Powered By Blogger

Kamis, 28 Desember 2017

Garam Memang Tidak "Manis"


Pulau Madura yang berdekatan dengan pula Jawa memang tidak sesubur pulau tetangganya itu. Miskin komoduti pertanian menjadikan Madura tak berkembang dari segi ekonomi kerakyatan. Hal inilah yang membuat pulau Madura tak terlalu diperhatikan oleh Belanda pada jaman colonial. Madura memang sempat jadi sumber serdadu kolonial Belanda. Ada yang namanya Barisan Madoera atau Barisan Tjakra. Namun, secara umum tadinya Madura tidak dianggap penting oleh pemerintah kolonial Belanda. 

“Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya memiliki nilai ekonomi yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang melakukan migrasi besar-besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008). 

Garam juga menjadi julukan pada pulau Madura. Pada Abad ke-15 menjadi awal mula dari pembuatan garam di Madura. Kisah ini di mulai dari tentara Bali yang datang ke Pulau Madura, maksud kedatangannya untuk membalas dendam kepada keturunan Jokotole. Tentara Bali tersebut berlabuh di pantai Sumenep.

Jokotole ialah seorang pahlawan Madura yang gagah berani, yang telah berhasil menaklukkan raja Blambangan pada waktu ia berperang melawan Majapahit. Namun tentara Bali yang menganggap raja Blambangan itu nenek moyangnya, dapat dikalahkan oleh orang-orang Madura.

Bala tentara Bali yang masih hidup melarikan diri ke desa Pinggir Papas (Gir Papas, menurut orang Madura). Desa ini terletak diantara kota Sumenep dan Kalianget. Kira-kira enam kilometer dari kota Sumenep. Di desa Pinggir Papas inilah bala tentara Bali itu menyerah kepada raja Sumenep, yakni Pangeran Wetan. Oleh Raja Sumenep mereka diampuni dan mendapat tanah untuk membangun desa. Diantara tentara Bali tersebut ada seorang panglima perang, bernama Anggosuto. Panglima perang inilah yang pertama kali mempunyai pikiran untuk membuat garam dari air laut yang dijemur.

Cara produksi garam cukup sederhana. Hanya dengan mengalirkan air laut ke dalam tambak-tambak dengan bantuan kincir angin. Air laut dalam tambak itulah yang kemudian dijemur menggunakan panas matahari untuk menguapkan airnya dan meninggalkan kristasl garamnya. Kristal garam yang mengendap kemudian di panen menggunakan garuk dan dikeruk ke pinggir tambak.

Pembuatan garam berkembang pesat di desa Pinggir Papas. Bahkan lama-kelamaan menjadi sumber penghasilan bagi penduduk desa Pinggir Papas.  Tidak hanya di Pinggir Papas saja, namun di daerah-daerah lainnya sampai saat ini pembuatan garam terus berlangsung di Madura dan telah menjadi pekerjaan tetap bagi masyarakat Madura. Dan Tradisi pembuatan kristal putih dari samudera itu telah mengalir dalam darah petani garam.

Paruh kedua abad XIX, terutama setelah Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, Madura punya nilai ekonomis besar bagi Belanda. Pulau ini, menurut Ricklefs, adalah “pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh nusantara.” 

Menurut Danys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996), “rupa-rupanya di Madura penghasilan [garam] itu tidak terlalu tua. Jika J. Crawfurd boleh dipercaya, prinsip tambak garam pada masanya hanya dikenal di pantai-pantai utara Jawa dan daerah Pangasinan di Pulau Luzon (Filipina).” 

Menurut Kuntowijoyo dalam sebuah esainya di buku Radikalisasi Petani: Esei-Esei Sejarah (1993), Belanda tak membeli garam lewat bupati. Mereka, menurut Kuntowijoyo, “secara langsung mengawasi produksi, berhubungan langsung dengan produsen dan memonopoli pemasaran." Karena Madura, garam jadi monopoli yang menguntungkan Belanda. Keuntungan yang seharusnya jatuh ke tangan adipati (bupati) dan jajarannya. 

