaan lahir sebagai sebuah konsekuensi logisnya. Bahkan dari sebuah komunitas manusia yang sama, lahir kebudayaan yang berbeda. Lantas apakah kita akan menafikan perbedaan kebudayaan tersebut sebagai sebuah sesuatu yang patut kita segmentasikan kedalam benar atau salah ?, kecuali keyakinan terhadap TUHAN dan RASULNYA, yang lainnya tidaklah patut kita sebagai manusia menilai kebenarannya.

Sejarah membuktikan bagaimana perbedaan menjadi dasar manusia berkehendak menjadi TUHAN bagi manusia lainnya. Fir'aun Ramses II yang dipercaya sebagai tirani pada jamannya adalah contoh bagaimana intoleransi dijalankan dengansangat baik diperankan oleh kekuatan seorang raja atau kita juga bisa membahas bagaimana seorang Hitller yang tidak menyukai bangsa Israel dan dengan propagandanya, dia memicu perang dunia pertama. Atau kita juga bisa membahas bagaimana sebuah suku dibantai pada peristiwa genosida Rwanda pada tahun 1994, atau bagaimana kita memaknai peristiwa pertikaan suku Dayak dan suku Madura yang terjadi di negeri kita pada tahun 2001 ?, mengerikan bukan ? saya tidak berani membayangkan intoleransi ini terus berkembang dan membesar menjadi virus dunia ketika anak - anak kita tumbuh menyaksikannya.


 Hasil gambar untuk garuda lambang negara


Namun bertolak belakang dari kisah diatas, kita dapat melihat bagaimana piagam Madinah dibuat dan dijalankan. Pada tahun 622 ketika rasulullah hijrah ke kota Madinah, rasulullah dihadapkan pada pertentangan karena perbedaan suku, ras dan agama. Maka dengan kesepakatan bersama, dibuatlah sebuah aturan - aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban setiap warga Madinah saat itu. Semua orang dilibatkan dalam penyusunan setiap pasalnya, semua orang dilibatkan sebagai bagian dari kesatuan ummat kala itu dan semua orang mengambil perannya masing - masing. Yang terjadi saat itu sungguh diluar dugaan, semua warga kota Madinah yang berbeda suku, ras dan agama bersatu dan bernaung dalam sebuah aturan yang dicetuskan oleh nabi Muhammad tanpa adanya perlakuan diskriminasi kaum mayoritas terhadap kaum minoritas seperti yang terjadi di kota Mekkah. Nabi Muhammad datang ke Madinah bukan hanya sebagai simbol dari sebuah toleransi manusia, namun nabi Muhammad juga datang sebagai eksekutor ajaran - ajaran TUHAN.

Piagam Madinah mengajarkan kita bagaimana menghargai perbedaan. Perilaku Rasulullah yang mulia memberikan contoh yang nyata bagaimana bersikap dengan penuh kedewasaan berpikir menghadapi setiap perbedaan yang ada dan hal ini terbukti ketika penduduk Madinah dari kaum Yahudi setuju untuk berada satu atap hukum dengan saudara - saudara mereka yang beragama Islam dan kaum lainnya yang masih menganut kepercayaan pagan. Rasul juga menegaskan bahwa kesatuan merupakan hasil sebuah akulturasi kebudayaan yang berbeda - beda, dengan kata lain, kesatuan dibentuk dengan adanya kepentingan dan tujuan bersama dari manusia yang memilki perbedaan diantaranya.

Ketika negeri ini akan dibentuk, para founding father kita pun sadar akan keragaman bangsa ini. Perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya dan agama menjadikan bangsa ini memiliki potensi perpecahan. Hanya karena kepentingan dan tujuan yang sama, lahirlah semangat persatuan yang dibungkus dengan toleransi. Maka dari itu dicetuskanlah ide konsep Pancasila yang menjadi dasar pemersatu bangsa ini, Jika kita membandingkan antara piagam Madinah dan Pancasila memang tidak sepadan, namun sebagai ide dan konsep keduanya memilki persamaan, yaitu mempersatukan perbedaan demi kepentigan bersama. 

Sebagai manusia dengan kebudayaan Timur tentunya memiliki konsep toleransi yang lebih membumi dibandingkan konsep toleransi ala kebudayaan Barat. Setiap suku bangsa di nusantara memilki bahasa yang selaras dengan perilakunya. Menghargai perbedaan adalah bukan hal baru bagi kita. Nenek moyang kita berabad - abad lalu atau bahkan trilyunan tahun lalu sudah menerapkannya dengan baik. Menundukkan kepala atau bahkan membungkukkan badan ketika bertemu dengan orang lain adalah contoh bagaimana kita menghargai keberadaan orang lain. Mengucapkan salam - apapun bahasanya - adalah sebuah hasil pemikirian teologis bagaimana manusia menjalankan perintah Tuhannya dan tersenyum kepada orang lain adalah keindahan tersendiri dari sebuah ungkapan kasih sayang manusia terhadap manusia lainnya. Inilah keindahan toleransi yang masih saja utopis di negeri ini.

