Powered By Blogger

Rabu, 22 Juli 2015

Determinasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional

Tulisan ini sebenarnya adalah skripsi saya ketika akan menyelesaikan program Sarjana Hukum Islam di Sekolah Tinggi Al Aqidah Jakarta. Keinginan saya untuk memposting di blog ini untuk dokumentasi saya agar skripsi saya tidak lapuk dimakan teknologi.


BAB I
PENDAHULUAN

A.        LATAR BELAKANG
            17 Agustus 1945 adalah peristiwa politik dimana Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat, berkat perjuangan yang tiada hentinya dari semua elemen bangsa ini. Kedaulatan ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan (machstaat). Oleh karena itu maka dibutuhkan norma - norma hukum untuk mengatur perilaku berbangsa dan bernegara bagi segenap rakyat Indonesia.
            Masa Indonesia merdeka adalah saat paling penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Nilai kepentingan itu bukan saja tergantung pada hadirnya kemerdekaan, tetapi lebih jauh juga akan membawa perubahan nilai-nilai yang revolusioner dalam tata hukum di Indonesia. Bagi Hukum Islam atau Syariat Islam, hal tersebut merupakan sebuah perjuangan bisa atau tidaknya konsepsi Islam yang mendasarkan kepada keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat bisa ditegakkan dan menjadi dasar tata hukum di Indonesia.[1]
            Founding father bangsa ini menyadari betul bahwa hal ini adalah merupakan ground basic bagi sebuah bangsa selain ideologi tentunya, maka dari itu sebelum kemerdekaan bangsa ini diproklamasikan, para tokoh bangsa ini melakukan musyawarah untuk mufakat, menentukan ideologi dan hukum apa yang nantinya akan digunakan oleh bangsa ini. 
            Salah satu peristiwa politik menjelang kemerdekaan Indonesia ialah didirikannya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Maret 1945. BPUPKI yang beranggotakan 68 orang, terdiri dari berbagai unsur kekuatan politik dan masyarakat Indonesia. Sidang BPUPKI diarahkan pada perumusan dan pembuatan rancangan Undang Undang Dasar.  Perdebatan serta diskusi di antara anggota yang mewarnai jalannya sidang mencerminkan sebuah toleransi. Mereka lebih menonjolkan kesatuan dan kebersamaan, yang kelak mewarnai rumusan-rumusan Undang Undang Dasar yang kemudian menjadi UUD 1945.[2]
            Saat itu terdapat dua kelompok besar yang secara ideologi berbeda dalam memandang masa depan bangsa ini, kedua kelompok itu adalah kelompok Islam dan kelompok kebangsaan. Para tokoh Islam tentunya ingin agar ideologi bangsa ini adalah Islam dan konsekuensi logisnya adalah syariat Islam akan diberlakukan secara mutlak, sedangkan para tokoh kebangsaan berpendapat bahwa bangsa ini berdiri dikarenakan begitu besarnya pluralitas yang ada dalam bangsa ini, sehingga dibutuhkan sebuah ideologi yang mengakomodir pluralisme itu.  Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Yamin,
Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah ; faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan agama, dengan lain perkataan: bukan negara Islam”[3]
            Namun para tokoh bangsa dari dua kelompok tersebut bukanlah para tokoh yang tidak memahami artinya sebuah persatuan dan kesatuan, dikarenakan hal tersebut, mereka berkolaborasi menentukan sebuah ideologi dari negara ini. Hasilnya adalah "Jakarta Charter" atau yang lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta adalah bukti dari kebesaran hati dan intelektualitas mereka, walaupun pada fase berikutnya terjadi perdebatan yang panjang mengenai Piagam Jakarta yang mewarnai perjalanan politik umat Islam Indonesia dalam upaya menegakkan syariat Islam di Indonesia.
            Jakarta Charter adalah hasil dari panitia sembilan yang dibentuk dalam masa reses antara sidang pertama BUPKI (28 Mei – 1 Juni 1945) dan sidang kedua BPUPKI (10 – 17 Juli 1945). Panitia sembilan tersebut terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini mencapai suatu kesepakatan antara para nasionalis Islam disatu pihak dan nasionalis sekuler dipihak lain. Mereka menyetujui rancangan pembukaan UUD 1945. [4]
            Yang menonjol dalam Piagam Jakarta ini ialah termuatnya tujuh kata,  yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan anggota BPUPKI pada sidang-sidang selanjutnya. Seorang anggota BPUPKI yang beragama Kristen, Latuharhary, menyatakan keberatannya atas kata-kata tersebut. Dia mengkhawatirkan akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain, juga bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat. Begitu pula Muhammad Hatta yang lebih berorientasi kebangsaan, yang mengadakan loby politik kepada para anggota PPKI untuk perubahan Piagam Jakarta. Hal ini beliau lakukan setelah didatangi seorang opsir Jepang yang menyampaikan pesan dari golongan Protestan dan Katolik terutama dari Indonesia Timur agar menghilangkan tujuh kata pada Pembukaan Undang Undang Dasar. Mereka mengancam akan keluar dari Republik Indonesia apabila usul itu tidak diterima.
            Sebelum dirubah menjadi UUD 1945, Piagam Jakarta merupakan harapan besar bagi umat Islam di Indonesia untuk melegitimasi syariat Islam kedalam hukum negara yang saat itu belum ditentukan hukum apa yang akan dipakai untuk mengatur kehidupan segenap bangsa Indonesia. Namun dengan berubahnya tujuh kata dalam piagam Jakarta[5], maka umat Islam Indonesia harus menunggu untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Walaupun banyak umat Islam Indonesia yang kecewa terhadap perubahan dasar negara tersebut, namun mereka tetap berbesar hati untuk menerima keanekaragaman bangsa Indonesia.
            Hal tersebut tidak menyurutkan perjuangan umat Islam Indonesia dalam melegitimasi syariat Islam kedalam hukum nasional. Wacana, ide dan gagasan terus di kembangkan untuk memberikan pengertian kepada masyrakat Indonesia bahwa syariat Islam bukan hanya untuk umat Islam namun berlaku bagi seluruh umat di dunia setelah Muhammad diangkat menjadi rasul. Dasarnya adalah nash Al-Quran surat Al-Maidah ayat 48 yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran : membenarkan kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kita-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya lalu dibertahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
            Melakukan kegiatan politik, tentunya dalam lembaga politik untuk merebut kursi di parlemen yang nantinya akan memiliki kekuatan secara hukum dan politik untuk melegitimasi syariat Islam ke dalam hukum nasional. namun demikian usaha umat Islam tersebut bukannya tanpa halangan dari pihak lain yang berbeda ideologi. Berbagai wacana dan perdebatan teoritis mewarnai perjalanan legitimasi tersebut, bahkan umat Islam yang menginginkan syariat Islam terlegalisasi kedalam hukum nasional juga berbeda persepsi mengenai pemberlakuan syariat Islam. Islam garis keras - jika boleh saya menyebutkan demikian - dan umat Islam yang masih berideologi pluralisme. Apalagi sejak runtuhnya rezim orde baru, konflik yang tajam terjadi diantara dua kelompok tersebut. Islam garis keras yang dalam hal ini diwakili oleh Hizbut tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan Partai Kesejahteraan (PKS) yang dalam hal ini mewakili kelompok tersebut dalam parlemen, secara tegas menginginkan syariat Islam diberlakukan secara yuridis dengan sumbernya alquran, hadist dan ijtihad para ahli fiqih. Hal ini mengisyaratkan bahawa mereka menginginkan hukum nasional yg berlaku saat ini dirubah secara revolusioner dan digantikan syariat Islam selalu mendapat perlawanan berarti dari kelompok lain yang lebih mengedepankan norma dan kaidah syariat Islam untuk diformalisasikan kedalam hukum nasional ataupun dasar-dasar dari syariat Islam bisa mengilhami atau menjadi roh  dari sebuah undang-undang atau peraturan di bawah undang-undang.  Kelompok ini diwakili oleh aliran muslim progresif baik yang berafiliasi ke NU maupun Muhammadiyah, ataupun yang tidak memiliki afiliasi organisatoris seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Islam Emansipatoris, Rahima dan Paramadina.
            Baik kelompok yang menginginkan perbelakuan syariat Islam secara formal yuridis atau kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam ke dalam hukum nasional mendasarkan diri pada argumen yang kuat. Kelompok yang menginginkan syariat Islam diberlakukan secara formal yuridis berpendapat bahwa syariat Islam merupakan jawaban dari persoalan bangsa yang telah meningkat menjadi persoalan multidimensional, sedang kelompok yang satunya berpendapat bahwa Indonesia bukanlah negara yg berideologi agama dan juga berpaham pluralisme. Pertentangan ini tidak hanya pada tingkatan civil society namun juga pada tingkatan parlemen. Yang menjadi tujuan utama dari kedua kelompok ini adalah pembangunan hukum di Indonesia tidak berhenti, tentunya kepentingan berdasar atas ideologi mereka menjadi yang utama, namun bukan berarti pembangunan hukum akan berhenti ketika terjadi perbedaan ideologi diantara mereka.
            Tindakan politik memang tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mewujudkan sebuah cita cita. Inilah yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia - walaupun terjadi perbedaan pendapat -  mereka terus mengupayakan agar syariat Islam yang bersumber pada alquran - yang utama -  serta al hadist dan ijtihad para ahli fiqih menjadi landasan hukum bagi negara ini.
            Perlu disadari bahwa pembangunan hukum memang memerlukan perjalanan yang panjang serta akan memperhatikan kebutuhan masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, Kebijakan pembangunan hukum memainkan peranan penting dalam menjamin dan melindungi kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana yang dicita-citakan.          
            Demikian halnya dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis. dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alenia IV, yang berbunyi:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ....................”[6]

            Bertitik tolak dari kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berintikan Pancasila itu sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, maka timbul konsekuensi konsekuensi yang bersifat imperatif bagi negara dan penyelenggaraan negara. Konsekuensi yang bersifat imperatif (mengharuskan/mewajibkan) itu, bahwa segenap aspek kehidupan negara dan penyelenggaraan negara serta setiap realisasi dan pelaksanaan sistem hukum positif Indonesia harus senantiasa sesuai Pancasila. Nilai-nilai hukum dasar tersebut di atas, dengan sendirinya menjadi ukuran bagi setiap hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar dan seluruh peraturan perundang-undangan yang lainnya, apakah telah sesuai atau tidak dengan norma-norma yang berasal dari Tuhan (hukum Tuhan), hal inilah yang selalu terjadi perdebatan para tokoh kebangsaan dan para tokoh Islam, para tokoh Islam berpendapat bahwa Pancasila adalah sebuah ide semu ideologi Indonesia yang mengarah pada sekulerisme, kemudian dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (hukum kodrat), dengan nilai-nilai kebaikan (hukum etis), dan dengan nilai-nilai Pancasila yang abstrak, umum, universal (hukum filosofis) dapat pula menggiring pemikiran filosofis bangsa ini semakin menjauh dari hukum yang telah ditetapkan oleh Allah
            Terkait dengan kewenangan penyusunan peraturan perundang-undangan  (hak legislasi) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa yang berhak membentuk undang-undang adalah DPR hal itu dapat diketemukan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
            Peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebutsebagai politik hukum (legal policy). [7]
            Dalam pembuatan aturan perundangan peran politik hukum sangat penting dan dapat mencakup dua hal, yaitu:
  1. Sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
2.  Untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat
            hukum dan menjadi perumusan pasal.
            Dua hal ini sangat penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan penghubung antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Mengingat harus ada konsistensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan.
            Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan.  Dimensi kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.[8]
            Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijaksanaan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki, contohnya bagi para pihak yang menginginkan syariat Islam menjadi hukum positif di Indonesia. Oleh sebab itu, hukum meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya.[9]
            Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Penegakan hukum menjadi kehilangan ruang, terkait dengan hal tersebut Ronald Katz menyatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.[10]
            Tidak berdayanya para politisi muslim yang mendapat “jatah kursi” di parlemen dan pejabat negara yang memiliki wewenang dalam pembangunan hukum yang berlandaskan syariat Islam serta semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi bangsa ini, menjadi alasan bagi umat Islam garis keras menginginkan merenovasi hukum secara revolusioner. Sehingga benturan kepentingan politik menjadi tidak terelakkan. Namun bukannya pembangunan hukum berlandaskan syariat Islam sama sekali berjalan ditempat, saat ini sudah banyak hukum positif nasional yang merujuk pada syariat Islam dan daerah – daerah yang menerapkan syariat Islam secara wacana dan moril dengan memberlakukan Peraturan Daerah yang berlandaskan nilai-nilai syariat Islam.
            Perlu untuk diperhatikan bahwa landasan dasar serta ideologi sebuah negara akan sangat berpengaruh bagi pembangunan hukum serta aplikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila yang selama ini dikembangkan sebagai pemersatu bangsa yang memiliki keanakeragaman, belum mampu mengakomodir segala aspek permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Andaikata waktu itu Muhammad Hatta tidak terburu–buru untuk mengajukan perubahan terhadap Piagam Jakarta, mungkin akan berbeda penulisan sejarahnya.
            Untuk itu penulis ingin menelitinya sebagai bahan kajian yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana seharusnya penerapan syariat Islam di Indonesia yang memiliki keragaman suku bangsa dan kultur, selain itu penulis juga akan mengkaji langkah – langkah politik umat Islam Indonesia dalam upayanya menegakkan syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia..

Berdasarkan hal itu penulis mengambil judul :

DETERMINASI POLITIK SYARIAT ISLAM
DALAM HUKUM NASIONAL

            Jika dikaji dari judul tersebut dapat diartikan sebagai berikut : Determinasi politik menurut asal katanya terdiri dari dua kata yaitu, determinasi dan politik.  Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia determinasi bisa diartikan sebagai faktor yang menentukan, sedangkan politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara, urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara, cara bertindak dan taktik. Namun tindakan politik seringkali sering juga ditafsirkan sebagai sebuah kebijaksanaan. Istilah kebijaksanaan dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris “Policy” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip
umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur urusan urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara)[11]
            Sedangkan syariat Islam secara sederhana memiliki arti peraturan yang bersumber pada kitab suci umat Islam yaitu alquran yang diyakini sebagai perintah allah (secara detail akan dijelaskan pada bab selanjutnya) dan pengertian dari hukum nasional secara etimologis adalah peraturan atau perundang-undangan yang berlaku pada sebuah wilayah hukum tertentu.

B.        PEMBATASAN MASALAH
            Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam hal ini untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai objek yang menjadi fokus penelitian dalam penulisan hukum ini dan untuk menghindari terjadinya pengaburan dan perluasan masalah sebagai akibat luasnya ruang lingkup tentang objek yang akan dikaji dan supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai, maka penulis melakukan pembatasan:
  1. Penelitian ini meninjau mengenai sejarah dan upaya politik dari umat Islam Indonesia dalam usahanya memberlakukan syariat Islam di Indonesia, baik itu yang dilakukan oleh lembaga – lembaga Islam kemasyarakatan ataupun lembaga politik yang berideologi keislaman berdasarkan wacana dan langkah-langkah politik. Adapun yang menjadi pertimbangan penulis adalah bahwa selama ini telah terjadi kesalahpahaman mengenai syariat Islam secara teoritis sehingga keberadaannya selalu menjadi perdebatan dan juga penolakan akan keberadaannya.
  2. Teori-teori tentang syariat Islam dan pemberlakuannya berdasarkan teori hukum lainnya. Hal ini sangat penting untuk diteliti dengan maksud menemukan hipotesis baru atau paling tidak memberikan sebuah pencerahan terhadap pembaca tulisan ini mengenai syariat Islam.

    C.    PERUMUSAN MASALAH
            Syariat Islam adalah sebuah peraturan yang diyakini sebagai perintah Tuhan (allah) dan disampaikan oleh rasulnya (muhammad) serta wajib hukumnya untuk dilaksanakan dalam kehidupan, baik itu hablumminallah dan hablumminannas. Berdasarkan hal itu, masyarakat muslim di Indonesia menginginkan syariat Islam menjadi ground basic bagi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu penulis akan menganalisa lebih dalam tentang usaha-usaha yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia demi mewujudkan cita-citanya.

D.        TUJUAN PENELITIAN
            Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui pengertian secara menyeluruh mengenai syariat Islam
  2. Untuk mengetahui perjalanan legitimasi syariat Islam, baik itu secara perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berlandaskan kepada syariat Islam maupun perkembangan secara teoritis.
  3. Memberikan kontribusi secara kritis terhadap teori dan aplikasi legitimasi syariat Islam
  4. Untuk mengetahui dan bersikap kritis terhadap usaha-usaha yg dilakukan umat Islam Indonesia dalam melegitimasi syariat Islam terhadap hukum nasional.


E.        MANFAAT PENELITIAN
            1.         Manfaat Teoritis
a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam     bangku perkuliahan dengan melakukan kajian terhadap suatu teori atau permasalahan.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.
                        c. Lebih memahami secara detail mengenai teori syariat Islam.
d. Untuk mengetahui hubungan antara penerapan syariat Islam  secara teori dengan teori hukum nasional
e. Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
            2.         Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dibidang hukum pada umumnya dan pada khususnya tentang syariat Islam dan legitimasinya terhadap hukum nasional

b. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang syariat Islam, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman  karena ketidaktahuan.
c. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis, khususnya dalam bidang syariat Islam.

F.         METODE PENELITIAN
            1.  Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar (basic) dan termasuk dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang objek yang akan diteliti maupun gejala-gejala lainnya. Maksudnya terutama untuk mempertegas adanya hipotesis-hipotesis agar dapat membantu di dalam memperkuat teori - teori yang lama atau dalam rangka menyusun teori baru.[12]

2.  Metode Pendekatan
Penulisan ini berdasar pada pendekatan doktrinal. Hal ini disebabkan karena hukum (syariat) sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah yg mengatur kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara sesuai dengan syariat Islam, sehingga akan mencakup pula lembaga - lembaga maupun proses-proses yang hendak mewujudkan kaidah (syariat  Islam) tersebut dalam masyarakat sebagai prilaku sosial.
            3. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari :
                a.  Data Primer
Data primer yang dimaksud adalah berupa keterangan - keterangan yang berasal dari pihak - pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti dan dimaksudkan untuk dapat lebih memahami, tujuan dan arti dari data sekunder yang ada. Data ini pada pelaksanaannya berfungsi sebagai penunjang dari data sekunder.
b.  Data Sekunder
Penelitian ini juga menggunakan jenis data sekunder yang merupakan data utama. Data ini. Data sekunder diperoleh melalui kajian kepustakaan, dalam hal ini berupa dokumen - dokumen tertulis yang bersumber dari peraturan perundang-undangan buku-buku, literature, dokumen, arsip dan publikasi dari lembaga - lembaga yang terkait dengan penelitian.
c.  Bahan Hukum Tersier.
Yang merupakan bahan penjelasan tentang bahan hukum primer maupun sekunder berupa kamus, ensiklopedia dan sebagainya.


            4.  Teknik Pengumpulan Data
Dalam pembahasan permasalahan diatas, maka diperlukan data-data dan keterangan. Maka dari itu penulis dalam menulis tulisan ini akan menggunakan metode kepustakaan (library research), yaitu cara untuk memperoleh data dengan jalan mempelajari dan menelaah buku-buku, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dari berbagai sumber, baik dari majalah, surat kabar maupun dari media lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi[13]

            5.  Analisis Data
Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka analisis yang akan dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif. Penulis akan melakukan inventarisasi norma hukum dan peraturan perundang-undangan, doktrin dan yurisprudensi yang terkait dalam legitimasi syariat Islam dalam hukum nasional, kemudian data yang diperoleh dijadikan dasar untuk mengkaji objek yang akan diteliti, yaitu bagaimana determinasi politik lembaga-lembaga ke-Islaman dalam upaya melegitimasi syariat Islam dalam hukum nasional. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran terhadap perdebatan seputar legitimasi syariat Islam dalam hukum nasional, yang seringkali disalah artikan oleh sebagian golongan sebagai Islamisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

            6.  Sistematika Skripsi
Untuk dapat memudahkan pemahaman dalam pembahasan penelitian ini, perlu kiranya penulis merumuskan suatu sistematika dalam penyusunan skripsi. Adapun sistematika skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab tersebut berhubungan dengan bab yang lainnya, Setiap bab terbagi dalam sub-sub bab yang membahas satu pokok bahasan tertentu. Bab-bab tersebut adalah sebagai berikut :

            BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan, manfaat dan metode penelitian dan tentunya sistematika skripsi.

            BAB II SYARIAT ISLAM
Mengenai syariat Islam secara teoritis, baik itu landasan, pengertian, tujuan dan ruang lingkup syariat Islam.

            BAB  III  PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA
Membahas mengenai penerapan syariat Islam di Negara Kesatuan Repupblik Indonesia yang bukanlah berideologi Islam, apakah penerapan syariat Islam tersebut merupakan hasil dari politisasi para tokoh Islam atau berasal dari keinginan masyarakat muslim Indonesia, sehingga lahir Undang-undang yang bernafaskan Islam ataupun Peraturan Daerah yang menganut sistem syariat Islam.

            BAB  IV  POLITIK ISLAM UNTUK SYARIAT ISLAM
Pada bab ini akan membahas secara historis mengenai langkah-langkah politik umat Islam dalam tujuannya untuk menegakkan syariat Islam dan juga dalam keikutsertaan umat Islam Indonesia dalam membentuk konstitusi dan hukum Nasional.

            BAB  V  PENUTUP DAN SARAN
Merupakan kesimpulan mengenai pembahasan dari bab-bab sebelumnya dan juga saran yang bersifat kritis terhadap usaha umat muslim Indonesia dalam cita-citanya menegakkan syariat Islam di tanah air Indonesia.










BAB II
SYARIAT ISLAM

            Syariat Islam adalah aturan dan norma yang mengatur prilaku manusia, baik secara pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Syariat Islam adalah peraturan yang bersumber dari allah yang kebenarannya bersifat mutlak (absolut). Secara normatif, segala aturannya sejalan dengan kebutuhan hidup manusia, kapan dan dimanapun manusia tersebut hidup, maka akan membutuhkan sebuah aturan yang akan membimbing segala tindak prilakunya. Tidak ada pertentangan antara syariat Islam dengan nilai nilai dasar manusia. Hal ini secara tegas dikemukakan dalam QS. Ar-Rum ayat 30 yang terjemahannya adalah :
maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (allah);(tetaplah atas) fitrah allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
            Namun di dalam implementasi syariat Islam diperlukan perangkat-perangkat yang mendukungnya sehingga menjadi hukum positif yang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia, diharapkan tidak hanya berlaku bagi umat Islam Indonesia saja, namun berlaku bagi segenap warga negara Indonesia.

            Kondisi tata hukum Indonesia secara historis kerap mengalami berbagai perubahan dan perkembangan dalam pengambilan sumber dan struktur hukumnya. Sebelum masa kolonialisasi, tata hukum yang berlaku adalah hukum adat dan syariat Islam, namun terjadi perubahan ketika masa kolonialisasi Belanda di Indonesia, tata hukum yang berlaku saat itu adalah hukum barat (Eropa), hukum adat dan baru kemudian hukum Islam.
            Politisasi kolonial Belanda saat itu terhadap syariat Islam membuat eksistensi syariat Islam mengalami reduksi dan eliminasi. Hal ini dilakukan pemerintah Belanda saat itu agar syariat Islam tidak menjadi yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, kecuali telah menjadi hukum adat atau harus sesuai dengan adat yang berlaku. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai dan norma syariat Islam.
            Syariat Islam selalu dijauhkan dari masyarakat muslim dan dalam posisi yang termarjinalkan oleh kultur budaya adat, konsekuensi negatifnya masih terus terasa sampai dengan saat ini, terbukti dengan umat Islam sangat alergi ketika mendengar syariat Islam, apalagi akan dijadikan hukum positif. Syariat Islam menjadi sesuatu yang asing di masyarakat Islam itu sendiri, bahkan menjadi stigma yang menakutkan, apalagi dengan tampilan lembaga-lembaga Islam bergaris keras yang secara fundamentalis memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam dengan kesan yang hororis, teroris dan sebagainya. Tampilan syariat Islam yang seharusnya seperti yang dilakukan oleh Muhammad saat menerapkan Piagam Madinah, bukan malah dipolitisasi menjadi sesuatu hal yang kejam dan menakutkan.
            Sudah seharusnya  umat Islam tersadar dari mimpi demokratisasi dan Liberalisasi terhadap segala aspek kehidupan manusia, jika kita paham bahwa sesungguhnya syariat Islam jauh lebih demokratis, lebih sosialis, lebih liberalis dari hukum dan ideologi manapun di dunia, karena syariat Islam berasal dari pencipta segala kehidupan di alam semesta.

A.        LANDASAN SYARIAT ISLAM
            Agama merupakan sistem kepercayaan tertentu yang satu dengan lainnya pasti berlainan dalam pelaksanaan ibadahnya. Ibadah dalam ajaran Islam berbeda dengan agama atau sistem kepercayaan lainnya yang hanya sekedar melakukan upacara ritual dan muatan moral. Seorang muslim akan dianggap sempurna apabila telah mengaplikasikan tiga kompenan ajaran Islam yaitu, iman, Islam dan ihsan yang juga berarti melaksanakan komponen akidah, syariat dan akhlak. Apabila seseorang telah menyatakan syahdatain, maka kewajiban seseorang itu berikutnya adalah melaksanakan syariat Islam secara total dan utuh (kaffah) dalam berbagai aspek kehidupannya. Kesempurnaan akidah dan syariat tercermin dalam akhlak berprilaku dan bersikap baik itu hubungan dengan Allah (hablumminallah), maupun hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas), dan juga terhadap alam semesta (hablumminal'alam).
            Dalam aplikasi ketiga komponen tersebut (akidah, syariat dan akhlak) tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah dan tidak dapat diabaikan salah satunya dan atau diperdebatkan keberadaanya. Apabila terjadi perdebatan atau perbedaan pendapat dalam memberlakukan syariat, maka hal ini akan menjadi sebuah kekeliruan dalam mengartikan konsepsi syariat Islam itu sendiri, bahkan mungkin dapat diragukan kadar keimanannya. Seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut,[14]mengenai akidah dalam Islam adalah sebagai pokok yang dibangun di atasnya peraturan–peraturan agama (syariat). Sedangkan peraturan agama merupakan hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian, tidak ada syariat Islam melainkan karena adanya akidah, sebagaimana syariat tidak akan bisa berkembang melainkan dibawah naungan akidah. Islam mewajibkan terjalinnya pertalian yang erat antara syariat dan akidah, hingga satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Barang siapa yang beriman dengan akidah, tetapi menyia-nyiakan akidah atau melaksanakan syariat dengan mengabaikan akidah, maka dipandang bukan seorang muslim disisi Allah dan tidak pula menempuh jalan keselamatan menurut syariat Islam.
            Melaksanakan dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan seorang manusia harus dijalankan secara menyeluruh atau kaffah dengan keyakinan menaati ketentuan dan peraturan Allah dan Rasul-Nya secara istiqomah (konsekuen dan konsisten) dengan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya sehingga tercapai kehidupan yang selaras dan seimbang beserta makhluk lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah satu kesatuan antara akidah, syariat dan akhlak. Pemisahan salah satu diantaranya akan menjadikan Islam keluar dari jati dirinya atau akan menempatkan Islam hanya sebagai agama moril-spritual. Islam tidak bisa direduksi sekedar sistem keyakinan saja (akidah) atau diposisikan hanya untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya belaka, akan tetapi Islam haruslah termanifestasikan secara utuh dalam akidah, syariat dan akhlak.[15]. Pengertian tersebut janganlah diartikan sebuah pemaksaan kehendak bagi setiap umat muslim, namun sudah menjadi sebuah kebutuhan setiap manusia sebagai sebuah hubungan dengan Penciptanya, sesama makhluk dan alam semesta.

