Kejaran tentara Belanda
dan bertebarannya mata-mata NICA di masa revolusi membuat Sukarno mencari cara
untuk menghindari penangkapan. Dia akhirnya memutuskan untuk mengajak para
pejabatnya masuk ke lokalisasi. Di sanalah mereka mengadakan rapat untuk menghindari
endusan lawan.
Selain aman, lokalisasi merupakan sumber informasi akurat.
“Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia,” kata Sukarno kepada Cindy
Adams yang menuliskannya di Untold Story: Bung
Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Revolusi tak hanya menarik kalangan terpelajar atau
pemuda-tentara untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pekerja
seks, maling, dan rampok pun banyak yang terlibat. Perempuan pekerja seks yang
berjuang umumnya bertugas mengumpulkan informasi dan menyabotase musuh.
Ide untuk mengikutsertakan perempuan pekerja seks dan para
kriminil dalam perjuangan datang dari Mayor Jenderal dr. Moestopo ketika
dicurhati Sultan Hamengku Buwono IX tentang membludaknya pengungsi di masa
revolusi. Yogya menjadi penuh sesak, kumuh, dan dilanda krisis pangan. Situasi
ruwet itu mengakibatkan kriminalitas meningkat.
Moestopo bepikir, daripada para kriminil itu menyusahkan sesama
rakyat yang sedang berjuang, lebih baik diajak berjuang. Para copet, maling,
rampok, dan pekerja seks di seluruh Yogyakarta lalu dikumpulkan dalam satu
barisan bernama Barisan P. Beberapa kriminil dari Surabaya dan Gresik juga ikut
direkrut.
Moestopo meminta bantuan tentara, salah satunya Kolonel TB
Simatupang, untuk melatih para pejuang dari “dunia hitam” itu berdisplin dan
melek ilmu dasar kemiliteran. Malam-malam, Moestopo mendatangi Simatupang untuk
memintanya mengajar mereka dasar-dasar kemiliteran.
Namun, cara mengajar yang diminta Moestopo cukup aneh.
Simatupang dibawa ke sebuah ruangan agak gelap. Di ruangan itu, para
perempuan muda sudah berdiri rapi dengan mata tertutup. “Saya tak bisa
mengenali mereka,” kata Simatupang seperti dimuat Sinar Harapan, 30
September 1986.
Sekira 100 personil Barisan P lalu mengikuti Moestopo pindah ke
Subang. Mostopo menamakan pasukan itu Terate (Tentara Rahasia Tertinggi), yang
terbagi menjadi Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelatjoer (BWP).
Banyak perwira lain, seperti Kahar Muzakkar dan Zulkifli Lubis,
juga punya Barisan P. “Saya sempat diminta melatih pasukan dari bekas kriminal
Nusakambangan yang dibentuk Kahar,” ujar Kol. (Purn.) Maulwi Saelan kepada Historia. Seperti Maulwi, Kotot Sukardi juga pernah ditugaskan
membawahi Barisan P di Yogyakarta.
Barisan P Kotot selain diajari dasar-dasar kemiliteran dan telik
sandi juga dilatih menyanyikan lagu nasional dan menerima pendidikan
kebangsaan. “Selain dilatih jadi mata-mata mereka juga mendapat pelatihan film
dan drama. Setelah revolusi selesai, perempuan Barisan P ini diajak main film
oleh Kotot Sukardi,” kata Galuh Ambar Sasi, penulis “Menjadi (Manusia)
Indonesia” yang dimuat dalam buku Pluralisme dan
Identitas pada Historia.
Wilayah operasi Barisan P Kotot meliputi Malioboro, Kuncen,
Kepatihan, alun-alun, Bong Suwung, dan sekitar Stasiun Tugu juga Lempuyangan.
Para pekerja seks di Barisan P itu mengorek informasi lawan di atas ranjang
saat melayani para pembeli jasa yang merupakan pribumi pro-Belanda. Para tentara
hidung belang yang menjadi pelanggan mereka tak sadar kalau si perempuan terus
menggali informasi darinya, mulai dari jalan tikus ke markas Belanda hingga
rute pelarian.
Barisan P Kotot sejak awal hanya ditugaskan untuk jadi
mata-mata. Sementara, BWP punya tugas lebih. “BWP itu memang sengaja dikerahkan
untuk menghancurkan tentara musuh. Semacam psycho-war. Namun karena tidak ada kontrol, malah menularkan
penyakit ke pejuang Indonesia sendiri, kayak senjata makan tuan,” kata Galuh.
Seringkali, para pelacur tak hanya mengumpulkan informasi tapi
juga ikut membantu menyabotase musuh. Sementara, anggota Barisan P lain punya
tugas masing-masing. Pengemis bertugas nguping pembicaraan
musuh, pencopet ditugaskan mencopet orang kaya di pasar dan menggondol perlengkapan
milik tentara Belanda, sementara perampok biasanya menyambangi rumah orang kaya
untuk menggasak harta mereka untuk membiayai revolusi. Tindak-tanduk Barisan P
ini, tulis Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi
di Indonesia 1945-1949, menimbulkan keresahan dan kekacauan di
kalangan tentara Belanda.
Namun, keresahan juga muncul di sebagian kalangan kiblik akibat
ide nyeleneh Moestopo merekrut pekerja seks untuk ikut dalam barisan
perjuangan. Majalah Revolusioner edisi
III, 19 Januari, dalam editorialnya menulis kritiknya atas kebijakan yang
membuat banyak orang bersemangat ingin masuk Barisan P itu. Dengan ikut Barisan
P, kata editorial itu, sama saja merendahkan harga diri.
“Banyak gadis yang mengajukan namanya untuk dicatat sebagai
anggota Barisan P. Malahan sudah ada yang jadi opsir pengemis. Kalau begitu
terus lama-lama orang tua yang sama akan mengadakan protes keras karena anaknya
gemar menjadi kere.”
Padahal, setelah perang usai beberapa perempuan anggota Barisan
P tak lagi jadi pekerja seks. Beberapa di antaranya menikah dengan teman
seperjuangan. Kedaulatan Rakyat edisi
3 Mei 1946 memberitakan, ada pernikahan tiga pasang anggota Barisan P. “Kalau
dalam pernikahan biasanya pakai salam-salaman, pernikahan anggota Barisan P ini
pakai pekik merdeka. Mereka begitu dihargai setelah revolusi usai. Istilahnya munggah bale, naik pangkat,” kata Galuh.
Disadur dari majalah Historia