at office
16:07
Setelah
membaca dua novel - trilogi Pangeran Diponeoro, namun buku ketiga
belum terbit, yang berjudul, "Siapa Pengkhinat Diponegoro"
dan "Sandyakala Mataram" karya E. R Asura, saya jadi
teringat, bagaimana guru sejarah "terhebat" saya (alm bapak), berdongeng
tentang perjuangannya menentang kolonial Belanda dan Inggris. Sempat
pula saya diajak oleh bapak saya untuk melihat dan meneliti makam
Pangeran Diponegoro yang terletak di belakang komplek pemakaman
raja-raja Sumenep, Asta Tinggi.
Pangeran
Diponegoro menurut versi ini wafat dalam pelarian di Sumenep.
dibuktikan dengan ditemukannya makam Sang Pangeran dan beberapa
keluarganya di Asta Tinggi Sumenep. antara lain R. Dipokusumo, R
Diponegoro Anom dan RA Endang Kaliangi. Mereka adalah putra-putri
Sang Pangeran.
Diponegoro
mengelabui Belanda, kebetulan kebiasaan Diponegoro memang tak gemar
memperlihatkan roman mukanya. Sebelum perundingan di Magelang,
penukaran Sang Pangeran dilakukan di KaliProgo pada 25 Maret 1830, 2
hari menjelang perundingan. Menurut Harunur Rasyid yang ditangkap
ketika terjadi perundingan adalah Muhamad Jiko Matturi, Beliaulah
yang akhirnya meninggal di Makasar pada 8 Januari 1855. Diponegoro
yang sebenarnya ada di Sumenep atas perlindungan Sultan Abdurahman
ketika itu.
Pada
prasasti yang juga ditemukan di sekitar Asta Tinggi ada bunyinya "
Jie’ sengak, tep, makam, budi, sekar, naggar, langgar, Joyo Abdur
bi’ Rahman ". Ini kata-kata sandi yang setelah diotak-aitk
akhirnya dapat dibaca : " Sengak teteban Sumenep, makam e budi
dajana Abdurahman, neng guru langgar sekkare". Artinya kira-kira
" Awas perhatikan titipan Sumenep, kuburan di belakang sebelah
utara Abdurahman ".
Makam
itu sendiri dulunya hanya dikenal dengan nama Buyud sayid. tak ada
yang istimewa dari makam ini. Bahkan makam itu nyaris tak terawat
dengan baik dan tetutup semak belukar. makam tadi menarik perhatian
keluarga Diponegoro yang ada di Yogyakarta. " Setiap kali datang
kesini, mereka selalu menyempatkan diri berziarah ke makam Buyud
Sayid" info Abdul Rasyid mantan kepala penjaga asta tinggi.
Pada
nisan kepala makam itu setelah diteliti lebih jauh, ditemukan ada
tulisan arab pegon yang berbunyi " Abdul Hamid Pangeran
Diponegoro ". sedangkan di nisan kakinya tertulis "
Ontowiryo Amirul Mu’minin Panotogomo Sido Mukti Ing Topo
12-3-1837". Pada nisan kaki Dipokusumo tertulis " Wafat
bada Dipokusumo Khalifah Syayidin akhira bik olle gante a sareng M.
Ali Amwali 11-8-30 (1830) " artinya " Wafatnya Dipokusumo
pemimpin terakhir, telah diganti dengan M Ali Amwali 11-8-1830 ".
sedangkan di nisan kepala tertulis "Bada kobur almarhum Khalifah
Dipokusumo Syayidin jaman 12-4-38". maksudnya " ada makam
almarhum Khalifah Dipokusumo pemimpin terakhir, zaman 12-4-1838".
Dipokusumo diangkat sebagai pemimpin sepeninggal Diponegoro.
Terdapat
banyak prasasti yang memperkuat temuan bahwa Diponegoro pernah berada
dan wafat di Madura. terlebih lagi dengan ditemukannya makam Pasukan
Panah Wanita pimpinan RA. Yuda Negara, saudara Diponegoro lain ibu
dengan 107 anggota pasukan wanita lainnya. Pasukan inti Diponegoro,
Turkijo, Bulkijo, Arkijo dan Bupati Semarang Adipati Pringgoloyo
beserta pengikutnya juga ditemukan makamnya di Asta Tinggi.
Memang
hal ini diperlukan penelitian yang terus menerus, terstruktur dan
didukung oleh pemerintah setempat, agar sejarah bangsa ini kembali
diluruskan, karena sejarah adalah warisan kepada anak cucu bangsa
yang tak ternilai harganya.
Tulisan
saya kali ini memang tidak akan membahas dimana sebenarnya Pangeran
Diponegero dikebumikan, karena jelas, saya tidak mampu menelitinya
dan mengumpulkan bukti-bukti empirisnya dikarenakan waktu saya yang
sangat terbatas, hanya bisa mencari dan mengumpulkan di berbagai buku
yang saya baca dan juga "ngulik" mbah google. Sedangkan,
untuk membuktikannya, diperlukan juga penelitian yang komprehensif
dan menyeluruh, saya, saat ini tidak mungkin melakukannya (mungkin
nanti, anak cucu saya yang akan melakukannya, aminnn)
Saat
ini, saya ingin sekedar merangkum kronologi "perang djawa",
istilah Belanda menyebutkan untuk perang yang memakan korban yang
tidak sedikit, baik nyawa dan harta di kedua pihak. Saya
mengumpulkannya dari berbagai sumber, antara lain Kuasa Ramalan:
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan lama di jawa, 1785-1855, karya
Peter Carey. Buku kedua, Takdir - Riwayat Pangeran Diponegoro, karya
Peter Carey dan Novel karya ER Asura.
Untuk
lebih mudah membacanya, saya membaginya menjadi beberapa bagian
berdasarkan kurun waktunya.
A.
Faktor Pendukung Terjadinya Perang Diponegoro
Perang
Jawa sebenarnya disebabkan oleh ketidaksukaan para bangsawan kraton
Yogyakarta terhadap campur tangan Belanda dalam negeri Yogyakarta
yang kemudian meluas menjadi perlawanan rakyat. Mirip dengan Revolusi
Amerika yang digerakkan oleh para tuan tanah dan mendapat dukungan
dari seluruh lapisan masyarakat yang kemudian menjadi perlawanan
besar.
Seperti
kita ketahui menurut Perjanjian Giyanti (1750) bahwaPangeran
Mangkubhumi mendapat wilayah Mataram Barat-yang kemudian diberi nama
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat- danPangeran Mangkubhumimenjadi
raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Pada
tahun 1792 Hamengkubuwono I meninggal dunia dan putranya yaitu Gusti
Raden Mas Sundoro diangkat sebagai raja baru dengan gelar Sri Sultan
Hamengkubuwono II.
Hamengkubuwono
II bermaksud mengadakan pemerintahan yang kuat di mana orang-orang
muda yang berpandangan maju dan radikal duduk di dalamnya. Untuk
itulah ia mengangkat tokoh-tokoh muda ke dalam pemerintahannya dan
menyingkirkan tokoh-tokoh tua yang diangkat pada masa ayahnya
berkuasa.
Tokoh-tokoh
muda yang diangkat antara lainRaden Tumenggung Sumodiningrat
(diangkat sebagai Wedana Lebet), Raden Rangga Prawirodirjo II
(diangkat sebagai Bupati Amancanegara), dan Raden Adipati Danurejo II
(Pepatih Dalem/Perdana Menteri).
Pengangkatan
Danurejo II ini menimbulkan protes dari ibu suriKangjeng Ratu Ageng
yang menganggap Danurejo II sebagai orang yang culas dan mementingkan
kepentingan duniawi, tetapi kekhawatiran ini tidak digubris oleh
Hamengkubuwono II.
Karena
merasa kecewa maka Ratu Ageng memilih untuk meninggalkan kraton dan
tinggal di Pesanggrahan Tegalrejo bersama cicit kesayangannya Bendoro
Pangeran Haryo Ontowiryo (kelak disebut Pangeran Diponegoro-cucu dari
Hamengkubuwono II dan merupakan putra sulung dari putra mahkota Gusti
Raden Mas Anom Suroyo).
Kekhawatiran
Ratu Ageng ini terbukti pada saat Hamengkubuwono II menyadari bahwa
Danurejo II membangun komunikasi dengan Gubernur Jenderal Daendels.
Mereka berencana untuk menikam Yogyakarta dari
belakang sehingga Belanda dapat mendominasi Yogyakarta. Tetapi usaha
makar Danurejo II ini segera diketahui oleh sultan. Danurejo II
segera dibunuh atas perintah sultan sendiri.
Pembunuhan
atas Danurejo II ini membaut murka Daendels yang segera mengirimkan
pasukan ke Yogyakarta.
Ketika
pasukan Daendels yang berjumlah 10.000 itu sampai di daerah Sekaran
wilayah Kertosono, mereka langsung dicegat oleh pasukan Yogyakarta
yang dipimpin oleh Raden Tumenggung Sumodiningrat dan Raden Ronggo
Prawirodirjo III. Karena kalah dalam persenjataan akhirnya pasukan
Yogyakarta dapat dibereskan dan kedua panglima itu pun gugur.
Karena
pasukan yang dibawa ini sangat besar maka Hamengkubuwono II bermaksud
untuk berunding dengan Daendelsdi Kulon Progo. Daendels mendesak agar
Hamengkubuwono II turun tahta atau Yogyakarta akan diserang
habis-habisan. Akhirnya sultan bersedia mengalah.
Pada
tanggal 17 Desember 1812 pasukan Belanda di bawah pimpinan Gubernur
Jenderal Daendels sendiri menduduki Yogyakarta. Hamengkubuwono II
diturunkan dari tahtanya walaupun tetap diperbolehkan tinggal di
kraton (kemudian mendapat gelar sebutan sebagai Sultan Sepuh). Putra
mahkota Gusti Raden Mas Anom Suroyodinobatkan sebagai Sri Sultan
Hamengkubuwono III.
Setelah
diangkat sebaga sultan baru, Hamengkubuwono III menandatangani
perjanjian yang didiktekan Daendels yang antara lain berisi :
Penghapusan
pajak pantai yang harus dibayar Belanda kepada Kesultanan Yogyakrta.