“Dalam tahun 1852, harga jual garam adalah lebih dari tiga puluh kali harga belinya (dari petani),” lanjut Kuntowijoyo. Di bukunya yang lain, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940 (2002), Kuntowijoyo menyebut “industri garam, bagaimana pun tidak menambah kesejahteraan penduduk.”

Artinya, petani-petani atau kuli-kuli tambak garam tak jauh beda nasibnya dengan kuli-kuli kebon lain di nusantara. Nasib petani garam di masa kini juga cukuplah suram. Meski garam langka, uang tak melimpahi kantong mereka. Padahal belanda si pemonopoli garam sudah lama angkat kaki. 

Sangat ironis jika negara yang punya laut dan pantai harus membeli garam dari luar negeri. Di abad yang lalu tepatnya tahun 1930 di India, hal itu pernah terjadi. Inggris menjadi pemonopoli garam di India, dan banyak orang India menolaknya. Menerima monopoli itu sama saja dengan membiarkan “rakyat India harus membeli garam dari Inggris, meskipun produk itu melimpah ruah,” tulis Jonathan Black dalam Sejarah Dunia yang Disembunyikan (2015). 

Tokoh pergerakan nasional India, Mohandas Karamchand Gandhi pun mengambil tindakan. Meski umurnya sudah kepala enam, dia “membawa mereka (orang-orang India) ke pantai laut untuk menentang peraturan orang Inggris yang melarang rakyat menghasilkan garam dari lautan tanah air mereka sendiri,” tulis buku Semua Manusia Bersaudara (2016). Aparat keamanan Inggris Raya kemudian menangkap Gandhi dan lainnya masuk bui.


Sekali lagi garam bukanlah hanya menjadi milik manusia Madura, garam adalah salah satu komoditi yang seharusnya menjadi “penting” bagi negara ini. Garam tidaklah perlu didatangkan dari negara lain, sangat menyakitkan tentunya jika hal ini terus terjadi. Pemerintah perlu melakukan tindakan strategis untuk menjadikan garam berbuah “manis” untuk rakyat sendiri.

Rajaputri Majapahit


Kalau kita berbicara mengenai para “ratu” di nusantara ini, nama Tribhuwana Tunggadewi memang tidak setenar nama ratu Shima. Perannya terhadap perkembangan Majapahit seakan-akan tidak pernah diagungkan seperti peran anaknya, hayam Wuruk.

Majapahit terguncang sepeninggal Raja Jayanagara yang tewas ditikam tabibnya sendiri pada 1328 M. Putra Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, itu belum sempat dikaruniai anak. Tak ayal, kematian Jayanagara menimbulkan polemik terkait siapa penggantinya. Situasi inilah yang nantinya menaikkan Tribhuwana Tunggadewi ke tampuk kekuasaan.

Lantaran Jayanegara tidak punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri almarhum Raden Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni (Parakitri Simbolon, Menjadi IndonesiaVolume 1, 2006: 30).

Di lingkaran utama kekuasaan Majapahit saat itu sudah tidak ada laki-laki lagi. Dari kelima istrinya, Raden Wijaya hanya dikaruniai satu orang putra, yakni Jayanegara, serta dua orang putri, yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.

Gayatri kemudian memberi titah kepada putri pertamanya, Tribhuwana Tunggadewi, untuk naik takhta, menjadi ratu penguasa Majapahit. Demi baktinya kepada sang ibunda, Tribhuwana bersedia dan kelak mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan.

Nama asli Tribhuwana Tunggadewi adalah Dyah Gitarja. Beberapa bulan setelah Jayanegara tewas, ia dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Majapahit pada 1329, dengan gelar Sri Tribhuwanattunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979:135).

Tribhuwana Tunggadewi dipanggil sebagai “rajaputri”, untuk membedakan dengan istilah “ratu” yang dalam tradisi kerajaan di Jawa memiliki makna yang luas. “Ratu” bukan hanya disematkan kepada perempuan saja, namun bisa juga untuk menyebut wanita terhormat yang punya pengaruh di istana, ibunda raja misalnya.

Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi sebenarnya tidak pernah terpikir naik takhta sebagai pemimpin Kerajaan Majapahit. Ia hanya mematuhi titah sang ibunda, Gayatri, dan memang karena tidak ada keturunan laki-laki lain sepeninggal Jayanegara.

Semasa Jayanegara masih hidup, Tribhuwana Tunggadewi dan adiknya, Dyah Wiyat, dilarang menikah. Jayanegara takut takhtanya terancam oleh suami-suami kedua adik tirinya itu. Setelah raja ke-2 Majapahit itu tewas, banyak pangeran dari berbagai negeri yang datang untuk melamar Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.

Setelah diadakan sayembara, Tribhuwana Tunggadewi disunting oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan raja-raja Singhasari (Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, 2001: 540). Sedangkan Dyah Wiyat kawin dengan pangeran lainnya bernama Kudamerta.

Nantinya perkawinan Tribhuwana dengan Cakradhara dikaruniai anak laki-laki bernama Hayam Wuruk. Orang inilah yang kelak membawa Majapahit mencapai puncak keemasannya, berkat rintisan serta bimbingan sang rajaputri.

Selama era Jayanegara (1309-1328), Majapahit belum sempat menikmati masa-masa indah. Ia dianggap lemah, jahat, dan tidak bermoral. Banyak intrik yang muncul karena kepemimpinannya yang dinilai kurang baik. Setidaknya sudah terjadi lebih dari 8 kali pemberontakan terhadap Jayanegara yang akhirnya tewas dibunuh tabibnya sendiri.

Ihwal pemunuhan itu, banyak silang pendapat. Salah satu yang kontroversial terbaca dari tulisan Parakitri Simbolon (1995) yang mengutip J. Krom dalam “De Hindoe-Javaansche Tijd”. Ia menulis bahwa insiden pembunuhan Jayanegara oleh tabibnya itu justru didalangi oleh Gajah Mada, salah seorang panglima perang Majapahit (hlm. 396).

Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara yang disebutkan telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada istrinya. Maka itu, Gajah Mada memperalat tabib istana untuk membunuh sang raja, Jayanegara.

Versi yang lebih banyak beredar bukan istri Gajah Mada yang diganggu oleh sang raja. Menurut Pararaton, justru istri sang tabib sendiri yang digoda oleh Jayanagara. Itulah yang memicu dendam sang tabib sehingga memutuskan membunuh Jayanagara. 
 
Naik takhtanya Tribhuwana Tunggadewi sebagai pengganti Jayanegara pun sempat memantik keraguan karena belum ada sejarahnya Majapahit dipimpin seorang perempuan. Namun, sang rajaputri berhasil menepis skeptisme itu dan justru menjadi pembuka gerbang Majapahit menuju masa emas.

Purwadi (2007) dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa menyebut bahwa jasa besar Tribhuwana Tunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik kenegaraan Majapahit (hlm. 107).

Gajah Mada berperan besar dalam kesuksesan era Tribhuwana. Saat dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa (Pitono Hardjowardojo, Sedjarah Indonesia Lama, 1961:191). Ia berikrar tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Pada era Tribhuwana Tunggadewi inilah ekspansi besar-besaran dimulai. Tahun 1343, Majapahit menaklukkan Bali (Supratikno Raharjo, dkk., ‎Sejarah Kebudayaan Bali, 1998: 78). Tiga tahun berselang, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di Nusantara, terutama di Sumatera, yang ditundukkan.

Majapahit sebenarnya sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Tunggadewi memutuskan turun takhta pada 1350. Keputusan tersebut diambil seiring wafatnya Gayatri. Bagi Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda yang memberinya kuasa untuk menjadi pemimpin.

Maka itu, setelah Gayatri tiada, Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat sang ibunda telah ditunaikannya, dan ia merasa tidak berhak lagi menjadi penguasa meskipun saat itu Majapahit tengah merintis pamor sebagai kerajaan yang digdaya.

Denys Lombard (1996) dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, menyebut bahwa Rajapatni (nama lain Gayatri) dan putrinya, Tribhuwana Tunggadewi, jelas-jelas memegang peranan penting dalam kehidupan politik Kerajaan Majapahit selama zaman mereka, yakni 1328-1350 (hlm. 93).

Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota, Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi sendiri kemudian menempati posisi sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.

Sebagai penghormatan untuk Gayatri, Raja Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yakni Upacara Srada. Seluruh pegawai istana, pemuka kerajaan, rayat, juga para raja dari berbagai negeri datang berbondong-bondong ke Majapahit untuk menghadiri upacara tersebut (Purwadi, Jejak Nasionalisme Gajah Mada, 2004:214).


Selanjutnya, Tribhuwana Tunggadewi, juga Gajah Mada, mendampingi Hayam Wuruk mengelola pemerintahan, termasuk meneruskan obsesi penaklukan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Pada masa inilah Majapahit mencapai puncak kejayaannya yang dirintis sejak era kepemimpinan sang rajaputri Tribhuwana Tunggadewi. 

* dirangkum dari beberapa sumber

Jenderal Polisi Hoegeng

Dalam sebuah perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, saya “iseng” melihat video yang diposting oleh teman facebook saya. Judulnya “Jakarta tahun 1970an”. Video ini dibuat oleh salas satu televisi dari Kanada. Dugaan saya video ini berisi seputar kota Jakarta kala itu dan memang benar namun ada sosok yang membuat saya kagum padanya. Namanya memang sudah sering saya dengar. Seorang yang sampai sekarang masih terbukti “jujur” walaupun memiliki jabatan yang penuh tantangan korupsi. Bahkan seorang Gus Dur memiliki joke sendiri tentangnya. “Di negeri ini,” katanya, “cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.” Barangkali itulah salah satu lelucon Gus Dur yang paling terkenal dan sering direproduksi orang banyak.

Orang yang disebut Gus Dur dalam joke itu, Hoegeng Imam Santoso, memang sosok langka. Ketika korupsi menjadi sinonim Kepolisian Negara Republik Indonesia pada awal Orde Baru berkuasa, Hoegeng tampil sebagai antonimnya. Ia dikenal sebagai Kapolri yang jujur, bahkan teramat jujur. Saking bersihnya Hoegeng, sampai-sampai di masa pensiun ia harus mencari tambahan pendapatan dengan bekerja sebagai host acara musik Hawaiian di TVRI sekaligus menjadi penyanyinya. 

Namanya hingga hari ini melegenda sebagai ikon polisi bebas korup

si. Pada saat menjabat sebagai Kapolri (9 Mei 1968- 2 Oktober 1971), ia tidak mempan sogokan duit sebesar apapun. Ia juga tak segan melawan kehendak kekuasaan yang ingin mengintervensi kasus yang ditangani kepolisian.

Orang seperti Hoegeng tentu saja tidak disenangi penguasa korup. Pendiriannya yang tegas terhadap penyelewengan jabatan dan kekuasaan membuatnya tersingkir dari gelanggang. Konon, Soeharto tidak berkenan dengan Hoegeng gara-gara sikap tegasnya itu.
Orang seperti Hoegeng tentu saja tidak disenangi penguasa korup. Pendiriannya yang tegas terhadap penyelewengan jabatan dan kekuasaan membuatnya tersingkir dari gelanggang. Konon, Soeharto tidak berkenan dengan Hoegeng gara-gara sikap tegasnya itu.

Akhirnya Hoegeng memang benar-benar digusur. Pada zaman itu, ada istilah “di-dubes-kan” untuk pejabat-pejabat yang tidak mau menuruti kehendak Soeharto. Setelah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolri, Hoegeng dipanggil menghadap ke Cendana untuk ditawari menjadi duta besar.

“Bagaimana, Mas Hoegeng, mengenai dubes itu?” tanya Soeharto. 

Hoegeng menjawab bahwa dirinya tidak bersedia menjadi dubes, tapi posisi apa pun di Indonesia akan dia terima dengan lapang dada. 

“Di Indonesia tidak ada lowongan, Mas,” timpal Pak Presiden. 

Hoegeng membalas pernyataan presiden tanpa ragu, “Kalau begitu, saya keluar saja.” 