  1. Landasan Normatif Akidah

Akidah adalah sebuah pemahaman yang harus diyakini oleh seorang muslim terlebih dahulu sebelum meyakini sesuatu yang lain, tidak boleh ada keraguan terhadap hal ini. Filosofi akidah dapat diartikan sebagai sebuah landasan untuk pemikiran menyeluruh tentang alam semesta kehidupan dan tentang manusia, baik itu kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Eksistensi dan Esensi sang Pencipta harus diyakini sebagai manfifestasi untuk menegakkan prinsip-prinsip tauhid dan meniadakan antitesisnya karena sifatnya adalah kebenaran absolut, distinc dan unik. Dalam konteks ke-Islaman hal ini dapat diartikan sebagai tauhid yang berarti mengesakan atau menisbatkan sifat-sifat dan kemampuan-kemampuan sang pencipta, landasan normatif yang berkaitan dengan akidah ialah firman Allah pada Al-quran Surat Al-An'am ayat 162-164 dan terjemahannya asalah sebagai berikut :
“Katakanlah : sesungguhnya sholatku, ibadahku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama yang menyerahkan diri (kepada Allah). Katakanlah, apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu”

  1. Landasan Normatif Syariat
Syariat adalah sebuah sistem aturan yang disampaikan Allah kepada para Rasul-Nya untuk mengatur kehidupan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta. Aplikasi dan penerapan syariat
Islam ini merupakan kewajiban asasi bagi seorang muslim dan sebuah bentuk implementasi akidah pada dirinya. Tidak ada pilihan lain bagi seorang manusia yang lahir harus menjalankan syariat Islam, apalagi yang secara akidah telah mengimani Allah dan Rasul-Nya yang diaplikasikan dengan penguscapan syahadatain. Landasan normatif syariat Islam adalah firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 36 dan terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah sesat, sesat yang nyata”

kemudian dijelaskan pula pada Surat An-Nisa ayat 64-65, yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah”. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perselisihan mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya”

  1. Landasan Normatif Akhlak

Seorang muslim yang menjalankan syariat dengan akidah yang kuat akan tidak sempurna bila tidak berakhlak baik. Akhlak merupakan penyempurna syariat dan akidah. Akhlak dapat didefinisikan sebagai kebiasaan kehendak, ini berarti, bila kehendak itu dibiasakan dalam suatu perbuatan seseorang, maka kebiasaan itu disebut akhlak.[16]
Kebiasaan tentu saja ada yang baik dan buruk. Syariat Islam menekankan kepada umatnya agar senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan menghindari perilaku-perilaku buruk karena hal ini dapat menodai kesempurnaan iman dan Islamnya. Islam juga mengatur akhlak ini dalam hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah mahdhah), hubungan manusia dengan sesamanya serta hubungan manusia dengan alam semesta (ibadah ghair mahdhah). Oleh karena pembagian akhlak dalam Islam yang detail dan menanungi segala kehidupan manusia, maka perlu dijelaskan sebagai berikut :
a. Akhlak manusia terhadap Allah

Akhlak manusia terhadap penciptanya haruslah memiliki pondasi kesadaran penuh secara pribadi, dengan mengakui Allah sebagai pihak yang menciptakan makhluk dan manusia juga mempunyai kewajiban untuk memuja dan memuji-Nya dengan asma-asma Allah yang Maha Mulia. Melakukan peribadatan dan pengabdian kepada-Nya yang dilandasi dengan keikhlasan. Al-Quran menjelaskan pada kita pada Surat An-Nahl ayat 91 yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
“ Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
    
b. Akhlak manusia terhadap sesama manusia.
Akhlak manusia terhadap sesamanya harus dibangun di atas kesadaran kebersamaan dan kesamaan makhluk ciptaan Allah. Bahwa tidak ada manusia yang paling mulia di sisi-Nya, kecuali yang paling taqwa. Seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam firmannya dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 36, terjemahannya adalah sebagai berikut :
“...Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 2 dan terjemahannya adalah sebagai berikut :
“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu pada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
            
            c.  Akhlak manusia terhadap alam semesta
Akhlak manusia terhadap alam semesta harus dibangun diaatas kesadaran bahwa manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa adanya keserasian dengan alam semesta, serta tidak mungkin bisa hidup dengan nyaman tanpa adanya keseimbangan antara manusia dan alam semesta. Manakala manusia selalu bertindak sewenang-wenang terhadap alam dan mengabaikan keteraturannya, maka akan berakibat pada kehancuran dengan timbulnya bencana alam yang beruntun. Al-Quran juga mengajarkan kita akan pentingnya menjaga linkungan dan
 bagaimana kita bersikap terhadapnya, seperti dalam surat Al-A'raf ayat 56, dan terjemahannya adalah sebagai berikut :

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.”
Dan pada surat Al-Qashash ayat 77 Allah berfirman yang terjemahannya adalah :
“...dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

            Berdasarkan landasan-landasan tersebut, secara filosofi dan teoritis, yang harus dipahami muslim secara menyeluruh tanpa adanya parsialisasi bagian tertentu, dengan demikian dapat diharapkan adanya kesadaran berdasarkan akal dan hati untuk mengerti dan memahami syariat Islam.



B.        PENGERTIAN SYARIAT ISLAM
            Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-mâ’ (sumber air minum). Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan
syarî‘ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering. Dalam bahasa Arab, syara‘a berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara‘a lahum-yasyra‘u-syar‘an berarti sanna (menetapkan). Syariat dapat juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus)[17]
            Sedangkan makna lainnya menurut T.M. Hasby As Shiddieqy bahwa para ahli fiqih memakai kata syariat sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya melalui Rasulluah, supaya melaksanakannya dengan dasar iman yang berkaitan dengan hukum amaliyah lahiriyah maupun yang berkaitan dengan amaliyah bathiniyah, yaitu akhlak dan akidah.
            Ulama pada abad ketiga (jumhur mutaakhirin) menggunkan kata syariat untuk nama hukum fikih atau hukum Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah dibebani hukum dan yang dapat dipertanggungjawabkan tindakannya). Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan, Islam adalah akidah dan syariat.[18]
            Dalam istilah syariat sendiri, syarî‘ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragam. Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syariat karena memiliki konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian, syariat dan agama mempunyai konotasi yang sama, yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya.
            Sedangkan syariat Islam dalam pengertian ilmuwan barat adalah Cannon Law of Islam, yakni keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan dan setiap perintah dinamakan hukum.[19]
            Apabila dilihat dalam istilah hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebutkan syariat Islam, semisal fiqih Islam dan Hukum Islam. Berikut akan kita urai pengertian dari fiqih Islam dan Hukum Islam untuk menyamakan persepsi tentang istilah-istilah terebut.

  1. Fiqih Islam
Fiqih berasal dari bahasa Arab, fiqih dapat diartikan sebagai paham atau pemahaman. Perngertian terminologisnya, fiqih Islam merupakan pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana diatur dalam Alquran, Asunnah, atau yang disimpulkan dari kedua sumber hukum tersebut dan atau yang disepekati oleh para ahli hukum Islam. Abdul Wahab Khalllaf mendifinisikan fiqih sebagai pengetahuan mengenai syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci atau dengan kata lain merupakan yuresprudensi atau kumpulan hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dalil-dalilnya secara rinci.[20] Dalam hukum Islam, fiqih menjadi disiplin ilmu sendiri yang disebut ilmu fiqih. Fungsinya adalah untuk menentukan dan menguraikan norma-norma dasar hukum yang terdapat di dalam Al-quran dan As-sunnah. Objek ilmu Fiqih adalah perbuatan orang dewasa dipandang dari ketetapan hukum syariat Islam. Seseorang yang medalami ilmu fiqih dinamakan faqih (ahli hukum Islam).
Selain kata fiqih Islam, terdapat juga istilah uslul fiqih yang didefinisikan sebagai pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia dimana kaidah-kaidah tersebut bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas dapat pula dikatakan sebagai pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, dimana kaidah-kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.
Objek pembahasan ushul fiqih adalah dalil syar'i (dasar hukum) yang umumnya dipandang dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum. Ushul fiqih juga merupakan disiplin ilmu tersendiri yang dinamakan ilmu ushul fiqih. Proses penggalian hukum melalui ilmu ushul fiqih terhadap ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum dijelaskan hukum-hukumnya sehingga menjadi hukum yang bersifat konkret atau khusus.


  1. Hukum Islam.
Secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hukum yang berarti halangan. Pengertian terminologisnya adalah pandangan mengenai masalah tertentu yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Jika pandangan tersebut bersumber pada pembuat syariat (Allah), maka pandangan itu disebut hukum syariat. Dengan demikian hukum syariat dapat dedifinisikan sebagai seruan pembuat syariat yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun wadh'i.[21]
Pengertian hukum dalam Alquran dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang terdiri dari ketentuan-ketentuan, suruhan, dan larangan yang menimbulkan kewajiban dan atau hak.[22]
Hukum dalam kategorisasi hukum barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia dengan manusia lain dan benda tertentu, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda dalam masyarakat. Berbeda dengan hukum dalam konsespsi hukum Islam yang dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur manusia dengan manusia lainnya dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya termasuk dengan hubungan terhadap Allah.
            Dari berbabagi istilah dan pengertian diatas, pada tataran konseptual dan praktis dalam membicarakan hukum syariat Islam, maka untuk membedakan syariat Islam dan hukum Islam ataupun fiqih Islam adalah sebagai berikut :
a)      Syariat merupakan wahyu Allah yang terdapat dalam Alquran dan As-sunnah. Fiqih merupakan hasil ijtihad manusia dalam memahami Alquran dan As-sunnah yang memenuhi syarat.
b)      Syariat bersifat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, sedangkan fiqih Islam bersifat istrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia yang disebut juga perbuatan hukum.
c)      Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya karena ia berlaku abadi, sedangkan fiqih adalah hasil ijtihad manusia yang bersifat sementara karenanya berubah sesuai dengan kondisinya.
d)     Syariat hanya satu, sedangkan fiqih mungkin lebih dari satu, dalam bentuk mazhab-mazhab atau aliran-aliran.
e)      Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqih menunjukkan keanekaragamannya.

C.        KATEGORI SYARIAT ISLAM
            Menurut para ahli ushul fiqih, syariat Islam menurut pengertiannya dapat dikategorikan dalam dua kategori yaitu hukum taklifi dan hukum wadh'i.[23] Pembidangan ini untuk memberikan petunjuk kepada manusia sebagai objek syariat, sebagaimana bekerjanya hukum yang menjadi beban berkaitan dengan tindakan hukum unutk memilih, anjuran mengerjakan, anjuran meninggalkan, kewajiban melakukan dan larangan mengerjakan. Selain itu sebagai pedoman kapan harus mengerjakan atau meninggalkan tindakan hukum, apa syarat-syarat yang harus dilakukan bila melakukan tindakan hukum dalam keadaan terpaksa dan mana yang dianggap sah atau batal dilakukan dalam tindakan hukum. Untuk itu dalam pembahasan berikut, akan dicoba disajikan pembahasan mengenai kategorisasi syariat Islam tersebut secara teoritis.

  1. Hukum Taklifli

Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukan suatu pekerjaan oleh mukallaf atau melarang mengerjakan atau melakukan pilihan, antara melakukan atau meninggalkannya. Hukum taklifi juga disebut al-ahkam al-khamsah. Menurut H. Abdoerraoef dalam bukunya, Al-Quran dan Ilmu Hukum, bahwa pembagian hukum taklifi yang selengkap hukum Islam tidak terdapat dalam ilmu hukum modern. Dalam KUHP,  terdapat perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kategori haram, walaupun juga terdapat juga masuk dalam kategori wajib, yaitu apa yang dinamakan delicta ommisionis, seperti pasal 165, 523 dan lain-lain. Pandangan ilmu hukum seperti ini berdasarkan individualitas sejak jaman renaissance yang menghendaki kebebasan mutlak individual. Namun dalam hukum Romawi akan terlihat terdapat kategori hukum, seperti imparare (suruhan), prohibere (larangan) dan permittere (hal-hal yang diizinkan). Jika dibandingkan dengan syariat Islam, imparare sama dengan wajib, prohibere sama dengan haram dan permittere sama dengan jaiz, sedangkan kategori sunnah dan makruh tidak diketemukan dalam hukum Romawi. Menurut Prof. Dr. Hazairin, SH. Kategori hukum sunnah dan makruh adalah sumber daripada moril manusia dengan kebebasannya untuk memilih berbuat baik atau meninggalkan yang jahat. Dalam hukum Romawi, manusia hanya mempunyai dua pilihan dalam bertindak untuk melakukan suruhan atau meninggalkan larangan. Untuk itu dibawah ini akan kita bahas secara rinci lima kategori hukum taklifi :
a.  Jaiz/mubah
Jaiz merupakan norma hukum yang bersifat bebas, diartikan segala sesuatu yang boleh dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk melakukan atau meninggalkan tindakan/perbuatan hukum. Hal ini sangat tergantung pada manusia tersebut untuk melakukan atau meningalkannya. Segela sesuatu yang diberi kebebasan oleh Allah dan rasul-Nya, keputusannya diserahkan kepada manusia karena tidak ada sanksi hukum apapun dalam tindakan/perbuatan manusia ini, baik dunia maupun akhirat. Contoh dari perbuatan/tindakan hukum yang diperbolehkan antara lain :
        “ . . .Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya
(Q.S. 7 Al-a'raf: 31)
                 
            b.  Sunnah/mandub
Sunnah/mandub merupakan norma hukum yang bersifat anjuran untuk dilakukan, diartikan sebagai segala sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini manusia diberi anjuran oleh Allah dan rasul-Nya agar melakukan tindakan/perbuatan hukum. Hal ini bergantung pada kekuatan moral manusia, apakah akan melakukan anjuran tersbut atau tidak, karena segala sesuatu yang dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya memiliki nilai-nilaikebaikan bagi kehidupan manusia. Sanksi hukum, bila melakukan akan mendapatkan pahala dan bila meninggalkan tidak akan mendapatkan dosa di dunia maupun di akhirat. Contoh perbuatan/tindakan hukum sunnah adalah sebagai berikut :
“akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayainya itu menunaikan amanatnya (utangnya)
(Q.S. 24 An-Nur: 33)
Dan contoh yang lainnya
“....hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka
(Q.S.2 Al-Baqaroh: 283)

            c.  Makruh.
Makruh merupakan norma hukum yang bersifat anjuran agar ditinggalkan oleh manusia. Dalam hal ini, manusia diberi anjuran oleh Allah dan rasul-Nya agar meningalkan segala tindakan/perbuatan hukum ini. Hal ini bergantung kepada moral manusia itu sendiri bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupannya, akan dilaksanakan atau ditinggalkannya, karena sesuatu yang dianjurkan ditinggalkan mengandung unsur kebaikan bagi kehidupan manusia. Sanksi hukum bila meninggalkan tindakan/perbutaatan makruh adalah akan mendapatkan ridha dan bila melakukannya akan mendapatkan kebencian Allah dan rasul-Nya di dunia dan akhirat. Contoh dari perbuatan/tindakan makruh adalah :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jumat, maka beregeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
(Q.S. 62 Al-Jumu'ah : 9)
Kemudian contoh yang lainnya
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong”
(Q.S. 17 Al-Issra : 37)
                        d.  Haram.
Haram merupakan norma hukum yang bersifat ketegasan yang harus ditinggalkan atau tidak boleh dilakukan, atau juga dapat diartikan segala seuatu yang ditegaskan untuk ditinggalkan oleh manusia. Dalam hal ini manusia diberi ketegasan oleh Allah dan rasul-Nya agar meninggalkan tindakan atau perbuatan hukum yang dilarang oleh Allah. Ketegasan ini tidak tergantung oleh manusia, sebab manusia tidak memiliki kewenangan untuk memilih. Segala sesuatu yang ditegaskan Allah dan rasul-Nya harus ditinggalkan karena akan mempunyai dampak negatif bagi kehidupan manusia. Sanksi hukumnya bila dilakukan akan mendapatkan dosa dan apabila meninggalkannya akan mendapat pahala di dunia maupun akhirat. Tindakan atau perbuatan hukum haram, antara lain adalah sebagai berikut :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi
(Q.S. 5 Al-Maidah: 3)
“Dan Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (orang yang menuduh itu) delapan puluh kali dera
(Q.S. 24 An-Nur: 4)

            e.  Wajib
Wajib merupakan norma hukum yang bersifat ketetapan yang harus dilakukan, diartikan sebagai segala sesuatu yang ditetapkan untuk dilakukan manusia. Dalam hal ini manusia tidak memliki kewenangan untuk memilih atau dengan kata lain harus dilakukan oleh manusia. Tindakan dan perbuatan hukum wajib dimaksudkan agar manusia mendapatkan kebaikan dalam segala aspek kehidupannya. Sanksi hukumnya apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila meninggalkannya akan mendapatkan dosa baik dunia dan akhirat. Adapun contoh dari tindakan dan perbuatan hukum wajib adalah :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu bertaqwa
(Q.S. 2 Al-Baqarah: 183)
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban
                (Q.S. 4  An-Nisa: 24)
2.      Hukum Wadh'i.
Hukum wadh'i adalah hukum yang menghendaki sesuatu sebab sesuatu yang lain atau sebagai syarat, sebagai penghalang atau sebagai yang memperkenankan keringanan atau sebagai ganti hukum ketetapan yang pertama atau sebagai yang sahih dan atau sebagai yang tidak sahih. Berkaitan dengan hukum wadh'i, yaitu adanya sebab, syarat, man'i, rukhsoh dan azimah, serta ash-shihah wal buthlan. Untuk lebih jelasnya kita akan membahasnya.
            a.  Sebab
Sebab merupakan sesuatu yang oleh pembuat hukum dijadikan suatu pertanda atau sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, filosofi hukumnya adalah menghubungkan adanya akibat lantaran adanya sebab dan ketiadaan dikarenakan ketiadaan sebab, misalnya. Adanya waktu sholat mengakibatkan adanya ketentuan untuk melakukan wajib sholat.
                “Dirikanlah Sholat dari setelah matahari tergelincir”
                (Q.S. 17 Al-Isra: 78)
                 Dan pada ayat lainnya
“Dan barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa”
(Q.S. 2 Al-Baqarah: 185)
            b.  Syarat
Syarat merupakan sesuatu yang ada atau tidak ada, tergantung dari ada atau tidaknya sesuatu itu, yang dapat menimbulkan kepada ada dan tidak adanya hukum. Syarat dapat berbentuk syarat syar'i, yaitu sesuatu yang diisyaratkan oleh Allah dan rasul-Nya dan juga dapat berbentuk syarat ja'li, yaitu sesuatu yang diisyaratkan oleh mukallaf, oleh karena itu sesuatu yang menjadi syarat ja'li akan menjadi syarat syar'i, seperti contohnya misalnya syarat shanya perkawinan dengan adanya syarat ijab-qabul dan sebagainya
            c.  Man'i.
Man'i adalah sesuatu yang dengan wujudnya itu dapat meniadakan hukum atau membatal hukum. Contoh, adanya perkawinan menyebabkan timbulnya hak waris sababiyah, tetapi karena berlainan agama diantara suami istri,maka hal itu menjadi penghalang bagi batalnya hak pewarisan diantara suami istri. Seperti yang dinyatakan Rasul yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
“orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam
(HR. Imam Bukhari Muslim)
dan juga seperti yang diriwayatkan
“Tidak dapat saling mewarisi antara dua pemeluk agama yang berbeda.”
(HR Ashab Al-sunan)

            d.  Rukhsoh
Rukhsoh adalah hukum keringanan yang telah diisyaratkan oleh Allah dan rasul-Nya atas mukallaf dalam kondisi tertentu yang menghedaki keringanan sedangkan azimah adalah hukum-hukum umum yang telah diisyaratkan oleh Allah sejak semula yang tidak dikhususkan oleh kondisi dan oleh mukallaf. Contohnya adalah sebagai berikut :
“Barang siapa yang kafir terhadap sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang berat”
(Q.S 16  An-Nahl: 106)
Kemudian dalam surat lainnya
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-bintang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”
(Q.S. 6 Al-An'am:119)
            e.  Ash-shihah wal buthlan
Perbuatan atau tindakan yang dituntut oleh syar'i dan diisyaratkan kepada mereka yang berupa sebab dan syarat, apabila telah diisyaratkan oleh mukallaf maka oleh syar'i terkadang dihukumi kebenarannya dan terkadang dihukumi batal. Contohnya adalah, ketika sholat diwajibkan sebelumnya berwudhlu, maka akan menjadi shahih sholatnya, namun sebaliknya jika belum melaksanakan wudhu, maka sholatnya akan dianggap batal (buthlan).

D.        TUJUAN SYARIAT ISLAM
            Tujuan syariat Islam dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisasikan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharuriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyat).[24]
Dalam wacana umum, kebutuhan dharuriyah disebut primer, kebutuhan hajiyah disebut sekunder dan kebutuhan tahsibiyah disebut tersier. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Dharuriyah

Adalah kebutuhan pokok yang harus terjamin dan terlindungi dalam kehidupan manusia dimana saja, siapa saja dan kapan saja. Dalam wacana syariat Islam, dharuriyah yang harus dilindungi atau dipelihara kemaslahatannya, yaitu meliputi adanya, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila tidak terpelihara kelima unsur tersebut dalam kehidupan manusia, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap individu manusia sehingga menimbulkan ketidakharmonisan. Oleh karena itu setiap individu manusia atau pemerintah dalam mewujudkan sebuah hukum positif, pokok utama yang harus mendapat perlindungan yang berkaitan dengan kelima unsur tersebut adalah :
            a.  Perlindungan hukum terhadap agama
Agama bagi seseorang adalah sebuah hak asasi yang tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain, karena agama adalah kepentingan hukum individu manusia terhadap Allah. Dalam hukum positif hal tersebut akan mendapatkan perlindungan dari ancaman atau gangguan dari pihak manapun termasuk negara. Dalam Islam, agama adalah fitrah bagi manusia yang akan selalu mendapatkan posisi utama dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini pemerintah dalam menerapkan tujuan syariat Islam yang bersifat dharuriyah, harus melindungi agama bagi warga negaranya, baik muslim dan non muslim. Dalam keberagamannya, syariat Islam selalu mengembangkan sikap tasammuh (toleransi) terhadap pemeluk agama lain, sepanjang tidak mengganggu satu dengan yang lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firmannya :
“Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”
(Q.S. 109 Al-Kafirun 1-6)
            b.  Perlindungan hukum terhadap jiwa
Untuk melindungi jiwa, Islam menyariatkan agar manusia memelihara hak hidup dan kehidupannya. Manusia wajib mempertahankan jiwanya ketika ada yang mengancam dan menyerang. Oleh karena itu Islam menyariatkan juga hukuman qishas, diyat dan kaffarat bagi pelaku pembunuhan, pelukaan dan penganiyaan untuk melindungi jiwa dan kesewenang-wenangan orang lain, sebagaimana dinyatakan oleh Allah sebagai berikut :
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, suapaya kamu bertaqwa”
(Q.S. 2 Al-Baqarah: 179)

c.  Perlindungan hukum terhadap akal.
Untuk melindungi akal manusia dari kerusakan mental dan keterbelakangan kepribadian, Islam mengharamkan meminum minuman keras (khamar) dan bentuk lainnya seperti obat-obatan terlarang. Perlindungan terhadap akal ini agar manusia terhindar dari kerusakan akal yang dapat berpengaruh terhadap mentalitas dan psikologis manusia itu sendiri, seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam Alquran :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan.”
(Q.S .5 Al-Maidah: 90)

d.  Perlindungan hukum terhadap keturunan.
Untuk melindungi manusia maka Islam menyariatkan perkawinan agar memiliki keturunan yang saleh, keturunan yang menjadi panutan (zurriyata qurrota a'yun waj'alna limuttaqina imama), bukan keturunan yang lemah (zurriyyatan dhia'fa). Islam juaga menyariatkan makan yang halal dan baik (halalan thayyiban) agar manusia tidak sakit sehingga keturunannya menjadi lemah baik secara fisik maupun psikis. Dalam menjaga keturunan ini, Islam melarang perbuatan zina dan orang yang menuduhnya karena keduanya merupakan harga diri yang perlu dilindungi dari setiap kepribadian seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Perbuatan zina dianggap sebagai perbuatan keji karena dapat merusak keturunan seseorang. Demikian pula menuduh palsu berbuat zina dapat merusak hubungan suami istri dari kehancuran rumah tangga. Termasuk di dalam perbuatan zina ini, seks melalui kekerasan, perkosaan dan pelecehan seksual. Untuk memelihara keturunan ini, Islam memberikan sanksi hukuman secara berat dengan cara mendera kepada pelaku zina dan penuduhnya, seperti yang dinyatakan Allah :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak ada dosa mengawininya (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpukan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”
(Q.S. 4 An-Nisa: 23)

            e.  Perlindungan terhadap harta.
Untuk melindugi harta, Islam membolehkan manusia melakukan berbagai transaksi dan perjanjian (muamalah) dalam masalah perdagangan (tijarah), barter (mubadalah), dan bagi hasil (mudharabah) dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam melarang pencurian, korupsi, memakan harta secara batil, penipuan dan perampokan dengan menghukum secara berat para pelakunya, seperti dinyatakan oleh Allah sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”
(Q.S. 4 AN-Nisa: 29)