Kesultanan
Yogyakarta akan menyerahkan daerahnya di sebelah Barat Kedu dan
Utara Gunung Merapi.
Membebaskan
kewajiban bagi pembesar Belanda yang menghadap Sultan untuk :
Membawakan
nampan berisi sirih yang digunakan Sultan untuk nginang.
Duduk
bersila, menyembah dan melepas topi saat menghadap Sultan dan jika
berhadapan dengan sultan pembesar Belanda cukup melepas topi
memberikan salut militer, memakai topinya kembali kemudian tidak
perlu bersila tetapi berdiri atau duduk di kursi
Melepas
sepatu saat mengunjungi kraton.
Sri
Sultan harus memanggil Gubernur Jenderal dengan sebutan eyang.
Sri
Sultan Hamengkubuwono III yang dalam posisi lemah menerima saja isi
perjanjian itu. Ini berakibat makin banyak pegawai pemerintahan
kraton yang tidak percaya lagi pada sultan, sehingga kraton menjadi
terpecah belah.
Pada
tahun 1811 Daendels diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh
Jan Willem Jansens. Di saat yang bersamaan Inggris mulai menyerang
Jawa dan akhirnya Belanda di Jawa menyerah dengan ditandatanganinya
Kapitulasi Tuntang.
Sultan
Sepuh yang mendengar berita jatuhnya Belanda segera menyatakan bahwa
segala perjanjian dengan Belanda tidak berlaku lagi. Sehingga pada
awal tahun 1812, Sultan Sepuh menurunkan Hamengkubuwono III dari
tahta dan mengangkat dirinya menjadi raja kembali dengan gelar
Hamengkubuwono II dan Hamengkubuwono III tetap menduduki jabatan
putra mahkota. Sultan kemudian menyatakan bahwa Yogyakarta adalah
daerah yang merdeka secara de jure dan de facto.
Berita
tentang kejadian di Yogyakarta ini sampai ke telinga Raffles.Kemudian
dia menyampaikan bahwa perjanjian dengan Belanda masih berlaku dan
Inggris adalah pihak yang menggantikan Belanda. Pernyataan Raffles
ini tidak digubris oleh sultan.
Raffles
segera memerintahkan Jenderal Robert Gillispie untuk menyerang
Yogyakarta. Pertempuran pun pecah dan Yogyakarta dapat diduduki
Inggris. Kemudian Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) ditangkap lalu
diasingkan ke Penang (Malaya). Rafflesmenawarkan jika Sultan Sepuh
tidak mau diasingkan maka harus membayar 400.000 keping emas, tetapi
Sultan Sepuh lebih memilih diasingkan. Hamengkubuwono III diangkat
kembali sebagai sultan dan harus menandatangani perjanjian sebagai
berikut :
Hak
untuk memungut pajak pasar dan bandar diserahkan kepada Inggris
selama 10 tahun sebagai biaya ganti rugi perang
Hamengkubuwono
III diangkat sebagai raja bawahan Inggris dan digaji sebesar 100.000
ringgit/tahun.
Kesultanan
Yogyakarta harus menyerahkan separuh laba dari perdagangan kayu jati
kepada Inggris.
Daerah
Jipon, Japon, Kedu, Pacitan, dan Grobogan diserahkan pada Inggris.
Tentara
Kesultanan dikurangi dan hanya boleh berkedudukan di Kota Yogyakarta
saja.
Daerah
luar kota Yogyakarta akan diamankan oleh pasukan polisi khusus
(Jogokaryo) yang diambil dari rakyat Yogyakarta yang dilatih oleh
Inggris.
Hukuman
siksa dan adu macan dihapus.
Para
bupati-bupati akan digaji dengan uang bukan dengan tanahbengkok.
Hamengkubuwono
III harus memberikan keperluan logistik bagi tentara Inggris di
Yogyakarta.
Orang
Eropa di Yogyakarta tidak terkena hukum kraton tetapi terkena hukum
Inggris.
Hamengkubuwono
III harus menyerahkan 4000 cacah tanah kepada Bendoro Pangeran Haryo
Notokusumo (putra ke-23 dari Sri Sultan Hamengkubuwono I). Daerah
ini kemudian diberi namaKadipaten Paku Alaman dan Notokusumo diberi
gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I dan
berkedudukan diPuro Pakualaman di sebelah timur laut Kraton.
Perjanjian
ini membuat kewibawaan Hamengkubuwono III merosot dan membuatnya
depresi sehingga pada 3 November 1814 beliau mangkat pada usia 43
tahun tanpa meninggalkan wasiat siapa yang akan jadi penerusnya.
Bendoro
Pangeran Haryo Ontowiryo adalah salah satu calon kuat pengganti
Hamengkubuwono III. Dia adalah putra tertua dari mendiang sultan,
lahir pada tanggal 11 November 1785. Seperti telah disebutkan di
atas, ketika masih kecil Ontowiryo sudah dibawa olehRatu Ageng ke
Tegalrejo sehingga jauh dari kehidupan kraton.Ontowiryo juga
terkenal merakyat dan anti terhadap Belanda maupun Inggris. Yang
melemahkan kesempatan Ontowiryomenduduki tahta hanyalah karena dia
anak selir.
Tetapi
Inggris kemudian mencalonkan Gusti Raden Mas Ibnu Jarot(masih berusia
13 tahun) sebagai raja karena dengan alasan dia adalah anak sulung
dari permaisuri mendiang sultan terdahulu.
Akhirnya
Ibnu Jarot yang masih kecil itu naik tahta dengan gelar Sri Sultan
Hamengkubuwono IV. Karena masih muda maka diangkatlah 4 orang dewan
penasehat yaitu;
Patih
Danurejo IV,
Raden
Tumenggung Pringgodiningrat,
Raden
Tumenggung RonoDiningrat,dan
Raden
Tumenggung Mertonegoro.
Karena
4 orang anggota dewan ini lebih memikirkan diri sendiri dan lebih
sering berdebat, Sultan Hamengkubuwono IV juga malas mendengarkan
mereka maka ia menjadi lebih dekat dengan kakak nya lain ibu yaitu
Ontowiryo.
Karena
dewan penasehat dinilai tidak memberi faedah maka Inggris atas usulan
Danurejo IV membubarkan dewan ini dan mengangkatPaku Alam I sebagai
wali sultan. Pengangkatan ini menambah rasa curiga Ontowiryo terhadap
Paku Alam I karena dianggap dia adalah antek-antek Inggris.
Pada
tahun 1816, Napoleon Bonaparte berhasil dikalahkan. MenurutConvention
of London wilayah Eropa berikut wilayah jajahannya harus dikembalikan
seperti semula sebelum Napoleon menjadi pemimpin Prancis (1795). Maka
wilayah Nusantara juga akan diserahkan Inggris kepada Belanda secara
bertahap.
Pasca
perang Napoleon.
Belanda
pasca perang Napoleon adalah negeri yang porak poranda dengan hutang
yang menggelembung. Sehingga diharapkan dengan kembalinya tanah
jajahannya kembali maka akan menjadi sumber pendapatan untuk menambal
defisit anggaran Belanda.
Daerah
Yogyakarta juga terkena imbasnya. Rakyat harus menanggung berbagai
macam pajak seperti Pajak Pasar, Pajak Kepala, Pajak barang dagangan,
cukai jalan, cukai jembatan, bea jalan tol dan kadang penarik bea
yang tamak (kebanyakan orang pribumi sendiri) juga menghitung bayi
yang digendong sebagai barang, maka harus dikenai pajak.
Ada
lagi pajak khusus bagi bangsawan Jawa antara lain Bea Pecumpleng
(pajak pintu rumah), Bea Pengawang-awang (pajak kebun taman rumah),
Bea Pajigar (pajak hewan peliharaan), Bea Wilah Welit (pajak hasil
panen), Bea Pajangket (pajak pindah rumah),Bea Kergaji (pajak rumah
tangga yang dihitung dari jumlah istri, seorang bangsawan yang
biasanya memiliki istri lebih dari satu tentu berat menanggun pajak
ini).
Selain
itu bagi rakyat jelata juga ada kewajiban untuk kerja paksa membangun
jalan, gudang dan jembatan, kerja paksa membersihkan kantor, benteng
dan rumah pembesar Belanda. Pemungutan pajak dan bea ini sejak jaman
Raffles sudah diborongkan kepada orang Cina, terkadang orang-orang
Cina itu sangat tamak dalam memungut pajak sehingga hal inilah yang
menimbulkan ketidaksukaan pribumi pada etnis Cina.
Ketika
Belanda mulai masuk, Kraton Yogyakarta sudah hampir mengalami
kebangkrutan karena banyak derah penghasil keuntungan yang lepas.
Karena itu lah sultan tidak mampu membayar gaji para bupati tepat
waktu.
Maka
untuk mencari penghasilan tambahan banyak bupati yang menyewakan
tanah serta penduduknya pada pengusaha Eropa. Pengusaha Eropa yang
menyewa tanah ini pun menerimanya dengan senang hati karena selain
tanah yang luas mereka juga mendapatkan penduduk tanah itu untuk
dijadikan pekerja murah dan tanah itu kemudian ditanami kopi, teh dan
tanaman-tanaman lain yang laku di pasaran, perlahan tapi pasti geliat
pertumbuhan para pengusaha swasta ini mampu memakmurkan kembali
Yogyakarta (kebiasaan para bupati menyewakan tanah pada swasta ini
kemudian ditiru oleh bangsawan kraton termasuk sultan Hamengkubuwono
IV sendiri, bahkan kebiasaan ini kemudian ditiru oleh para bangsawan
Kraton Surakarta).
Sementara
itu Raja Willem I mendirikan Nederlande Handels Maatschappij (NHM)
pada tahun 1824 yang merupakan perusahaan negara yang bergerak dalam
segala bidang di tanah jajahan dan Raja Belanda adalah pemegang saham
terbesar NHM. Tetapi NHM ternyata kalah bersaing dengan
pengusaha-pengusaha swasta di Yogyakarta dan Surakarta yang menyewa
tanah dari para bangsawan kraton. NHM pun rugi dan Raja Willem I
sebagai pemegang saham terbesar terancam rugi besar pula.