Lalu mengapa saat ini kita terjebak pada toleransi yang bermuatan kepentingan ? apakah kita sudah kehilangan kemampuan merasakan hati ketika akal pikiran sudah tak mampu lagi menentukan warna putih dan hitam ?, apakah kita sebagai manusia sudah tak lagi menjadi manusia ? Apakah kita sudah kehilangan kesadaran kita ? 

Toleransi dapat kita mulai pada lingkungan kecil keluarga kita. Selalu bersikap adil dengan perbedaan yang ada merupakan langkah awalnya. Menjadi sadar sebagai manusia merupakan kemenangan individu yang dapat kita tularkan kepada individu sekitar kita. Perbedaan bukanlah sebuah hal yang perlu diperdebatkan, namun perlu dicermati kebenarannya. Jika apa yang kita yakini benar menjadi berbeda dengan keyakinan manusia lainnya, wajib kita sampaikan, namun jika tidak diterima sebagai sebuah kebenaran, ya sudah, mengapa harus dipaksakan ?. Prinsip kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan, ketika hal itu menjadi taruhannya dan menimbulkan sikap intoleransi, ini yang harus kita pertahankan sebagai sebuah keyakinan, dan bukannya menyerah pada kenyataan.

Kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, keberagaman bangsa ini sudah menjadi darah dagin kita, lalu mengapa kita menjadi lupa siapa diri kita ini ?




Selasa, 06 Desember 2016

Salam

Assalamualaikum

Greetings the Rastaman I sing
Salam salam salam
Greetings to each and everyone
Salam salam salam
Anytime you meet or greet anyone
Whether it Namaste, Assalamualaikum
Know that Salam means peace unto you
Salam salam salam

Diatas adalah sedikit penggalan lirik lagu SALAM milik RAS MUHAMAD. Dinyanyikan dengan kekhasan suara Muhamad Egar dan dilagukan dengan genre reggae, lagu ini memilki kekuatan tersendiri dan tentunya asik untuk didengarkan.

Salam menjadi tema dari lagu ini, salam yang bagi saya adalah sebuah penghormatan kepada orang lain adalah hasil dari representasi kebudayaan manusia terhadap eksistensinya. Saling mendoakan, saling memberikan penghormatan dan saling memberikan "senyuman" adalah bentuk kedamaian yang selalu menjadi utopia manusia. Bayangkan jika setiap manusia mengucapkan dan memberikan salam kepada manusia lainnya, niscaya tidak ada kejahatan di bumi ini dan kedamaian akan merasuk kesetiap kehidupan manusia.

Salam dalam agama kami dinyatakan sebagai doa kepada saudaranya agar selalu dalam perlindungan sang pencipta. Dialektika manusia dimulai ketika saling bertemu menjalin silaturrahim antar sesamanya dan mendoakannya adalah sebuah etika saling menyayangi yang agung. Memahami manusia lainnya sebagai saudara adalah etika beribadah kita kepada ALLAH.  

"Assalamualaikum" (Assalamualaikum (السلام عليكم as-salāmu 'alaykum) merupakan salam dalam Bahasa Arab, dan digunakan oleh kultur Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang dapat merekatkan Ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Untuk yang mengucapkan salam, hukumnya adalah Sunnah.[1] Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya

Allah memberikan kita dialektika salam sebagai suatu wujud cinta kepada sesama. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna di alam semesta ini. Sebagai makhluk yang memilki dua bagian penting, yaitu akal dan hati. Akal akan membawa kita menelusuri kehebatan alam semesta ini, sedangkan hati sebagai penyeimbang bilamana akal sudah tak mampu menggapainya. Dengan kondisi manusia yang demikian, "salam" hadir sebagai sebuah budaya relegius yang secara psikologis akan mengingatkan manusia bahwa hakikat penciptaan manusia atas dasar cinta.

Semangat yang tersirat dari budaya salam ini sangat pas kiranya jika ditumbuhkan kembali ketika negara kita saat ini terancam keutuhannya. Kepentingan nafsu segelintir orang yang mengatasnamakan kepentingan rakyat namun dibiayai oleh pemegang modal memporak-porandakan kebhinekaan Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia yang majemuk selalu saja dicoba dihancurkan dengan isu SARA. Apalagi jika kita membicarakan agama, salah mengucapkannya dan berada di tempat yang salah, niscaya kita akan berhadapan dengan para pembela agama.

Indonesia yang dulunya adalah Nusantara tidak terlepas dari kebhinekaan, perbedaanlah yang membuat negeri ini terus bertahan. Manusia Indonesia sejak dulu sudah berbeda, ras, suku, bahasa, kesenian bahkan agamanya. Walaupun eksodus orang - orang Barat dan Timur berdatangan dan mengajarkan agama baru, manusia nusantara tak gentar dan tetap pada pendiriannya. Mengutip apa yang selalu didengungkan cak Nun, "jika ingin menjadi ayam, jadilah ayam yang sebenarnya. Jangan bermimpi menjadi burung yang bisa terbang". JIka ingin menjadi manusia nusantara yang hebat, jadilah manusia nusantara yang sesungguhnya, menjunjung tinggi hakikat kebudayaan nenek moyang walapun agama kita adalah Islam. 

Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk tidak menerima budaya nenek moyang kita. Jika Islam tidak memperbolehkannya, dapat dipertanyakan apakah Islam memang benar untuk manusia akhir jaman yang tentunya terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memilki karakteristik tersendiri.