  1. Hajiyah.

Hajiyah adalah kebutuhan sekunder yang diperlukan manusia dalam hidupnya untuk mengurangi kesulitan-kesulitan. Bila kebutuhan manusia dalam hidupnya tidak terpenuhi, maka akan timbul kekacauan. Kebutuhan manusia di bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya,  berupa hak unutk mendapatkan ketentraman, pekerjaan, pengakuan, pengharagaan, mengekspresikan diri dan aktualisasi diri. Semua ini harus mendapat tempat yang layak, sesuai dengan profesi masing-masing. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan fasilitas, lapangan pekerjaan, serta melindunginya dari gangguan pihak lain.
Untuk memenuhi hijayah di bidang ibadah, Islam telah memberikan hukum rukhsah (keringanan), kemudahan dan kelapangan apabila terjadi kesulitan dalam melaksanakan hukum azimah (ketetapan Allah). Dengan cara ini manusia dapat melakukan ibadah secara sempurna. Misalnya seorang wanita pada bulan puasa yang mendapatkan menstruasi, maka dapat digantikan dihari lain diluar bulan ramadhan. Di bidang muamalat, Islam menyariatkan berbagai kontrak dan transaksi dan di bidang hukum publik (uqubat), Islam menyariatkan sanksi hukum diyat (denda) agar terlepas dari hukuma qishas. Prinsip syariat dalam memenuhi hijayah adalah kemudahan dan keringanan bagi manusia, untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan rasul-Nya yang dapat diperhatikan dari berbagai pernyataan berikut :
“. . . Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan . . .”
(Q.S. 22 Al-Haj: 78)
“ . . .Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
(Q.S. Al-Baqarah: 185)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah”
(Q.S. An-Nisa; 28)

  1. Tahsiniyah.

Tahsiniyah adalah kebutuhan pelengkap, yaitu sesuatu yang dituntut oleh norma dan tatanan hidup manusia dalam pergaulannya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Untuk memelihara tahsiniyah di bidang ibadah, muamalah dan uqubat, Islam menyariatkan beberapa hukum yang membuat pergaulan manusia menjadi harmonis, selaras dan seimbang, misalnya dalam bidang ibadah, Islam mewajibkan bersuci, menutup aurat, berhias diri dan membersihkan lingkungan. Dibidang muamalah, Islam mengharamkan penipuan, pemalsuan, boros dan kikir. Di bidang uqubat, Islam mengharamkan pembunuhan, perusakan lingkungan, minuman keras dan sebagainya.
Prinsip syariat dalam mewujudkan tahsaniyah adalah kebagusan (tahsin) dan keindahan (tajmil) bagi mnausia unutk melaksanakan kewajibannya. Dapat diperhatikan sabda Rasulullah saw sebagai berikut
“saya diutus untuk mnyempurnakan akhlak”,
demikian juga sabda beliau yang lainnya
“sesungguhnya Allah itu suci/bersih, dia tidak akan menerima kecuali suci/bersih”
Dengan demikian, syariat Islam yang disampaikan oleh Allah kepada para rasul-Nya dalam rangka mewujudkan kebutuhan pokok sebagai hak-hak hamba yang harus dipenuhi kebutuhannya, dipelihara keberadaanya dan dilindungi dari segala macam ancaman yang dapat melenyapkannya. Sedangkan untuk kebutuhan pelengkap, syariat Islam memberikan kemudahan, kelapangan dan keringanan dalam menempuh jalan yang telah diisyaratkan dalam syariat Islam. Dua kebutuhan diatas belum dianggap sempurna oleh syariat Islam apabila tidak disempurnakan dengan mewujudkan kebutuhan penyempurna untuk menciptakan keharmonisan, keseimbangan dan keserasian dalam hidup manusia. Dalam tertib hukum Islam, kebutuhan primer harus lebih dahulu dilaksanakan daripada kebutuhan sekunder dan tersier.

E.        RUANG LINGKUP SYARIAT ISLAM
            Selanjutnya akan kita bahas mengenai ruang lingkup syariat Islam agar kita mengetahui dengan jelas bagaimanakah sebenarnya syariat Islam diperlukan dalam kehidupan manusia. Syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spritual (aqidah rukhiyah) dan ideologi politik (akidah siyasiyyah). Spritualisme Islam telah membahas pribadi manusia dengan Allah yang terangkum dalam akidah dan ubudiah. Sebaliknya, ideologi politik Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan semuanya, baik menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, politik luar negeri, pendidikan dan sebagainya.[25]
            Jika kita membicarakan syariat Islam dari segi perspektif hukum Islam, maka akan secara tegas terbagi dalam disiplin ilmu hukum. Sebenarnya syariat Islam tidak membedakan secara tegas wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang dilakukan dalam ilmu hukum barat, seperti yang kita pahami dalam ilmu hukum barat karena dalam wilayah hukum privat terdapat segi-segi hukum publik, demikian pula dalam wilayah hukum publik terdapat segi-segi hukum privat. Jika kita membicarakan ruang lingkup syariat Islam dalam arti fiqih Islam meliputi, munakahat, wirasah, muamalat dan dalam arti khusus jinayah atau uqubat, al-ahkam as-silthaniyah (khilafah), siyar dan mukhasamat..[26]
            Apabila kita mensistematisasikan syariat Islam seperti dalam tata hukum Indonesia, akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai berikut : [27]
1.  Hukum Perdata.
Hukum Perdata Islam meliputi :
a.  Munakahat.
Mengatur segala sesuatu mengenai perkawinan dan perceraian beserta sebab akibat hukumnya.
b.  Wirasah.
Mengatur segala masalah yang berkaitan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum waris Islam ini juga disebut hukum faraid.

c.  Muamalat (dalam arti khusus)
Mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, kontrak dan sebagainya yang berhubungan dengan muamalat secara khusus.

2.  Hukum Publik.
a.  Jinayah.
Memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun jarimah ta'zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah tibdakan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Alquran dan As sunnah sedangkan jarimah ta'zir adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman perbuatannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
b.  Al-ahkan Assulthaniyah.
Membicarakan permasalahan yang berhubungan dengan kepala negara/pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, pajak dan sebagainnya.
c.  Siyar.
Mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama lain dan negara lain.
d.  Mukhasamat.
Mengatur soal pendidikan, kehakiman dan hukum acara.

            Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti luas tersebut dibandingkan dengan susunan hukum barat, seperti dalam pengantar ilmu  hukum, maka munakahat dapat disamakan dengan hukum perkawinan, wirasah sama dengan hukum waris, muamalat dalam arti khusus sama dengan hukum benda dan perjanjian, jinayah sama dengan hukum pidana dan al-ahkam assulthaniyah sama dengan hukum ketatanegaraan, yaitu tata negara dan administrasi negara, sedangkan siyar sama dengan hukum internasional dan mukhasamat sama dengan hukum acara.
BAB III
PENERAPAN SYARIAT ISLAM

            A.  TEORI PENERAPAN SYARIAT ISLAM
            Jauh sebelum pemikir-pemikir barat mengemukakan temuan mereka atas berbagai konstitusi Yunani, Sejarah Islam telah mencatat bahwa sejak jaman Muhammad, telah merintis adanya sebuah konstitusi tertulis yang pertama yang kemudian dikenal dengan “Piagam Madinah”. Hal ini membuktikan bahwa Madinah sebuah negara yang memiliki konstitusi atau ketetapan yang memberlakukan syariat Islam bagi para penduduknya. Pentingnya konstitusi ini berpengaruh bagi legalitas penerapan syariat Islam. Penerapan syariat Islam di Madinah ini tidak hanya berlaku bagi umat Islam, namun juga berlaku bagi golongan lain yang bertempat tinggal di Madinah. Muhammad, saat itu memandang perlu meletakkan aturan pokok untuk mengatur tata kehidupan bersama di Madinah.
            Sebagai langkah awal, Muhammad,  mempersaudarakan muslim pendatang dengan muslim Madinah, persaudaraan tersebut bukan hanya dalam perbuatan sehari-hari namun juga sampai pada tingkat saling mewarisi dan kemudian diadakan perjanjian untuk hidup secara damai, baik diantara golongan-golongan Islam ataupun golongan Yahudi. Kesepakatan tersebut secara formal ditulis dalam satu naskah yang disebut sahifat. Kesatuan hidup yang baru dibentuk tersebut dipimpin oleh Muhammad dan Madinah menjadi negara yang berdaulat.
            R.A. Nicholson meneyebut perjanjian tersebut sebagai “charter” karena isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipnya unutk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik.
            Sedangkan Madjid Kahdduri menyebutnya “treaty” karena Muhammad membuat perjanjian persahabatan antara muhajirin dan anshar sebagai komunitas Islam di satu pihak dan antara kaum muslimin dan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta kebersamaan mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari perjanjian tersebut.
            W. Montgomery Watt menyatakan bahwa dokumen piagam Madinah itu diakui secara autentik, dengan hal ini piagam tersebut merupakan sumber ide yang mendasari penerapan syariat Islam dan pembentukan negara Islam, namun dari berbagai keterangan  tentang pengertian konstitusi, jika kita mengacu pada pembentukan negara modern, maka sebuah konstitusi negara dapat diartikan himpunan peraturan-peraturan pokok mengenai penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan organisasi negara, kedaulatan negara dan pembagian kekuasaan anatara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya, cita-cita ideologi negara dan sebagainya. Dengan pengertian dan klasifiaksi tersebut maka piagam madinah tidak memenuhi secara paripurna namun dapat disebut sebuah konstitusi karena secara formal tertulis.
            Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa Piagam Madinah merupakan sumber ide untuk penerapan syariat Islam dan pembentukan negara Islam, hal inilah yang mendasari umat Islam setelah zaman Muhammad, sampai dengan saat ini memiliki cita-cita mendirikan sebuah negara Islam dengan syariat Islam sebagai hukumnya, walaupun di negara tersebut terdiri dari berbagai macam agama dan golongan. Tidak terkecuali di Indonesia, umat muslim Indonesia bercita-cita bahwa negara ini berdasarkan atas syariat Islam dalam setiap segi kehidupan bangsa dan negara, sebuah masyarakat yang Madani.
            Yang menjadi permasalahan dan perdebatan selama ini, baik dalam golongan muslim ataupun lintas agama mengenai penerapan syariat Islam adalah penerapan yang seperti apa yang akan dilakukan. Secara konseptual Syariat Islam adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan, tidak hanya bagi umat Islam, akan tetapi bagi seluruh manusia hingga akhir zaman.
            Perdebatan secara teoritis tentang bagaimana penerapan syariat Islam di Indonesia melahirkan teori-teori dari berbagai para ahli, untuk hal itu kita akan membahasnya untuk mengetahui bagaimana seharusnya penerapan syariat Islam di Indonesia.
            Teori pemikiran tentang penerapan syariat Islam yang akan dibahas dibawah ini, merupakan kristalisasi pemikiran para ahli yang telah teruji kebenarannya dan telah diakui oleh kalangan ilmuwan atau masyarakat lain pada masanya. Walaupun tidak dapat dipungkiri teori-teori tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis dan suasana politik yang berkembang pada saat itu, dan atau juga dipengaruhi oleh faktor sosiologis, kultural, ideologis dan relegitas seseorang, sehingga masih memungkinkan adanya unsur subjektivitas, namun masih didasarkan pada sumber kebenaran yang mutlak (Al-Quran) maka hasilnya perlu direspons secara positif namun disertai sikap kritis.
            Secara konseptual sesugguhnya telah banyak teori-teori mengenai penerapan syariat Islam secara kaffah yang diwajibkan bagi pemeluk agama Islam. Teori penerapan syariat Islam ini banyak dikemukakan oleh para ulama, politikus Islam, akademisi serta cendekiawan bertaraf nasional maupun internasioanal yang tetap konsisten dan konsen terhadap masalah penegakan syariat Islam. Teori penerapan ini merupakan penguatan terhadap pentingnya penerapan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan manusia dan pada prinsipnya umat Islam setuju sebagai tuntutan Allah dan rasul-Nya. Dibawah ini akan dibahas teori-teori tersebut berdasarkan formalistik legastik dan analisis akademis.
  1. Teori Pemikiran Formalistik-Legalistik
Penerapan syariat Islam harus formalistik-legalistik melalui institusi negara disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, Ketua Front Pembela Islam.[28]Ia mengemukakan bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangakan dan secara subtansial harus diamalkan. Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitasnya sedangkan subtansinya ditinggalkan, begitu juga sebaliknya. Ia tidak setuju bila mengatakan yang penting subtansinya, formalitasnya tidak perlu, justru dengan formalisasi, maka subtansi bisa diamalkan.  Ia juga menyitir pendapat Al-Ghazali yang berbicara tentang tata negara Islam, bahwa agama adalah pondasi, pemerintah adalah penyangganya, sesuatu yang tidak ada penyangganya pasti akan rubuh dan sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hilang. Karenanya menurut Habib Riziq, jangan memisahkan agama dengan kekuasaan, tetapi jadikanlah kekuasaan untuk menjaga agama. Berbicara kekuasaan berarti formalistik, sedangkan berbicara agama adalah subtansial.
Berkaitan dengan pertanyaan apakah syariat Islam harus diformalisasikan dalam sebuah konstitusi, Riziq menjawab, Ya, negara itu nantinya dapat menjaga berjalannya syariat, sembari mengutip Khalifah Usman bin Affan, yang mengatakan, sesungguhnya Allah mencegah sejumlah perkara dengan kekuasaan penguasa, jika tidak dicegah Alquran. Dalam hal ini Riziq memberi contoh, syariat Islam mengharamkan minuman keras, tetapi syariat tidak menangkap pelakunya untuk diberikan sanksi hukum, maka tugas para penguasa untuk melakukannya, apalagi bagaimana jadinya jika pabrik pembuat minuman keras tidak dilarang, kemudian bagaimana subtansi itu dapat dijalankan bila formalisasi tidak diperjuangkan
Pemikiran ini juga muncul dari golongan Islam garis keras, seperti Adian Husaini, Sekjen Kesatuan Solidaritas Untuk Dunia Islam (KISDI). Ia berpendapat dalam masyarakat yang plural, dimana umat Islam yang pro terhadap penegakan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak memegang kendali pemerintahan, upaya penegakan syariat Islam akan menjadi dilematis berkepanjangan. Adian menyitir pendapat KH. Wachid Hasyim dalam sidang BPUPKI, “setelah disepakatinya Piagam Jakarta masih ada umat Islam yang mempertanyakan seputar status hukum negara Indonesia dalam perspektif Islam”, persoalan inipun menjadi perdebatan para fuqoha Indonesia, tentang keabsahan pemerintah Indonesia dalam pandangan hukum Islam sangat penting untuk ditetapkan, sebab umat Islam diperintahkan untuk menaati ulil amri mereka. Tentang hak ini ia mengutip fiman Allah, “Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya serta ulil amri diantara kamu, jika kamu berselisih sesuatu maka kembalikan urusan itu kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu adalah lebih baik dan langkah yang lebih tepat.
(Q.S. 4 An-Nisa: 59)
Berdasarkan ayat tersebut, kata Adian, maka perlu dipertanyakan, apakah pemerintah RI termasuk ulilamriminkum atau tidak. Jika ya, maka ada kewajiban untuk menaati perintah atau keputusannya selama bukan hal kemaksiatan.  Demikian juga dalam masalah privatisasi agama, Adian menegaskan bahwa syariat Islam dalam kenyataannya susah diaplikasikan, karena dalam amsyarakat Islam modern, hukum privat Islam, seperti hukum perkawinan, waris dan sebagainya, membutuhkan campur tangan negara. Demikian juga untuk pemberlakukan bank yang berlandaskan syariat Islam, diperlukan campur tangan pemerintah dalam hal pengesahan peraturan atau Undang-undangnya, karenanya, kata Adian, selama umat Islam masih memandang bahwa syariat Islam sebagai perintah Tuhan akan selalu dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka membutuhkan campur tangan negara.
Terdapat juga di kalangan muslim yang tidak setuju terhadap formalisasi syariat Islam melalui konstitusi. Bagi mereka yang menolak, bukan berarti tidak setuju tentang pemberlakukan syariat Islam, namun ketidaksetujuan itu terjadi manakala syariat Islam diformalisasikan melalui institusi negara atau dijadikan sebagai hukum positif menjadi Undang-undang negara. Ahmad Syafi'i Ma'arif, menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam di suatu negara harus dikaji lebih cermat dan harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang lebih dahulu memberlakukan syariat Islam sebagai hukum positif serta masa lalu di Indonesia. Menurut beliau, lebih baik mencerna lebih dalam apa yang dikatakan Bung Hatta dalam memahami syariat Islam, “pakailah garam, terasa tetapi tidak tidak kelihatan dan jangan menggunkan gincu, kelihatan tetapi tidak tearasa”, artinya, jika mengikuti falsafah agama, ajaran Islam diharapkan dapat mewarnai cara bertindak, berpikir dan merasa meski tidak diformalisasikan. Dampaknya menurut dia jauh lebih baik karena akan terjadi internalisasi nilai-nilai. Praktik seperti ini lebih melihat isi daripada kulit, karena itu nasihat Bung Hatta perlu direnungkan kembali sehingga dapat memahami realitas lebih tepat lagi. Orang-orang yang memahami syariat sebagai hukum fiqih saja, menurutnya sangat simplisistik.
Dikalangan praktisi hukum, pemikiran ini juga dikemukakan oleh Bisma Siregar[29]yang menyatakan bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam tidak perlu diperintahkan secara formal berdasarkan undang-undang, sekali dirinya menyatakan umat Muhammad, dengan dua ikrar kalimat syahadat, maka berlakulah menjalankan syariat Islam bagi dirinya. Keberlakuan ini tidak sama dengan anggapan sementara pihak, didasarkan atas adagium “setiap orang mengetahui hukum”. Bismarpun berpendapat bahwa Islam sebagai agama sekalipun menjadi hukum tidak membenarkan yang disebut legal formalistik karena penerapan hukum bukan dari negara, bukan dari siapapun, melainkan dari diri sendiri sebagai tuntutan akidah. Hukum yang akan ditegakkan itu bukan hukum yang tertulis, walaupun tidak diabaikan, melainkan hukum berdasarkan nilai moral, lebih penting akhlak mulia daripada formalistik legalistik.

  1. Teori Pemikiran Struktural.
Aspirasi umat Islam dalam menerapkan syariat Islam tidak dapat dipisahkan dari proses tranformasi sosial dan politik dalam konteks Islam sehingga melahirkan berbagai pendekatan. Pendekatan struktural menekankan tranformasi dalam tatanan sosial dan politik agar bercorak Islami, sedangkan pendekatan kultural menekankan tranformasi dalam prilaku sosial agar sinergis. Tranformasi melalui pendekatan struktural dimaksudkan dapat mempengaruhi tranformasi sosial agar lebih Islami. sebaliknya tranformasi prilaku sosial diharapkan dapat mempengaruhi tranformasi institusi-institusi sosial dan politik lebih Islami. Pendekatan struktural menyaratkan pendekatan politik, loby atau melalui sosialisasi, ide-ide Islami, kemudian menjadi masukan dalam pembuatan proses kebikan umum.
Salah seorang cendikiawan muslim yang mendukung pendekatan struktural adalah Amin Rais.[30] yang berpendapat bahwa tranformasi nilai-nilai Islam melalui kegiatan dakwah haruslah mencakup semua dimensi kehidupan manusia yang berarti adanya upaya Islamisasi semua aspek kehidupan manusia. Kegiatan dakwah harus dilakukan secara simultan dengan gerakan-gerakan lain dalam berbagai bidang kehidupan yang ditujukan untuk merubah status quo. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmiah dan lainnya harus menjadi sarana untuk merealisasikan nilai-nilai Islam. Dalam konteks politik, hal ini sangat terkait dengan kekuasaan dan metode penggunaan kekuasaan. Penggunaan politik juga berkaitan dengan metode dan proses manajemen negara. Dengan fungsi penting ini politik menentukan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum dan aspek kehidupan yang lain sehingga kegiatan politik diintegrasikan ke dalam kehidupan muslim. Hal ini merupakan sebuah media dakwah yang dengan sendirinya akan mendukung kontruksi kehidupan sosial umat berdasarkan syariat Islam. Amin mendukung perumusan dan implementasi sistem sosial Islam, termasuk melegislasi hukum Islam dalam tata hukum negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  1. Teori Pemikiran Kulturalistik.
Berbeda dengan pemikiran strukturalistik yang disampaikan oleh Amin Rais, teori ini lebih memandang kedekatan kultural sebagai internalisasi dalam tingkah laku sosial di masyarakat. Syariat Islam diposisikan sebagai bagian dari hidup manusia, sehingga dengan sendirinya prilaku manusia tersebut akan selaras dan sejalan dengan syariat Islam, baik secara sosial, politik, budaya dan hukum. Para pendukung teori ini menginginkan syariat Islam menjadi konsep dari ide-ide, sumber dari etika dan moral, sebagai sumber inovasi dalam pembangunan bangsa, bahkan sebagai sumber komplementasi dalam pembentukan struktur sosial. Semua pendukung teori pendekatan struktural menyetujui pendekatan secata kultural, namun tidak semua pendukung teori penerapan syariat Islam secara kultural menyetujui pendekatan secara struktural. Hal ini dikarenakan pendekatan secara kultural cenderung lebih mudah untuk dilaksanakan daripada pendekatan struktural yang membutuhkan suasana politik yang kondusif pada saat itu. Bahkan dalam kenyataannya, pendukung pendekatan struktural sering menggunakan metode-metode kultural sehingga seringkali terjadi ambigu tentang kedua pendekatan ini.
K.H. Abdurahman Wahid, adalah salah satu pendukung teori pendekatan ini, ia menyadari secara historis, ekspresi ideologi Islam tidak berhasil. Sehingga dibutuhkan sebuah pendekatan kultural untuk menanamkan kesadaran pada umat muslim untuk melaksanakan syariat Islam. Selanjutnya menurut beliau, Islam harus bertindak sebagai faktor komplementer untuk mengembangkan sistem sosio-ekonomi dan politik, bukannya sebagai faktor alternatif yang dapat membawa dampak disintregatif terhadap kehidupan bangsa secara keseluruhan. Beliau mencatat bahwa umat Islam telah dapat menerima falsafah negara, sedangkan secara bersamaan masih mempertahankan jalan hidup Islamnya dalam kehidupan kesehariannya, maka dari itu beliau tidak menyetujui Idealisme Islam sebagai sebuah sistem sosial. Meski demikian, beliau menyarankan sebuah pandangan fungsional unutk menyatukan persepsi universal mengenai Islam dan persepsi satu negara tertentu. Islam haruslah dipandang dari fungsinya sebagai sebuah falsafah hidup yang menekankan kesejahteraan rakyat, rahmatan lil'alamin tanpa melihat sistem politiknya. Jadi pendapat beliau, Islam dapat berfungsi secara penuh dalam kehidupan masyarakat melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai sebuah etika dalam masyarakat, fungsi tersebut bukanlah sebuah bentuk tertentu dari negara tetapi sebuah sistem etika sosial yang ditujukan untuk membimbing masyarakat dan negara sesuai dengan martabat manusia.
Mengenai legalisasi syariat Islam, beliau mencatat bahwa tidak semua ajaran Islam dilegalisasi oleh negara. Banyak hukum negara yang berlaku secara murni dalam bentuk bimbingan moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh masyarakat. Kejayaan hukum agama tidak akan hilang dengan fungsinya sebagai sebuah sistem etika sosial. Kejayaannya bahkan akan tampak karena pengembangannya dapat terjadi tanpa dukungan masif dari negara. Karena hal ini beliau lebih cenderung menjadikan syariat Islam sebagai perintah moral daripada sebuah tatanan legalistik formalistik. Beliau juga setuju untuk mengintregasikan syariat Islam kepada hukum nasional, selanjutnya menurut beliau, Islam haruslah tidak berfungsi sebagai ideologi politik, akan tetapi sebagai kekuatan politik. Dengan fungsi ini, Islam di Indonesia harus dikonfirmasikan dalam Pancasila sebagai satu-satunya asas dan umat Islam harus mengakui supremasi UUD 1945 serta konsekuensi-konsekuensinya, termasuk dalam kasus ketidaksejalanan antar hukum Islam dengan hukum nasional. Pendapat seperti ini menjadi platfom dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai manifestasi dari gagasannya.
  1. Teori Pemikiran Subtantialistik-Aplikatif
Di kalangan akademisi, pemikiran penerapan syariat Islam lebih cenderung kepada analisis akademis yang tidak menunjukan pro dan kontranya karena mereka tidak memihak kepada pendapat siapapun dan pihak manapun. Pemikiran dan pendapat ini hanya lahir sebagai sebuah tujuan akademis dari ideologi Islam yang bersifat dogmatis dan aplikatif. Penerapannya akan diserahkan kepada umat Islam sendiri, apakah harus berdasarkan otoritas negara yang diaplikasikan dalam bentuk perundang-undangan formalistik atau hanya bersifat kultural. Pemikiran ini antara lain disampaikan juga oleh Juhaya S. Praja, Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung,[31]beliau memberikan komentar atas wacana bagaimana menjadikan hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum Pancasila. Menurutnya, walaupn dalam praktik tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, syariat Islam masih memiliki arti besar bagi umat Islam, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan syariat Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, syariat Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang dianggap baik atau buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurispridensial dari hukum Islam telah diserap menjadi hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam dari berbagai negera sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih memiliki appeal cukup besar.
H. Muhammad Daud Ali, Guru besar Hukum Islam UI[32], menjelaskan bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia ada dua macam, yaitu normatif dan formal yuridis. Hukum Islam yang berlaku secara normatif adalah bagian hukum Islam yang mempuyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar. Kuat tidaknya sanksi hukum tersebut tergantung dari kuat atau tidaknya kesadaran umat Islam akan norma-norma hukum Islam yang bersifat normatif tersebut. Hukum Islam yang bersifat normatif tersebut seperti salat, puasa, zakat dan haji. Selanjutnya menurut pendapat beliau hampir semuanya hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah bersifat normatif, bahkan keinsyafan akan haram dan halalnya sesuatu merupakan sumber kesadaran hukum bangsa Indonesia yang beragama Islam, untuk tidak melakukan perbuatan yang berkaitan dengan perzinahan, pencurian, riba dan sebagainya. Ditaati atau tidaknya hukum Islam yang berlaku secara normatif dalam masyarakat Islam Indonesia, tergantung dari kadar keimanan seseorang. Berkaitan dengan hukum Islam yang berlaku formal yuridis, beliau juga mengemukakan  bahwa hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda di dalam masyarakat, di dalam proses peralihanyya menjadi hukum positif haruslah berdasarkan oleh peraturan dan perundang-undangan, misalnya hukum tentang perkawinan, hukum kewarisan dan hukum wakaf yang telah dikompilasikan. Untuk menegakkan hukum Islam yang telah menjadi hukum positif itu, telah didirikan Pengadilan Agama sejak 1882 di Jawa dan Madura. Oleh karena itu menurut beliau, orang yang akan menjadi penegak atau pelaksana hukum Islam dalam masyarakat Islam Indonesia harus mempelajari hukum Islam dan perangkat penegakannya.
KH. Didin Hafidhudhin[33]mengemukakan ajaran Islam adalah sebuah dogmatis dalam soal akidah, inklusif dalam muamalat serta aplikatif dalam kehidupan. Hal ini beliau kemukakan untuk menjawab pernyataan dari kelompok Jaringan Islam Liberal, yang menyatakan bahwa Islam bersifat eksklusif dengan pemaknaan merasa paling benar, agama lain dianggap sesat, irasional dan tradisional sehingga diperlukan rekontruksi dan pembaharuan terhadap ajaran Islam. Beliau menjelaskan, bahwa Islam merupakan agama yang sangat inklusif dan bukan ajaran agama yang bersifat eksklusif, namun inklusifitas yang dimaksud adalah bahwa ajaran Islam bersifat universal dan dapat diterima oleh semua pihak yang berakal sehat tanpa memperdulikan latar belakang, suku bangsa, status sosial dan berbagai atribut keduniawian lainnya. Islam tidak diturunkan kepada suatu bangsa, tetapi untuk semua umat manusia dan alam semesta. Untuk memperkuat argumentasinya ini, beliau mengutip firman Allah,
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sbegai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(Q.S. Saba':28).
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam”
(Q.S. Al-Anbiya:107)
Dari keuniversalan itu beliau menyimpulkan, bahwa Islam merupakan agama yang syumuliyah yang mencakup seluruh aspek-aspek kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, kenegaraan, pertahanan dan keamanan, serta bidang kehidupan lainnya. Rasul dan para sahabatnya mampu membuktikan  kebenaran Islam dalam berbagai bidang dan mereka berhasil membangun sebuah peradaban masyarakat yang luar biasa, yang tidak ada tandingannya. Rasulullah telah berhasil membangun tipologi masyarakat idaman yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran  dan kemanusian yang universal.
Pemikiran tentang pemberlakuan syariat Islam juga lahir dari para pengamat dan penulis, seperti Mokhtar Mas'oed[34] yang menyatakan bahwa ketika meniti perjuangan politik, para pemimpin dan aktivis Islam negeri ini ternyata memunculkan strategi yang berbeda-beda, bahkan cenderung bertentangan. Secara sederhana kita dapat melihat dua strategi utama yang bisa dirumuskan, pertama, strategi “Islamisasi Negara” demi masyarakat. Kedua, strategi “masyarakat dalam negara nasional”. Gagasan yang mendasari kedua strategi ini mungkin bisa dirumuskan sebagai berikut. Strategi pertama didasarkan pada gagasasn bahwa negara harus mengatur kehidupan masyarakat Islam berdasarkan syariat Islam, sedangkan strategi kedua justru menekankan bahwa negara seharusnya tidak terlalu banyak mengatur kehidupan masyarakat. Dalam perjalanannya, kedua strategi ini mengalami pencabangan. Tanggapan awal terahadap persoalan umat yang digambarkan dia atas muncul dari para pemimpin yang meyakini bahwa kehidupan masyarakat Indonesia harus mencerminkan syariat Islam. Romantisme perjuangan di masa awal kemerdekaan itu mendorong para pemimpin Umat Islam untuk menerapkan kebijakan yang seringkali bersifat konfrontatif. Inilah versi konvensional dari strategi yang pertama. Sedangkan penganut strategi kedua tidak terlalu mementingkan Islamisasi negara. Agenda politiknya juga tidak formalisme syariat Islam, tetapi fokusnya adalah pemberdayaan masyarakat Indonesia yang secara demografis sebagian besar umat Islam, hingga diprediksi mampu mengembangkan secara otonom. Perjuangan Islam tidak harus menggunakan simbolisme format ke-Islaman, walaupun karakterisasi ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi cukup bisa menggambarkan strategi alternaitf ini.
Banyak sekali teori-teori pemikiran yang mengemuka tentang penerapan syariat Islam yang disampaikan para ahli. Sesungguhnya pemikiran-pemikiran tersebut bukan sekedar teoritis saja yang dianggap berada di atas langit sehingga tidak membumi, akan tetapi pada tataran praktis, pemikiran-pemikiran tersebut, sekali lagi telah dibuktikan oleh rasulullah dan para sahabatnya. Syariat Islam telah diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan secara konsisten dan konsekuen sehingga mereka mendapatkan kemenangan, kejayaan, kemakmuran dan kebahagian. Teori pemikiran itu dapat dijadikan pijakan secara akedemis maupun praktis pada beberapa daerah yang kini sedang giat-giatnya memberlakukan syariat Islam. Apakah mampu mengekspresikan syariat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara atau malah sebaliknya, menjadi bulan-bulanan syariat itu sendiri, bahkan merupakan sebuah kecaman dari pihak lain yang selama ini memang menentang pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.
Sejalan dengan perintah Allah serta berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, penulis berpendapat bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja, akan tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh manusia tanpa mengenal ras, politik, sosial, budaya bahkan akidah sekalipun, yang dapat melaksanakan syariat Islam, dia akan mendapat keberuntungan bagi semuanya.tetapi di akhirat kebahagiaan hanya akan diperoleh sesuai dengan keimanan dan derajat ketaqwaannya, oleh karena itu bila syariat Islam tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat Islam secara Individual ini memang hanya bisa pada tataran normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah saja, sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik tetap harus ada campur tangan pemerintah untuk melegalisasi peraturan dan perundang-undangan serta penegakan hukumnya. Manakala pemerintah dan negara tidak dapat merealisasikan hal ini, jalan keluarnya adalah tetap umat Islam harus mempunyai komitmen dan bersikap konsisten terhadap kebenaran. Sikap pertama, umat Islam haruslah sami'na waatha'na, merespon perintah dan menaatinya dengan cara melaksanakan kewajiban dan tidak melakukan yang dilarang oleh syariat Islam. Kedua, umat Islam harus melakukan konsolidasi dengan segenap komponen masyarakat melalui prinsip ta'awanu'alalbirri wattakwa wala ta'awanu'alalismi wakudwan, saling tolong menolong dalam kebaikan dan menghindari kolaborasi dibidang kejahatan. Ketiga, Umat Islam wajib secara terus menerus melakukan amar ma'ruf nahyumunkar terhadap orang lain di berbagai level, sesuai peran dan fungsi masing-masing sebagai khalifatan fil ardhi. Dengan cara-carai ini, Umat Islam dimanapun akan terhindar dari kategorisasi kafir, zalim, fasik dan murtad yang disebabkan tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah.
                       