Untuk
mencegah kerugian NHM yang bertambah banyak, maka Gubernur Jenderal
Van der Cappelen melarang para bangsawan dan pemilik tanah Yogyakarta
untuk menyewakan tanah pada siapapun (kecuali atas izin Belanda). Van
der Capellen beralasan bahwa sewa tanah itu sangat tidak
berperikemanusiaan. Para bangsawan menyewakan tanah kepada pengusaha
Eropa lengkap dengan penghuninya yang kemudian dijadikan buruh dan
terkadang buruh itu diperlakukan secara tidak manusiawi oleh
pengusaha Eropa. Alasan ini tidak sepenuhnya benar; karena sejak
maraknya penyewaan tanah itu justru banyak rakyat kecil yang
memperoleh pekerjaan tambahan sehingga memiliki penghasilan sampingan
yang cukup lumayan.
Kebijakan
larangan penyewaan tanah ini tentu saja merugikan banyak pihak. Para
pengusaha swasta yang sudah mulai menikmati hasil investasinya
terpaksa harus menghentikan usahanya dan mengembalikan tanah, rakyat
kecil banyak yang kehilangan penghasilan tambahan dan yang paling
dirugikan adalah para tuan tanah kraton. Mereka harus mengembalikan
uang sewa ditambah bunga yang tinggi kepada pengusaha swasta yang
menyewa tanah mereka. Tentu saja mereka
tidak punya uang sehingga terpaksa mereka harus berhutang pada
Belanda dan NHM.
Pada
27 Januari 1820, Sultan Hamengkubuwono IV genap berusia 19 tahun,
maka Paku Alam I mengembalikan hak perwaliannya dan sejak
saat itu Hamengkubuwono IV resmi memerintah Kesultanan Yogyakarta.
Sementara itu, untuk memperluas pengaruhnya di Yogyakarta Belanda
mulai mendekati sultan muda itu. Hamengkubuwono IV diberi pangkat
Jenderal Majoor tentara Kerajaan Belanda, diberi bintang kehormatan,
dan lain-lain. Lama kelamaan sultan jadi dekat dengan budaya Belanda,
lebih sering keluar dengan pakaian militer Belanda, suka
minum-minuman keras, gemar main perempuan, suka berburu dengan bedil
dan lain-lain, kebiasaan sultan ini kemudian ditiru oleh semua
bangsawan dan pembesar kesultanan. Sementara Sultan bersenang-senang
dalam buaian, Belanda semakin menggerogoti Yogyakarta. Hal ini
menambah ketidaksukaan Ontowiryo pada
Belanda.
Pada
tanggal 6 Desember 1822 Sri Sultan Hamengkubuwono IV wafat saat
sedang berpesiar di atas perahu kerajaan. Ada desas-desus bahwa
beliau diracun. Sultan meninggal pada usia 21 tahun tanpa menunjuk
pengganti.
Dalam
rapat internal Kraton disepakati bahwa BPH Ontowiryo harus
menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV dengan pertimbangan bahwa
Ontowiryo adalah putra sulung Hamengkubuwono III dan kakak dari
Hamengkubuwono IV, selain itu rakyat juga menghendakiOntowiryo
diangkat sebagai sultan karena beliau sangat dekat dengan rakyat,
pertimbangan lain adalah saat itu putra sulung Hamengkubuwono IV
Gusti Raden Mas Gathot Menol masih berusia 3 tahun. Tetapi masalah
timbul saat dipertanyakan jika kelakOntowiryo wafat siapakah yang
akan menggantikannya? Anak keturunannya atau Gathot Menol.
Kontroversi ini membuat suksesi menjadi berlarut-larut.
Belanda
yang melihat kans Ontowiryo menduduki tahta cukup besar sangat
khawatir. Hal ini dikarenakan Ontowiryo sangat anti Belanda. Maka
kini Belanda campur tangan melalui Patih Danurejo IV dengan
mengangkat Gathot Menol sebagai Hamengkubuwono V.
Pengangkatan
ini menggemparkan seluruh kraton dan juga seluruh lapisan masyarakat
karena dianggap Gathot Menol masih balita (Gathot Menol dilahirkan
pada tahun 1820; sehingga ketika menjadi raja dia baru berusia 2
tahun).
Karena
sultan masih balita maka diangkatlah Dewan Mangkubumi yang
menjalankan tugas kenegaraan. Mereka adalah
Gusti
Kanjeng Ratu Ageng (janda Hamengkubuwono III/ nenek sultan
Hamengkubuwono V).
Gusti
Kanjeng Ratu Kencana (janda Hamengkubuwono IV/ ibu kandung
Hamengkubuwono V).
Pangeran
Mangkubumi (Putra Hamengkubuwono II/sesepuh Kraton Yogyakarta).
Bendoro
Pangeran Haryo Ontowiryo-kemudian diberi gelarPangeran Diponegoro
(paman sekaligus guru Sultan Hamengkubuwono V).
Patih
Danurejo IV (Perdana Menteri Kasultanan Yogyakarta).
Dewan
mangkubumi ini terpecah antara 2 golongan yaitu PangeranDiponegoro
danMangkubumi di satu pihak melawan Patih Danurejo IV yang merupakan
kepanjangan tangan Belanda sedangkan 2 ibu suri hanya menjadi
penonton saja.
Danurejo
IV dengan dukungan Belanda berhasil mendominasi semua kebijakan
kraton. Hal ini menimbulkan rasa muak pada PangeranDiponegoro.
Akhirnya pada akhir tahun 1824 Pangeran Diponegoro mundur dari Dewan
Mangkubumi dan memilih keluar dari kraton untuk kemudian kembali
menetap di Tegalrejo.
Di
Tegalrejo Pangeran Diponegoro banyak memajukan irigasi, pertanian,
melatih penduduk dengan olah keprajuritan dan yang paling penting
membuka sekolah mengaji dan mengadakan kegiatan keilmuan dan
keagamaan bagi rakyat kecil.
Sepeninggal
Diponegoro dari kraton maka Danurejo IV semakin mendominasi
pemerintahan kraton dengan mengatasnamakan sultan dan dengan bantuan
Belanda.
B.
Peristiwa Tegalrejo
Ketika
pada awal mei tahun 1825 Belanda bermaksud membuat jalan raya yang
menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Proyek jalan itu kemudian
dibelokaan ke Tegalrejo yang proyek jalan itu melintasi daerah makam
leluhur Pangeran Diponegoro. Diponegoro meminta kepada pihak Belanda
untuk membelokan proyek jalan itu agar tidak memotong daerah
pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro. Tetapi tidak ada jawaban dari
pihak Belanda, keesokan harinya prajurit Kepatihan dari Kesatuan
Bugis yang berseragam hitam tampak di daerah pemakaman leluhur
Pangeran Diponegoro mereka memasang tiang-tiang patok yang menandai
bahwa daerah itu akan dipakai untuk proyek jalan. Celakannya lagi
pemasangan patok-patok itu disaksikan oleh beberapa birokrat Belanda.
Mendengar
kejadian ini Pangeran Diponegoro marah besar dan sore harinya beliau
bersama kira-kira 50 orang pengikutnya mencabut patok-patok itu.
Tindakan
Diponegoro ini kemudian memancing kemarahan ResidenSmissaert dan
Danurejo IV sendiri. Residen Smissaert kemudian mengundang Pangeran
Diponegoro untuk berunding di kantor karesidenan di Yogyakarta.
Tetapi pangeran tidak memenuhi undangan itu dan hanya mengirim
Pangeran Mangkubumi untuk mewakilinya. Pangeran Mangkubumi
menyampaikan bahwa pada intinya Diponegoro meminta untuk dihentikan
proyek pembuatan jalan yang melewati makam leluhur dan dia meminta
untuk memecatDanurejo IV dan
orang-orang yang memerintahkan pemasangan patok itu baik dia orang
Belanda maupun orang Yogyakarta. Residen Smissaert menjawab
bahwa dia tidak bisa mengambil keputusan selama Pangeran
Diponegoro tidak mengatakan tuntutan
secara langsung.
Residen
kemudian mengirimkan undangan lagi kepada pangeran tetapi tidak ada
jawaban. Karena takut terjadi apa-apa maka residen memerintahkan
Asisten Residen Chevallier untuk
menemui pangeran di Tegalrejo dengan
membawa satu regu pasukan. Tetapi sementara itu Danurejo
IV sudah memikirkan rencanannya sendiri.
Tanggal
20 Juli 1825 Danurejo IV merencanakan
akan membunuh Diponegoro dan keluarganya dengan cara membakar
pesanggrahan Tegalrejo sehingga Diponegoro dan keluarganya akan
terbakar hidup-hidup. Sebelum rombongan asisten residen tiba Danurejo
IVmemerintahkan satu kesatuan pasukan kepatihan (Kesatuan
Bugis-dengan senjata bedil dan pedang) untuk mengepung
PesanggrahanTegalrejo. Rakyat di sekitar Pesanggrahan yang mengetahui
tempat itu sudah dikepung merasa marah dengan tindakan Pasukan
Bugis ini. Akhirnya dengan senjata ala kadarnya mulai dari batu
sampai tombak dan panah rakyat mulai menyerang pasukan kepatihan
itu.Diponegoro berusaha untuk melerai kerusuhan itu tetapi
terlambat karena seluruh penduduk Tegalrejo sudah terlanjur
emosi dan mengangkat senjatanya.
Sementara
itu, rombongan Asisten Residen Chevallier sudah tiba dan
melihat kerusuhan di Tegalrejo itu. Chevallier memutuskan
untuk kembali ke Yogyakarta dan melaporkannya pada residen. Residen
terkejut mendengar laporan Chevallier. Danurejo IV kemudian
mengatakan pada residen bahwa dia mengirimkan prajurit kepatihan
ke Tegalrejo untuk mengamankan
patok-patok yang telah dipasang untuk proyek jalan tetapi malah
diserang oleh penduduk, danDanurejo IV mengatakan
pada residen bahwa kemarahan rakyat ini pastilah karena
provokasi Diponegoro, dan ini sudah menjadi cukup bukti
bahwa Diponegoro berniat untuk memberontak. Maka Danurejo
IV mengusulkan agar Diponegoro segera ditangkap.