Jika salam saat ini hanya sebagai formalitas kesopanan semata, saatnya kembali ke hakikat dari salam itu sendiri. Salam akan merekatkan ulama dan ummatnya, akan memberikan kedamaian dari penguasa ke rakyatnya dan akan memberikan keselamatan dunia akhirat bagi manusia dengan alam semesta.


Wassalam



Rabu, 30 November 2016

Novel Gajah Mada by Langit Kresna Hariadi

Image result for patung gajah mada

Gajah Mada adalah salah satu simbol persatuan nusantara. Banyak referensi dan mitos yang mengabarkan bagaimana sosok ini menjadi peran penting yang tidak terbantahkan. Ditempa dari pergolakan awal berdirinya kerajaan muda yang sedang mencari jati dirinya, Gajah Mada tumbuh menjadi manusia yang berurat kawat bertulang besi, manusia yang benar - benar tangguh secara emosional dan kejiwaan. Menjadi pemimpin yang sesungguhnya membawa Majapahit menuju puncak kejayaan menguasai Nusantara.

Langit Kresna Hariadi membawa tokoh ini kedalam sebuah karya sastra, meramunya antara kenyataan sejarah dan imajinasi pengaranganya, novel ini membawa pembacanya terlena dalam keindahan masa lalu yang penuh intrik. Tokoh - tokoh fiksi dimunculkan sebagai teman bermain para tokoh sejarah. Sebut saja "saniscara" yang memiliki kepribadian ganda dibuat apik oleh Langit sebagai peran antagonis atau 'kuda swabaya" yang menggambarkan sifat manusia seutuhnya, bisa digoda, bisa nakal, dan bisa lupa diri namun layaknya kodrat seorang laki - laki, Kuda Swabaya adalah seorang patriot.

Image result for gajah mada buku 1 LKH
Novel ini dimulai dari buku pertama yang berjudul Gajah Mada, menceritakan bagaimana detail sang bekel Gajah Mada menjadi pahlawan ketika menyelamatkan sang Raja Jayanegara dari pemberontakan Ra Kuti. Di fase inilah Gajah Mada dikenal sebagai seorang yang tangguh, cerdas dan memiliki kesetiaan yang seutuhnya untuk Majapahit. Dikisahkan dengan bahasa khas novel "masa lalu" seperti novel "Bende Mataram" dengan logat "sandiwara radio", membaca novel ini tidak membosankan, apalagi pemerhati sejarah, pasti menikmatinya.
Image result for gajah mada buku 1 LKH




Buku kedua yang diterbitkan oleh Tiga Serangkai tahun 2006, semakin menegaskan LKH sebagai penulis novel yang mumpuni. Buku pertamanya yang banyak disukai pembaca, menambah rasa haus penggemarnya untuk selalu tenggelam dalam lautan imajinasi. Dengan judul buku Gajah Mada Takhta dan Angkara, novel ini berlatar belakang konflik dan intrik keluarga bangsawan Majapahit menentukan pengganti Jayanegara. LKH mengisahkan dengan bentuk roman drama, dibumbui dengan intrik antar anggota keluarga semakin membuat pembacanya larut dalam konflik kepentingan. Entah ini adalah kejadian yang nyata atau hanya rekaan penulis saja, namun yang pasti sejarah tidak menggambarkan dengan jelas kenapa sang Ratu menjadi pemegang kekuasaan "sementara" sampai tiba waktunya datang sang "Hayam Wuruk". Buku ini memiliki kekuatan yang sangat menjebak, menyajikan imajinasi yang memiliki akhir mengejutkan, saya berpendapat setiap orang dari berbagai disiplin ilmu patut membaca buku yang satu ini. Salah satu tokoh rekaan yang muncul pada buku ke 2 ini adalah "Bagaskara Manjer Kawuryan", tokoh misterius yang menjadi kunci pada buku ini. Namun sayang, sebenarnya saya berharap siapa dia sebenarnya tidak diungkap sang penulis. Saya berharap tokoh itu tetap misterius di buku itu sehingga setiap pembaca bisa memiliki imajinasi yang berbeda tentang siapa sebenarnya tokoh itu . . . . .



"Untuk Mewujudkan keinginanku atas Majapahit yang besar." ucap Gajah Mada dengan suara amat lantang. "Untuk mewujudkan mimpi kita semua, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud. Aku tidak akan bersenang-senang dahulu. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung semata-mata demi kebesaran Majapahit. Aku bersumpah untuk tidak beristirahat. Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjugpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa."



Image result for gajah mada hamukti palapa
Senyap pendapa Bale Manguntur mendengar sumpah yang disaksikan matahari yang panas menggila. Semua orang masih terpesona pada jejak sumpah mengerikan yang diucapkan Gajah Mada. Sumpah itu memang layak disebut mengerikan. Entah dengan cara bagaimana Gajah Mada bisa menanggungnya. Sumpah itu terlampau mengerikan bagi sahabat Gajah Mada karena betapa keras kerja yang harus dilakukan untuk mewujudkannya.



