Powered By Blogger

Minggu, 27 November 2011

CELANA DALAM dan BURUH

Cerpen
at home
12:55
By cak noer



Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama
"Cundaliiii!!"
jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!"
Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!"
jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!).
Sundari tetap tidak mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?"
berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. 
Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.

***

"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo

Sabtu, 26 November 2011

Tetralogi Andrea Hirata

Referensi Buku
at home
03:13
cak noer


Memang sudah basi informasinya, namun pesona hasil karya seorang novelis muda Indonesia ini tak pernah pudar, saya memang tak punya bukunya, namun pernah membaca jilid 1 dari tetraloginya, "laskar pelangi", dan menonton filmnya, begitupun dengan jilid ke dua, "sang pemimpi", belumlah saya baca bukunya, namun filmnya sudah beberapa kali saya tonton.

"Laskar Pelangi", memang awalnya saya tak mengetahui bahwa film itu diawali oleh ide cerdas sang novelis ini, setelah menonton filmnya, barulah saya baca novelnya, tak perlu membeli, karena salah seorang teman, dengan baik hati meminjamkannya. Satu kata penilaian saya untuk novelnya, HEBAT, lebih hebat daripada filmnya. Ketika saya menonton filmnya, memang, film yang bagus, penuh semangat dan menguras emosi, tapi ketika saya membaca bukunya, lebih hebat lagi, kita dibawa ke alam nyata pengalaman sang penulis, namun dalam penalaran khayalan dimensi yang berbeda. Emosi kita dibawa lebih dalam, ke setiap tokoh dengan karakternya sendiri-sendiri, bermain dalam dunia kata-kata dan imajinasi.

Kemudian, buku keduanya, "sang pemimpi", mengingatkan kita, agar memiliki mimpi, karena dengan mimpi manusia memiliki cita-cita yang harus diperjuangkan dengan segenap kemampuannya. Kejadian-kejadian lucu, masih menjadi magnet dari san novelis, mungkin agar para pembacanya tidak bosan dengan apa yang diceritakannya dalam buku ini, yang sebenarnya bukanlah hal unik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membaca dan menonton filmnya, membuat saya percaya dan tetap memelihara mimpi dan cita-cita saya agar menjadi kenyataan.

Tentang buku ketiga "Edensor" dan buku keempat "Maryamah Karpov", belumlah saya baca bukunya, namun menurut informasi yang saya terima dari beberapa teman-teman yang sudah membacanya, dua buku itu sesuatu yang harus dibaca, diselami pendalaman pengalaman sang novelis dalam berpetualang di beberapa negara Eropa dan kepulangannya ke kampung halaman, yang sekali lagi dilalui dengan tidak mudah. Itu semuanya terjadi karena dia masih memelihara mimpi indahnya untuk diusahakan menjadi kenyataan.

Jadi, kenapa kita harus melewatkan tetralogi karya novelis muda bangsa ini yang jenius? Jika anda adalah petualang buku, "seharusnya" anda memiliki salah satu karya terbaiknya dan jika anda sorang "pemimpi", bermimpilah dengan dengan indah sambil membaca "laskar pelangi" dan "sang pemimpi", kemudian bangkit berusaha dengan segenap kemampuan dengan membaca "Edensor" dan "Maryamah Karpov"

Note : BukaBuku.com  memberikan special price untuk tetralogi ini

Rabu, 23 November 2011

Tetralogi Buru


23 November 2011
14:51


tetralogi Buru bisa dibilang merupakan satu upaya Pramoedya Ananta Toer untuk menjawab apa itu menjadi Indonesia. Di akhir tahun 50an, ketika perkara menjadi Indonesia sedang hangat, jika tak bisa dikatakan panas, ia mulai memikirkan satu seri novel yang bisa mencari dan melacak jejak-jejak nasionalisme Indonesia.

Jawaban Pramoedya adalah kembali ke akhir abad 19 hingga awal abad 20. Itulah memang masa subur benih-benih nasionalisme Indonesia mulai disemai dan bertunas. Dalam hal ini, Pramoedya berhasil menemukan tokoh ideal anak kandung semangat ini: Tirto Adhi Soerjo. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno, atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka, tapi seorang wartawan sekaligus penulis roman.



Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) merupakan perintis suratkabar dan kewartawanan nasional. Melalui Tirto, Pramoedya bisa mencomot simbol-simbol nasionalisme Indonesia. Terutama karena Tirto merupakan pendiri suratkabar pertama berbahasa Melayu, Medan Prijaji. Tirto ini pula yang mengerti fungsi organisasi sebagai motor gerakan nasional, dengan membentuk Sarekat Dagang Islam.