Residen
terpengaruh oleh hasutan Danurejo itu, maka dia
memerintahkan untuk mengirimkan 75 orang pasukan senapan
keTegalrejo dilengkapi sebuah meriam.
Tugas mereka hanya 2 yaitu memadamkan kerusuhan dan
menangkap Diponegoro.
Kerusuhan
di Tegalrejo makin
menjadi-jadi. Banyak penduduk yang
terluka dan tidak sedikit pula pasukan kepatihan yang menjadi korban.
Akhirnya menjelang sore pasukan Belanda sudah tiba diTegalrejo dan
segera menggabungkan diri dengan prajurit kepatihan. Tembakan meriam
segera diarahkan ke arah pesanggrahan Tegalrejo. Tembakan meriam
ini segera menyulut api dan pesaggrahan pun terbakar. Mengetahui
rumah pangeran terbakar, perlawanan penduduk makin menjadi-jadi.
Mengetahui
keadaan sudah semakin gawat maka PangeranDiponegoro memerintahkan
untuk menjebol tembok pagar sebelah Barat pesanggrahan dan dari
tembok jebol itulah pangeran beserta keluarga dan pembantu dekatnya
melarikan diri.
Sementara
itu perlahan-lahan perlawanan rakyat Tegalrejo dapat
diakhiri dan Belanda menduduki Pesanggrahan Tegalrejo yang
sudah dilalap api itu. Tetapi Diponegoro sudah
terlanjur melarikan diri. Akhirnya Belanda membakar rumah-rumah
penduduk Tegalrejountuk melampiaskan kekecewaannya.
Mulailah Perang
Diponegoro.
C.
Perang Jawa
Pangeran
Diponegoro lari menuju Kalisoko yang
terletak 5 Km dari Kota Yogyakarta-tepatnya di Bantul-.
Di Kalisoko ini Pangeran
Diponegoro mulai menghimpun kekuatan. Banyak tokoh ulama seperti Kyai
Mojo bergabung dengannnya bersama santri-santrinya.
Bersama Diponegoro ikut juga
Pangeran Mangkubumi. Mereka sangat sakit hati dengan Peristiwa
Tegalrejo dan segera merencanakan perlawanan.
Pada
awalnya bentuk pola serangan pasukan Diponegoro adalah
gerilya dengan serangan mendadak. Malam hari pasukan Diponegoro masuk
mengendap-endap ke Kota Yogyakarta melakukan teror lalu sebelum adzan
subuh pasukan itu sudah meninggalkan Yogyakarta. Persenjataan mereka
pun sederhana ada yang memakai lembing, panah, pedang, keris dan
bahkan ada yang hanya memakai batu plusplintheng (ketapel
mini) dan bahkan bambu runcing.
Lama
kelamaan banyak orang yang bergabung dengan Diponegoro, bahkan
15 dari 19 orang pangeran Yogyakarta bergabung dengan pangeran.
Kekuatan pangeran bertambah besar saat para bekas prajurit kraton
yang dipecat oleh Sultan Hamengkubuwono III dalam rangka memenuhi
perjanjian dengan Raffles ikut
bergabung.
Markas
Pangeran Diponegoro di Kalisoko itu akhirnya tercium juga oleh pihak
Belanda dan daerah itu dikepung, tetapi ternyata sudah kosong.
Pangeran
Diponegoro memindahkan kegiatannya di Gua Selarong. Gua
Selarong terletak di sebelah Selatan
Kota Yogyakarta tepatnya di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan,
Bantul, daerahnya sangat strategis, berbukit-bukit dan tersembunyi
sehingga mudah dipertahankan. Diponegoro menempati gua sebelah Barat
yang disebut Gua Kakung, yang juga menjadi tempat beliau bertirakat.
Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani
Diponegoro) dan pengiringnya menempati Gua Putri. Di sebelah Timur.
Dari
sini Pangeran Diponegoro menjalankan taktik gerilya terhadap
kedudukan Belanda. Kerugian di pihak Belanda pun makin besar.
Di Gua
Selarong inilah Pangeran Diponegoro memiliki
jumlah pasukan yang sangat besar bahkan 3 kali lipat daripada
kekuatan gabungan Surakarta-Yogyakarta-Mangkunegaran-Paku Alaman.
Untuk
membereskan struktur komando maka Pangeran melakukan pembagian tugas
yang sangat rapi. Struktur komando pasukan pangeran adalah seperti
berikut
Pangeran
Joyokusumo (lebih dikenal dengan
nama Gusti Bei)
Adalah
seorang ahli strategi yang berpengalaman dalam perang
Yogyakarta-Raffles. Dia diberi kedudukan sebagai penasehat
militer Diponegoro. Selain itu juga bertanggung jawab memimpin
perlawanan di Utara Jogja
Pangeran
Mangkubumi
Diangkat
oleh Diponegoro sebagai pelindung keluarga istri dan
keluarga para pemimpin perang dan kepala rumah tangga serta mengurusi
bagian logistik.
Kyai
Mojo
Diangkat
sebagai penasehat spiritual dan keagamaan serta
panglima dari prajurit Santri.
Alibasah
Abdul Mustofa Prawirodirjo
Adalah
seorang pemuda dari kalangan priyayi santri yang masih berusia 18
tahun yang kerap dipanggil Sentot
Prawirodirjo. Dia dipercaya memimpin pasukan berkuda berjumlah 400
orang. Pasukan ini sangat istimewa karena memiliki kemampuan
mengendalikan kuda ala Mataram yaitu dengan kedua lutut kaki sehingga
kedua tangannya bebas memainkan senjata. Keahlian berkuda seperti ini
sangat ditakuti oleh Belanda.
Pangeran
Anom Diponegoro dan Tumenggung
Danukusumo
Bertanggung
jawab atas perlwananan rakyat di Bagelen.Pangeran Anom
Diponegoro adalah putra Pangeran Diponegoro.
Pangeran
Adiwionoto dan Pangeran
Mangundipuro
Bertanggung
jawab memimpin perlawanan di daerah Kedu.
Pangeran
Abu Bakar dan Tumenggung
Joyomurtopo
Bertanggung
jawab atas perlawanan di daerah Lawang.
Pangeran
Adisuryo dan Pangeran Suryonegoro
Memimpin
perlawanan di daerah Kulon Progo.
Tumenggung
Cokronegoro
Memimpin
perlawanan di daerah Gemblong, Godean.
Tumenggung
Surodilogo
Membantu Pangeran
Joyokusumo (Gusti Bei) memimpin
perlawanan di Utara Yogyakarta.
Tumenggung
Suryonegoro dan Tumenggung
Suronegoro
Memimpin
perlawanan di daerah Timur Yogyakarta.
Joyonegoro,
Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran
Joyowinoto
Bertanggung
jawab untuk memimpin pasukan pertahanan Gua Selarong.
Pangeran
Singosari dan Warsokusumo
Bertanggung
jawab memimpin perlwanan di Gunung Kidul.
Mertoloyo,
Pangeran Wiryokusumo, Sindurejo danDipodirjo
Bertanggung
jawab memimpin perlawanan di daerah Pajang.
Mangun
Negoro (Bupati Madiun)
Memimpin
perlawanan di Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya.
Pangeran
Serang
Memimpin
perlawanan di Semarang.
Raden
Ajeng Kustiah Mulaningsih Retno Edi (Nyi Ageng Serang)
Memimpin
perlawanan di daerah Purwodadi, Grobogan, Blora,
Pati, dan Kudus.
Selain
itu, Pangeran Diponegoro juga
memimpin langsung pasukan yang jumlahnya cukup besar. Pasukan ini
dibagi menjadi beberapa kesatuan seperti berikut ini.
Tiap
kesatuan pasukan dipimpin oleh 1 orang panglima, 2 orang tumengung, 2
orang ulama, dan 1 orang sesepuh adat.
Satuan Bulkiya 400
orang
Satuan Penilik 150
orang
Satuan Suraja 150
orang
Satuan Mandang 100
orang
Satuan Mantrijero 40
orang
Satuan Suragama 20
orang
Satuan Suranata 20
orang
Satuan Barjumangah 40
orang
Satuan Jogosuro 40
orang
Satuan Jogokaryo 100
orang; pasukan ini di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi dan
bertugas menjaga keselamatan keluarga para panglima perang.
Satuan Prawiro
Tamtama 300 orang
Satuan Jayengan 80
orang
Satuan Wanengprang 40
orang
Satuan Turkiya 300
orang
Satuan Markiya 300
orang
Satuan
berkuda Sentot Prawirodirjo berjumlah
400 orang.
Satuan Tamtama
Jero pasukan cadangan yang
jumlahnya lebih dari 1000 orang.
Satuan Kajineman adalah
pasukan berani mati yang bertugas melakukan Sandi
Yudha (spionase dan operasi-operasi
rahasia) dan juga melakukan sabotase.
Pasukan
Diponegoro selalu memakai strategi pemancingan dan menghindari
peperangan frontal tetapi lebih suka memakai strategi gerilya.
Pasukan Diponegoro ahli dalam mengintai dan mendekati sasaran tanpa
menimbulkan suara dan memilih tempat yang baik untuk menyerang atau
bertahan.
Dalam
menyusun formasi mereka selalu berpencar dan membentuk jaringan
formasi berbentuk lingkaran agar dapat mengikat lawan. Mereka sering
kali melepaskan tembakan panah secara sembunyi-sembunyi ke segala
penjuru sambil berlindung di pohon, alang-alang atau desa
sekelilingnya. Mereka sering berteriak untuk mempertinggi moril, jika
di gunung teriakan itu akan menggema sehingga menimbulkan kesan
seolah jumlah mereka banyak.
Pasukan
Diponegoro mampu berpencar untuk membuyarkan formasi lawan dan
menyatu kembali dengan cepat untuk kemudian melakukan serangan
terpusat ke lambung lawan yang sudah tidak dilindungioleh sayap
pasukan.