Pada tahun yang sama, kembali Tiga Serangkai menerbitkan buku ke tiga dari Gajah Mada dengan Judul "Hamukti Palapa". Menurut A. Adaby Darban. Ketua Jurusan Ilmu Sejarah UGM, Novel sejarah ini disajikan dengan sangat menarik, tidak hanya terpaku pada biografi Gajah Mada tetapi secara komprehensif juga menggambarkan situasi yang berkembang pada zaman Majapahit. 

Keunikan LKH dalam menampilkan dialog dan bahasa dalam novel ketiganya ini masih kental terasa, penggambaran tokoh - tokohnya juga masih piawai seperti 2 novel sebelumnya. Wirota Wirogati misalnya, digambarkan sesuai dengan legenda dan pitutur yang selama ini ada. 




Image result for gajah mada perang bubat resensi buku"Perang Bubat" menjadi judul buku keempat dari serial Gajah Mada. Walaupun kenyataan sejarahnya masih dipertanyakan karena menurut Kyai Agus Sunyoto, perang bubat tidak pernah terjadi. Apapun perdebatan tentang kebenaran terjadi atau tidaknya perang bubat, buku ini masih sangat layak dijadikan sebagai bacaan kelas dewa. Seperti pada tiga buku sebelumnya, LKH masih mempertahankan dialog drama khas sandiwara radio. Saya sangat menyanjung pak de LKH yang menampilkan sang "saniscara", tokoh fiktif yang dijadikan peran utama pada novel kali ini. Kembali, LKH menampilkan tokoh yang misterius yang memiliki kepribadian ganda. Saya tidak menduganya ketika pertama kali mengenal tokoh saniscara itu. Sangat menarik, anda tidak akan bosan membacanya seperti anda membaca pelajaran sejarah di sekolah (bagi anda yang tidak menyukai sejarah)


Image result for novel sejarah gajah madaKemudian penutup dari serial Gajah Mada ini berjudul Madakaripura Hamukti Moksa. Menceritakan masa akhir sang Mahapatih berkuasa. Sebagai manusia yang tetap memilki kodratnya sendiri, Gajah Mada akhirnya tersingkir dari hingar bingar kekuasaan Majapahit. Sejak saat itulah, Majapahit sebagai negara adikuasa, perlahan tapi pasti mengalami kemunduran. Menurut saya, buku ini agak dipaksakan muncul, karena hanya sebagai penutup serial Gajah Mada setelah seri ke empat. LKH mulai mejadi bosan sepertinya berkutat dengan empat buku sebelumnya yang menceritakan sang idolanya. Namun secara keseluruhan, lima buku LKH menjadi karya terbaik darinya. 

Lewat Langit Kresna Hariadi minat kepada sejarah timbul kembali, hal ini dibuktikan dengan suksesnya lima buku Gajah Mada serta banyak penulis mengikuti jejaknya, menulis novel sejarah. Saya sangat senang dengan keadaan ini. Memiliki angan - angan setiap anak muda negeri ini mengerti benar akan sejarah bangsanya yang panjang, sebagai penguasa Nusantara, bahkan sebagai penguasa dunia.


Selasa, 29 November 2016

MADILOG



Buku itu begitu digandrungi anak muda sekitar awal tahun 2000. Anak muda yang katanya kaum pergerakan - entah ini hanya uforia atau tidak - wajib memiliki dan membaca buku yang satu ini. Awalnya saya juga penasaran dengan isi buku ini, maklum pengarangnya sedang hangat diperbincangkan kembali kala itu. Dalam banyak diskusi yang saya hadiri waktu itu, pemikrian dalam buku ini banyak dijadikan referensi cara berpikir untuk melahirkan pemikiran dan gerakan revolusioner kebangsaan. Buku ini memang sempat dibumihanguskan oleh penguasa ORBA dikarenakan alasan bahwa Tan Malaka diduga sebagai pelopor aliran kiri, aliran yang semasa orba adalah musuh rakyat karena dianggap bertanggungjawab atas peristiwa "gestapu".

Sebagai anak muda yang baru menginjakkan kakinya didunia mahasiswa di ibu kota Jakarta, tempat aplikasi politik negeri ini, saya terkesima dengan pemikiran yang ada pada buku ini. Semangat muda yang menggebu - gebu ditambah dengan proses pencarian jati diri, menyempatkan saya berada pada dunia filsafat yang masih membingungkan. Antara kenyataan dan imajinasi berpikir terangkum dalam tindakan keseharian dengan mengikuti banyak organisasi kemahasiswaan. Memang menyenangkan, namun tetap harus waspada terhadap pemikiran yang hanya ilusi.

Saya hanya akan sedikit membahas isi buku ini sebagai resensi setelah saya membaca tuntas buku ini berkali - kali. Lalu kenapa baru saat ini saya me-resensi buku ini. Jawabannya simple, dulu ketika jaman saya kuliah, buku ini harganya mahal, sekitar 300 ribu dan bisa ditebak, untuk ukuran kantong mahasiswa saat itu buku ini benar - benar mahal. Saya baru bisa membelinya sekitar 4 bulan lalu dan selesai membacanya dalam waktu 3 bulan. Yang pasti tidak ada kata terlambat untuk selalu belajar dan belajar.