            B.  FORMALISASI SYARIAT ISLAM
            Formalisasi syariat Islam di Indonesia saat ini sedang marak disuarakan oleh para tokoh dan masyarakatnya. Dengan alasan utama bahwa sembilan puluh persen rakyat Indonesia beragama Islam, maka muncullah ide dan gagasan pemberlakuan syariat Islam. Melalui tulisan ini, dimksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana kesungguhan umat Islam yang diwakili oleh berbagai komponen masyarakat, untuk memberlakukan syariat Islam. Apakah kenyataannya mengacu pada ajaran Islam atau justru mengikuti teori dan pemikiran tertentu. Demikian juga apabila dilihat dari keseriusan masyarakatnya, apakah upaya formalisasi syariat Islam ini hanya sebuah wacana saja untuk kepentingan sesaat beberapa golongan atau memang dilakukan sebagai sebuah kewajiban melaksanakan perintah agama, atau juga merupakan langkah-langkah politik demi memenangkan sebuah kepentingan golongan atau partai politik.
            Kajian dalam tuliasan ini bersifat teoritis empiris berdasarkan beberapa teori pemikiran yang bersifat, formalistik-legalistik, strukturalistik, kulturalistik atau subtansialistik-aplikatif. Untuk memperkuat teori-teori tersebut, penulis melakukan analisa dan kajian kepustakaan sebagai sumbernya. Analisa kepustakaan tersebut berupa kajian berbagai buku dan sumber tertulis lainnya.
            Formalisasi syariat Islam tentunya tidak lepas dari teknis penyusunan hukum, hal ini menjadi salah satu syarat sebagai sistematisasi hukum. Dalam kajian ilmu hukum dikenal istilah penyusunan atau pembukuan hukum dalam bentuk kodifikasi hukum, unifikasi hukum dan kompilasi hukum dengan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak berkaitan dengan keabsahan prosesnya atau kepastian hukumnya, tetapi hanya menunjuk karasteristik tersendiri sebagai sebuah buku hukum dari segi teknis penyusunannya. Untuk mengetahuinya maka akan dibahas sebagai berikut :
  1. Kodifikasi Hukum
Kodifikasi yang dalam bahasa Belanda disebut codificatie dan dalam bahasa Inggris adalah codification, diartikan sebagai pengumpulan sejumlah ketentuan dan peraturan serta perundang-undangan yang disusun menjadi sebuah buku hukum aau buku perundang-undangan. Dalam praktiknya kodifikasi diterjemahkan dengan istilah kitab undang-undang untuk membedakannya dengan undang-undang. Kodifikasi yang disamakan dengan produk kitab undang-undang, cakupannya lebih luas dibanding dengan undang-undang. Ia bisa mencakup hukum tertentu secara keseluruhan yang tidak didapatkan dalam sebuah undang-undang biasa. Istilah Undang-undang (wet) dan Kitab Undang-undang (wetboek), selalu mengacu pada bentuk formal yang telah ditentukan dalam peringkat undang-undang yang berlaku.[35]
Dibidang hukum nasional, Indonesia pernah melakukan kodifikasi terhadap berbagai undang-undang warisan kolonial Belanda. Bentuk kodofikasi tersebut adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Starftrecht), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel). Sedangkan di bidang syariat Islam, kodifikiasi belum pernah dilakukan ke dalam bentuk hukum nasional. Sebenarnya kodifikasi syariat Islam ke hukum nasional bisa dilakukan, hal ini dapat bersumber dari berbagai kitab yang disusun oleh para ahli fikih, kitab-kitab fikih tersebut telah tersusun sistematis sesuai dengan pokok permasalahannya, contohnya seperti, fikih ubudiah, fikih muamalah, fikih jinayah, fikih siyasah, dan sebagainya. Dari hal sistematisasi berikut, terlihat bahwa sebenarmya syariat Islam jauh lebih lengkap dan sempurna.
  1. Unifikasi Hukum
Istilah unifikasi sebenarnya tidak ditemukan dalam kamus hukum, dengan demikian istilah tersebut sebenarnya tidak termasuk dalam kategori istilah hukum, namun mengapa penulis juga menganalisanya, hal ini dimaksudkan untuk memberikan perbedaan yang jelas mengenai sistematisasi hukum. Untuk menemukan pengertian dari unifikasi dapat ditemukan dalam kamus bahasa Indonesia. Unifikasi diartikan sebagai hal menyatukan, penyatuan, dan menjadikan seragam. Dari pengertian tersebut, unifikasi hukum dapat diartikan sebagai penyatuan berbagai hukum secara sistematis yang berlaku bagi seluruh warga negara di sebuah negara. Proses unifikasi hukum di Indonesia tampaknya lebih rumit dibandingkan proses kodifikasi hukum karena berkaitan dengan sistem hukum yang ada. Keanekaragaman bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, sosial, budaya, politik, kepercayaan dan tingkat pemahaman terhadap sesuatu hal serta tingkat kemauan terhadap sesuatu kepentingan dapat menambah kesulitan.
Unifikasi hukum merupakan kebutuhan masyarakat untuk mengisi dan melengkapi hukum nasional yang berasal dari berbagai sumber hukum, diantaranya hukum adat, syariat Islam dan hukum peninggalan kolonial Belanda. Sebaiknya keanekaragaman masyarakat dalam kerangka pembentukan hukum nasional janganlah menimbulkan pertentangan yang berakibat sebagai sumber konflik didalam masyarakat itu sendiri, melainkan harus sinergis untuk saling melengkapi dalam sistem hukum nasional. Berbagai pihak haruslah mampu mengelola sumber hukum ini menjadi satu kesatuan hukum.
Upaya ke arah unifikasi hukum nampaknya jarang dilakukan oleh pemerintah, maupun oleh wakil rakyat ataupun dari pihak akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Padahal, begitu banya sekali persoalan kemasyarakatan yang harus diselesaikan melalui jalur legislasi, diantaranya mempersatukan keragaman hukum yang tersebar dari berbagai sumber hukum menjadi hukum nasioanal. Ketiadaan proses unifikasi hukum saat ini disebabkan oleh tiga faktor, pertama, berkaitan dengan tingkat kerumitan penyatuannya, kedua, ketiadaan netralitas hukum bersangkutan, ketiga, dianggap tidak perlu lagi menempuh jalur unifikasi. Dengan demikian, pemerintah saat ini lebih banyak melahirkan hukum dalam perundang-undangan yang bersifat spesifik bagi kalangan tertentu, tetapi diberlakukan secara nasional.
Sebenarnya di bidang unifikasi hukum, bangsa Indonesia pernah mempunyai pengalaman yang mengacu pada unifikasi hukum, bahkan Prof. Dr Hazairin, guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia, dalam bukunya “Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” menamakan Undang-undang tersebut sebagai sebuah unifikasi hukum, lebih lanjut beliau mengemukakan, bahwa hal ini merupakan sebuah unfikasi hukum yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Unifikasi tersebut bertujuan untuk melengkapi sesuatu yang tidak diatur oleh hukum agama atau kepercayaan, sehingga negara berhak mengaturnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya.[36]
  1. Kompilasi Hukum
Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilate”, yang dapat diartikan mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar dimana-mana. Istilah ini dikembangkan menjadi kompilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda dan kemudian dalam bahasa Indonesia disebut kompilasi. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum ?. Bila merujuk dari arti kompilasai secara etimologis, maka kompilasi bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum, maka kompilasi adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau aturan hukum. Penegertiannya memang berbeda dengan kodifikasi, tetapi kompilasi dalam pengertian ini juga merupakan sebuah buku hukum.
Dari sisi kajian hukum, istilah kompilasi sebenarnya tidak dikenal. Kompilasi merupaka istilah teknis yang dalam praktiknya terkadang menimbulkan perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini berdasarkan atas kedudukan dan keabsahannya.. Salah satu bentuk kompilasi hukum di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada saat awal penyusunannya tidak ada pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu. Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham tertentu, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. KHI diperuntukkan sebagai pedoman para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini, maka KHI dapat diartikan sebagai sebuah rangkuman dari berbagai pendapat ahli fiqih. Secara subtansial, KHI merupakan hukum normatif atau boleh juga diakatakan hukum formal bagi umat Islam Indonesia, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada instruksi presiden selaku pemegang otoritas dibidang perundang-undangan.
            Kembali pada masalah formalisasi syariat Islam, beberapa daerah saat ini telah mulai menerapkan syariat Islam dengan legislasi dalam Peraturan Daerah (Perda). Daerah-daerah tersebut secara historis memang memiliki kultur ke-Islaman yang sangat kuat sehingga memungkinkan untuk memberlakukan syariat Islam. Secara fakta historis, usaha pemberlakuan syariat Islam di wilayah hukum Indonesia dimulai sejak 1949. Ketika itu  pernah terjadi sebuah proklamasi negara Islam nusantara yang kemudian dikenal sebagai Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII). Islam muncul dengan wajah yang tegang dan garang, sehingga peristiwa tersebut “dimanipulasi” sebagai sebuah tindakan “pemberontakan”.
            Kajian terhadap formalisasi syariat Islam disini adalah bersifat yuridis-sosiologis yang mengedepankan kehidupan masyarakat Islami berdasarkan syariat Islam dan hukum nasional. Munculnya gerakan masyarakat di daerah untuk memberlakukan syariat Islam sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Bila dilihat dari fakta historis, memang ada kesinambungan atas masa lalu yang terjadi dan masa kini yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut. Tampilan masyarakat Islami saat ini dalam memperjuangkan syariatnya lebih elegan yang akan menampilakn Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin”. Hal ini perlu dilakukan karena stigmatisasi gerakan-gerakan Islam berhaluan garis keras membekas di setiap memory masyarakat, bahwa Islam adalah sebuah agama dengan spirit “jihad fi sabilillah”. Yang secara sempit diartikan sebagai sebuah gerakan yang menghalalkan segala cara untuk memberlakukan syariat Islam. Radikal dan horor, menjadi pengertian umum masyarakat, apalagi sejak peristiwa 11 September 1999 di USA, Islam diberi predikat “teroris”.
            Oleh karena itu, dimana saat ini telah berlaku otonomi daerah, pemerintah harus mengakomodir dan merespon secara positif terhadap keinginan umat Islam di berbagai daerah untuk memberlakukan syariat Islam. Selama masih dalam kerangka kesatuan dan persatuan bangsa serta tidak mengancam disintegrasi nasional, pemerintah haruslah memberikan suasana yang kondusif bagi daerah-daerah yang akan memberlakukan syariat Islam, hal ini dapat diartikan sebagai keanekaragaman dan pengayaan hukum nasional. Keinginan beberapa daerah untuk memberlakukan syariat Islam janganlah dianggap sebuah tindakan makar, trauma terhadap masa lalu memanglah wajar, namun saat ini haruslah diantisipasi secara proporsional, tetapi tidak secara berlebihan sehingga akan selalu muncul persepsi negatif dan kecurigaan terhadap umat Islam dan syariatnya.
            Formalisasi syariat Islam di beberapa daerah saat ini masih status quo, seperti yang berjalan selama ini. Ia belum menyentuh hukum publik yang selama ini justru merupakan kekurangan dalam aplikasi syariat Islam di Indonesia. Syariat Islam belum dilaksanakan secara kaffah karena masih terkendala oleh kebijakan hukum publik yang berkaitan dengan hukum pidana warisan kolonial Belanda yang selama ini belum mengakomodasi hukum Islam. Harapan para tokoh yang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam, apabila terlaksana amandemen hukum pidana nasional, dapat memasukkan unsur-unsur pidana Islam. Peraturan pelaksanaan hukumnya diatur melalui qanun yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan publik dan pemegang otoritas kekuasaan di daerah. Kendala lain dalam penerapan syariat Islam adalah karena berkembangnya berbagai mazhab pada masyarakat Islam itu sendiri sehingga memerlukan penyeragaman hukum pidana Islam.
            Namun demikian, pelaksanaan syariat Islam di sektor hukum publik, khususnya berkenaan dengan hukum pidana Islam, tidak berarti berhenti sama sekali.  Prosesnya terus berlanjut dengan lahirnya berbagai peraturan daerah tentang larangan perjudian, minuman keras, pelacuran, pencurian dan sebagainya.
Peraturan-peraturan daerah ini merupakan produk hukum sebagai langkah untuk memberikan kepastian hukum bagi para penegak hukum dan para pelaku tindak pidana. Upaya legislasi syariat Islam ini, sebagai sebuah langkah pengayaan norma-norma hukum positif terhadap hukum pidana nasional yang lebih menonjolkan keadilan hukum dan kemanfaatan hukum bagi seluruh komponen masyarakat. Inilah inti dari asas-asas hukum Islam secara umum yang semestinya diadopsi oleh hukum nasional.
            Formalisasi syariat Islam di daerah ini terkadang menimbulkan pertanyaan, kenapa banyak produk hukum daerah yang hanya berkaitan dengan shalat berjamaah, operasi jilbab di lingkungan pegawai dan di tempat umum. Bahkan sempat muncul isu-isu akan lahir peraturan daerah yang akan menghukum cambuk bagi muslim yang tidak melaksanakan shalat jamaah sebanyak tiga kali. Dalam prakteknya, aplikasi syariat Islam ini membalikkan fungsi sanksi atas nama Allah kepada kepala daerah, dengan kata lain sanksi tersebut adalah pengukuhan otoritas kepala daerah, lebih takut kepada kepala daerah daripada kepada Allah. Kesan ini muncul ketika peraturan ini diberlakukan, masyarakat berbondong-bondong melakukan shalat berjamaah karena takut dikenakan sanksi peraturan daerah tersebut, masyarakat menggunakan jilbab ketika diumumkan akan adanya operasi penertiban wanita yang tidak menggunakan jilbab, atau para pengusaha membayar zakat untuk keperluan kelancaran pengurusan administrasi bisnisnya daripada kewajiban sebagai muslim, sungguh hal ini jauh dari apa yang diterapkan oleh Muhammad ketika memimpin rakyat Madinah. Formalisasi semacam ini malah akan semakin memperburuk nilai-nilai yang terkandung dalam syariat Islam, masyarakat akan berada pada keadaan ketakutan psikologis ketika tidak mematuhi peraturan daerah tersebut. Disatu sisi, kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan kewajibannya sebagai seorang muslim adalah salah satu faktor tidak berhasilnya aplikasi syariat Islam, disisi lainnya formalisasi syariat Islam yang tidak dikaji lebih mendalam oleh para pemegang otoritas kekuasaan, menjadikan syariat Islam menjadi ketakutan tersendiri di dalam masyarakat.
            Oleh karena itu, sebelum syariat Islam benar-benar diterapkan sebagai hukum positif dalam masyarakat, diperlukan sebuah sosialisasi yang terus menerus, jika perlu dimulai dari usia dini, pada seluruh komponen masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengerti secara empiris, historis dan manfaatnya dalam memberlakukan syariat Islam, tentunya memerlukan semua unsur untuk mensosialisasikan syariat Islam. Salah satu cara yang efektif menurut penulis adalah mengembangkan pembangunan persepsi secara profesional di dalam masyarakat. Walaupun sebagian besar penduduk Indonesia sudah berpendidikan, yang diharapkan menilai sesuatu berdasarkan logika objektif, namun masih lebih banyak lagi masyarakat Indonesia yang masih mengedepankan emosional, para “pembela Islam” yang selama ini mereka klaim sebagai jalan “jihad” berperang melawan kekafiran (seperti yang ditunjukkan beberapa ormas Islam di Indonesia) ketika ditanya mengenai syariat Islam, maka sebagian besar diantara mereka tidak mengerti mengenai syariat Islam, yang mereka mengerti adalah, “kami muslim, maka kami memperjuangkan syariat Islam”.Hal semacam inilah yang membuat terjadinya Islam phobia di masyarakat, bukan hanya terjadi pada mereka yang bergama non Islam, bahkan pada masyarakat muslim itu sendiri.
            Formalisasi syariat Islam di daerah-daerah ini tidak cukup sebatas deklarasi, kongres umat Islam, pertemuan para ulama dan ahli fikih, atau kesepakatan antara pemimpin daerah dengan masyarakatnya, namun harus ditindaklanjuti dengan kegiatan sosialisasi, penyusunan qanun-qanun (hukum publik) yang berkaitan dengan keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Pemberlakuan syariat Islam jangan berhenti pada gerakan moral (moral force) atau lips service saja untuk kepentingan sesaat para pelopornya, namun penerapan syariat Islam haruslah terus berjalan sampai tataran praktis yang justru lebih penting daripada pendeklarasian formalisasinya.