Diponegoro
selalu memancing lawan ke medan yang sulit. Mereka sering melakukan
sabotase dengan menghancurkan jembatan, memblokade jalan atau bahkan
melakukan aksi tembak sembunyi (sniper). Bahkan di dalam
Satuan Kajineman pasukan Diponegoro terdapat suatu regu
pasukan berani mati bernama “Barisan Sabil”. Sebelum berperang
mereka selalu melumuri tubuhnya dengan minyak lalu membakar dirinya
dan berlari ke arah tumpukan amunisi Belanda, sehingga meledaklah
amunisi itu yang segera merontokan moril pasukan Belanda.
Karena
rakyat banyak yang mendukung Diponegoro maka Belanda semakin
kesulitan dalam memadamkan perlawanan pangeran yang satu ini.
Kemenangan-kemenangan
terus menerus diraih Diponegoro. Tumpukan senjata rampasan berupa
bedil dan meriam pun semakin banyak. Semakin banyak pula pasukan yang
mengoperasikan kedua senjata modern itu.
Tetapi
meriam dan bedil itu juga membutuhkan amunisi. Untuk memenuhi
kebutuhan amunisi, mereka sering merampas dari pasukan Belanda yang
mereka bunuh. Tetapi peluru hasil rampasan ini sangat terbatas
sehingga harus digunakan secara hemat. TetapiGusti Bei kemudian
mengusulkan agar dibangun pabrik amunisi sederhana di
Desa Geger (Selatan Yogyakarta).
Pabrik itu dapat memproduksi pelor dan peluru meriam walaupun
kualitasnya masih kalah dengan bikinan Belanda.
Berita
pemberontakan Diponegoro ini segera sampai ke telinga Gubernur
Jenderal Van der Capellen. Gubernur Jenderal ini segera
memerintahkan agar seluruh pasukan Belanda di Jawa dikonsentrasikan
ke Yogyakarta, Surakarta dan sekitarnya. Sementara itu Belanda
sendiri kekurangan pasukan karena harus memadamkan pemberontakan di
Sulawesi dan Minangkabau. Jenderal Hendrik Markus de
Kock diperintahkan untuk memimpin
pasukan Belanda untuk melawan Diponegoro.
Langkah
pertama De Kock adalah memperkuat pertahanan Kota
Yogyakarta. Konsentrasi pasukan Belanda dipusatkan di
BentengVredenburg. Sementara itu
Pasukan Yogyakarta dan Legioen Pakoe Alaman (pasukan
PakuAlaman) diminta untuk ikut membantu Belanda dalam mempertahankan
kota. Tindakan lain adalah memindahkan Sri Sultan Hamengkubuwono V
dari kraton ke BentengVredenburg untuk
mencegah sultan yang masih kecil ini diculik, untuk keperluan itu di
dalam benteng dibangun sebuah kediaman pribadi yang mewah.
Benteng Vredenburg dipertahankan
oleh 200 orang Belanda dan 500 orang pasukan Sumoatmojo (pengawal
sultan Yogyakarta) ditambah 20 meriam.
Sementara
itu Susuhunan Surakarta Paku Buwono VI dan
AdipatiMangkunegoro III menyatakan
bahwa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran tidak
akan ikut serta dalam pemberontakan Diponegoro. Dukungan juga
diberikan oleh Adipati Sumenep bernama Paku
Nataningrat yang juga bersedia
mengirimkan pasukan Sumenep ke Jawa untuk membantu Belanda.Karena
terharu oleh dukungan dari Sumenep ini maka Paku
Nataningrat diangkat oleh Gubernur
Jenderal Van der Capellensebagai Sultan Madura.
Pihak
Belanda akhirnya dapat mengendus keberadaan Diponegoro di Gua
Selarong.
Akhirnya
Gua Selarong dihujani tembakan meriam dan diserang secara sporadis,
tetapi dengan kecerdikannya Pangeran Diponegoro mundur dan
memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan Gua Selarong sehingga
terlihat bahwa sebelumnya memang tidak ada aktivitas di gua itu.
Belanda akhirnya dapat menguasai Gua Selarong.
Tetapi
ketika Belanda meninggalkannya Diponegoro menempati kembali gua itu.
Pertempuran
terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan
artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam
pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan
sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh
Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila
suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka
malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi;
begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu
wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh
kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu
dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para
telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi
mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah
hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu
hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan
besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan;
para senopati Dipoengoro menyadari sekali untuk bekerjasama dengan
alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim
penghujan tiba Belanda akan menghentikan ofensif dan melakukan
strategi defensif, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan
sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan
moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika
musim penghujan, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan
kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga
para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah
komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Belanda
mulai pusing dengan perang gerilya yang dilakukan Pangeran
Diponegoro. Akhirnya dilakukan pendekatan kekeluargaan dengan
Diponegoro. Belanda mengangkat kembali kakek Pangeran Diponegoro
yaitu Sultan Sepuh (Hamengkubuwono
II) sebagai sultan Yogyakarta, sultan dibebaskan dari pembuangannya
di Penang. Beliau diangkat kembali pada tahun 1826. Sultan Sepuh
diminta Belanda agar mau mengajak Diponegoro berunding tetapi. Ajakan
ini kemudian ditolak oleh Diponegoro. Akhirnya pada 1828 Sultan Sepuh
diturunkan lagi dari tahtanya karena pertimbangan kesehatan dan
meninggal pada tahun itu juga.
Peperangan
pun terus berkecamuk, pertengahan tahun 1826, Belanda mengirimkan
pasukan dari Semarang yang dipimpin oleh Kapten Keemsius. Tetapi
pasukan ini disergap dan dihancurkan oleh pasukan Diponegoro
pimpinan Mulyosentiko di
daerah Gagarak (daerah antara
Yogya-Magelang).
Untuk
membuktikan kesungguhannya membantu Belanda, Adipati
Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegoro III mengirimkan
pasukanLegioen Mangkunegaran dalam
jumlah besar (3000 orang) yang dipimpin oleh Raden Mas Suwongso.
Tetapi pasukan ini dapat disergap dan dihancurkan oleh pasukan
Diponegoro yang dipimpin oleh Tumenggung
Surorejo di Randugunting (daerah Kalasan).Suwongso dapat
ditangkap dan dibawa ke Selarong. KemudianSuwongso dibebaskan.
Sementara
itu, Bupati Kedu Tumenggung Danunigrat bermaksud untuk
memimpin pasukannya menyerang Diponegoro karena bermaksud mengambil
hati Belanda. Akhirnya pasukan gabungan Kedu-Belanda ini menantang
Diponegoro. Pasukan gabungan ini berjumlah 2000 orang dan bergerak
menuju Selarong. Di tengah jalan. Untuk mencegat pasukan ini
ditugaskan Tumenggung Secodiningrat dan Tumenggung
Kertonegoro. Karena pasukan Kedu-Belanda lebih besar maka pasukan
yang dipimpin kedua tumenggung inipun terdesak dan mundur, akhirnya
mereka meminta bantuan keSelarong. Kemudian
Pangeran Diponegoro mengirimkan
400 orang prajurit Bulkiya yang
dipimpin oleh Haji Usman Ali Basyah dan Haji
Abdul Kadir. Pasukan Bulkiya kemudian bergabung dengan
pasukanSecodiningrat dan Kertonegoro lalu
kembali mengadakan serangan melawan pasukan Kedu-Belanda. Dalam
pertempuran sengit pasukan Diponegoro mendapat kemenangan dan banyak
senjata dirampas. Bupati Kedu Tumenggung Kertodiningrat dan
pembantunyaTumenngung Danunigrat dapat dibunuh.
Untuk
mengimbangi strategi gerilya Pangeran Diponegoro maka Belanda
membentuk pasukan Kontra Gerilya yang
direkrut dari orang-orang pribumi yang dianggap lebih mengenal medan.
Mereka dibayar sama dengan gaji pasukan Belanda berpangkat letnan.
Pasukan Kontra
Gerilya yang dipimpin oleh seorang
Belanda bernama Kolonel Van Jett ini lama kelamaan berhasil
mengepung daerah Gua Selarong, karena merasa terkepung Pangeran
Diponegoro memutuskan untuk meninggalkan Gua Selarong.
Setelah
Belanda mampu menguasai Gua Selarong, mereka mendirikan tangsi
militer di situ untuk mencegah Pangeran Diponegoro menggunakan
kembali gua bermedan berat itu. Tampaknya Belanda tidak ingin
mengulangi kesalahan di masa lalu.
Setelah
meninggalkan Selarong, Diponegoro memindahkan pusat perlawanannya
di Dekso di Kabupaten Kulon Progo. Daerah ini terletak di
sebelah Barat Laut Yogyakarta. Di sini atas usulan Kyai Mojo,
Pangeran Diponegoro harus diangkat menjadi raja Jawa yang baru. Kyai
Mojo mendasarkan usulannya ini karena menilai 4 raja Jawa yang lain
(Sri Susuhunan Pakubuwono VI, Sri Sultan Hamengkubuwono V, KGPAA
Mangkunegoro III, dan KGPAA Paku Alam I) telah menjadi antek-antek
Belanda sehingga mereka sudah tidak layak untuk menduduki tahta.
Semua pengikut Pangeran Diponegoro setuju dengan pendapat Kyai Mojo
ini.
Akhirnya
di Dekso Pangeran Diponegoro diangkat sebagai raja dengan
gelar Sultan Abdulhamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin
Panotogomo Kalifatullah Ing Tanah Jawa. Selain sebagai raja Pangeran
Diponegoro juga diangkat sebagai kepala agama Islam dan pelindung
semua agama. Kyai Mojo diangkat sebagai patih sekaligus penasehat
raja, Sentot dan Prawirokusumo diangkat sebagai Senopati dan Pangeran
Mangkubumi diangkat sebagai Karto Pengalasan(setingkat dengan
Pangdam Jaya saat ini-pen).
Diangkatnya Pangeran Diponegoro ini membuat para pamong praja yang
bekerja pada Kraton Yogyakarta dan Surakarta berhenti dari jabatannya
dan lebih memilih bekerja di bawah Pangeran Diponegoro.