Kita mulai dengan sang pengarangnya, Tan Malaka yang nama aslinya adalah Sutan Ibrahim melahirkan pemikiran yang baru walaupun sejatinya pemikiran tersebut berasal dari kebudayaan manusia. Alam filsafat membawa imajinasi Tan Malaka membuktikan keilmuan manusia dengan metode yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Boleh dibilang "filosof nusantara". Bukti adalah fakta dan fakta adalah laintanya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dann utama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan pengindraan.  Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (MaterialismeDialektikaLogika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.

Kegelisahan jiwa dan pikiran Tan Malaka diejawantahkan salah satunya dalam buku ini. Bagi saya, madilog adalah masterpiece pemikiran Tan Malaka. Membacanya akan mengantarkan kita melihat nusantara sebagai sebuah kesatuan kebudayaan bangsa yang kala itu masih sebatas wacana, namun saat ini kita menikmatinya sebagai sebuah negara kesatuan yang merdeka, akan tetapi masih terjajah . . . . .


Senin, 28 November 2016

ArBhre

19 Juli 2016, hari yang kami tunggu selama 9 bulan lamanya akhirnya telah tiba. Anak kedua kami lahir ke dunia ini. Di rumah sakit yang sama, dengan dokter yang sama dan ruang operasi yang sama, sang pangeran lahir ke dunia. Perbedaan yang sangat mendasar dari kelahiran anak kami yang kedua adalah pembiayaan persalinannya, anak kami yg kedua biayanya 100 persen melalui BPJS.

Rasa syukur kepada ALLAH selalu kami haturkan dengan segala puja dan pujian kami, dan dengan doa dan harapan kami kepada ALLAH, kami memberikan nama kepada anak kedua kami dengan nama :

ARYA BAGASKARA RANANTA BRHEBUMI



Sama seperti anak kami yang pertama, bahasa yang kami gunakan berasal dari bahasa sansakerta, bahasa nenek moyang kami. Bukannya tanpa alasan kami menggunakan bahasa sansakerta, karena kami ingin mengajarkan sedari kepada anak kami untuk sedini mungkin cinta pada bangsa dan tanah air. Beberapa keluarga menyarankan agar menggunakan bahasa yang Islami, seperti "Muhammad" yang diambil dari nama Rasullullah. Nama tersebut sangatlah mulia, saya menjunjung tinggi nama itu dan saya sadar bahwa karena nama itu kehidupan alama semesta ini ada. Namun saya dan istri tercinta saya memilki alasan yang lain, terutama saya bahwa jika ingin menjadi manusia nusantara yang Islami, maka janganlah ragu menggunakan kearifan dan budaya lokal seutuuhnya. Menurut pendapat saya, nama islami bukanlah nama yang identik dari bahasa Arab, namun bahasa yang islami adalah bahasa yang baik, yang mencerminkan kebudayaan manusia sebagai makhluk ciptaan ALLAH.

Dengan nama itu kami memiliki harapan, anak kedua kami menjadi satria bersifat seperti matahari yang selalu memberi kehidupan di bumi ini dan selalu berguna kepada makhluk - makhluk bumi dan semesta alam.

Pemberian nama itu mengabaikan segala anjuran tentang nama yang tidak panjang, namun itulah kami, yang memilki harapan dan doa bagi anak - anak kami.

Arya, jika saatnya kamu membaca tulisan ini, Rama dan Mama memilki harapan dan doa yang besar kepadamu "le", sebesar harapan dan doa kami terhada "kakang mbokmu", "KIRANA", sang sinar rembulan yang menjadi "panuluh damar" pada malam hari.

Jadilah bulan dan Matahari bagi kehidupan manusia yang selalu menyinari alam semesta. . . .

Jumat, 25 November 2016

SANTRI

Akhirnya Presiden Jokowi menandatangani Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari SANTRI Nasional. Menurut saya ini adalah sebuah pengakuan dari Negara untuk peran para Santri yang selama ini terpinggirkan, seakan-akan hilang dari Sejarah bangsa ini, padahal peran mereka sangat besar bagi bangsa ini. Saya yakin bahwa apa yang negara ini berterima kasih atas peran para Santri.

Saya tidak ingin membicarakan "politisasi" tentang penetapan hari santri ini yang terkait dengan "kontrak politik" presiden Jokowi dengan kaum nahdiyin, tapi saya ingin mengulas sedikit tentang kaum santri yang termarginalkan oleh penguasa sejarah.

Kaum santri yang menjadi entitas umat Islam di Indonesia memiliki peran penting dalam pembentukan karakter bangsa dan negara ini. Bagaimana tidak, coba kita runut tokoh kaum santri ini menjadi transender di jamannya. Sebut saja Cut Nyak Dien, Teuku Imam Bonjol, Cik Di Tiro di Sumatera, Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, dan semua pendukungnya. Ketika kita membicarakan wilayah Indonesia timur, kita tahu bagaimana Pattimura di Maluku, dan Sultan Hassanuddin  di Makasar, mereka semua menjadi simbol perubahan, simbol manusia visioner yang memperjuangkan kemanusian.

Darimana mereka mendapat ajaran-ajaran revolusioner kemanusia tersebut ? apakah budaya kita yang mengajarkannya ?