C.  APLIKASI SYARIAT ISLAM DI BEBERAPA DAERAH
            Pada kali ini penulis akan membahas aplikasi syariat Islam di beberapa daerah yang telah melaksanakannya melalui peraturan daerah. Penulis akan mengkaji apakah penerapan Perda tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam itu sendiri atau hanya sebuah trend bagi para pemegang otoritas kekuasaan di daerah, ataupun hanya sebagai janji politik atas kemenangannya di pentas politik, hal itu akan kita analisa bersama dalam tulisan ini.
  1. Aplikasi Syariat Islam di Provinsi Nanggaroe Aceh Darussalam.
a.  Undang-undang Otonomi Khusus bagi Aceh
Secara kultural, keberadaan masyarakat aceh telah memperlihatkan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang unik, egaliter dan berkesinambungan dalam menyiapkan kehidupan duniawi dan ukrawi. Semboyan kehidupan bermasyarakat selalu menjadi pegangan umum, yakni “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana “ (adat dari Sultan, hukum dari Ulama, Qanun dari putri pahang, reusam dari Laksamana)[37]. Semboyan ini masih dapat diartikulasikan dalam perspektif modern dalam bernegara, mengatur pemerintahan yang demokratis serta bertanggungjawab. Tatanan yang demikian itu, sangat memungkinkan untuk dilestarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan tata nilai dan semboyan itu, masyarakat Aceh berkeinginan untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah secara khusus. Yang mendasar bagi rakyat Aceh adalah keinginan secara luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, mengatur dan mengelola sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam serta sumber daya manusianya untuk menumbuhkembangkan prakarsa, kreatifitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungssikan secara optimal peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memajukan penyelenggaraan pemerintahan dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keinginan masyarakat Aceh yang sudah lama itu akhirnya direspons oleh pemerintah pusat dengan mengambil langkah dan kebijakan politik bagi masyarakat Aceh sebagai berikut, pertama, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999 telah menganamatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999, antara lain memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh.. Kedua, Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2000 telah melakukan perubahan kedua terhadap Undang-undang dasar 1945, anatara lain pasal 18B ayat (1) mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.. Ketiga, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 telah merekomendasikan agar undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001
Dengan kebijakan inilah, Provinsi Aceh diberi Otonomi Khusus melalui Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggaroe Aceh Darussalam. Rancangan undang-undang ini disetujui oleh DPR RI pada 19 Juli 2001, kemudian ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri. Berkaitan dengan hal ini, megawati adalah anak pertama dari presiden pertama RI, Soekarno, yang pada saat sebelum kemerdekaan RI menemui seorang tokoh Aceh yang bernama Daud Beureueh. Soekarno meyakinkan tokoh Aceh ini untuk membantu kemerdekaan Indonesia dan nantinya setelah Indonesia merdeka, Aceh akan diberikan Otonomi khusus sehingga dapat mengatur daerahnya sendiri, termasuk juga secara hukum dapat melaksanakan syariat Islam.. Namun hingga saat Indonesia merdeka hal ini belum terealisasi, rupanya ada kesan Megawati meneruskan kontrak politik dengan rakyat Aceh yang sudah terlanjur sakit hati oleh ayahnya.[38] Terlepas dari hal itu, peristiwa politik ini adalah sebuah langkah awal penerapan syariat Islam di daerah-daerah yang sudah siap melaksanakannya.

b.  Pendeklarasian Syariat Islam.
Setelah satu tahun undang-undang Otonomi khusus bagi Aceh diberlakukan, maka pelaksanan syariat Islam mulai diformulasikan secara intensif oleh berbagai komponen masyarakat Aceh. Formalisasi awal diawali dengan pendeklarasian syariat Islam pada 1 Muharram 1423 H atau 15 Maret 2003 M. Namun pasca deklarasi, pelaksanaan syariat Islam jauh dari yang diharapkan. Selama itu tidak ada peningkatan dan perubahan secara subtansial sesuai dengan nilai-nilai Islami, hanya berupa himbauan berupa simbol-simbol Islami yang tampak di jalan-jalan, tempat umum, kantor pemerintahan serta pemberian label ke-Islaman pada label dan papan nama di kota itu. Sebenarnya, tanpa simbolisasi dan keputusan MPR, di masyarakat Gayo Aceh, syariat Islam sudah menjadi darah daging dalam keseharian mereka, hal inilah yang harus segera dibenahi, bahwa kelemahan selama ini pengaplikasian syariat Islam terletak pada tidak siapnya perangkat hukum, pemegang kebijakan serta kesadaran masyarakatnya.
Keadaan seperti ini melahirkan kritikan tajam dari masyarakat Aceh sendiri dan pemerhati syariat Islam di luar Aceh.  Menurut para pengkritiknya, pencanangan syariat Islam di Aceh mengalami kesenjangan antara harapan dan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Program pemberantasan tindak kriminal belum intensif dilakukan, sekali lagi ini bukan karena sistem hukumnya, sistem hukum apapun yang dilaksanakan, jika tidak ada kesiapan perangkat hukumnya, maka hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

c.  Pembentukan Mahkamah Syari'iyah
Yang disebut sebagai mahkamah syar'iyah adalah, “Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggaroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah Provinsi Naggaroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam”, pengertian ini tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 7, Bab XII Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggaroe Aceh, pasal 25 dan pasal 26 serta Bab XIII Ketentuan Peralihan, pasal 27.
            d.  Pembentukan Qanun.
Perangkat hukum berupa Qanun[39]memang sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah Nanggaroe Aceh Darussalam, namun sudah ada beberapa Qanun yang sudah diberlakukan seperti Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Lembaga Mahkamah Syar'iyah, Qanun No 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Akidah Ibadah, dan Syi'ar Islam. Hal ini dilakukan demi memenuhi sistematisasi pemberlakuan syariat Islam itu sendiri. Kedepannya, Qanun yang mengatur tentang hal lainnya semisal perjudian, pendidikan akan segera diberlakukan oleh Provinsi Nanggaroe Aceh Darussalam.

2.  Aplikasi Syariat Islam di Kabupaten Cianjur.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah yang berada di provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk 1,946,505 jiwa berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2000, sebagian besar (99,23%) beragama Islam. Hal inilah yang merupakan dasar dari komitmen politis dalam mengaplikasikan syariat Islam secara kaffah. Komitmen mengaplikasikan syariat Islam secara kaffah ini diawali dengan Deklarasi Syariat Islam di Kabupaten Cianjur. Untuk hal ini pemerintah dan masyarakat Cianjur melahirkan sebuah simbol dengan latar belakang akidah dari masyarakat Cianjur itu sendiri, simbol itu diberikan nama Gerbang Marhamah.
Gerbang Marhamah lahir sebagai perwujudan dari tekad dan komitmen umat Islam Cianjur untuk mengaplikasikan syariat Islam secara kaffah di Cianjur. Ia juga hadir sebagai prinsip, sebagai penjabaran dari format dasar syariat Islam yang telah dirumuskan dan disepakati bersama. Dalam garis besar secara startegis, Gerbang Marhamah merupakan upaya bersama yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus dalam rangka mentranformasikan nilai-nilai Islam kedalam hidup keseharian umatnya. Upaya ini merupakan tahapan sekaligus bagian tak terpisahkan dari upaya jangka panjang umat Islam di Cianjur unutk meningkatkan pelaksanaan syariat Islam.
Ruang lingkup Gerbang Marhamah meliputi,[40]pertama, bidang akhlak manusia terhadap Allah. Intinya, apapun yang dilakukan oleh orang muslim harus selalu bertitik tolak dari sebuah komitmen kesadaran total. Kedua, bidang akhlak manusia terhadap sesama manusia, yakni sikap dan prilaku seorang muslim dalam hubungannya dengan sesama manusia lainnya dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk dalam lingkup ini akhlak berpemerintahan, akhlak berdagang, berpolitik, berdakwah, berlalu lintas dan dalam bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Ketiga, bidang akhlak manusia terhadap alam dan lingkungannya. Intinya bagaimana seorang muslim harus bersikap terhadap lingkungan sekitar di luar manusia. Termasuk dalam bidang ini adalah akhlak dalam bidang kebersihan, kemanan, ketertiban, keindahan, kenyamanan dan pelestarian lingkungan.
Melalui Gerbang Marhamah ini juga, masyarakat Cianjur menetapkan visi dan misinya, visi tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat Cianjur yang berakhlakulkarimah sebagai landasan terwujudnya Cianjur Sugih Mukti Tur Islami. Perumusan visi ini berdasarkan firman Allah: Sesungguhnya Allah beserta orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (Q.S. 16 An-Nahl: 128).
Sedangkam misinya adalah, pertama melakukan upaya dan langkah untuk mewujudkan pribadi atau individu ber-akhlakulkarimah sebagai landasan bagi terwujudnya keluarga sakinah. Kedua, melakukan upaya dan langkah untuk membangun keluarga sakinah sebagai landasan terwujudnya masyarakat marhamah dan ketiga, melakukan upaya untuk membangun aparat yang ber-akhlakukkarimah sebagai upaya membangun masyarakat marhamah.
Jika dikaji dalam Ilmu hukum, pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Cirebon dengan format Gerbang Marhamahnya termasuk dalam kategori hukum normatif, normatif disini dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman yang berada dalam masyarakat Cirebon yang kemudian diaplikasikan menjadi formal. Norma-norma itu berasal dari ajaran Islam yang telah mengakar kuat pada budaya masyarakat Cirebon. Jadi dalam hal ini ada sebuah penyatuan ajaran Islam dan budaya masyarakat sehingga melahirkan norma-norma yang telah berlangsung lama dalam masyarakat tersebut.
Sebagai  aplikasinya, Gerbang Marhamah diatur dalam dua periode pelaksanaannya, periode 2001 – 2005 sebagai peletakan kerangka landasan dan periode 2006 – 2010 sebagai periode pemantapan. Pokok-pokok kegiatan meliputi, pertama, kegiatan ber-akhlakulkarimah bagi aparatur pemerintahan, kedua, kegiatan pembangunan keluarga sakinah, ketiga, gerakan akhlakulkarimah bagi masyarakat.
Hampir sama dengan penerapan syariat Islam di Provinsi Nanggaroe Aceh Darussalam, aplikasi Syariat Islam di kabupaten Cirebon masih bersifat gerakan moral yang bersifat normatif di wilayah hukum privat, belum memasuki ke arah yuridis yang bersifat legalistik terhadap kepentingan publik, misalnya dengan penerbitan peraturan daerah mengenai, perjudian, pencurian, minuman keras dan korupsi. Rupanya masyarakat Cianjur belum siap untuk kearah aplikasi syariat Islam secara formalistik-legalistik. Buktinya untuk sanksi yang diterapkan hanya bersifat administratif bagi aparatur pemerintah yang melanggar ketentuan norma-norma yang telah disepakati.
Dengan hal ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa penerapan syariat Islam di kabupaten Cianjur menganut pemikiran kulturalistik-subtansialistik, dengan meninitk beratkan ajaran-ajaran akhlakulkarimah sebagai norma-norma prilaku, bertindak dan berucap bagi masyarakatnya. Diharapkan dengan ber-akhlakulkarimah, masyarakatnya akan terhindar dari perbuatan-perbuatan kriminalitas, sehingga syariat Islam secara formalistik-legalistik tidak dibutuhkan, atau bisa juga masyarakat Cianjur tidak siap untuk menerapkan hukum pidana Islam yang selama ini dimengerti sebagai hukum yang kejam dalam sisi sanksinya.

3.  Aplikasi Syariat Islam di Kabupaten Pamekasan
Kabupaten Pamekasan yang berada di pulau Madura, Jawa Timur, dihuni oleh kurang lebih 688,380 jiwa menurut sensus penduduk tahun 2000 dan 92 persen penduduknya memeluk agama Islam. Dilihat dari segi historis di kepulauan Madura, masyarakatnya sudah sejak lama bersentuhan dengan ajaran Islam, oleh karena itu sangatlah wajar jika penerapan syariat Islam di salah satu kabupaten di pulau Madura ini mendapat sambutan yang antusias dari masyarakatnya. Hal ini direspon oleh pemerintah dan kalangan ulama dengan pendeklarasian pengamalan syariat Islam pada tanggal 4 November 2002 dan berdasar pula pada semangat otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan serta timbulnya kesadaran dalam masyarakat untuk lebih aktif dalam berperan membantu pemerintah untuk pembangunan daerah, hal ini menegaskan bahwa masyarakat bukanlah hanya sebagai subyek pembangunan, namun juga berfungsi sebagai sumber informasi pembangunan.
Untuk hal tersebut pemerintah kabupaten Pamekasan membentuk Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI) yang disahkan melalui Surat keputusan Bupati No. 188/126/441.012/2002 pada November 2002. Lembaga ini akan bekerja sama dan bermusyawarah dengan para ulama dan tokoh masyarakat untuk memberlakukan syariat Islam melalui peningkatan pengamalan nilai-nilai Islam[41].
Mayarakat Pamekasan meyakini, bahwa Islam bukan hanya merupakan petunjuk bagaimana menuju jalan keselamatan di jalan Allah, juga mengajarkan atau berisikan nilai-nilai sistem kehidupan yang digunakan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, yang tentunya di jalan Allah. Syariat Islam tidak hanya berurusam dengan ritual keagamaan, akan tetapi berurusan dengan keadaan sosial, kemanusiaan dan juga urusan kepemerintahan atau tata negara, itulah sebabnya, Islam tidak hanya mengajarkan manusia bagaimana mempersiapkan kehidupan di hari setelah hari akhir, namun juga menganjurkan bagaiman harus menjalani kehidupan di dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat.
Bagi masyarakat Pamekasan yang mendukung aplikasi syariat Islam tentunya juga mendapat tantangan yang perlu untuk segera dilakukan lagkah-langkah antisipasi, tantangan itu bukan hanya lahir dari masyarakat  non Islam, namun juga berasal dari masyarakat muslim, hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman secara menyeluruh terhadap syariat Islam, hal ini juga yang menjadi salah satu faktor mengapa sulitnya syariat Islam diberlakukan secara nasional. Tantangan tersebut berupa kualitas keberagaman sebagai umat Islam belum memadai dan masih jauh dari harapan, dengan sikap dan perilaku sebagaian umat terkadang menjadi berseberangan dengan nilai-nilai yang Islami.
Gerbang Salam merupakan simbol dan format penerapan syariat Islam di kabupaten Pemekasan. Berdasarkan pendapat para inisiatornya, Gerbang Salam merupakan usaha bersama yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus mentranformasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan tahapan, sekaligus bagian tak terpisahkan dari upaya jangka panjang umat Islam kabupaten Pamekasan dalam memberlakukan syariat Islam melalui peningkatan pengamalan nilai-nilai Islam.
Ruang lingkup pelaksanaan syariat Islam di kabupaten Pamekasan meliputi tiga bidang pokok, yaitu, pertama, bidang akidah, merupakan upaya menanamkan pemahaman dan keyakinan kepada setiap pribadi muslim akan penghambaan diri kepada Allah. Kedua, bidang syariah, merupakan upaya menanamkan pemahaman bahwa melaksanakan aturan-aturan merupakan konsekuensi keimanan. Ketiga, bidang akhlak, merupakan upaya memberikan pemahaman akan pentingnya akhlak pada setiap perilaku manusia, yang merupakan tuntutan syariah untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Gerbang Salam ini mengacu pada kebijakan dan strategi Program Pembangunan Daerah (Propeda) tahun 2002 – 2006, yaitu untuk mewujudkan visi masyarakat Pamekasan “Mekkas Jatnah Paksa Jenneng Dibi'”.[42]Visi tersebut diwujudkan dengan tiga misi pokok berlandaskan filosofi panutan masyarakat Madura, buppa', babu', Guru Rato, yaitu melakukan upaya dan langkah untuk membangun keluarga yang harmonis, sebagai landasan untuk terwujudnya tatanan masyarakat Islami, melakukan upaya dan langkah untuk mewujudkan pendidikan yang Islami, sebagai landasan terwujudnya generasi yang Islami dan melakukan upaya dan langkah untuk membangun aparatur pemerintah yang Islami, sebagai landasan bagi terwujudnya kesejahteraan dan ketentraman masyarakat.
Sebagai gerakan moral, keberhasilan penerapan syariat Islam di kabupaten Pamekasan akan sangat ditentukan oleh adanya tekad dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan masyarakatnya sesuai dengan fungsinya masing-masing. Bila dilihat secara konseptual penerapan syariat Islam di kabupaten Pamekasan, nampaknya sangat menjajikan, jika memang dilaksanakan secara kaffah. Oleh karena itu, siapapun yang mendukungnya dan juga ikut memperhatikan jalannya visi dan misi Gerbang Salam, agar tidak berhenti di tengah jalan atau hanya tinggal konsep saja, sedangkan pelaksanaannya jauh dari harapan.
Saat ini aplikasi dalam gerak moral ini terlihat dalam bentuk kultural dan struktural. Bentuk kultural  melalui simbol-simbol ke-Islaman yang sangat sederhana, misalnya gerakan sholat berjamaah, spanduk-spanduk bertemakan ke-Islaman yang berisikan himbauan untuk menggunakan jilbab, sosialisasi di lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak kanak hingga Perguruan Tinggi yang ada di kabupaten Pamekasan, serta hal-hal lainnya yang bersifat ke-Islaman.
Penerbitan Perda-perda juga masih di wilayah hukum privat keagamaan, belum menyentuh hukum publik, misalnya mengenai peraturan tentang larangan korupsi, pembunuhan, pencurian, minuman keras dan tindakan kriminalitas lainnya. Melihat hal ini,  penulis beranggapan bahwa syariat Islam yang diformalisasikan selalu terburu-buru sehingga aplikasinya jauh dari subtansinya sebagai hukum atau peraturan. Padahal tantangan utama dalam aplikasi syariat Islam di Republik ini adalah aplikasi dalam hukum publik yang tidak pernah terakomodasi. Oleh karena itu hampir sama dengan dua daerah sebelumnya, bahwa aplikasi syariat Islam di kabupaten Pamekasan hanya sebatas gerakan moral dan belum menjadi gerakan legislasi terhadap aturan-aturan publik.
Berdasarkan kajian konseptual dan faktual diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi syariat Islam di kabupaten Pamekasan bersifat normatif yang mengedepankan norma-norma Islam yang harus diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Pada tataran praktis, sesungguhnya pelaksanaan syariat Islam di daerah ini dapat dikatakan menganut pemikiran kulturalistik-subtansialistik-strukturalistik. Melalui kultural keagamaan di masyarakat, pemerintah mencoba mendekatkan nilai-nilai Islami masuk dalam setiap aspek kehidupan. Norma-norma yang disusun ini bersifat subtansial, meliputi akidah, syariat dan akhlak sebagai landasan perilaku dan bertindak. Dengan menganut kepada pemikirin ini, pemerintah kabupaten Pamekasan juga menghindari yang bersifat formalistik-legalistik dalam aplikasi syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan hukum publik. Berkaitan dengan pemikiran  strukturalistik, pemerintah kabupaten Pamekasan membentuk grup-grup pelopor ketingkat lebih bawah, dengan cara memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai syariat Islam.

            Dari contoh penerapan syariat Islam di ketiga daerah tadi mengisyaratkan bahwa ada keinginan dari masyarakat dan para tokoh masyarakat beserta pemerintah untuk menerapkan syariat Islam, walaupun tidak dapat dipungkiri ada sebuah keinginan menarik hati masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah demi langkah-langkah politik. Ada kesamaan dari ketiga daerah tersebut dalam menerapkan syariat Islam, yaitu penerapannya masih sebatas kegiatan moral, dalam wilayah hukum privat, walaupun ada usaha untuk menyentuh wilayah hukum publik, hal ini masih menjadi kendala yang harus terus dicari formulasinya, bahkan masalah inilah yang terus mengikuti perjalanan penerapan syariat Islam di Indonesia.
            Dengan stigmatisasi syariat Islam adalah sebuah hukum dengan sanksi yang kejam dan kerap melanggar hak asasi manusia, penerapan syariat Islam tidak hanya butuh komitmen para pelopornya dan pendukungnya untuk terus disuarakan, namun juga diperlukan langkah-langkah politik untuk menuju sebuah status legalisasi yang sesuai dengan konstitusi.














BAB IV
POLITIK ISLAM UNTUK SYARIAT ISLAM

            Kajian mengenai sepak terjang politik Islam dalam memperjuangkan syariat Islam di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan domestik maupun mancanegara. Kajian-kajian tersebut menyoroti peran-peran politis yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan politik dalam bentuk partai politik namun memiliki suara resmi dalam sebuah institusi partai politik. Langkah – langkah politik ini perlu dikaji sebagai sebuah analisa akademis yang kemudian akan menghasilkan sebuah jalan yang pada akhirnya akan bermuara pada pemberlakuan syariat Islam. Jika di parlemen saat ini dan dipemerintahan dikuasai oleh orang-orang ataupun partai yang tidak setuju dan ataupun setengah hati dalam menyuarakan pemberlakuan syariat Islam, maka sampai kapanpun syariat Islam tidak akan berkibar di republik ini, namun jika wilayah legislatif dan  eksekutif dikuasai oleh orang-orang ataupun partai politik yang mendukung pemberlakuan syariat Islam, maka kita hanya menunggu waktu yang tepat untuk melihat negara Indonesia menjadi sebuah negara yang rahmatan lila'alamin.
            Untuk memahami mengenai politisasi Islam dalam melegalisasikan syariat Islam, perlu kiranya mempertimbangkan dan melakukan kajian kepustakaan terhadap tulisan-tulisan ataupun kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Deliar Noer lewat karyanya, Partai Islam di Pentas Nasioanal 1945-1965 (1987). Studi yang mengambil rentang waktu periode demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin ini sebenarnya merupakan perluasan dari tesis penulisnya di Cornell University yang secara khusus mengangkat peran politik Partai Politik Islam Masyumi. Oleh karenanya tidak mengherankan jika persoalan Masyumi mendapatkan porsi yang sangat besar di dalamnya dan kekuatan politik Islam di luarnya mendapatkan yang sebaliknya. Yang juga penting menjadi catatan adalah posisi yang diambil Deliar Noer dalam membuat penilaiannya terhadap masing-masing kekuatan. Sebagaimana umumnya pendekatan modernistik yang populer di mata para sarjana pada waktu itu. Noer cenderung membuat komparasi dan memberi penilaian serba lebih terhadap peran-peran Masyumi sembari mengecilkan kekuatan politik Islam lainnya.
            B.J. Boland dalam karyanya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982) telah memberi porsi khusus, yakni pada bab pertama, untuk membicarakan peristiwa sejarah pada kurun 1945-1955. Ia menyebut kurun itu sebagai kurun “perjuangan politik”. Ia menunjukan bahwa segala pertentangan ideologis pada waktu itu muncul semata-mata karena pertentangan yang terjadi di elit politik. Menurutnya pertentangan ideologis sebenarnya terjadi menjelang akhir era liberal, yakni ketika perdebatan-perdebatan dalam Konstituante mengalami deadlock.
            Kajian serupa, namun lebih analitis, dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra, dalam bukunya yang berjudul Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan antara Masyumi Indonesia dan Jamaat Islamiyah Pakistan (1999). Ilmuwan hukum tata negara ini melakukan analisa lebih dalam untuk mengulas konsep-konsep Masyumi yang ia sebut modernis, dengan memperbandingkannya dengan konsep Jamaat Islamiyah di Pakistan yang ia katakan Fundamentalis.  Akademisi lainnya yang cukup insentif melakukan kajian tentang langkah-langkah politik Islam adalah Ahmad Syafii Ma'arif. Kedua karya utamanya, Islam dan Masalah Kenegaraan (1981) dan Islam dan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1984), mengungkapkan pergumulan politik Islam di dalam dan di luar parlemen. Selain Masyumi yang juga mendapat porsi dari tulisannya dikarenakan Masyumi memposisikan dirinya sebagai oposisi dan kecenderungan pragmatis-oportunistik dan Nahdlatul Ulama yang merajut kemesraan dengan penguasa.
            Beberapa analisa tentang politik Islam dalam usahanya memberlakukan syariat Islam juga bisa didapatkan dalam berbagai studi kasus tentang ormas Islam yang secara formal memiliki afiliasi pada kekuatan politik yang ada. Seperti halnya kajian tentang Nahdlatul Ulama (NU) yang dilakukan oleh mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Abdurrahman Wahid (alm) dalam bukunya NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (1984). Kemidian kajian tentang Muhammadiyah oleh Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah (1989). Mitsuno Nakamura dalam bukunya, Bulan Sabit Muncul dari Balik Politikl Beringin (1983), secara umum, cukup baik untuk menjelaskan basis ideologi organisasi ini dalam kaitannya dengan perwujudan cita-cita reformasi dam modernisasi Islam, yang sekali lagi bermuara pada kesadaran umat Islam dalam menjalankan syariat secara utuh sebagaimana janji hamba terhadap penciptanya.
            Dalam tulisan ini berikutnya penulis akan menganalisa, melakukan kajian kepustakaan dan tentunya  mengambil kesimpulan mengenai politisasi umat Islam dalam cita-citanya memberlakukan syariat Islam. Kajian ini juga bersumber pada peristiwa-peristiwa sejarah politik yang terjadi dan mengikuti perjalanan politik Islam dan juga bersumber pada buku-buku atau karya ilmiah para tokoh Islam yang secara khusus menganalisa mengenai perjalanan politik umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan penegakan syariat Islam.
            Untuk memudahkan analisa terhadap kajian ini, maka akan dibagi dalam tiga periode berdasarkan peristiwa sejarah politik yang terjadi di Indonesia. Periode pertama dimulai saat menjelang kemerdekaan Republik Indonesia hingga masa Orde Lama berakhir. Kemudian periode kedua dimulai ketika Jendral Soeharto disahkan sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua hingga runtuhnya rezim Orde baru pada tahun 1999, dan periode terakhir adalah dimana munculnya era kebebasan mengutarakan pendapat dan berpolitik dalam era Reformasi.