Ketika
Pangeran Diponegoro mengangkat dirinya sebagai raja dia melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut :
Pasukan
kavaleri berkuda Sentot yang
berjumlah 400 orang itu akan ditambah dengan 600 orang pasukan
infantri-sehingga genap 1000 orang-. Pasukan
yang dipimpin Sentot ini akan disebut sebagai
Satuan Pinilih.
Dibentuk
satuan Prajurit Suroyo dengan
kekuatan 300 orang yang dipimpin oleh Abu Sungeb.
Satuan Bulkiya diperbesar
jumlahnya dari mulanya 400 orang dirubah menjadi 713 orang dan akan
dipimpin oleh Haji Muhamad Usman, Aliyabsyah, dan Haji
Abdul Kadir.
Dibentuk
pasukan baru bernama Suryogama berjumlah 300 orang yang
dipimpin oleh Dullah Haji Baharudin.
Dibentuk
pasukan Mundungan berjumlah 100
orang, dipimpin oleh Tumenggung Mertoloyo.
Pasukan Mantrijero diperbesar
dari semula 40 orang menjadi 400 orang yang dipimpin oleh Tumenggung
Puthut Lowo.
Dibentuk
pasukan Barjumat dengan kekuatan
800 orang yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro.
Tumenggung
Joyonegoro diangkat sebagai panglima perang di Jogja Selatan
dengan kekuatan 1000 pasukan.
Syekh
Haji Muda dan Raden Reksokusumo diangkat
sebagai panglima yang bertanggung jawab atas keamanan makam leluhur
Mataram di Imogiri.
Tumenggung
Karto Pengalasan, Haji Ningso dan Haji
Ibrahimbeserta pasukannya dikirim ke Kali Progo untuk mengacaukan
jalur Barat Yogyakarta.
Tumenggung
Suronegoro dan pasukannya dikirim ke perbatasan
Surakarta-Yogyakarta.
Raden
Joyo Petono diperintahkan mengamankan
Purbolinggo dan Muntilan.
Pangeran
Ontowiryo (putra Diponegoro), beserta
9 kyai dan 10 tumenggung diperintahkan memimpin perlawanan di
Bagelen.
Dari
Dekso pasukan Diponegoro kembali melakukan gerilya habis-habisan
melawan Belanda.
Pada
awal tahun 1826, Diponegoro menganggap bahwa Dekso tidak layak
menjadi ibukota kerajaannya sehingga dia mempertimbangkan untuk
memilih sebuah kota sebagai ibukotannya. Pilihan
jatuh pada Kota Plered. Plered adalah bekas ibukota Kerajaan Mataram.
Plered berhasil diduduki tanpa perlawanan dari prajurit Kraton yang
menjagannya. Akhirnya Plered dijadikan ibukota bagi Kerajaan
Diponegoro.
Sementara
itu pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran
Singosari yang berkedudukan di Gunung
Kidul diserang oleh Belanda.Pangeran Singosati mundur
sampai Imogiri, kemudian menggabungkan diri dengan
prajurit Bulkiya pimpinan Haji
Usman Ali Basyah. Akhirnya pasukan
gabungan ini menyerang Gunung Kidul dan merebutnya dari tangan
Belanda.
Di
daerah lain pasukan Belanda yang berkedudukan di Prambananberhasil
dikepung dan dihancurkan oleh Tumenngung Suronegoro.
Pada 16
April 1826 Belanda mengadakan serangan gabungan atas Plered dengan
mengerahkan Pasukan Wirobrojo (Yogyakarta), Jayengastro
(Surakarta), Legioen Paku Alaman, Legioen
Mangkunegaran, Pasukan Kontra Gerilya dan pasukan meriam
Belanda. Dalam pertempuran
habis-habisan ini Plered hampir rata dengan tanah dan korban banyak
berjatuhan dari kedua belah pihak. Serangan Belanda ini dapat
digagalkan
Tetapi
sebelum Plered jatuh, Diponegoro dan sebagian besar pasukannya dapat
melarikan diri. Akhirnya Plered pun jatuh.
Setelah
menguasai Plered, pasukan gabungan Belanda segera bergerak menuju
Dekso untuk mencegat Diponegoro di sana. Belanda yakin bahwa
Diponegoro pasti lari ke sana. Tetapi gerakan pasukan gabungan ini
dapat dibaca oleh Diponegoro, maka dia tidak kembali ke Dekso tetapi
menghadang pasukan gabungan itu di tengah hutan.
Sesampainya
di Dekso, ditemui bahwa daerah itu telah kosong. Karena sudah
kelelahan maka Pasukan gabungan Belanda itu kembali ke Yogyakarta.
Dalam perjalanan pulang pasukan itu disergap pasukan Diponegoro di
tengah hutan, dan hampir binasa seluruhnya.
Dengan
hancurnya pasukan gabungan itu maka praktis Kota Yogyakarta hanya
dipertahankan oleh prajurit Kraton Yogyakarta dan Legioen Paku
Alaman.
Diponegoro
dan pasukannya kemudian mengadakan serangan besar ke Yogyakarta.
Pasukan ini membinasakan Legioen Paku Alaman dan
mengepung Kraton. Akhirnya Belanda mendatangkan bantuan dari
Magelang. Pasukan Diponegoro berhasil didesak ke Timur dan akhirnya
melarikan diri ke Gawok.
Sesampainya
di Gawok, Diponegoro mendirikan markas barunya di sana. Di tempat
inilah Raja Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono VI menemui Pangeran
Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tidak diketahui apakah yang
mereka bicarakan. Di sinilah timbul kontroversi, walaupun Paku Buwono
VI menemui Pangeran Diponegoro dan mengetahui letak persembunyian
Diponegoro di Gawok tetapi tetap saja pasukan Kraton Surakarta
bertempur untuk Belanda walaupun Susuhunan Surakarta itu tidak
membocorkan kepada Belanda lokasi persembunyian pangeran itu.
Plered
kembali ke tangan Diponegoro...!!!
Pada
bulan agustus 1826 Belanda mengirim pasukan dari Solok untuk
merebut Delanggu. Delanggu merupakan gudang beras yang sangat
besar sehingga harus direbut. Tanpa disadari pasukan Belanda ini
sudah dikuntit oleh pasukan Pinilih pimpinan Sentot sudah
sejak dari daerah Srowot. Sementara itu pasukan Barjumat di
bawah pimpinan Diponegoro sendiri sudah menunggu di Delanggu.
Akhirnya pada 28 Agustus 1826 terjadi pertempuran besar di Delanggu
di mana pasukan Belanda berhasil dihancurkan. Setelah berhasil
mengamankan Delanggu pasukan Diponegoro-Sentot bergerak
ke arah Kartosuro sehingga
mengancam Surakarta.
Sementara
itu Kyai Kasan Basri memimpin
pasukan untuk mengamankan Gawok.
Sementara
itu pada tanggal 30 Juli 1826, pasukan gabungan Belanda dan
Yogyakarta menyerang Desa Ngalengkong. Pasukan gabungan ini
berhasil dihancurkan oleh pasukan Diponegoro. Seorang letnan Belanda
tewas dan 2 pangeran pimpinan pasukan Yogyakarta yaituPangeran
Musdaningrat dan Pangeran
Panular juga terbunuh oleh pasukan Diponegoro. Kemenangan
di Ngalengkong ini adalah kemenangan terbesar pasukan
Diponegoro sampai saat itu.
Tetapi
pada Oktober 1826 dilancarkan serangan
gabungan kembali ke Gawok. Pasukan ini terdiri dari Pasukan artileri
dan kavaleri Belanda, pasukan konra Gerilya, Pasukan
Surakarta, dan Legioen Mangkunegaran. Pasukan
ini berjumlah 4000 orang, sementara pasukan Diponegoro di Gawok
berkekuatan 6000 orang. Sementara itu terjadi perpecahan di tubuh
para panglima-panglima Diponegoro. Kyai Mojo menghendaki agar
Belanda, Surakarta, dan Mangkunegaran disambut dengan serangan
gerilya pertimbangan Kyai Mojo ini karena daerah Gawok medannya
sangat mendukung untuk gerilya dan memang itulah doktrin pasukan
sejak dimulainya perlawanan. Tetapi sebagian besar senopati
menghendaki agar serangan dilakukan secara frontal dengan
pertimbangan bahwa serangan gerilya hanya dilakukan jika jumlah musuh
lebih besar, tetapi di Gawok jumlah pasukan Diponegoro lebih besar
daripada pasukan Belanda, selain itu kemenangan dari perang frontal
lebih harum daripada kemenangan perang gerilya. Perbedaan pendapat
ini membuat Kyai Mojo dijauhi oleh para pemimpin-pemimpin yang lain
termasuk Diponegoro yang menilai Kyai Mojo terlalu keras kepala.
Pertempuran
sengit terjadi tanggal 15 Oktober
1826, korban berjatuhan dan bahkan Pangeran Diponegoro memperoleh
luka-luka di medan perang, walaupun perang ini akhirnya dimenangkan
dan banyak senopati yang bangga dengan kemenangan itu tetapi
kemenangan itu harus dibayar dengan mahal. Pertempuran di Gawok ini
menimbulkan banyak korban di pihak Pangeran Diponegoro.
Pangeran
Diponegoro kemudian mendirikan markas baru di Pengasihdaerah
di sebelah barat Yogyakarta. Sementara itu pada awal tahun 1827
Jenderal Hendrik Markus de Kock mulai mengorganisir
strateginya. Pekerjaan rumah pertama bagi de Kock adalah
membereskan Diponegoro. Langkah pertama de Kock adalah
memberikan uang sebesar 500 ringgit bagi pengikut Diponegoro yang
bersedia menyerah kepada Belanda dan hadiah sebesar 20.000 ringgit
bagi siapa yang bisa menangkap Diponegoro hidup atau mati ditambah
dengan gelar sebagai pangeran, sebidang tanah yang luas dan gaji 10
ringgit per bulan. Tetapi hampir tidak ada yang tertarik mengikuti
sayembara De Kock ini karena masih banyak orang yang cinta
pada Diponegoro. Sementara itu kekuatan Diponegoro semakin kuat saja,
wilayah pergerakannya makin luas dan aktivitas pasukannya seperti
sabotase, teror dan penyergapan mulai meningkat di daerah Surakarta,
Yogyakarta dan Banyumas.