Islam sebagai agama bagi seluruh manusia akhir jaman, tidak terkecuali bagi manusia nusantara adalah hal yang mutlak dan tidak bisa bantah kebenarannya. Islam masuk ke Nusantara melalui waktu dan sejarah yang panjang, menurut Kyai Agus Sunyoto Islam masuk ke pulau Jawa sejak tahun 674 masehi. Hal Itu didasarkan pada berita yang disampaikan orang-orang Cina di era Dinasti Tang yang menyebut  tentang kehadiran orang-orang Tazhi (Arab) di Kerajaan Kalinga yang dipimpin oleh Ratu Shima. Orang-orang Tazhi yang mayoritas adalah para pebisnis itu sangat kagum dengan kondisi Kalinga yang walaupun belum mengenal Islam, tapi situasinya aman sejahterera. Selama 800 tahun hal itu berlaku, namun tidak berhasil dikarenakan masyarakat tidak tertarik terhadap ajaran baru yang sama sekali berbeda dengan kebudayaan masyarakat pada waktu itu.


Kemudian muncullah para kyai "wali songo" yang merubah metode penyebaran Islam dengan menggunakan asimilasi kebudayaan persuasif terhadap masyarakat Jawa pada waktu itu. Sunan Kalijjogo adalah salah satu wali songo yang tetap mempertahankan budaya Jawa yang Islami. Kondisi inilah yang terus bertahan di Nusantara sehingga melahirkan kebudayaan pengajaran "pondok pesantren" dengan para santrinya yang unik, yang tidak bisa kita jumpai dibelahan dunia lainnya.
Image result for wali songo




Asimilasi kebudayaan lokal dan ajaran Islam melahirkan semangat kebangsaan cinta tanah air yang mendalam bagi para santri. Persaudaraan, toleransi dan menghomati keberagaman budaya manusia menjadi ajaran sakral bagi para santri yang melahirkan semangat kebangsaan. Kita menjadi tahu bahwa manusia memiliki hak untuk mengatur nasibnya sendiri dan tidak terjajah oleh bangsa lain.Kesadaran menjadi manusia sejati terbangun oleh ajaran - ajaran keseharian para santri dan hal itu terus dijaga sampai dengan saat ini yang bisa kita lihat pada kebudayaan para santri di pondok pesantren.

Harapan dan mimpi saya, dengan mendapatkan pengakuan keberadaan kaum "santri", menjadikannya sebagai ruh perubahan dan solusi dari segala permasalahan bangsa ini.

MENDADAK BENAR

Akhir bulan Oktober 2016, di Indonesia khusunya di ibu kota Jakarta dan sekitarnya "mendadak" jadi-jadian. "mendadak religius", "mendadak berperan mendajadi politikus", "mendadak mengetahui segalanya dan yang lebih fantastis adalah "mendadak paling benar". Kondisi ini tidak terlepas dari konstelasi politik yang memanas menjelang pilkada di ibu kota. Salah satu calon yang merupakan public enemy "muslim" menjadi bulan-bulanan, diserang dari segala pejuru mata angin dan dikondisikan sangat bersalah. 

Basuki Tjahaya Purnama namanya, seorang "koboi" jadi-jadian, dengan track record mentereng dan dukungan politik yahud, dia berhasil menduduki kursi panas di ibu kota Jakarta. Namun karena dia dianggap bukan "pribumi" dan bukan pemeluk agama mayoritas di negeri ini, menjadikannya sebagai public enemy nomer satu saat ini. Semua pemikiran, tenaga dan waktu serta materi dikondisikan berhadapan dengan koh Ahok. Apapun tindakannya dianggap salah. 

Koh Ahok ini bertipikal temperament, berapi-api jika berbicara namun jujur dan tegas. Banyak lawan politik yang tersinggung dan terluka akal pikirannya jika sudah berdebat dengan koh Ahok. Seperti contoh salah satu jagoan pribumi, sang "USB" yang sempat beberapa kali terlibat perselisihan sengit dengan koh Ahok dan akhirnya mundur perlahan karena bukti-bukti yang disodorkan koh Ahok begitu kuat. Dan tak bisa kita lupakan bagaimana pria yang satu ini ketika berselisih dengan partai yang mendukungnya di kursi wakil gubernur kala itu dibuatnya menyerah dengan tingkah laku politik sang koboi ini. 

Sejatinya sampai dengan tulisan ini dibuat, sang koboi masih "tidak tersentuh" walaupun pada tanggal 4 November 2016, gerakan massa yang menamakan "pembela ISLAM" melakukan mahademo dengan mendatangakan ribuan atau bahkan jutaan masa ke ibu kota untuk menuntut pemerintah pusat agar memproses dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Saya tidak tertarik untuk membahas benar atau tidaknya Ahok melakukan penistaan agama melalui perkataannya di Pulau Seribu beberapa waktu lalu dengan konteks bahasa (karena saya tidak ahli bahasa), namun menurut saya apa yang dikatakan Ahok tidaklah tendesius menistakan agama. Yang berpendapat bahwa Ahok menistakan agama ya boleh-boleh saja, toh setiap orang berhak berpendapat walaupun tidak berdasar logika dan fakta. Namun satu yang menjadi catatan saya tentang perkataan Ahok di pulau Seribu, secara etika politik dan kebangsaan, Ahok sejatinya tidak memiliki hak untuk "menggunakan" ayat Al Quran untuk kampanye pidatonya, apalagi di depan warga yang "hanya" beragama muslim, disitu letak kesalahannya , , , !!!