Begitulah Pramoedya kemudian mempergunakan Tirto sebagai model untuk tokoh Minke dalam tetralogi Buru. Karya ini terdiri dari empat rangkaian novel, yang saling bersambung sekaligus masing-masing bisa dianggap karya terpisah: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), danRumah Kaca (1988).
Sekaligus melalui karya tersebut, Pramoedya memperlihatkan betapa nasionalisme Indonesia pada dasarnya merupakan anak kandung yang sah dari modernisme (sekali lagi modern-isme) Indonesia. Barangkali bahkan bisa dikatakan, tetralogi Buru sebagai sebuah karya modern dalam makna yang sesungguhnya: di sana lah “identitas” menjadi penting dan manusia serta kemanusiaan menjadi perkara utama di atas segalanya. Dengan kata lain, modernisme merupakan tema pokok karya ini dan dari sanalah bagaimana nasionalisme Indonesia dibentuk.
Digambarkan Minke merupakan protagonis dengan latar belakang anak priyayi, feodal Jawa. Itu menjadi latar belakang yang kontras karena kemudian Minke bicara mengenai pencerahan, revolusi Prancis, serta kesetaraan (misalnya dikisahkan bagaimana ia lebih suka memilih bahasa Melayu yang tak mengenal strata daripada bahasa Jawa yang berjenjang-jenjang).
Tokoh ini bukan tanpa karakter tragik sama sekali: di satu sisi ia mencoba membebaskan diri dari kungkungan feodalisme, di sisi lain ia demikian terpukau oleh modernisme yang dibawa oleh orang Eropa; keterpukauan yang kadang harus diingatkan oleh teman-teman Eropanya juga. Di satu sisi ia belajar dari orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari belenggu tradisinya, namun sekali lagi, di sisi lain ia harus melawan orang-orang Eropa ini demi merebut kembali tafsir akan kepribumiannya. Jangan dilupakan pula: ia jatuh cinta kepada gadis Indo, gadis Cina, dan puteri Maluku. Di sini ada sejenis kritik tersembunyi: semuanya dilihat dari kepala orang Jawa (Minke), dan menjadi “modern” seolah-olah sekadar menjadi “tidak Jawa” (atau menikah dengan bukan orang Jawa).
“Modern” tak hanya layak dimateraikan kepada novel-novel ini menyangkut temanya, melainkan juga atas bagaimana karya ini ditulis Pramoedya. Ditulis dalam bentuk sejenis memoar, tetralogi Buru memperlihatkan karakter utama dari apa yang disebut modern: segala sesuatu dipersonifikasikan ke dalam diri, subyek. Begitulah bagaimana Indonesia, tepatnya sejarah Indonesia yang sedang bergerak di pergantian abad itu, dilihat dari cara pandang Minke. Meskipun begitu, di beberapa tempat kita bisa menemukan bagaimana subyek ini bergerak dari tokoh satu ke tokoh lain (misalnya Nyai Ontosoroh), hanya untuk menemukan semesta tetap dilihat dengan cara dipersonifikasi.
Secara mengejutkan, di novel keempat, Rumah Kaca, kita menemukan apa yang selama ini menjadi subyek, tak lebih dari obyek. Hanya dengan cara mengetahui apa itu “modern” bisa mengerti permainan ini.
Di novel ini, tafsir mengenai ke-indonesia-an jelas bukan sesuatu proyek gemilang yang berakhir bahagia. Minke meninggal di masa ketika kebanyakan orang justru mulai melupakannya, sendirian dan terasing. Demikian pula penafsiran ini tak juga kunjung gemilang ketika novel tersebut mulai dipikirkan pengarangnya. Barangkali Pramoedya tak akan pernah menuliskan tetralogi Buru seandainya apa yang disebut Indonesia telah terang-benderang dan tak ada masalah. Kenyataannya di awal tahun 60an keadaan demikian gawat: persaingan antara Partai Komunis dan militer nyata terlihat; Soekarno memimpin dengan demokrasi yang “terpimpin”; perang dingin merongrong di luar dan di dalam perbatasan. Tetralogi Buru bisa dikatakan merupakan usaha lebih lanjut Pramoedya dari apa yang telah dilakukan Tirto Adhi Soerjo setengah abad sebelumnya.
Novel ini seolah melengkapi nasib tragik untuk menemukan tafsir menjadi Indonesia yang diangankannya. Meskipun telah direncanakan sejak akhir tahun 50an, tetralogi Buru baru ditulis sekitar dua belas tahun kemudian, di dalam tahanan.
Inilah yang diperoleh Indonesia dalam usahanya menjadi “modern” di tahun 65. Pemberontakan yang gagal oleh segerombolan orang yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September, menjadi awal perburuan orang-orang Komunis dan simpatisannya. Pramoedya yang dikenal sebagai salah satu ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia, menjadi salah satu yang kemudian ditangkap oleh tentara. Itu kali ketiga ia masuk tahanan: pertama kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda di masa agresi militer karena ketahuan membawa selebaran gelap, kedua ditahan A.H. Nasution di masa Soekarno karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia, yang membela keberadaan etnis Cina.
Ia sempat ditahan di penjara Salemba, kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Pada tanggal 16 Agustus 1969, Pramoedya memulai hari-hari pembuangannya yang terentang hingga 10 tahun di Pulau Buru, sebuah pulau di bagian selatan Maluku. Bersama ribuan tahanan politik lainnya, ia menebang kayu, membuka lahan, berternak ayam, dan dilarang menulis. Izin untuk menulis baru ia terima empat tahun kemudian, dan dari sanalah ia menulis beberapa karya penting, di antaranya empat serangkai novel yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai Karya Buru, mengacu ke tempat novel-novel itu ditulis dan pengarangnya ditahan.
Novel pertama, Bumi Manusia, terbit setahun setelah Pramoedya dibebaskan tahun 1979, melalui penerbitan yang didirikannya bersama teman sesama veteran Pulau Buru, Hasta Mitra. Disusul novel kedua, Anak Semua Bangsa enam bulan kemudian. Meskipun memperoleh sambutan penuh antusias dari pembaca, kedua novel ini ditanggapi dengan sinis oleh pemerintah: dibreidel. Seorang mahasiswa bahkan harus masuk penjara karena menjual novel ini. Melalui Hasta Mitra, dengan gigih Pramoedya terus menerbitkan karya-karya burunya, dan dengan gigih pula, Kejaksaan Agung terus membreidelnya.
Inilah harga yang harus dibayar novel “modern” di Indonesia yang konon “modern”.