A.   PERGOLAKAN POLITIK ISLAM PADA SEBELUM  DAN SESUDAH KEMERDEKAAN.
            Prof. Dr. Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia di medan pada tahun 1963, mengutarakan sebuah teori mengenai masuknya agama Islam ke Indonesia. Menurut beliau masuknya agama Islam ke Nusantara, dengan interpretasi bersosialisasinya para pembawa agama Islam tersebut dengan masyarakat pesisir, terjadi pada abad 7 M, hal ini berdasarkan berita dari Cina pada dinasti Tang. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa ditemukannya daerah hunian wirausahawan yang berasal dari Arab di pantai barat Sumatera. Hal ini berbeda menurut pakar ahli Sejarah dan hukum Adat dari Belanda, atas perintah kolonial Belanda Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje merumuskan sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia. Snouck berteori bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sekitar abad 13 M dan para pembawanya berasal dari Gujarat, India. Melalui ajaran tasawuf yang beraliran syi'ah, para pedagang Gujarat menyebarkan agama Islam di kerajaan Samudra Pasai.
            Jika dianalisa lebih jauh teori kedua tokoh tersebut, kebenaran cenderung kepada teori yang dikemukakan oleh Hamka. Berdasarkan berita dari Dinasti Tang yang kebenaran datanya tidak diragukan, dengan ditemukannya sebuah makam tokoh Islam di  baros, Tapanuli yang bertuliskan 48 Hijriyah atau 670 Masehi, dengan nama Syaikh Mukaiddin. Hal ini lebih menguatkan teori yang dikemukakan oleh Pro. Dr. Buya Hamka[43]. Kemudian dapat menjadi sebuah pertimbangan bahwa di India saat itu berkembang aliran dari mazhab syi'ah, tapi mengapa di Indonesia mayoritas adalah dari mazhab ahlus sunnah waljamaah, jika pembawa ajaran Islam adalah dari Gujarat, India, maka tentunya mayoritas penududuk Indonesia akan beraliran yang sama. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Snouck berteori demikian. Jika kita lihat pada kondisi politik pada saat itu, Indonesia sedang berada di bawah kolonial Belanda yang konstitusi negaranya berdasar atas agama Kristen Protestan sedang bergejolak dan ikut serta meramaikan peta politik dunia pada saat itu. Turki yang pada saat itu sedang mengalami kejayaan dengan syariat Islamnya, mendapat tantangan dari bangsa Eropa di bawah kekuasaan Kerajaan Khatolik Portugis dan Prancis dan Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Hal ini tentunya berpengaruh pada negeri jajahan para kerajaan tersebut, sehingga untuk mendistorsikan sejarah serta sebagai misi suci dari Gereja Vatikan, penulisan sejarah digunakan sebagai sebuah politisasi agar masyarakat tidak dapat berkembang dengan budayanya atau yang sedang berkembang saat itu adalah syariat Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa pergolakan penerapan syariat Islam di Indonesia bukan hanya terjadi beberapa puluh tahun terakhir, namun dimulai sejak perkembangan agama Islam itu sendiri.
            Kemudian setelah Soekarno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya dalam penyususnan Undang-undang dasar negara Republik Indonesia sebenarnya dimulai pada masa sebelum kemerdekaan dan masa revolusi. Kontribusi umat Islam untuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara atau paling tidak memeberlakukan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 mewarnai perjalanan persidangan penyusunan UUD negeri ini.
            Kontribusi umat Islam dalam penyusunan undang-undang dasar pada dasarnya dapat dilihat dalam dua periode pada masa ini. Pertama, dalam penyusunan undang-undang dasar pada masa kemerdekaan dan revolusi, partai-pasrtai Islam menghedaki diberlakukannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan mencantumkan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kedua, sementara dalam majelis konstituante blok Islam kembali bertarung dengan blok Pancasila memperdebatkan dasar negara yang akan dicantumkan dalam Undang-undang Dasar yang sedang disusun yang berakhir dengan dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1945.
            Dalam pengalaman Indonesia, perjuangan konstitusionalisme itu terjadi pada bulan-bulan menjelang kemerdekaan, dan sesudah pemilihan umum pertama , namun pada dasarnya perdebatan mengenai wacana Islam yang mendasari lahirnya konstitusi di Indonesia, telah diawali berbagai perdebatan panjang diantaranya antara Soekarno, M. Natsir, Agus Salim dll.[44]
            Islam sebagai ideologi negara merupakan perdebatan lama, dimulai sejak zaman pergerakan nasional ketika Belanda masih menjajah nusantara. Yang paling legendaris adalah perdebatan anatara Soekarno dan M. Natsir (1930 – 1942). Natsir berkeinginan mendirikan negara nasional berdasarkan Islam karena justru dia adalah seorang demokrat sejati. Dalam pandangan Natsir, umat Islam terdapat 80%, maka menjadi wajar ketika mereka menginginkan negara Islam. Hal ini dibantah oleh Soekarno yang mengatakan bahwa agama Islam pada bangsa Indonesia hanyalah lapisan tipis belaka dari keyakinan orang-orang Islam Indonesia. Jika lapisan tipis itu dihapus, maka yang terlihat sebagian besarnya adalah animisme dan dinamisme.
            Perdebatan terbuka juga terjadi anatara Soekarno dan Agus Salim seorang tokoh Islam yang tidak hanya mendapat perhormatan dari bangsanya namun juga dari dunia Internasional. Soekarno jelas-jelas menginginkan nasionalisme sekuler setelah Indonesia merdeka nantinya. Sementara itu Agus Salim menolak pendapat Soekarno karena beliau khwatir hal itu sangat rentan terjatuh pada paham chauvanisme atau ultra-nasionalisme. Agus Salim lebih menginginkan nasionalisme Islam, karena lebih bersifat universal.
            Pada awaknya benturan kedua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme. Dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno secara luas mendefinisikan nasionalisme adalah sebagai rasa cinta terhadap tumpah darah dan tanah air Indonesia, kesediaan yang tulus untuk mengabdikan kepada tanah air dan kesediaannya untuk mengenyampingkan kepentingan golongan yang dalam artian sempit. Di tempat lain beliau menulis bahwa, “nasionalisme adalah keyakinan, kesadaran di kalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu kelompok, satu bangsa.[45]
            Bagi seorang pemimpin dan aktivis Islam seperti Agus Salim, pernyataan Soekarno tersebut sama halnya dengan mengangkat derajat nasionalisme sama posisinya dengan agama, jika diikuti dan dilaksankan, maka manusia akan memperbudak dirinya untuk menyembah tanah airnya secara berlebihan. Menurut Agus Salim, pandangan tersebut akan mencairkan keyakinan tauhid seseorang dan mengurangi bakti seseorang terhadap Tuhan. Karena alasan tersebut Agus Salim dengan tegas mengatakan bahwa nasionalisme harus diletakkan dalam kerangka pengabdian kita kepada Allah, dan sejalan dengan itu, menurutnya, maka prinsip yang harus dinomor satukan adalah Islam[46]
            Pengalaman Konstitusional yang pertama dalam BPUPKI yang dilantik pada 28 mei 1945 dengan anggota mula-mula sebanyak 62 orang, tapi kemudian ditambah 6 orang sehingga menjadi 68 orang, menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, dilihat dari sudut pandang ideologi politik 68 anggota, hanyalah 15 orang yang dipandang mewakili aspirasi umat Islam.
            Dilihat dari segi politik perimbangan kekuatan, Umat Islam yang menginginkan agar negara berdasar atas syariat Islam dan dicantumkan secara explisit dalam konstitusi, hal ini yang diinginkan ini akan sangat sulit dicapai dikarenakan hanya sebesar 20% saja anggota dari BPUPKI yang secara tegas benrpendirian semacam ini, sedangkan selebihnya adalah anggota BPUPKI yang menganut dasar bahwa agama tidak perlu diikutsertakan dalam konstitusi negara.
            Perdebatan politik antara dua kelompok ini berjalan beberapa hari dan berlangsung dengan tensi yang tinggi, masing-masing blok mencoba untuk bertahan pada pendiriannya, sekalipun golongan Islam sebenarnya dalam keadaan tidak siap secara konseptual untuk melakukan perdebatan konstitusional. Indikatornya dapat dibaca dalam dokumen perdebatan itu pada umumnya bersifat defensif. Tokoh-tokoh Islam saat itu datang dari kalangan pesantren yang kurang mendapat pengetahuan konseptual konstitusional, bahkan Agus Salim sendiri tidak dapat berbicara.
            Dalam masalah ini tidak ada yang dapat menandingi konsep Soekarno yang dirumuskan dalam bentuk dan nama Pancasila. Jika pada waktu itu diterapkan politik demokrasi Parlementer, maka golongan Islam akan kalah telak dalam pemilihan suara. Namun hal tersebut menurut beberapa pemerhati politik Islam tidak akan terjadi, disebabkan karena petimbangan jumlah mayoritas umat muslim di Indonesia, dikhawatirkan jika data sosiologis tersebut diabaikan, maka konflik politik akan terjadi.
            Dan juga atas dasar tersebut maka BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil untuk lebih berkonsentrasi dalam merumuskan dasar negara. Panitia itu dinamakan Panitia Sembilan yang beranggotakan Abikusno Tjokrosudjoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasyim mewakili golongan Islam, sedangkan dari golongan nasionalis diwakili oleh Soekarno, Moh. Hatta, Maramis, Ahmad Soebardjo dan Muhammad Yamin. Setelah Panitia Sembilan bekerja keras, akhirnya sebuah solusi politik dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dapat disepakati. Dalam piagam ini Pancasiala sebagai dasar negara telah diterima, namun sila Ketuhanan yang dalam pidato Soekarno sebelumnya diletakkan paling akhir, hasil dari kesepakatan politik Panitia Sembilan diletakkan sebagai sila pertama, dan ditambahkan anak kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Anak kalimat strategis konstitusional ini tidak hanya ditempatkan dalam pembukaan UUD 1945, tetapi juga pada pasal 29 ayat 1. Bagi umat Islam secara politik, anak kalimat ini sangat berarti dalam upaya-upaya selanjutnya untuk melegetimasi syariat Islam dalam konstitusi atau dalam hukum nasional. Hasil upaya kompromi politik golongan Islam ini dengan para golongan nasionalis untuk sementara melegakan semua pihak yang berdebat. Soekarno sebagai ketua panitia mengharapkan agar semua pihak, khususnya wakil dari agama kristen, untuk menerima hasil persetujuan itu, sekalipun dengan pengorbanan yang besar, yaitu pengorbanan yang diharuskan oleh pencapaian kemerdekaan[47]. Disertai dengan perasaan berat, pihak kristen yang diwakili oleh Maramis akhirnya menerima himbauan Soekarno. Maka persetujuan inipun dituangkan dalam suatu persetujuan yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Persetujuan ini ditandatangani oleh semua anggota panitia kecil dan memuat kata-kata bahwa negara berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam ini dimaksudkan akan dijadikan mukadimah dari konstitusi negara yang hendak didirikan seperti disepakati kemudian oleh Badan Penyelidik bulan juli 1945 [48].
            Sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, diadakan rapat mendadak diakibatkan perasaan keberatan umat Kristen terhadap Piagam Jakarta, anggota rapat tersebut adalah Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Mohammad Hasan dan Kasman Singodimedjo. Pertemuan tersebut hanya berlangsung 15 menit, namun menghasilkan keputusan yang krusial, yaitu penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu, menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pmeluknya dihapuskan, namun ditegaskan dalam atribut strategis dalam kata “Yang Maha Esa”. Kemudian Bung Hatta menulis, “pada waktu itu kami menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilamgkan perkataan, :Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan menggantinya dengan , “Ketuhana Yang Maha Esa”.
            Penulis berpendapat bahwa diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik bagi umat Islam, apalagi dalam kenyataan selanjutnya setelah dibentuknya PPKI sebagai pengganti BPUPKI, golongan Islam hanya diwakili oleh dua orang, Wahid Hasyim dan Bagus Hadikusumo. Kita tahu mereka adalah ketua dari Organisasi Islam yang kuat hingga saat ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Mereka juga merupakan juru bicara yang tangguh dalam mempertahankan prinsip-prinsip ideologi Islam seperti yang diperlihatkan mereka dalam sidang-sidang BPUPKI, namun mereka bukanlah orang yang berpengalaman dalam bidang politik praktis, apalagi bila dibandingkan wakil-wakil dari goongan nasionalis seperti Soekarno dan Moh. Hatta.
            Mengapa golongan Islam menerima perubahan Piagam Jakarta. Ketika sidang-sidang PPKI berlangsung, wakil golongan Islam bersifat pasif, tidak memberikan tanggapan sedikit pun, apalagi memprotes, menurut analisa penulis hal ini dikarenakan tiga alasan, pertama, golongan Islam yang menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut atas loby Bung Hatta dalam pembicaraan mereka pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 menganggap menerimanya jika itu untuk persatuan bangsa, lagi pula kata “Ketuhanan” yang ditambahkan dengan “Yang Maha Esa”, dalam persepsi golongan Islam merupakan interpretasi dari tauhid Islam, sebab hanya agama Islam yang meyakini Keesaan Tuhan.
            Kedua, alasannya lainnya suhu politik sangat tinggi pada saat itu, sehari setelah proklamasi di Jakarta. Golongan Islam tidak bermaksud untuk menciptakan suasana ketidaktentraman lagi akibat dari perdebatan-perdebatan yang panjang dan menyita waktu, padahal negara yang baru lahir tersebut membutuhkan konstitusi. Dan alasan ketiga adalah, golongan Islam berharap bahwa enam bulan setelah proklamasi akan diadakan pemilihan umum, dimana mereka akan ambil bagian secara tindakan politik akan menguasai parlemen yang akan melahirkan konstitusi yang baru yang seusai dengan perjuangan mereka menegakkan syariat Islam. Atas dasar optimisme tersebut, Kasma berhasil mendesak Ki Bagus Hadikusumo agar menerima saran Hatta, yang dalam hatinya dan tindakannya sama sekali menolak usulan Hatta tersebut, untuk hal itu Ki Bagus mengirim berita kepada majelis Tanwir Muhammadiyah yang kebetulan saat itu sedang bersidang di Yogyakarta, beliau meminta agar penutupan sidang tersebut ditunda. Dan ketika beliau sudah hadir dalam Majelis tersebut, beliaupun mengemukakan ketidakpuasannya tentang apa yang terjadi dengan pengesahan UUD 1945.
            Memang pada saat itu golongan Islam tidak lagi mempersoalkan kebenaran informasi yang diterima oleh pelaut Jepang yang disampaikan kepada Bung Hatta, karena wakil dari golongan Islam menghormati tokoh Bung Hatta, ataupun mempermasalahkan kesediaan A.A. Maramis yang telah sepakat dan menandatangani isi dari Piagam Jakarta. Jika saat itu golongan Islam tetap ngotot mempertahankan tujuh kata tersebut, niscaya Bung Hatta tidak punya argumentasi yang kuat untuk menolaknya.
            Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sesudah pemilihan umum pertama pada tahun 1955. dibawah payung UUD 1950, kembali Islam dan Pancasila bergumul pada pelataran konstitusional. Pemilu pertama ini bertugas untuk membentuk parlemen dan konstituante. Semula diharapkan bahwa Majelis Konstituante hasil pemilu tersebut manpu membuat UUD yang permanen untuk menggantikan UUD yang pernah dimiliki sesuai dengan harapan dari golongan Islam yang dijadikan alasan dalam menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun harapan itu tidak terwujud karena terjadi “kecelakaan sejarah politk”. Para anggota konstituante lebih banyak dikuasai oleh emosi ketimbang pemikiran yang jernih.
            Partai-partai Islam saat itu seperti, Masyumi, NU, PSII Perti, PTII dalam pemilu 1955 hanyalah berhasil meraih suara kurang dari 45 %, undang-undang pemilu yang berdasarkan UUDS 1950 menuntut bahwa suatu Undang-undang Dasar barulah sah drafnya apabila disetujui paling kurang 2/3 yang hadir dalam rapat. Dengan ketentuan ini, perjuangan politik golongan Islam untuk menegakkan syariat Islam atau membangun negara dengan  dasar Islam menjadi tidak mungkin . Begitu juga dengan golongan yang mewakili paham Pancasila, seperti partai-partai PNI, PSI, PIR PARKINDO dll, hanya meraup 50% suara juga tidak dapat melegitimasi Pancasila sebagai dasar negara. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan untuk diadakan kompromi politik bagi partai-partai yang ikut berpartisipasi saat itu. Tapi rupanya sebagaimana yang diharapkan UU Pemilu saat itu, suatu perdebatan harus berlangusng lebih dahulu baru suatu kompromi dapat dicapai. Sayangnya sebelum kompromi itu terjadi, ada intervensi dari kekuatan ekstra parlementer, yaitu militer bersama Soekarno yang kemudian membubarkan Majelis itu. Kenyataan sejarah inilah yang disebut penulis sebagai “kecelakaan sejarah politik”.
            Di tengah persaingan ideologis yang tajam antara golongan Islam dan Pancasila saat itu, posisi Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia lebih condong pada golongan Pancasila, karena Presiden Soekarno adalah pembela Pancasila yang gigih, tampak saat beliau sebagai juru bicara salah satu pihak dalam memperjuangkan dasar negara, hal ini sebenarnya merupakan hal yang bertentangan, mengingat jabatan beliau saat itu adalah Kepala Negara yang seharusnya tidak memihak. Penulis juga beranggapan bahwa “diamnya” Bung Hatta pada saat situasi seperti ini, dimungkinkan rasa bersalahnya kepada golongan Islam saat beliau mengusulkan perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, sehari setelah Indonesia merdeka.
            Bila dicermati dari konfigurasi politik di konstituante, tidaklah mungkin untuk memperoleh dukunagn mayoritas dua pertiga suara untuk menyetujui konsep dasar negara, baik dari golongan Islam maupun golongan Pancasila. Hampir dua setengah tahun berbagai rapat telah diadakan untuk memecahkan masalah ini tanpa memperoleh penyelesaian sama sekali. Ditengah situasi ini, Presiden Soekarno mengusulkan “Demokrasi Terpimpin” dan usul kembali ke UUD 1945, berkaitan dengan usul tersebut, kabinet secara aklamasi pada tanggal 5 Februari 1959 memutuskan untuk mewujudkan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.  dalam salah satu butir keputusan kabinet tersebut, disinggung mengenai Piagam Jakarta yaitu, “untuk memenuhi hasrat golongan Islam, Dalam rangka pemulihan dan jaminan keamanan umum, maka adanya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui. . . “. Dalam bagian penjelasan ditambahkan bahwa maksud yang ingin dicapai dengan kembali ke UUD 1945 adalah untuk merukunkan seluruh potensi nasional, termasuk golongan Islam, agar dapat jaga diri kepada pemulihan kemanan umum dan kepada pembangunan di seluruh bidang [49].
            Rumusan ini menunjukkan masuknya Piagam Jakarta dalam konsideran dekrit atas dasar pertimbangan politik agar dekrit dapat diterima kalangan Islam sehingga dekrit dapat efektif dan mencapai tujuan. Di sisi lain, agar perseteruan politik yang sangat ideologis antara kelompok Islam dan kalangan Pancasila nasionalis sekuler, baik di parlemen atau di arus bawah, dapat reda sehingga terjadi kestabilan politik. Tujuan ini hanya awalnya saja terlihat, akan tetapi selanjutnya memunculkan masalah secara terus menerus untuk memberi penafsiran dan makna letak piagam Jakarta dalam konsideran dekrit Presiden tersebut.
            Dalam perkembangan selanjutnya, Perdana menteri Djuanda saat itu pada tanggal 21 Mei 1959 memberikan jawaban atas masalah-masalah yang telah dikemukakan dalam konstituante. Menurut pemerintah, Piagam Jakarta adalah suatu dokumen historis yang menjiwai UUD 1945, khususnya pada pembukaan dan pasal 29, walaupun piagam yang asli itu tidak memiliki akibat hukum secara langsung.  Dari tanggal 25 sampai 29 Mei 1959 berlangsung pembahasan lebih lanjut dalam konstiuante. Beberapa anggota mengulangi usul untuk memberikan kekuatan hukum terhadap Piagam Jakarta untuk waktu sekarang. Misalnya juru bicara PSII ingin mengganti pembukaan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta yang asli. Sedangkan KH Masjkur dan juru bicara Perti melihat tujuh kata dari Piagam Jakarta diulangi dalam pasal 29 UUD 1945. Akhirnya golongan Islam bertindak secara politik praktis dengan mengajukan amandemen UUD 1945, tujuannya jelas, untuk memasukkan kembali tujuh kata dalam piagam Jakarta , baik dalam pembukaan ataupun dalam pasal 29 UUD 1945. Usul amandemen itu ditandatangani oleh KH. Masjkur dan 13 orang lainnya atas nama delapan pastai Islam. Usul amandemen tersebut secara lengkap adalah :
1. Teks lengkap pembukaan rancangan UUD 1945 yang mengandung kata-kata “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.  Teks lengkap pasal 29 ayat 1 rancangan UUD 1945, Negara didasarkan pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

            Dalam penjelasannya, KH Masjkur memberikan tiga alasan untuk usulan amandemen tersebut, pertama, amandemen tersebut merupakan perwujudan pengakuan terhadap Piagam Jakarta yang mengilhami UUD 1945 dan konsekuensi logis dari padanya, dantidak lebih dari pada itu. Kedua, amandemen tersebut akan sekali lagi mewujudkan kesatuan kukuh dan kebangkitan kembali semangat proklamasi 17 Agustus 1945 yang bagi umat Islam ialah Piagam jakarta yang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia, dan ketiga, amandemen itu juga merupakan sebuah usul khusu dari orang-orang Indonesia penganut agama islam, usul yang memajukan kepentingan mereka sendiri dan sama sekali tidak mempengaruhi hak-hak penganut agama-gama lain[50]
            Reaksi dari golongan pembela sejati Pancasila dalam menanggapi usulan amandemen tersebut antara lain dikemukakan oleh Kasimo dari Partai Katolik yang menyatakan bahwa ia tidak dapat menerima bahwa pemerintah dan negara dengan sanksi dan peraturan mewajibkan warga negaranya untuk menjalankan agamanya. Karena hal yang terkandung dalam amandemen itu tidak sesuai dengan ajaran agama Katolik, dan fraksinya tidak dapat mendukung amandemen tersebut.  Rumaseuw yang berasal dari Irian Barat menyatakan bahwa mayoritas rakyat Irian Barat beragama Kristen, sehingga usaha untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda akan sangat sulit, sehingga menurut dia, hanya Pancasila yang dapat menjamin orang Irian Barat dapat duduk sejajar dengan orang Indonesia lainnya dalam republik Indonesia. Akhirnya untuk mengambil sebuah keputusan mengenai amandemen UUD tersebut dilakukan pemungutan suara yang sebelumnya dilakukan lobi-lobi politik. Seperti yang telah diduga sebelumnya dengan mempertimbangkan kekuatan kedua golongan tersebut dalam parlemen, pada tanggal 29 Mei 1959, usulan untuk amandemen UUD  ditolak oleh parlemen.
            Memang harus diakui kekuatan kelompok Islam dalam konstituante tidak mayoritas, hanya menguasai 43,5% kusri di konstituante. Realitas ini membuat mereka sulit untuk segera memutuskan, apakah mereka akan terus mendesak Islam sebagai dasar ideologi negara sehingga memberlakukan syariat Islam, atau tidak. Walaupun demikian, beberapa spekulasi dapat dibuat sepanjang garis-garis kegamaan dan politis. Secara politis, meskipun kenyataanya bahwa kekuatan golongan Islam dalam pemilihan umum tidak menghasilkan kesuksesan ideologis, bagaimanapun mereka tetap harus menunjukkan bahwa mereka dalah politisi-politisi yang tidak mengingkari.
            Akibat kegagalan usulan amandemen ini, kalangan politisi Islam menolak usul pemerintah untuk kembali pada UUD 1945. Sebenarnya para politisi Islam dalam parlemen bersedia menerima usulan tersebut, asalkan dipenuhi syaratnya, yaitu memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta kedalam pembukaan dan ayat 29 UUD 1945. Langkah politik golongan Islam ini dibuktikan dalam pemungutan suara dalam parlemen untuk menentukan kembali pada UUD 1945. Pada pagi hari tanggal 30 Mei 1059 dilakukan pemungutan suara pertama yang menghasilkan 269 suara mendukung  usul dari pemerintah dan 199 suara menolak, sdangkan suara mayoritas yang diperlukan adalah 2/3 suara yaitu 316 suara. Pemungutan suara dilakukan pada tanggal 1 Juni 1959 menghasilkan 246 suara yang mendukung dan 204 suara yang menolak, 2/3 suara adalah 312 suara. Pada pemungutan suara yang ketiga dan terakhir kalinya yang dilakukan tanggal 2 Juni 1959 dengan hasil 263 suara mendukung dan 203 suara menolak, sedangkan suara yang diperlukan adalah 312 suara.
            Ternyata sidang Konstituante tanggal 2 Juni 1059 dengan agendanya pemungtuan suara yang ketiga kalinya tentang usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 adalah sidang terkahir majelis itu. Dan sejak 5 Juli 1595 keberadaan majaleis Konstituante tersbut dibubarkan oleh Presdiden secara sepihak. Salah satu faktor keberhasilan Soekarno membubarkan majelis itu dikarenakan mendapat dukungan dari Angkatan darat atau militer secara umum, baik itu yang dilakukan ujung tombaknya di konstituante yang diwakili oleh Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ataupun diluar lembaga pembuat undang-undang tersebut. Sebelum pemungutan suara yang ketiga kalinya pada tanggal 2 Juni 1959, pemimpin Angkatan Darat telah memanggil para Panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia untuk mengadakan rapat yang membahas langkah-langkah yang akan diambil seandainya konstituante gagal menyetujui berlakunya kembali UUD 1945. Jelaslah disini bahwa Angkatan Darat telah siap menempuh jalannya sendiri apabila jalan terbuka secara konstitusional gagal. Ada dua hal kejadian politik yang harus ditangani saat itu, pertama, memberlakukan UUD 1945 dan membubarkan konstituante, dan itulah yang akhirnya dilakukan oleh Soekarno. Kenyataan ini juga menambah daftar lawan politik bagi golonagn Islam yang terus menerus meperjuangkan penegakan syariat Islam, yaitu Angkatan Darat atau militer secara keseluruhan. Walaupun Angkatan Darat tidak secara langsung ikut dalam politik paraktis, namun langkah-langkah yang dilakukan oleh satuan ini adalah langkah-langkah politik dan dapat merubah keputusan politik negara ini.
            Pada fase selanjutnya pergumulan politik golongan Islam untuk melegalitaskan syariat Islam mengalami stagnisasi gerakan, hal ini diakibatkan keadaan politik saaat itu disibukkan oleh gerakan komunis Indonesia yang di wakili oleh Partai Komunis Indonesia. Saat itu semua elemen politik di negeri ini tengah berkonsentrasi untuk meminimalkan meluasnya ideologi komunis di Indonesia.