Selanjutnya menurut saya, Ahok juga bisa menyinggung perasaan umat muslim ketika dia menyinggung perihal prisip umat muslim seperti membicarakan Al Quran. Super sensitif, apalagi muslim dengan pemahaman "syar'i" akan mendasarkan kepribadian dan tindakannya berdasarkan pemahaman tentang bagaimana menjadi muslim yang kaffah, walupun secara filosfi masih jauh dari perjalanan kebenaran yang hakiki. Tidak ada yang salah memang jika kaum muslimin yang masih pada pemahaman syar'i ini, karena segala sesuatunya  melalui proses. Ibarat manusia, proses pemahaman syar'i ini seperti manusia yang baru lahir, yang masih mencari kesadaran dirinya sebagai makhluk ciptaan ALLAH.

Seperti yang saya singgung sebelumnya bahwa sang koboi ini diserang dari segala penjuru mata angin, itulah sebabnya isu kontroversial ini diangkat dengan judul "penistaan agama" dan jelas sasarannya adalah penganut umat beragama mayoritas di negeri ini yang sejatinya masih merasa superior di negeri ini.

Islam di Indonesia adalah mayoritas dalam hal kuantitas, kualitasnya ? saya pun mempertanyakan pada diri sendiri. Saya merasa tidak berhak sebenarnya membicarakan dan menilai ke-agamaan seseorang, namun jika berbicara kedewasaan berpikir umat Islam, kita dapat melihat kenyataan di masyarakat muslim Indonesia yang masih mencari identitas kemuslimannya.

Sejarah yang saya ketahui tentang berdirinya negara ini tidak lepas dari tokoh-tokoh agama, terutama tokoh agama Islam. Kyai dan santri-santrinya adalah pelopor pemikiran dan tindakan untuk "merdeka" lepas dari segala bentuk penjajahan. Saya berkeyakinan, pemikiran seperti ini dimasa lalu adalah sesuatu yang revolusioner, memilki visi jauh kedepan dan bukan sekedar imajiner belaka. Pemikiran maju dengan disertai toleransi berkebudayaan, menghasilkan tindakan yang begitu massive, dimulai oleh perang Diponegoro pada tahun 1825 -1830 yang puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Tak ada kata lain yang bisa mengungkapkan kejadian-kejadian tersebut selain "kesurupan berjamaah", apa pasalnya ? Kekuatan intelektual muslim saat itu begitu berkharisma, begitu dihormati bukan cuma personalisasinya namun diikuti setiap perkataan dan tindakannya.

Apa yang terjadi saat ini ? Hilangnya kharisma personalisasi dan kualitas intelektual para "guru" serta tingkatan makrifat para ulama menghasilkan output yang alakadarnya. Masyarakat muslim diajarkan bagaimana caranya mengeruk pahala dan berpenampilan muslim yang mengikuti kebudayaan Arab. Muslim diperkenalkan dengan pemahanan yang merasionalitaskan perihal syariat, tidak ada lagi yang mengajarkan bagaimana batin dan akal ini mengenal dan mencintai sang pencipta.

Para ustadz yang memiliki peranan penting dalam hal ini yang tidak mampu lagi menampilkan Islam yang hakiki, yang benar sesuai dengan yang diperintahkan ALLAH dan dicontohkan oleh RASULULLAH,

Berbusana muslim dan menyanyikan lagu-lagu yang katanya Islami menjadi bagian dari kehidupan muslim saat ini. Berkata-kata bahasa Arab dan tampil sebagai ulama super star adalah hal yang dinanti-nantikan oleh masyarakat, padahal hal tersebut bukan inti dari ajaran Islam, namun masyarakat muslim saat ini begitu percaya akan hal itu dibandingkan apa yang terkandung dalam Al Quran.

Degradasi kualitas intelektual dan kebatinan para "guru" tersebut yang menyebabkan hilangnya ruh muslim pada masyarakat muslim Indonesia. Begitu disulut isu "penistaan agama", api "jihad" menyambar, membakar segala emosi. Tidak perduli benar atau tidak, yang terpenting adalah membela "Islam", membela "Rasul" dan membela "ALLAH". Ironis memang disaat makhluk yang tercipta karena kehendak ALLAH, akan membela ALLAH yang tentunya lebih superior dari makhluk ciptaannya.

Kata "kafir" dengan mudah dinyatakan kepada orang-orang yang menurut mereka tidak dijalan ALLAH, padahal tidak satupun manusia yang berhak menyatakan kafir terhadap sesamanya, kenapa ? lah wong yang berhak adalah sang pencipta, sesama murid tidak berhak menilai kecuali gurunya, begitu kira-kira Cak Nun menjelaskan.

Meminjam kata-kata Gus Mus,
"yang menghina agamamu, tidak merusak agamamu"
"yang merusak agamamu, justru prilakumu"

Jika kita adalah pengikut Rasul yang taat, maka ikutilah apa yang dilakukan rasulullah Muhammad, tersenyum ketika selalu dihina, dicaci dan dimaki. Rasul kita masih saja menunjukkan belas kasih sesuai ajaran Islam ketika banyak manusia yang menghinanya, bahkan akan membunuhnya.