Sementara
itu, di Rembang, pasukan Diponegoro pimpinanTumenggung Ario
Surodilogo bertempur dengan Belanda.
Pertempuran ini kemudian berlarut-larut dan melebar sampai
keBojonegoro (Jawa Timur). Pertempuran ini tidak ada yang menang
dan kalah, tetapi korban di pihak Diponegoro sangat besar
karenaSurodilogo memakai strategi
perang frontal.
Pada
pertengahan tahun 1827 De Kock mulai melaksanakan suatu
strategi yang brilian untuk mengalahkan Diponegoro. Siasat ini
disebut Benteng Stelsel. Pada pokoknya taktik ini adalah
membangun benteng-benteng secara terkonsentrasi dan acak, kemudian
antara benteng yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan
jalan-jalan besar yang memudahkan mengadakan patroli (patroli itu
harus berhenti pada titik-titik tertentu dan kemudian melakukan
pelebaran front ke samping dengan penembakan meriam serta serangan
infantri dengan bayonet), lalu pada jam-jam tertentu benteng-benteng
itu harus menembakkan meriam secara acak ke tengah hutan sehingga
membuat Diponegoro seolah-olah terkepung. Strategi brilian ini
memakan biaya yang besar karena perlu dibuat benteng-benteng baru,
menambah jumlah pasukan Kontra
Gerilya yang harus melakukan patroli di jalan-jalan yang
menghubungkan benteng-benteng tersebut dan juga menambah jumlah
meriam-meriam.
Belanda
kemudian mendirikan benteng-benteng mulai dari benteng kayu sampai
benteng batu dan beton yang kokoh. Benteng-benteng itu tersebar mulai
dari Citanduy di Jawa Barat
sampai ke Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Benteng-benteng itu berjumlah 161 buah dan didirikan di daerah-daerah
penghasil padi. Setiap benteng diperkuat oleh 300 prajurit infantri,
20 meriam dengan 40 operator.
Patroli-patroli
terus diadakan di jalan yang menghubungkan benteng yang satu dengan
yang lain. Tiap patroli berkekuatan 75 infantri dilengkapi 1 meriam
dan 15 prajurit berkuda.
Strategi
ini segera diketahui oleh pasukan Diponegoro, maka beliau pun
menjalankan strategi yaitu menyerang benteng-benteng yang belum
selesai dibangun. Karena menyerang benteng yang sudah jadi sangatlah
susah. Tetapi De Kock tidak kalah cerdik. Dia perintahkan
pasukan Yogyakarta dan Surakarta untuk ikut mengawal proyek-proyek
pembangunan benteng itu, sehingga menyulitkan pasukan Diponegoro.
Dalam usaha menyerang proyek pembangunan benteng
di Tegalwaru, Grogol, Pasar
Gede, Bligo, Naggulan, Tegal Waru danSentolo banyak
korban jatuh di pihak Diponegoro.
Setelah
161 benteng didirikan, maka De Kock yakin front Diponegoro
sudah dapat dipersempit. Untuk memperkuat kepungan maka didirikan
benteng baru di Bantul, Kanigoro, Minggir, Tegalwaru(hanya
diperkuat), Pulawatu, Kejiwan, Telagapinon, Damalaya, Kemulaka,
Pasar Gede (diperkuat), Jatinom, dan Delanggu.
Untuk
lebih dekat dengan front, pada awal tahun 1828 Jenderal De
Kock memindahkan markasnya ke Magelang. Mengetahui hal ini
Diponegoro segera merencanakan menyerang Magelang. Pasukan
diperintahkan menyerang benteng Belanda di Bukit Menoreh. Tetapi
karena takut kehilangan banyak pasukan, Diponegoro mengganti taktik,
benteng tidak jadi diserang tetapi hanya diputari. Pasukan Diponegoro
memutari sebelah Barat bukit, menyeberangi jalanMergoyoso antara
Bagelen dan, Purworejo dan Salaman kemudian sampai di Kajoran.
Gerakan tak terduga ini membuat Magelang terancam dari Barat. Tetapi
serangan ke Magelang ini dibatalkan karena tidak mungkin mengadakan
serangan gerilya ke Magelang yang dijaga ketat, sedangkan jika nekat
melakukan serangan frontal dikhawatirkan akan jatuh korban besar.
Stretegi Benteng
Stelsel ini membuahkan hasil. Kepungan dari de Kock yang
semakin rapat membuat pasukan Diponegoro menderita sehingga banyak
yang akhirnya menyerah.
Pasca
pertempuran di Gawok, Kyai Mojo banyak dijauhi oleh para senopati.
Hal ini yang kemudian menyebabkan Kyai Mojo lebih banyak berdiam
diri. Pada Juli 1828, Kyai Mojo meminta ijin kepada Diponegoro untuk
kembali ke daerah Pajang dengan
tujuan untuk merekrut barisan santri baru untuk memperkuat pasukan
Diponegoro (walaupun alasan sebenarnya adalah karena ia dijauhi oleh
hampir semua senopati).
Dalam
perjalanannya ke Pajang ini Kyai Mojo dan pasukannya telah dikuntit
oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letkol. Koeps. Sebelum
masuk Pajang, Koeps dan
pasukannya segera menggempur Kyai Mojo dan pasukannya. Kyai Mojo
terdesak dan minta berunding. Pada tanggal 31 Oktober 1828 Kyai Mojo
dibawa ke Mlangi untuk berunding
dengan Belanda tetapi perundingan ini gagal. Pada tanggal 5 November
1828 diadakan perundingan di tempat yang sama tetapi gagal lagi.
Akhirnya Belanda sadar Kyai Mojo hanya mengulur waktu, kemudian kyai
itu melanjutkan perjalanan lagi ke Pajang meneruskan gerilya. Tetapi
sampai di Pajang rombongan pasukan itu dicegat oleh pasukan Belanda
pimpinan Letkol. Le Bron de Vessela. Kyai Mojo berhasil disergap
dan dibawa ke Klaten. Senjata pasukan
Kyai Mojo dilucuti (ada sekitar 50 pucuk senapan dan 300 tombak).
Kyai Mojo kemudian dibawa ke Surakarta, kemudian digiring ke Salatiga
lalu ke Semarang dan diangkut dengan kapal ke Batavia.
Walau
bagaimanapun tertangkapnya Kyai Mojo ini merupakan pukulan berat bagi
Diponegoro. Tertangkapnya Kyai Mojo juga menjadi bukti betapa kini
pasukannya tidak lagi bebas bergerak seperti dulu lagi.
Sementara
itu Sentot beserta
pasukan Pinilih nya melakukan
serangan ke Kali Progo untuk menerobos kepungan Benteng
Stelsel Belanda.Sentot berhasil
menyeberangi Sungai Progo. Sentot melanjutkan
menyerang Pengasih dan Wates.
Di belakang Sentot pasukan
dipimpin oleh Sumonegoro menyeberangi
Sumgai Progo dan menyerang tangsi Belanda di Grogol. Tetapi sayang
serangan brilian dari Sentot dan Sumonegoro ini
tidak mendapat dukungan logistik yang memadai sehingga sia-sia dan
terpaksa mereka harus mundur.
De
Kock kemudian memerintahkan pasukannya untuk menguasai
daerah-daerah subur dan mempertahankannya habis-habisan sehingga
diharapkan Diponegoro hanya menguasai daerah-daerah tandus yang dapat
membahayakan jalur logistiknya. De Kock juga mengamankan
daerah-daerah aliran sungai.
Untuk
mengamankan jalur pangan tentaranya Diponegoro melakukan ofensif
besar-besaran di Sungai Progo. Tetapi gagal karena kuat dan
teraturnya pertahanan Belanda.
Di
sisi lain, pasukan Belanda makin besar jumlahnya karena banyak
pasukan dari laur Jawa yang masuk.
Pada
tanggal 20 Desember 1828, Sentot dan pasukan Pinilih nya
kembali melakukan gerakan ofensif untuk menyerang benteng Belanda
di Naggulan.Dalam serangan ini benteng itu jatuh dan seorang
kapten Belanda bernama Van Langen tewas. Belanda kemudian
meyadari bahwa Sentot ini
berbahaya dan tidak bisa diremehkan. Belanda kemudian mengirim surat
kepada Sentot untuk
menyerah dan dijanjikan akan diberi hadiah yang melimpah. Tawaran itu
ditolak mentah-mentah oleh Sentot.
Terinspirasi
kemenangan Sentot maka Diponegoro
bermaksud untuk merebut Bagelen. Serangan ini akan mengikutsertakan
pasukan yang dipimpin oleh Diponegoro sendiri, Gusti Bei, Raden
Basah Prawirodirjo, Basyah Gondokusumo, Basah Ngadul Muhyi danBasah
Prawirokusumo serta mengikutertakan
prajurit Bulkiya, Surogomo, Suronoto, dan Mantrijero.
Dalam serangan frontal yang besar ini lagi-lagi jatuh banyak korban
dan Bagelen gagal ditaklukan. Dan sebaliknya Belanda menyiapkan
ofensif balasan.
Raden
Basah Prawirodirjo yang sedang dalam
perjalanan mundur disergap oleh Belanda di Pengasih dan
ia dapat melarikan diri meskipun pasukannya dibinasakan. Sementara
itu Pangeran Notoprojo sedang
dalam perjalanan mundur ke sebelah timur diserang oleh Belanda di
Selatan Yogyakarta, Notoprojo dan
pasukannya mundur ke timur tetapi di sana sudah menunggu pasukan
gabungan Belanda-Surakarta-Mangkunegaran. Akhirnya Notoprojodan
850 pasukannya menyerah.
Kekalahan
di Kedu ini berdampak memudarnya kepercayaan diri para senopati
perang di pihak Diponegoro. Pangeran
Suryo Mataram danPangeran Aryo
Prangwadono menyerahkan diri pada
Belanda. Kemudian Nyi Ageng Serang menyatakan berhenti
berperang karena usianya yang sudah tua dan memilih untuk berdamai
dengan Belanda.