B.  GERAKAN INTELEKTUAL POLITIK ISLAM PADA ORDE BARU
            Politik Islam mengalami faksionalisme yang terdamaikan lagi dalam sejarah. Dua kekuatan besar politi Islam, Masyumi dan NU terus bersaing. NU dengan cerdik berhasil bertahan dalam setiap pancaroba politik di Indonesia, sementara Masyumi dipaksa oleh Soekarno untuk membubarkan diri pada tahun 1960 karena keiikutsertaan sejumlah elit mereka dalam “pemberontakan” PRRI/Permesta pada paruh akhir dekade 1950-an. Para pemimpin Masyumi menambah citra radikal dari politik Islam, apalagi gerakan mereka adalah ingin mendeklarasikan Negara Islam Indonesia sebagi jalan menegakkan syariat Islam di Indonesia. Akibatnya, upaya pendirian kembali partai ini lewat Parmusi mengalami berbagai hambatan. Pemerintah Orde baru menyetujui berdirinya partai ini, namun menolak keterlibatan elit Masyumi lama seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem. Parmusi-pun putus harapan karena tanpa tokoh-tokoh mereka,  pergerakan mereka akan sia-sia, karena intelektualitas atau metode politik pada saat itu adalah tokoh atau figur partai yang akan dapat memenangkan hati rakyat atau pemilihnya. Akibatnya, pada pemili 1971, Parmusi hanya meraih 7,365% suara, kurang dari separuh suara NU yakni 18,67% suara.
            Terutama pada peristiwa Malari 1974, Orde baru mengeluarkan paket UU politik yang semakin membatasi ruang gerak kekuatan-kekuatan politik di Indonesia. Hal ini adalah tahap kedua dari proyek deideologisasi setelah pengharaman terhadap komunisme lewat ketetapan MPRS NO. XXX tahun 1966. Salah satu produknya adalah UU no. 3/1975 yang menghasilkan berdirinya dua parta fusi. Keduanya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam (NU, PSII, PERTI, dan PARMUSI) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terbentuk dari gabungan tiga partai berhaluan nasionalis (PNI, IPKI dan MURBA) serta dua partai Kristen. Untuk kesekian kalinya, partai politik Islam bernaung pada satu atap, namun kali ini atas dasar pakasaan negara. Pada kenyataannya yang terjadi adalah persaingan antara kekuatan-kekuatan ideologis lama. Dalam tubuh PPP sendiri, persaingan paling keras terjadi antara kubu NU dan eks Parmusi yang mengubah namanya menjadi Muslimin Indonesia (MI). Pada perkembangannya kelompok MI nampaknya berhasil menggusur dominasi NU dalam kepemimpinan partai. Pada 1984, NU sebagai organisasi, menarik diri dari PPP dan mengubah dirinya dari organisasi politik menjadi organisasi sosial. Namun hal tersebut tidak mengurangi peran politik para tokohnya dalam partai PPP.
            Yang bisa kita analisa dalam pergumulan politik pada tubuh PPP saat itu adalah bahwa para tokoh Islam atau kekuatan politik Islam sudah mulai melupakan inti dari gerakan politik Islam untuk menegakkan syariat Islam. Mereka mulai sibuk untuk menegakkan kekuatan politik di tubuh partai atau parlemen, kekuatan politiknya tidak lagi bisa mengimbangi kekuatan Pancasila nasionalis ataupun militer yang dalam hal ini dikuasai oleh Angkatan Darat. Apalagi negara dalam hal ini militer, masih menaruh kecurigaan terhadap para tokoh Islam yang dalam persepei mereka pernah melakukan makar terhadap negara Republik Indonesia dan merupakan bahaya laten, yang setiap saat dapat muncul kembali.
            Sementara kekuatan politik formal semakain terkooptasi oleh negara, gerakan-gerakan politik Islam di kalangan masyarakat sipil mulai merintis pertumbuhan. Gerakan itu mengambil ideologi beragam. Gerakan fundamentalisme di satu sisi dan gerakan moderatisme di sisi lain bertumbuh beriringan. Yang pertama disumbang oleh faksi-faksi warisan DII/TII dan barisan sakit hati Masyumi tua yang telah mengalami represi semenjak oerde lama.  Sementara yang kedua disumbang oleh bertumbuhnya kekuatan santri baru berpendidikan modern sejak awal 1970. Terhadap keduanya rezim orde baru menerapkan pendekatan yang berbeda. Tahun 1970 hingga akhir 1980-an adalah masa perseteruan antara orde baru dan Islam. Pada tahun 1980-an Pangkopkamtib Laksamana Sudomo merilis daftar lima kegiatan teror yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang berbasis Islam sepanjang tahun 1970 hingga awal 1980-an. Kelima Organisasi itu asalah Komando Jihad H. Ismail Pranoto, Front Pembebasan Muslim Hasan Tiro, Pola Perjuangan Revolusioner Indonesia AQ Djaelani, Komando Jihad Teror Warman, dan Dewan Revolusioner Islam Indonesia. Selain itu Orde Baru juga banyak melakukan pencekalan terhadap aktivitas ceramah para tokoh muslim yang tergabung dalam Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang didirikan oleh manta ketua Masyumi Mohammad Natsir. Organisasi terakhir ini mefokuskan diri pada misi dakwah dan indroktinasi para mahasiswa di kampus-kampus sekuler. Para aktivisnya juaga aktif mengampanyekan terhadap penolakan terhadap gerakan Kristenisasi[51]. Berbagai represi terhadap para aktivis Islam ini justru memfasilitasi bertumbuhnya gerakan Islamisasi di kampus-kampus. Kampus menjadi sentral baru perkembangan Islam ideologis sepanjang Orde baru.
            Sementara terhadap kekuatan-kekuatan moderat rezim orde baru mengambil pendekatan yang akomodatif. Hal ini dilakukan dilakukan dengan mengangkat para tokoh pembaru Islam seperti A. Mukti dan Munawir Syadzali sebagai menteri agama. Soeharto meninggalkan tradisi pengangkatan menteri agama dari salah satu dari dua organisasi Islam paling berpengaruh, NU dan Muhammadiyah. Namun, dengan menjauhkan diri dari keterlibatan dalam arus kekuasaan, dua organisasi ini mulai merintis pertumbuhan masyarakat sipil yang relatif independen. Keduanya menjadi fasilitator kelahiaran para santri intelektual dan aktivis gerakan sosial baru. Tokoh-tokohnya kelak meramaikan panggung oposisi  yang memberi warna tersendiri di penghujung kekuasaan Orde Baru. Sejak akhir 1980-an, sikap orde baru terhadap Islam mulai berubah. Sebuah organisasi intelektual santri modernis didirikan dan dipimpin oleh seorang teknokrat santri paling bersinar saat itu, BJ Habibie. Organisasi itu bernama Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi ini dengan sekejap menjelma mesin baru bagi mobilitas politik kalangan santri perkotaan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam birokrasi pemerintahan, kepangkatan militer dan kepengurusan partai. Ditambah juga dengan berkembangnya organisasi kemahasiswaan yang walaupun tidak bersikap politik praktis, namun paling tidak memberikan wacana politik semakin beragam, organisasi kemahasiswaan ini yang berkembang secara nasional diwakili oleh Ikatan Pelajar nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan yang tidak berafilisasi terhadap organisasi sosial adalah Himpunan mahasiswa Islam (HMI) yang selanjutya memang memunculkan tokoh-tokoh pergerakan pembaharu Islam dalam bidang Politik dan wacana ideologi, seperti Nurcholis Madjid.
            Perubahan sikap orde baru terhadap Islam memberi angin segar bagi hadirnya skterianisme dan politik identitas baru bebrbasis agama, ICMI mewadahi baik kalangan santri intelektual yang berasal dari ormas-ormas tua kalangan profesional baru, Islam kampus, maupun kalangan Islam politik warisan Masyumi lama yang sebelumnya tampil sebagai oposan rezim. Kondisi politik semacam ini membuat terkesan bahwa organisasi ICMI seakan-akan sebuah organisasi buatan rezim orde baru yang ingin melemahkan gerakan golongan Islam untuk kembali menyuarakan penegakan syariat Islam, terbukti bahwa kegiatan dari ICMI lebih pada pengkayaan pengetahuan modern, pembangunan intelektualitas dan pembangunan teknologi, sehingga  apa yang dilakukan oleh para tokoh Islam sebelumnya tidak lagi terlihat. Namun, masuknya ICMI dalam lingkaran kekuasaan tidak selamanya menguntungkan rezim, sejumlah tokoh kritis dalam ICMI mulai menampilkan sikap perlawanannya terhadap Soeharto pada paruh akhir 1990-an. Tokoh-tokoh tersebut seperti Nurcholis Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, namun sekali lagi para tokoh ini lahir dari kultur politik organisasi Islam yang berpengaruh di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Para tokoh ini semakin memperkuat barisan oposisi untuk mengadakan perlawanan terhadap rezim Soeharto. Saat itulah muncul kembali banyak gerakan yang mengikuti tokoh-tokoh tesebut, gerakan politik Islam kembali bergairah, sekali lagi para politisi Islam mulai kembali membicarakan penegakan syariat Islam di republik ini.  Gerakan politisasi Islam pada akhirnya dapat menjatuhkan rezim Soeharto pada tahun 1999, gerakan ini memang didukung oleh beberapa tokoh nasionalis seperti Megawati. Gerakan peruntuhan rezim Soeharto ini sebenarnya muncul dari para generasi yang sakit hati terhadap pemberangusan gerakan politik masa lalu, lihat saja tokoh yang muncul merupakan generasi kedua dari para tokoh sebelumnya, seperti Abdurrahman Wahid dan Megawati.      

            C.  POLITIK ISLAM UNTUK REFORMASI
            Perkembangan politik pasca orde baru menunjukkan sejumlah kecenderungan demokratis dan perlawanan terhadap anti demokratis. Reformasi politik memberikan kesempatan untuk bermunculnya partai-partai baru yang pada zaman orde baru tidak dibenarkan. Adalah UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik yang membuka babak baru kepolitikan Indonesia. UU ini ditandatangani pada bulan Februari 1999 oleh Presiden Republik Indonesia pertama di era reformasi, BJ Habibie. Dampak UU ini memang tidak sedramatis maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada bulan November 1945, meski nilainya bisa disejajarkan. UU tersebut membuka kembali sistem tradisi multi partai di Indoensia. Para tokoh politik berbondong-bondong untuk mendeklarasikan partai mereka sesuai dengan ideologi masing-masing. Tak kurang dari 15 partai berideologi Islam didirikan, sebagian besar partai-partai tersebut merupakan warisan ideologis dari partai maupun organisasi Islam yang pernah berjaya di masa lalu. Jika dipetakan dalam bentuk partai politik Islam pada saat itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk kecenderungan. Pertama, partai-partai yang mewarisi arus ideologi yang telah bertumbuh semenjak orde lama, seperti Partai Kebangkitan Bangsa yang merupakan kelanjutan dari partai NU orde lama, dan Partai Bulan Bintang yang mengklaim melanjutkan ideologi Masyumi dan juga Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan pengejawantahan dari Muhammadiyah. PKB dan PAN dalam kenyataan politik praktisnya tidak mengaku sebagai partai Islam. Kedua partai tersebut menganut Pancasila dan kebangsaan sebagai ideologi partai.
             Kedua, partai Islam warisan kelembagaan politik orde baru , seperti Partai Persatuan Pembangunan. Dalam era reformasi PPP merupakan partai warisan orde baru yang sampai saat ini masih eksis berdiri. Pasca runtuhnya rezim Soeharto PPP semakin meneguhkan dirinya sebagai partai Islam, salah satu cirinya adalah mengganti kembali lambang partai dengan ka'bah yang pada zaman orde baru oleh pemerintah tidak diperbolehkan dan diganti dengan lambang bintang.
            Ketiga, partai Islam generasi baru. Disebut baru karena partai ini tidak mengaku sebagai pewaris partai Islam di masa lalu dan menganut ideologi yang sama, namun mengembangkan suatu karakter baru dalam organisasi partai, kaderisasi dan juga ideologi. Salah satu partai yang saat ini semakin eksis dan semakin kuat dalam ideologi partainya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Partai ini meningglakan cara lama yaitu politik secara kultural, kaderisasi partai ini menggunakan cara baru di kalangan para pemuda Islam dengan mengadakan majelis-majelis pengajian secara rutin di kalangan grass road, jika sebuah keluarga yang beragama Islam tidak ada hubungan secara kultural dengan politik Islam masa lalu, maka ideologi politik masa depannya akan sangat cocok dengan ideologi partai ini, maka tak heran jika semakin mari konstituen dari partai ini semakin bertambah.
            Kemudian selanjutnya sebelum sidang umum tahun 1999, kembali mengemuka untuk menagamandemen UUD 1945, yang pada orde lama gagal dilakukan. Dalam menganalisa kontribusi politik partai Islam dalam usaha untuk amandemen 1945 pada era reformasi ini, PPP dan PBB kembali mengemukakan pendapat untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke pasal 29 ayat (1). Dalam rapat-rapat PAH I BP MPR masa sidang tahun 2000 yang bertugas membahas rancangan perubahan UUD 1945, berkembang usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 UUD 1945. Pada prinsipnya ada tiga macam usulan yang disampaikan oleh fraksi Majelis, pertama, agar rumusan pasal 29 UUD 1945  tetap seperti yang telah ada sekarang. Kedua, usul untuk diubahnya pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada ayat pertama. Ketiga, rumusan jalan tengah, yang nampaknya berupaya mencari titik tengah dari dua usulan yang mempunyai prinsip jauh berbeda itu dengan jalan meramu formula baru yang dipandang memuat esensi usulan pertama dan kedua[52].
            Dari 11 fraksi dalam MPR, pada umumnya menyatakan agar pasal 29 mengenai agama tetap ada, ada juga yang menyarankan supaya diperjelas untuk menghindari multitafsir. Namun fraksi PBB dan PPP yang mewakili partai Islam menuntut dimasukkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta kedalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Lain halnya dengan fraksi Utusan Golongan, melalui juru bicaranya, Sutjipto. SH, menyampaikan bahwa ayat pertama pada pasal 29 UUD 1945 agar tetap dipertahankan, sedangkan ayat kedua diubah dengan maksud untuk mempertegas. Hal ini dilakukan karena ada kesepakatan tidak akan ada penjelasan dalam UUD 1945 sehingga tiap rumusan tidak ada multi interpretasi. Sejalan dengan Fraksi Utusan Golongan, Fraksi Partai Demokrat Perjuangan MPR, menegaskan tetap mempertahankan BAB XI tentang agama pasal 29 UUD 1945 sebagaimana bentuk dan buyinya. Melalui juru bicaranya, Drs Soewarno, menegaskan, bahwa meskipun diskusi-diskusi yang terjadi di BPUPKI pada tahun 1945 mengenai perlu atau tidaknya tujuh kata yang diperjuangkan oleh golongan Islam, namun para tokoh bangsa saat itu dapat berpikir jernih dan objektif, sehingga mereka dapat mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan subjektif, bisa mengendalikan diri karena selalu didasari kesadaran bersama dan dibimbing cita-cita bersama. Pandangn kedua fraksi dalam MPR tersebut setidaknya ingin menegaskan, bahwa UUD 1945 merupakan milik bangsa Indonesia yang dilahirkan menurut kepentingan bersama, berasal dari Indonesia yang majemuk, tidak terkecuali dengan agama, sehingga sudah sepatutnya tidak ada tujuh kata yang bersal dari Piagam Jakarta di dalam pasal 29 UUD 1945. Memang sudah seharusnnya bahwa konstitusi sebuah negara dapat melakukan pembatasan negara dari hal-hal yang tidak semestinya atas dasar kebebasan warganya, apalagi dalam hal agama, namun disisi lain, negara lewat konstitusi memiliki wewenang untuk mengatur ketertiban warganya, dua hal tersebut yang menjadi titik tolak di dalam meletakkan hubungan antara negara dan wareganya.
            Fraksi Persatuan Pembangunan yang secara tegas mengusulkan perubahan pasal 29 UUD 1945 dengan mencantumkan tujuh kata dari Piagam Jakarta, tegasnya bahwa pelaksanaan syariat Islam pada tataran Undang-undang bukan lagi permasalahn seperti yang dicontohkan dalam UU. No. 7 1989 tentang Peradilan Agama, ataupun produk Undang-undang lainnya yang mengatur peribadatan umat Islam, namun harus ditegaskan dan tercantum di Undang-undang Dasar Negeri ini. Fraksi ini mengusulkan perubahan sebagai berikut:

  1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu.
  3. Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
           
            Sejalan dengan Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Bulan Bintang, melalui juru bicaranya Hamdan Zoelva, SH, secara filosofis menyampaikan latar belakang fraksi ini mengusulkan hal yang sama dengan Fraksi Persatuan pembangunan. Latar belakang tersebut adalah, Pertama, secara filosofis negara mempunyai tugas pasif terhadap masalah agama. Dalam hal ini negara hanya memeberikan jaminan kepada seluruh penduduk untuk secara merdeka menjalankan ajaran agamanya, bahkan negara harus memberikan jaminan seluas luasnya bagi setiap penduduk untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Kedua, posisi agama dan negara Indonesia sangatlah spesifik ditinjau dari sosiologis, filosofis dan historis, oleh karena itu perlu dipertegas dengan membuat satu tambahan ayat mengenai masalah yang berakaitan dengan tugas aktif dasi warga negara dalam kaitan dengan pelaksanaan ajaran agamanya, Ayat tambahan tersebut ditujukan kepada penganut agama untuk menjalakan syariat agamanya.[53]
            Lain halnya dengan fraksi Kebangkitan Bangsa MPR, lewat juru bicaranya K.H. Yusuf Muhammad. Lc, mengusulkan perubahan yang berkaitan dengan BAB IX pasqal 29 UUD 1945 adalah sebagai berikut :
  1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya.
  2. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusian yang diajarkan oleh setiap agama.
  3. Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk meyakini agamanya dan beribadat menurut kepercayaan agamanya.
Melalui usulan tersebut, FKB mengindikasikan bahwa penambahan jumlah ayat dari dua ayat menjadi tiga ayat, dimaksudkan untuk menjadi jalan tengah antara faraksi yang tidak menyetujui perubahan dengan fraksi yang menghendaik perubahan dalam pasal 29 UUD 1945.
            Uraian diatas adalah langkah-langkah politik dari umat Islam yang dalam hal ini diwakili oleh partai politik dalam memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Pada penerapan berikutnya akan kita bahas dan kemudian kita analisa mengenai desakan amandemen dan tuntutan penerapan syariat Islam oleh banyak pihak termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai wujud kontribusi  Islam dalam menyikapi amandemen UUD 1945.
            Wacana Islam dalam konstitusi Indonesia di era reformasi lebih mengarah kepada perdebatan antara hubungan agama (Islam) dan negara. Dalam menganalisa wacana Islam yang terdapat dalam konstitusi yang sedang diperdebatkan di era reformasi, persoalan amandemen UUD 1945 menjadi persoalan besar antara pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju dengan perubahan UUD 1945.  Indonesia memasuki masa kritis, demikian ungkapan berbagai kalangan menanggapi gegap gempitanya pro-kontra perubahan UUD 1945. Dua kelompok besar antara yang menginginkan perubahan secara radikal terhadap UUD 1945 dan kelompok yang cenderung mempertahankan political status quo sama-sama berdiri berhadapan. Ide dasar amandemen UUD 1945, sebenarnya bukan hal kontroversial. Sejak awal bergulirnya gerakan reformasi kepentingan untuk merubah dasar konstitusi negara sejatinya sudah muncul menjadi kesadaran umum. Hanya saja dalam langkahnya kini, ketidak sepakatan tampak menggejala pada sejauhmana ide perubahan itu hendak diaplikasikan.
            Bagi kelompok pertama, perubahan konstitusi dimaksudkan sebagai langkah strategis untuk mengkaji lagi secara mendasar sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan dengan demikian tidak hanya bermakna sekedar improvisasi tambal sulam beberapa pasal. Perubahan secara total terhadap struktur dan sifat konstitusi lama dipandang sebagai hal wajar demi perbaikan yang menyeluruh dari tatanan kebangsaan kita. Karena itu kelompok ini tidak mengenal istilah pasa-pasal sakral yang tidak dapat disentuh terhadap perubahan.
            Berbeda dengan kelompok kedua memahami amandemen sebagai langkah improvement terhadap bangunan konstitusi Indonesia yang dirasakan perlu perbaikan. Karena sekedar perbaikan, maka nomenklatur konstitusi lama harus tetap dijaga keutuhannya. Beberapa pasal yang sudah mapan tidak perlu diutak-atik lagi. Kelompok ini memandang perubahan yang habis-habisan terhadap UUD 1945 justru sebagai langkah yang abusment terhadap filsafat ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut bukanlah reformasi, akan tetapi deformasi, maka dari sinilah muncul istilah pasal sakral dan nonsakral.
            Imbas dari polarisasi ini muncul beberapa pasal yang masih kontroversial. Diantaranya perdebatan mengenai perubahan pasal 29 UUD 1945. Untuk sementara, MPR masih pada keputusannya tidak akan melakukan perubahan pasal agama ini. Posisi ini diambil berdasarkan pendapat mayoritas fraksi yang menyetujui untuk mempertahankan pasal 29 sebagaimana adanya. Hanya fraksi PPP dan PBB yang tetap menghendaki untuk mengubah pasal ini dengan memasukkan unsur Piagam Jakarta di dalamnya. Namun ini tidak berarti ide perubahan sudah tertutup.
            Problematika hubungan antara agama dan negara di tanah air sudah setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante di awal persiapan kemerdekaan, masalah ini meruncing dan tidak terselesaikan. Perdebatan berkisar bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrem yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh, nonteokratis, tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara, “Negara Pancasila”, itulah sebutannya.
            Masalahnya kemudian, bagaimana dan sejauh mana negara mengurusi masalah agama, sejatinya perubahan tentang pasal 29 UUD 1945 merupakan lanjutan dari perdebatan tentang hubungan negara dan agama yang dikesampingkan pemecahannya. Karena itu ide perubahan pasal ini harus dilihat sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah konstitusi yang sekian lama tertunda, dan ini hanya dapat dilakukan bila masalah hubungan antara keduanya didekati dengan kepala dingin dan menyentuh core problemnya.