Apa yang dikatakan Ahok di Pulau Seribu merupakan bukti nyata lemahnya umat muslim Indonesia, sejatinya dengan huru hara ini umat muslim Indonesia sadar dan bangkit dengan mengkaji dan mengaplikasikan satu - satunya pedoman bagi manusia akhir zaman, Alquran dan bukannya menjadi pahlawan pembela agama yang tidak memilki arah perjuangan jihad yang jelas atau bahkan mengada - ada.

Menjadi ISLAM adalah bukan bagaimana menghiasi diri dengan budaya yang tidak kita kenal, namun menjadi ISLAM adalah bagaimana menyelaraskan hati dan akal yang menghasilkan budaya manusia ISLAM.


in our land where we stand
never afraid coz we all friends
we may vary but hand in hand
appreciate and understand
why democracy if occupied by oligarchy?
nggo opo demokrasi nek mung ngapusi?
why religion if only to kill humanity?
nggo apa agama nek mung mateni
hey oxymoron, you don’t need to teach me
rasah nggurui merga ora migunani

#jogjahiphopfoundation#

Selasa, 12 Juli 2016

Sumenep Menyimpan Segudang Cerita



Resensi Buku
Judul : Sumenep Menyimpan Segudang Cerita
Penulis : Noevil Delta


Image result for sumenep punya

Jika anda bukan "penyuka sejarah" dan tidak berasal dari Madura atau daerah tapal kuda, maka anda tidak akan mengenal kota Sumenep. Kota diujung timur pulau Madura ini yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Singosari  memiliki sejarah yang panjang, bahkan penguasa pertama Sumenep yang tercatat dalam sejarah, punya peran yang besar untuk berdirinya kerajaan Majapahit.

Lewat sebuah "iklan" di facebook, saya tergelitik dengan sebuah buku yang berjudul "Sumenep Menyimpan Segudang Cerita", singkat cerita sampailah buku tersebut di tangan saya. Seperti kebiasaan saya jika ingin membaca buku, yang pertama kali saya baca adalah sampul belakang buku itu, biasanya memuat ringkasan atau "komentar" dari para pembaca sebelumnya atau saya baca daftar isinya. 

Beralih ke design buku tersebut, berdasar warna putih dengan gambar ikon kota Sumenep, gerbang masjid agung Jami', memang menarik, namun kurang elegan sebagai sebuah buku tentang sebuah kota. Saya tidak ingin membandingkan dengan buku-buku lain yang menceritakan sebuah kota, namun "feel" pembaca penting untuk dibuat tertarik kepada sebuah buku, apalagi buku yang isinya tidak ada keterikatan pembacanya. Bayangkan saja, jika saya disodorkan sebuah buku tentang sebuah kota kecil dibagian daratan Eropa yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, apa reaksi saya ? apa reaksi anda ?, apakah anda akan tertarik ? . Namun bayangkan jika buku tersebut dikemas dengan sampul dan design yang menarik dan informatif, paling tidak ketika anda melihat buku tersebut, anda memiliki kesan tersendiri sehingga tertarik untuk membacanya.

Kesan pertama saya membaca halaman-halaman awal buku itu cukup informatif, walaupun tidak ada informasi yang baru. Cerita tentang makam Pangeran Diponegoro di belakang Asta Tinggi dan beberapa legenda yang ada di kota Sumenep, bagi saya bukanlah sebuah informasi yang "mengagetkan", mungkin karena saya lahir dan besar di kota itu. Saya berharap banyak terhadap buku itu dapat memberikan informasi yang baru, atau belum pernah diketahui sebelumnya, atau misalkan tentang "pembenaran" makan Pangeran Diponegoro yang sampai dengan saat ini masih menjadi kontroversi dikarenakan sejarah mencatat bahwa makam Pangeran Diponegoro berada di Makasar. Selanjutnya desa Marengan yang sempat diceritakan, tidak ada ekplorasi yang mendalam, hanya diceritakan "ala kadarnya" saja. Sangat disayangkan, mengingat penulis buku ini adalah "reng Sumenep" tulen yang saya kira secara psikologi dan budaya sudah menyatu dengan kehidupan Sumenep.

Menurut saya, seharusnya buku tersebut tidak hanya 114 halaman. Sumenep punya banyak hal untuk dieksplorasi. Sejarah, tempat wisata, kebudayaan, legenda dan keunikan masyarakatnya bisa menjadi referensi "dongeng" yang bisa ditulis dalam sebuah buku. Buku ini terkesan seperti panduan "wisata" yang "naggung" atau seperti bahan bacaan ala kadarnya sambil menunggu giliran di ruang tunggu dokter (maaf saya harus mengatakan hal ini}

Namun dengan segala kebanggan saya terhadap kota kelahiran saya itu, saya bangga dan apresiasi terhadap penulis buku tersebut. Anak muda yang punya kreativitas, kemauan dan semangat untuk menulis, apalagi tentang tanah kelahirannya, sungguh sesuatu yang amat sangat jarang terjadi di era "gadget" saat ini. Semangat ini harus menular ke seluruh jiwa - jiwa muda Sumne

jangan pernah menyerah cong !!!!!