D.
Akhir Perang Jawa
Tahun
1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di
tahun itu pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi
dan justru inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut
Diponegoro banyak yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak
kuat dengan cobaan dan perang gerilya.
Sementara
itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di Pengasih
dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang
bergunung-gunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan
menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapide Kock segera
membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga
gerakan Diponegoro dapat dibatasi.
Pengepungan
atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam
keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang
gerilya.
Banyak
pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda.
Sementara
pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di
Hidia-Belanda. Komisaris Gubernur
Jenderal Du Bus yang menjalankan
pemerintahan sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada
tahun 1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di
tubuh militer sendiri terjadi rotasi pergantian, De
Kock diangkat sebagai panglima militer
untuk seluruh Hindia-Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di
Jawa daingkat Mayor Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum
menunaikan tugasnya Bisschof meninggal
karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta
agar tetap dipercaya memimpin langsung penumpasan terhadap
Diponegoro.
Di
tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat
perubahan taktik ini Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen,
sebagian sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini
semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang
brilian.
De
Kock membalas gerakan Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah
serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen direbut, Sungai Bogowonto
diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan dilanjutkan
keLedok dan Karangkobar. Dua
daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini
Belanda memakai pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan
pasukan Belanda sendiri.
Kemudian
pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-Kanigoro. Mereka lalu
bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta. Kedua pasukan ini
segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin olehAdipati
Urawan dan Pangeran
Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil didesak, sementara
itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro
bermaksud membantu pasukan Adipati Urawandan Pangeran
Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan Haji Usmanjuga
ikut serta bergerak untuk memberi bantuan. Tidak ketinggalan
pula Gusti Basah (putra
Diponegoro) bersama pasukannya turut bergerak memberi bantuan.
Di
lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak
memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan
Yogyakarta dan Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen
Mangkunegaran. Pasukan Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan
gabungan pasukan Diponegoro berjumlah 5000 orang bertemu diDesa
Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit. Walaupun Belanda tidak bisa
dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit Diponegoro tewas dalam
pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiyayaitu Haji
Usman tewas.
Pada
tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda.Basah
Prawirokusumo terkena pecahan meriam
dan lumpuh dalam serangan Belanda itu. Sementara Tumenggung
Banyak Wedimenyerah pada pimpinan pasukan Belanda (Kapten Busseheus).
Pada
tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger
diserang. Gudang dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut
diratakan.Gusti Bei yang terluka melarikan diri sementara Raden
Joyonegoromeneruskan perlawanan sampai dia mati. Dengan
direbutnya Gegermaka suply amunisi pasukan Diponegoro sangat
terganggu.
Pada
30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin
pasukan menyerang sebuah desa yang dicurigai sebagai markas pasukan
Diponegoro. Dalam sergapan itu berhasil ditangkap Raden Hasa
Mahmud danPangeran Anom
Diponegoro (putra tertua Pangeran
Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh Anom
Diponegoro jika Diponegoro tidak
menyerah. Tetapi ancaman ini tidak digubris. Akhirnya Anom
Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal
31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas
Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden
Mas Surdimenyerah pada Belanda. Belanda kemudian meminta
kepadaPangeran Mangkubumi untuk menyerah dan memberitahukan
letak persembunyian keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para
panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu tidak dijawab.
Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah
pimpinan pasukan Jogokaryo yang
bertanggung jawab atas keamanan keluarga Pangeran Diponegoro dan
keluarga para panglima perang lain.
Pada
bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung
Wiryodirjo dan ratusan pengikutnya
menyerah pada Belanda menyusul kemudian Tumenggung Surodeksono,
Pangeran Pakuningrat beserta
pengikut-pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom(istri kedua Pangeran
Mangkubumi) juga menyerah beserta 50 orang pengikutnya.
Pada
tanggal 28 September 1829, Pangeran Mangkubumi akhirnya
menyerah setelah keluarga-keluarga panglima perang yang dilindunginya
dikembalikan pada Pangeran Diponegoro.
Pada
tanggal 30 September 1829, pukulan kembali terjadi. Gusti Beidan
kedua putranya Joyokusumo dan Harnokusumo disergap
oleh Belanda di Desa Sangir dan
mereka semua gugur.
Satu-satunya
senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan
hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi
pasukan Sentot sendiri mengkhawatirkan karena kekurangan
bahan makanan dan terputus jalur logistiknya. Akhirnya dengan
perantaraan Bupati Madiun, Belanda melakukan perundingan
denganSentot. Sentot bersedia
menyerah dengan syarat sebagai berikut :
Diberi
uang sebesar 10.000 Ringgit
Tetap
memimpin pasukan Pinilih nya
Diberi
500 pucuk senapan.
Tetap
memeluk agama Islam
Sentot dan
pasukannya tetap diijinkan memakai surban
Belanda
memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya
pada tanggal 17 Oktober 1829 Sentot menyerah pada Belanda
di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan
pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati jalan-jalan kota
Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah sebagai tanda
penghormatannya. Sentotkemudian
menghadap Sultan Hamengkubuwono V di kraton.
Oleh
Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie dengan
gaji 100 ringgit per bulan.
Akhirnya
pada Bulan Ramadhan 1830 M Belanda menjalankan siasatnya. De
Kock mengundang Diponegoro untuk melakukan perundingan
perdamaian di kantor Residen Kedu di Magelang. Diponegoro yang saat
itu masih berpuasa dan pantang berpikiran buruk menyanggupi undangan
itu. Berangkat ke Magelang Diponegoro hanya dikawal oleh 25 orang
berkuda.
Sesampainya
di Magelang Diponegoro menemui de Kock dan diadakan
perundingan. Pada intinya Diponegoro menuntut sebuah wilayah
setingkat kadipaten dan dirinya diangkat sebagai raja adipati
(seperti Manngkunegoro di Solo), selain itu ia juga meminta
memecat Paku Alam. Perundingan tidak mencapai kata sepakat, dan
Diponegoro bermaksud keluar dan kembali ke markasnya. Sebelum keluar
dari kantor Residen Kedu Diponegoro ditangkap dan dimasukan ke dalam
kereta kuda. Pengikut Diponegoro berusaha untuk membebaskan tetapi
dicegah oleh Pangeran Diponegoro yang mengingatkan bahwa saat itu
adalah bulan puasa sehingga pantang untuk membunuh atau berperang
pada bulan itu. Akhirnya 25 pengikut Diponegoro menyerah sambil
menangis.
Diponegoro
dibawa ke Semarang kemudian diangkut dengan kapal ke Batavia dan
dihadapkan pada Gubernur Jenderal Van den Bosch. Kemudian dibawa
ke Manado. Di sana Diponegoro dan pengiringnya hidup dengan uang 600
gulden/bulan.Setelah beberapa lama, beliau dipindahkan ke
Benteng Fort Rotterdam, Makassar sampai beliau wafat pada 8
Januari 1855.
Setelah
berakhirnya perlawanan Diponegoro Belanda kemudian mengetahui bahwa
Sri Susuhunan Paku Buwono VI telah menemui Diponegoro saat berada di
Gawok dan memberikan uang sebesar 25.000 ringgit kepada Diponegoro
akhirnya sebagai hukuman maka Paku Buwono VI harus menyerahkan
beberapa wilayahnya di daerah Salatiga. Susuhunan Surakarta itu
kecewa karena Belanda dianggap tidak adil padahal banyak juga
prajurit Surakarta yang mati karena membantu Belanda melawan
Diponegoro. Kemudian Susuhunan merencanakan pemberontakan, tetapi
tercium oleh Belanda. Ketika Paku Buwono VI sedang melakukan ziarah
ke Imogiri dia ditangkap dan dibuang ke Ambon (1830) sampai beliau
wafat pada tahun 1849.
Sementara
itu sebagai jaminan agar pemberontakan Diponegoro tidak terulang lagi
Kraton Yogyakarta harus menyerahkan daerah Bagelen, Banyumas, dan
Kedu kepada Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono V dan
penerus-penerusnya diangkat sebagai Mayor Jenderal Tituler Kerajaan
Belanda dan tetap memegang kekuasaan atas Kraton dengan pengawasan
seorang Gubernur Belanda yang berkedudukan di dekat Kraton. Sementara
pasukan Kraton dikurangi jumlahnya dan tidak boleh lebih dari 500
orang.
Setelah
Paku Buwono VI ditangkap, paman dari Paku Buwono VI yaitu Gusti
Raden Mas Maliki Salikin diangkat
sebagai Paku Buwono VII dan diangkat sebagai Jenderal Mayor Tituler
Kerajaan Belanda dan dalam menyelenggarakan pemerintahan diawasi oleh
Residen Belanda yang juga berkedudukan di dekat Kraton Surakarta
dekat degan benteng Vrestensburg di
depan kraton. Prajurit Kraton Surakarta juga dikurangi.
Selain
itu untuk mencegah munculnya kembali
perlawanan dari Diponegoro-Diponegoro baru, kebijakan-kebijakan
Belanda di Yogyakarta dan Surakarta diperlunak, kedua
kerajaan-kerajaan itu diberi status Vorstenlanden (daerah
istimewa) di mana kedua daerah itu menjadi daerah bebas pajak. Kraton
diberi hak untuk mengurusi pajak dan raja dari Surakarta dan
Yogyakarta digaji oleh pemerintah Belanda, sementara
birokrat-birokrat kraton akan dibayar oleh kraton sendiri.
Karena
itulah Surakarta dan Yogyakarta tumbuh menjadi sentra ekonomi
industri yang tumbuh pesat walaupun pada prakteknya Belanda tetap
mendominasi ekonomi dan politik di Surakarta dan Yogyakarta.
Belanda
kehilangan 8.000 prajurit berkebangsaan Belanda, 7.000 orang
berkebangsaan Indonesia, kerugian di pihak rakyat sipil adalah
200.000 orang mati dan kerugian materiil sebesar 20 juta gulden yang
menyebabkan kas pemerintah Belanda semakin defisit.