            Pertama, bagaimana dalam aplikasinya bentuk pengakuan negara, apakah pengakuan itu harus direfleksikan dengan penyebutan secara eksplisit label dari sistem tertentu yang diakui eksistensinya di Indonesia?. Berkembangnya kontroversi Piagam Jakarta bermula dari pertanyaan ini. Penyebutan secara eksplisit tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya tidak hanya problematik karena merangsang kecemburuan dari dominasi agama lain. Pelabelan ini juga memunculkan kontroversi pada masalah hubugan antara agama yang diakui keberadaannya di tanah air.
            Kedua, sejauh mana pengakuan negara atas agama-agama itu seharusnya. Apakah pengakuan itu harus diikuti pengurusan administrasi oleh negara sampai pada hal-hal yang amat detail dari aplikasi teologi masing-masing agama, atau hanya pada shere generalnya saja. Jawaban terhadap pertanyaan ini jauh lebih rumit, karena berbicara prilaku negara, tidak dapat dipisahkan dari dasar filosofis politik yang dianut..
            Pro kontra terhadap Piagam Jakarta dan pelaksanaan syariat Islam menjadi isu sentral terhadap wacana Islam dalam kosntitusi di era reformasi, tidak berhasilnya usul perubahan atau amandemen UUD 1945 pasal 29, tidak menyurutkan semangat kalangan umat Islam yang mendukung penegakan syariat Islam di Indonesia. Seiring dengan hal tersebut, kalangan ini memunculkan wacana penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, yang tentunya bertujuan apabila sudah diterapkan oleh masyarakat, maka nantinya legalisasi syariat Islam dalam konstitusi akan lebih mudah, karena merupakan sebuah keinginan bersama warga negara Indonesia. Di tingkat masyarakat, beberapa perkembangan pasca sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000 berkaitan dengan isu Piagam Jakarta maupun penegakan syariat Islam di Indonesia anatara lain adalah sebagai berikut :
            Kongres Mujahidin I di Yogyakarta pada awal Agustus 2000, merupakan permusyawaratan beberapa elemen pendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Mereka antara lain Laskar Hizbullah, Brigade Hizbullah dan Front Pembela Islam. M. Harun, Koordinator acara ini menyebutkan bahwa kongres tersebut adalah kongres menegakkan syariat Islam di Indonesia. Lebih lanjut Abu Bakar Ba'asyir yang terpilih menjadi ketua Ahlul Halli wal 'Aqdi menyerukan kepada penguasa negeri ini untuk melaksanakan syariat Islam. Kongres yang dihadiri 1.500 peserta itu memilih Ustadz Asep Mausul, Pimpinan Pesantren Mangunjaya, Tasikmalaya sebagai Ketua Dewan Mujahidin[54].
            Di Sulawesi Selatan, berlangsung Kongres Umat Islam I se Sulawesi Selatan, tanggal 19-21 Oktober 2000. Kongres yang dilaksanakan oleh Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam (KPPSI) cabang Sulawesi Selatan ini dihadiri sekitar 2.300 peserta. Kongres ini digelar dalam rangka mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Menurut Kaharuddin, ketua kongres, tuntutan penegakan syariat Islam yang dituntut oleh kongres ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kahar Muzakar yang melakukannya dengan radikal, KPPSI akan melakukannya denga cara konstitusional. KPPSI akan menuntut agar pemerintah menerbitkan Undang-undang otonomi khusus pelaksanaan syariat Islam di Sulawesi Selatan. A.M. Fatwa yang juga hadir saat itu menyatakan tak ada alasan untuk menolak penegakan syariat Islam di Sulawesi Selatan.
            Aksi mendukung penegakan syariat Islam di Indonesia antara lain dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, dengan menggelar unjuk rasa yang diikuti sekitar 3000 orang di Surabaya, 13 Januari 2002. Komandan aksi Rahmat Labib menyatakan, aksi ini dilakukan untuk mengingatkan umat Islam agar tetap menegakkan syariat Islam. Hiabut Tahrir adalah partai politik internasional yang berpusat di Timur Tengah. Pihaknya menginginkan Indonesia menerapkan ajaran Islam secara keseluruhan mulai dari hukum perdata, pidana hingga ke dalam aktifitas sehari-hari. Kehendak itu dilakukan bukan dengan kekerasan, tetapi dengan jalan pembinaan.
            Di pihak lain, beberapa tokoh dan kalangan masyarakat menolak usul pencatuman kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 1945. K.H. Abdurrahman Wahid, menyatakan bahwa beliau mendukung langkah berbagai komponen masyarakat Sulawesi Utara yang menolak pemberlakuan kembali Piagam Jakarta dalam negara Indonesia. Selanjutnya menurut beliau. Mayoritas masyarakat Indonesia menolak penggunaan agama sebagai ideologi bangsa, beliau juga menyatakan tidak menolak syariat Islam, tetapi syariat Islam tidak ada hubungannya dengan negara, beliau juga menolak pemihakan negara terhadap suatu agama dan menolak setiap tindakan tidak demokratis. Pernyataan ini beliau utarakan saat menghadiri apel akbar kebangsaan yang dihadiri sekitar 3000 orang dari berbagai organisasi kemasyarakatan pada tanggal 28 Januari 2002.
            Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) tidak menginginkan pasal 29 UUD 1945 diubah. Dalam pertemuannya dengan PAH I BP MPR yang menyerap aspirasi masyarakat pada tanggal 5 Feburari 2002, melalui juru bicaranya, Dr. Natan Setiabudi menyatakan, pasal 29 UUD 1945 masih dirasa memadai dalam masyarakat majemuk seperti Indonsia. Ia mengutarakan bahwa judul Bab IX tetap, yaitu agama, karena bab ini isinnya mengenai agama dan bukan mengenai dasar negara maupun tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau soal dasar negara, sudah tercantum di Pembukaan UUD 1945. Bahkan, Natan mengatakan, sebagai konsekuensi dari judul bab tersebut, seharusnya ayat 1 dari pasal tersebut dihapuskan. Senada dengan PGI, Konferensi Wali Gereja Indonesia, melalui wakilnya Mgr. Kardinal Julius Darma Atmadja mengutarakan, KWI tetap ingin mempertahankan naskah asli pasal 29 UUD 1945, karena rumusan pasal itu telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melaksanakan agamanya masing-masing.
            Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah dari berbagai ormas Islam dan cendekiawan muslim Indonesia, juga menolak perubahan pasal 29 UUD 1945, dalam pertemuannya dengan PAH I BP MPR yang menyerap aspirasi masyarakat, Prof. Dr. Zakiah Daradjat, wakil dari MUI, mengutarakan bahwa keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi landasan orang beragama, dengan rumusan seperti aslinya, pasal itu tidak mengandung implikasi negatif terhadap kehidupan beragama masyarakat Indonesia[55].
            Dua organisasi muslim terkemuka Indonesia (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) juga angkat bicara dalam menanggapi permasalahan ini. Muhammdiyah yang diwakili oleh Ahmad Syafi'i ma'arif, Ismail Sunny, dan A. Watik menyatakan bahwa rumusan yang ada pada pasal 29 UUD 1945  sudah mencerminkan tauhid semua agama. Jika ada yang ingin memperjuangkan syariat Islam masuk ke dalam pasal itu, sebaiknya jangan asal berjuang, sebab menurutnya, kekuatan kelompok Islam yang menginginkan hal itu diperkirakan hanya 10% dari jumlah umat muslim di Indonesia. Jika perjuangan tersebut tidak menuai hasil, dampak politiknya sangat besar, kekuatan politik Islam akan dianggap kalah[56].
            Nahdlatul Ulama, melalui ketuanya saat itu, Ir Salahuddin Wahid mengatakan, walaupun belum menjadi sikap resmi NU, tetapi NU tampaknya menginginkan pasal 29 UUD 1945 tetap seperti yang selama ini telah baku. Salahuddin mengutarakan, pada prinsipnya PBNU menerima syariat Islam bila hal itu secara budaya dan politik memang bisa diterima, dan dalam merumuskannya harus juga melalui lembaga atau forum MPR, beliau juga menambahkan, NU menolak formalisasi Islam dalam UUD, tetapi bisa menerima pelaksanaan syariat dalam peraturan di bawah UUD 1945 selama prosedurnya tidak dipaksakan dan disepakati rakyat melalui lembaga legislasi, seperti yang diterapkan di Nanggaroe Aceh Darussalam[57].
            Dalam kesempatan itu pula, Drs. Masdar F. Ma'udi, seorang kader NU menegaskan bahwa secara ideal memang umat Islam menginginkan ditegakkan syariat Islam, masalahnya apakah urusan penegakan syariat itu negara harus ikut campur tangan negara. Menurutnya, dalam syariat itu ada yang bersifat publik dan ada yang privat. Namun ketika kata-kata syariat Islam itu dimasukkan kedalam pasal itu, nantinya akan menjadi masalah. Sebab dengan masuknya kata syariat, berarti semuanya akan diatur negara, baik yang bersifat publik maupun yang bersifat privat. Ia melanjutkan, bahwa di negara-negara Islam modern pun, bagaimana negara masuk dalam persoalan agama masih diperdebatkan. Apalagi dalam hal yang menyangkut mazhab dan fiqih agama. Ia mempertanyakan bagaimana negara mau mengatur berapa rakyat orang itu menunaikan shalat dan sebagainya.
            Masdar F. Mas'udi mengatakan penambahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta kedalam pasal 29 UUD 1945 tidak perlu dilakukan karena tiga alasan, pertama, dimaksudkan atau tidak penambahan tujuh kata tersebut mendriskiminasikan agama lain karena hanya Islam yang disebutkan. Kedua, pelaksanaan syariat Islam tidak membutuhkan otoritas negara untuk menegakkannya karena bergantung pada keikhlasan dan kesadaran penganutnya. Ketiga, pencantuman tujuh kata ini akan menyulitkan negara mengawasi pelaksanaannya. Kalau negara dipaksakan terlibat dalam maslah fiqih , maka akan menimbulkan malapetaka. Jika perlu perubahan, ia mengusulkan, nilai agama sebagai prinsip etika dan moral yang bersifat mempersatukan, yang belum tercakup dalam padal 29 UUD 1945. hal ini telah diusulkan dalam rapat PAH I BP MPR dengan kalimat rumusan “Negara menjungjung tinggi nilai-nilai etika dan moral yang diajarkan oleh agama”.
            Walaupun legalisasi melaui konstitusi yaitu melaui UUD 1945 sampai dengan saat ini tidak berhasil, namun melalui undang-undang atau peraturan di bawah UUD 1945, formalisasi syariat Islam tidak bisa dikatakan tidak berhasil. Dari data yang diolah oleh PP Lakpesdam NU, terdapat tak kurang 68 produk hukum bernuansa syariat di 37 kabupaten/kota dan 18 provinsi di seluruh Indonesia sejak tahun 1999 hingga 2005. sedangkan Robin Bush mendata adanya sekitar 78 Perda di 52 Kabupaten/kota hingga tahun 2007. jika diprosentase, 55% dari jumlah tersebut dipengaruhi langsung oleh isu syariat, sedangkan 45% sisanya murni masalah moralitas[58].
            Sebagai sebuah kenyataan politik, fenomena perda syariat pada era reformasi sangat menarik. Ini mengingat bahwa peraturan-peraturan tersebut selain berupa Surat keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota, namun juga Peratuan daerah yang dibuat secara bersama-sama oleh lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Jika dilahat dari konstelasi kekuatan politik di daerah, maka perda-perda tersebut tidak hanya diproduksi didaerah-daerah lumbung suara partai Islam, namun sebagian besar justru dibuat di basis partai-partai nasionalis sekuler atau partai-partai santri moderat. Di sulawesi selatan misalnya, merupakan salah satu basis utama Parta Golkar, terdapat tak kurang dari 13 produk perda syariat. Sebagian besar perda syariat yang dikeluarkan adalah perda yang kadar ke-Islamannya tinggi. Di salah satu kabupaten, Maros misalnya, terdapat dua perda tentang kewajiban mampu baca tulis Alquran bagi siswa, atau kewajiban mengenakan jilbab bagi pegawai negeri sipil. Di Jawa Tinur yang merupakan basis Partai Kebangkitan Bangsa, hingga tahun 2005, sejumlah perda bernuansa syariat juga diterbitkan. Meskipun, sebagian besar perda-perda tersebut merupakan perda yang bernuansa moral seperti himbauan miras dan pelacuran.
            Munculnya perda-perda syariat di basis partai-partai nasionalis-sekuler ini patut dicermati. Berlawanan dengan pandangan para analis yang kerap berteori tantang kemungkinan berlangsunya proyek syariatisasi yang lebih besar, penulis berpandangan bahwa munculbya perda-perda tersebut tidak sepenuhnya didasari oleh komitmen terhadap syariat itu sendiri. Meskipun komitmen itu tidak ada sama sekali. Diskursus utama yang diangkat untuk melahirkan perda-perda semacam itu adalah wacana populer tentang keruntuhan moral dan krisis tradisi. Wacana semacam ini adalah wacana umum di media, ceramah para kiai di forum pengajian, hingga perbincangan di meja makan keluarga muslim. Bagi kalangan awam diskursus semacam itu dapat dipahami secara sederhana sebagai keprihatinan orang tua terhadap kenakalan anak muda. Islam hanya memberikan legitimasi tradisional di tengah-tengah karakter elitis wacana-wacana kaum nasionalis dan pluralis.
            Perda syariat lahir karena berbagai macam faktor dan latar belakang, yang jelas ia tidak bisa dilepaskan dari konstelasi kepolitikan dan kebijakan politik nasional yang sanag dinamis setelah reformasi berlangsung. Faktor-faktor tersebut dengan baik dirumuskan oleh Robin Bush dalam empat perkara. Pertama, faktor kesejarahan dan budaya lokal. Menurutnya, perda-perda tersebut banyak bertumbuh di kawasan-kawasan yang memiliki sejarah erat dengan pergolakan penting dalam sejarah politik tanah air, sebut saja Aceh, Sulawesi Selatan dan Jawa barat yang merupakan basis-basis pergolakan berdarah DI/TII yang pernah mewarnai sejarah perjalanan Indonesia pada akhir 1940-an hingga awal 1950-an. Masing-masingnya memiliki pemimpin kharismatik dan legendaris, T. Daud Beureueh, Abduk Kahar Muzakkar dan Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
            Faktor kedua adalah kenyataan bahwa daerah-daerah produsen syariat tersebut banyak memiliki masalah dengan kasus-kasus korupsi dan pelayanan pemerintahan yang buruk. Oleh karenanya, perda-perda syariat hadir sebagai kamuflase untuk menutupi berbagai kebobrokan kepemerintahan setempat, baik di wilayah eksekutif maupun legislatif. Bush, misalnya, mengutip suatu penelitian yang menyebutkan adanya 11 kasus korupsi di Bulukumba ynag melibatkan bupati dan anggota DPRD, juga kasus pengemplangan gaji guru selama 6 bulan di Maros. Selain itu, ada pula kasus pelayanan publik yang buruk di Kabupaen Dompu, NTB.
            Faktor ketiga adalah komodifikasi perda syariat sebagai alat transaksi dalam kontestasi politik lokal. Para politisi, baik incumbent maupun penantang, yang hendak bertarung dalam pemilihan calon kepala daerah banyak mengangkat isu-isu agama untuk meraup suara pemilih.
            Faktor keempat adalah rendahnya pengetahuan hukum dan kurangnya kapasitas mengelola pemerintahan. Hal ini adalah imbas dari apa yang disebut sebagai autonomy shock. Kewenangan yang luas dalam mengatur urussan-urusan daerah tidak diiringi oleh kualitas sumber daya manusia. Akibatnya, adalah tumbuhnya produk-produk hukum yang tidak selaras dengan kebutuhan daerah.
            Faktor-faktor diatas mengkonfirmasi bahwa tidak seluruh perda syariat bermotif syariat meskipun sebagian besar subtansinya mengacu pada ajaran-ajaran formal agama. Fakto-faktor diatas hanya menunjukkan bahwa terdapat komplikasi dari sekulerisasi politik yang tengah berlangsung dalam jagad kepolitikan tanah air. Sehingga Islam terkadang dijadikan sebuah alasan politik yang sangat efisien dalam merebut dan mendulang suara. Hal ini bisa berbanding terbalik, jika politisasi yang dilakukan oleh partai-partai Islam mengalami stagnasi politik, maka partai-partai yang berideologi nasionalis kebangsaan akan mengambil peranan selanjutnya, mungkin masih dengan mengandalkan isu-isu agama seperti pemberlakuan syariat Islam. Dalam lanskap nasioanal misalnya, UU pornografi yang banyak pihak disebut sebagai salah satu undang-undang bernuansa syariat banyak didukung secara gigih oleh partai-partai nasionalis seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari perang popularitas. Dalam kondisi semacam ini, penegakan syariat Islam senyatanya berada dalam kondisi yang mengenaskan. Ia mampu meraup popularitas di tengah geliat politik kebangkitan Islam yang populer yang dikampanyekan secara massif oleh media dan dijadikan sebuah isu kampanye partai politik. Suatu Islam yang tidak memandang agama secara ideologis, namun sebagai gaya hidup alternatif. Jika keadaan ini terus berlangsung, maka niscaya dasar-dasar ajaran Islam akan semakin terpuruk kedalam banyak situasi yang memanfaatkan isu-isu sentral tentang keIslaman. Apakah hal ini mengisyaratkan bahwa peerapan syariat Islam di Indonesia ini hanya sebatas isu dan permainan politik, atau hanya sebuah pelipur lara bagi para kelompok yang sakit hati kepada pemerintah pusat, atau diberlakukannya syariat Islam di Indonesia merupakan sebuah kesadaran masyarakatnya tentang ajaran Islam, seperti yang dicontohkan Muhammad lewat Piagam Madinah.
















BAB V
PENUTUP DAN SARAN
            Upaya menempuh ke arah formalisasi syariat Islam dalam perspektif tata hukum Indonesia ternyata sangat rumit karena berkaitan dengan berbagai aspek historis, ideologis, politis yuridis relegius, sosiologis dan kultural, baik di lingkup nasional maupun internasional. Aspek-aspek tersebut dalam realitasnya ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, proses formalisasi syariat Islam kedalah hukum nasional memerlukan waktu yang sangat panjang, melintasi beberapa periode dan generasi serta memunculkan problematika yang amat krusial. Dari segi historis, fakta menunjukkan bahwa perjuangan umat Islam Indonesia tidak pernah berhenti sejak Islam masuk ke nusantara, selama masa kerajaan dan kesultanan di beberapa daerah. Demikian juga selama masa penjajahan pihak asing, umat Islam telah memperlihatkan keuletan dalam memperjuangkan penegakan syariat Islam walaupun pihak kolonial, terutama Belanda, selalu berusaha menjauhkan umat Islam dengan agamanya. Memasuki masa kemerdekaan, terlihat betapa sengitnya perdebatan para founding father dalam menentukan ideologi dan dasar negara.
            Sejak memasuki awal kemerdekaan inilah nampak perpecahan umat Islam Indonesia secara ideologis-politis. Persoalan ideologi negara yang berkaitan dengan dasar negara Islamis atau nasionalis telah menjadi konsumsi para elit politik. Kemunculan faham kebangsaan dengan dalih pluralisme selalu menjadi ganjalan dalam setiap kali syariat Islam dibicarakan melalui rancangan perubahan konstitusi atau perundang-undangan lainnya. Begitupun sejak rezim orde lama dan orde baru berlangsung, secara politik umat Islam selalu berusaha berjuang untuk melegalisasikan syariat Islam ke dalam hukum nasional yang dimulai dari konstitusi negara, namun hal ini selalu gagal. Demikian juga saat reformasi, usaha  sebagian tokoh untuk terus menyuarakan penegakan syariat Islam dengan melegalisasikan dalam bentuk konstitusi terus berlangsung. Jika dibandingkan dalam dua masa sebelumnya, pada masa reformasi, suasana politik dalam usaha untuk penegakan syariat Islam sangat kondusif, walaupun masih ada perdebatan yang sengit seputar legalisasi ataupun formalisasi syariat Islam. Hasilnya pun tidak terlalu mengecewakan para tokoh dan umat Islam yang selama ini secara gigih terus menerus berjuang demi tegaknya syariat Islam. Terbukti dengan diberlakukannya UU Otonomi daerah yang memungkinkan sebuah daerah melahirkan Perda-perda yang berlandaskan syariat Islam, walapun hanya sebatas himbauan atau gerakan moral, namun paling tidak, kenyataan ini merupakan kenyataan politik yang tidak dapat dipungkiri. Jika pada kenyataannya nanti lebih dari 50% provinsi di Indonesia menghasilkan perda-perda yang berlandasakan syariat Islam, maka tidak akan mustahil jika konstitusi negara ini akan berubah.
            Perjuangan umat Islam ternyata tidak hanya melalui gerakan sosial yang sering mengalami hambatan, upaya lainnya pun dilakukan dengan cara melaksanakan syariat Islma secara kultural yangg disesuaikan dengan adat dan kebiasaan lokal. Model gerakan kultural inilah yang sebenarnya telah menjadi andalan umat Islam sejak dulu hingga saat ini dan mungkin untuk masa yang akan datang, sehingga diharapkan dapan mengkristal pada setiap elemen prilaku masyarakat.
            Berbagai cara telah ditempuh oleh masyarakat muslim Indonesia untuk penegakan syariat Islam di Indonesia, namun di masa globalisasi ini, umat Islam mendapat tantangan yang serius, tantangan itu adalah munculnya gerakan Islam yang disebut Islam fundamentalis dan Islam Ekstrimis. Kedua gerakan tersebut telah memberikan stigmatisasi terhadap dunia, bahwa ajaran Islam adalah gerakan kekerasan, teror dan hororis. Secara internasional, beberapa negara khususnya United State of America dan beberapa negara Eropa, mengklaim bahwa Islam adalah teroris, yang menghalalkan segala cara untuk ber ”jihad”.  Gerakan ini juga yang membuat citra Islam sebagai agama rahmatan lilalamin menjadi agama penuh kekerasan. Sudah menjadi tanggungjawab seluruh elemen Islam untuk mengembalikan persepsi masyarakat dunia tentang Islam.
            Fenomena diatas memberikan gambaran bagi umat Islam Indonesia, bahwa begitu sulit memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara formal di Indonesia. Masalah yang timbul selanjutnya bagaimana seharusnya syariat Islam diberlakukan secara formal di Indonesia, untuk hal itu perlu kiranya penulis merumuskan sebagai berikut :
  1. Mengenai perdebatan bentuk legalisasi syariat Islam terhadap hukum nasional, tidak perlu dilakukan perubahan atas konstitusi, karena keadaan sosiologis, politis dan kultural bangsa Indonesia saat ini tidak memungkinkan untuk perubahan tersebut. Formalisasinya tidak perlu lagi secara politis ideologis pada wilayah konstitusi, cukup dengan memproses legislasi syariat Islam setingkat peraturan dan perundang-undangan seperti pada saat ini banyak berlaku di berbagai daerah, namun cakupan wilayah hukumnya agar lebih diperluas, selain di bidang ubudiah dan muamalah, ke bidang ekonomi dan jinayah justru lebih strategis dalam memberdayakan ekonomi umat serta menciptakan keamanan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
  2. Produk Undang-undang yang berdasarkan syariat Islam atau yang mengambil nilai-nilai Islam sebagai landasannya haruslah terus dikaji oleh semua kalangan, termasuk juga kalangan akademisi, sehingga diharapkan akan semakin banyak lahirnya undang-undang atau peraturan yang berlandaskan syariat Islam di berbagai segi hubungan masyarakat dengan negara dan antara sesama masyarakat. Memang betul bahwa Indonesia bukanlah negara atas dasar agama, namun tidak menjadi sebuah inkonstitusional ketika negara mengatur warganya yang beragama, termasuk bagaimana sosialisasi antar umat beragama.
  3. Partai-partai politik yang berideologi Islam haruslah mengkaji ulang langkah-langkah politik yang telah dilakukan selama ini. Apa yang mereka lakukan dengan memaksakan legalisasi syariat Islam secara “redaksional” dalam konstitusi negara telah menimbulkan perseden buruk terhadap citra politik Islam, dunia politik dapat mengambil kesimpulan bahwa politik Islam tidak berhasil untuk memenangkan hati rakyat. Mereka sudah seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang strategis, misalnya dengan memunculkan kader-kader partai yang bersih, yang mencerminkan seorang kader Islami, seorang kader yang bebas dari perbuatan kriminal, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kader-kader yang semacam inilah yang akan selalu diharapkan oleh masyarakat dalam kegelisahan sosiologis masyarakat saat ini. Hal ini bisa tercapai, jika partai-partai politik Islam yang selalu menyuarakan penegakan syariat Islam secara sadar para kadernya mengamalkan syariat Islam secara kaffah. Memang sangat idealis, namun bagaimana rakyat akan percaya terhadap syariat Islam, jika sikap penyerunya jauh dari nilai-nilai syariat Islam.
  4. Pengawasan terhadap berjalannya perda-perda syariat Islam di berbagai daerah harus dilkukan oleh semua elemen di daerah tersebut. Pemerintah dalam hal ini memang memiliki kekuatan hukum dalam mengawasinya, namun partai-partai politik yang menyuarakan penegakan syariat Islam harus ikut serta dalam pengawasan ini, sehingga akan terjadi keseimbangan keadaan politik. Jika keadaan politik menjadi kondusif, secara psikologis masyarakat akan menjadi tenang, secara sosiologis prilaku masyarakat akan mengarah pada yang diarahakan oleh perda tersebut, dan secara kultural masyarakat akan secara sadar menerapkan perda syariat tersebut.
  5. Kesadaran umat muslim Indonesia akan kebutuhan dirinya sebagai seorang manusia yang beragama Islam adalah melaksanakan syariat Islam berdasarkan sumber hukum tersebut. Sejak seorang manusia mengucapkan kalimat syahadat, dirinya telah melakukan sumpah untuk selalu menaati perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah. Kalimat syahadat adalah sebuah perjanjian yang berdasarkan atas kebutuhan manusia terhadap Tuhan. Kesadaran tadi dapat dibangun oleh sebuah pendidikan yang bertahap, mulai dari keluarga hingga lingkungan sosial. Sekali lagi hal ini memang sangat idealis, namun hal tersebut juga logis jika dilihat dari kondisi masyarakat saat ini.
























[1]    Samsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1984), h. 39
[2] Hasan Muarif Ambary, “Peranan Lembaga-Lembaga Islam MenjelangKemerdekaan RI dan Pasca Kemerdekaan “ dalam Seminar Nasional Sumbangan Islam terhadap Kebangkitan Bangsa
[3]  Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,(Jakarta : Yayasan Prapanca , 1959),  Naskah I, h. 115.
[4]   Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta : CV Rajawali, 1986, hal. 30.
[5] Ketika UUD RI yang akan disahkan, disepakati bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila, dimana sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Semula sila ini disepakati berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perubahan itu sebagai bukti toleransi tokoh Islam demi untuk kesatuan dan persatuan bangsa serta keutuhan dan kelestarian Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan
[6] Lihat selengkapnya dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4
[7] Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Makalah Kuliah Aspek Hukum Dalam Kebijakan Ekonomi, MPKP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006, hal. 1
[8] Erman Rajaguguk, Perubahan Hukum di Indonesia (1998-2004), Harapan 2005, Legal Development Facility-Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal 36.
[9] R. Herlambang Perdana W, “Kekuasaan Tafsir dan Tafsir Kekuasaan Dalam Hukum”, jurnal Forum Keadilan: no. 50, 16 APRIL 2006, hal 57.
[10] Mouvty Makaarim al-Akhlaq, “Relasi Politik Dan Hukum Di Indonesia”, hal. 2 (http://makaarim.wordpress.com)
[11] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana,  Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.23
[12]  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986 hal 10)
[13] Khudzaifah, Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum UMS, 2004, hal 13
[14]  Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari'ah, Pustaka Amani Jakarta, tt, hal. 7-8
[15]  Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariat Islam, HTI, 2002, Jakarta, hal, 1-2
[16]  Drs. A. Rahmat Rosyadi, SH, MH, Formalisasi Syariat Islam, Ghalia Indonesia, Bogor, hal 16
[17]  Hizbut Tahrir Indonesia, Penegrtian Syariat Islam
[18]  T.M. Hasby As Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Cet 2, 1974, Hal 19
[19]  Asaf A.A. Fyzee, Pokok Pokok Hukum IslamI, Tinta Mas, 1965, hal 22-23
[20]  Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Uslul Fiqih), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Cet,. IV, Hal 2
[21]  Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakan Syariat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, 2002, hal 39
[22]  H. Abdurraoef, Alquran dan Imu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal. 21
[23]  Abdul Wahhab Khallaf, Op, Cit, Hal 155
[24]  Abdul Wahab Khalaf, Op, Cit, Hal 329
[25]  Hizbut Tahrir Indonesia, Op. Cit, hal 23
[26]  H.M. Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta. 1971, hal. 25.
[27]  Muhammad Daud Ali, Op, Cit, hal. 51-52
[28]  Wawancara dengan Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk “jika syariat Islam jalan, maka jadi negara Islam, Dalam Tashwirul Afkar, hal 99-100
[29]  Bisma Siregar, Hukum Islam sebagai Institusi Keagamaan, PT Rosda Karya, Bandung, 1991, hal 33 -34
[30]  Jauhar, Vol 1 No 1, Desember, 2000, hal 59, M. Amin Rais, Wawasan Islam Tentang Ketatanegaraan   dalam bukunya Cakrawala Islam
[31]  Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik. PT. Rosda Karya, Bandung, 1991, hal xv
[32]  H. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, 1999, Jakarta, hal 5-6
[33]  Didin Hafidhudhin, Islam Aplikatif, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hal 147-148. Dalam judul Islam Antara Eksekutif dan Inklusif Suatu Catatan Atas Jaringan Islam Liberal
[34]  Mokhtar Mas'oed, dalam kata pengantar buku: Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka Pekajar, 1999, hal xi-xii
[35]  H. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademi Pressindo, Jakarta, 1992, hal 9
[36]  K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet IV. 1976, hal 4-5
[37]  Penjelasan UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Nanggaroe Aceh Darussalam, hal 16
[38]  Lihat Sabili edisi 9 th, X 2003, hal 47
[39]  Kanun atau Qanun berasal dari bahasa Yunani yang masuk ke dalama bahasa Arab melalui bahasa Yunani yang diartikan sebagai alat pengukur, kemudian berarti kaidah. Dalam bahasa Arab kata kerjanya adalah qanna, yang berarti membuat hukum (to make law, to legislate). Kemudian qanun berarti law atau hukum, peraturan atau rule atau regulation, undang-undang atau satute atau code. Lihat, The Encyclopedia of Islam (new. Ed) IV:558
[40]  Gerbang Marhamah, LPPI Kabupaten Cianjur, 1423H/2003 M, hal 13
[41]  Gerbang Salam, LP2SI Kabupaten Pamekasan, Madura Jawa Timur, 2002, hal 1-2

[42]  Mekkas Jatanh Jenneng Dibi', artinya ingatlah selalu pesan nenek moyang agar selalu berhati-hati atau teliti srta tidak terpengaruh orang lain dan harus sanggup berdiri di atas kekuatan sendiri. Lihat Gerbang Salam, LP2SI Kabupaten Pamekasan, 2002, hal 9
[43]  Ahmad Mansyur Suryanegara, API Sejarah, Salamadani, Bandung, 2009, hal 103
[44]  Ah,ad Syafi'i Ma'arif, Peta Bumi Intelektualitas di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, hal 187
[45]  Soekarno, Nationalism, Islam and Marxis,Cornell University, 1984, hal 39
[46]  Deliar Noer, The Modernist Moslem Movement in Indonesia 1900-1942, Oxford University Press, 1978, hal 253-257
[47]  Muhammad yamin, Naskah persiapan Undang-undang Dasar I, Prapanca, Jakarta, 1959, hal 276
[48]  Deliar Noer, Parta Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia, Grafiti   Press  Jakarta, 1987, hal 38
[49]  B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal 95-96
[50]  Adnan Buyung nasution, Aspirasi pemerintah Konstitusi di Indonesia, hal 395
[51]  Zachry Abuza, Political Islam and Violence in Indonesia, Routledge, 2007, hal 17
[52]  Umar Basalim, Pro Kontra Piagam Jakarta, Pustaka Indonesia, Jakarta, 2000,hal 81
[53]  Sekretariat Jendral MPR RI, Risalah Rapat-rapat Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR, Jakarta, hal 532
[54]  Forum Keadilan, No 39, 31 Desember 2000, hal 17
[55]  Koran TEMPO, Jum'at 8 Februari 2002
[56]  Kompas, Rabu 6 Februari 2002
[57]  Kompas, Kamis 14 Februari 2002
[58]  Robin Bush, Regional Sharia' regulation in Indonesia, Singapore Institute of Southeast Asian Studies,
       2008, hal 177