Mendengar jawaban Hoegeng yang tegas, penguasa Orde Baru itu cuma diam.
Seorang teman masa kecilnya pada suatu siang berkunjung ke kantor Hoegeng. Waktu itu, Hoegeng baru saja dilantik Bung Karno sebagai Menteri Iuran Negara di Kabinet “100 Menteri” pada 1965. Tanpa basa-basi, orang itu masuk begitu saja ke dalam kantor. 

“Pak Hoegeng pasti akan menerima saya,” katanya percaya diri, sembari memaksa kepada sekretaris.

Begitu masuk ke dalam ruangan dan pintu tertutup kembali, Hasan Bongkok, nama si kawan itu, langsung menyalami Hoegeng dengan penuh keakraban. 

“Asu, kowe bener-bener asu, ya. Gendeng benar wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri!” 

Keduanya kemudian tertawa dan saling berangkulan. Itulah gaya orang Pekalongan yang, kata Hoegeng, “Segala tatakrama dan bahasa halus lenyap, diganti dengan bahasa Tarzan yang hangat, spontan, dan jujur.”

Pada kesempatan lain, Hoegeng menerima sebuah telegram dari teman akrabnya sejak masa kuliah. Pengirimnya: Dr. Soebandrio. Saat itu, Soebandrio menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Aljazair. Ia mendengar dari saluran radio, sahabatnya itu diangkat menjadi menteri. 

Maka, jauh-jauh dari Aljazair, Soebandrio segera mengirim ucapan selamat lewat telegram. Isinya sambutan hangat dari seorang sahabat yang gembira dan bangga. Hoegeng juga senang sekali menerima telegram itu. 

Hoegeng mengenang bagaimana ia merasa tersanjung dikirimi telegram yang begitu manis dan bersahabat dari Pak Menlu. Baginya, itulah ucapan selamat yang paling orisinal dan paling meriah di dunia. Isi telegram cuma sebaris kalimat: “Diancuk, kowe diangkat pula jadi menteri!”

Barangkali sikap hantam kromo itulah yang justru membuat Bung Karno kesengsem pada Hoegeng. Selain karena kejujuran dan sikapnya yang tidak neko-neko. Untuk soal ini, Hoegeng punya sebuah anekdot yang bisa dibaca dalam autobiografi yang dituturkan kepada Abrar Yusra dan Ramadhan K.H., Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Di suatu subuh, Bung Karno tiba-tiba meminta Hoegeng ke istana. Hoegeng tidak tahu, ada apa gerangan Bung Besar memanggilnya pagi sekali. Tidak ada jadwal rapat kabinet hari itu. Ia pikir, pasti ada urusan mahapenting.
Sampai di istana, para menteri dan pejabat lain sudah berkumpul. Tapi tak ada rapat, tiada pula urusan mendesak. Pagi itu, Bung Karno kedatangan seorang kawan lama, teman seangkatan zaman kuliah di Technische Hoogeschool dulu. Si konco lawas itu, orang Belanda bernama Ir. Konijnenberg, sekarang punya jabatan mentereng sebagai Direktur Koninklijk Luchtvaart Maatschappij (KLM), maskapai penerbangan Belanda.

“Hei, kenalkan, ini kawan lama saya, namanya Pak Kelinci,” kata Bung Karno di depan hadirin. Konijndalam bahasa Indonesia berati "kelinci". 

“Nah, Pak Kelinci besok mau kembali ke Belanda lewat Amerika. Ayo, kalian mau minta apa pada Pak Kelinci?” Lanjutnya.

Jadi, Bung Karno memanggil para menterinya untuk menitip oleh-oleh kepada Konijnenberg. Hoegeng melihat banyak rekan menteri minta ini-itu. Ia bingung dan tidak enak. “Baru kenalan kok disuruh minta-minta,” pikirnya. Akhirnya, tibalah giliran Hoegeng bicara.

“Pak Kelinci, di New York saya punya teman, baru saja saya terima suratnya,” kata Hoegeng sembari memperlihatkan sepucuk surat.

“Jadi kalau Anda sampai di New York, tolong hubungi teman saya lewat telpon dan bilang suratnya sudah saya terima.”

“Hanya itu?” jawab Konijnenberg.

“Ya, cukup itu saja.”

Pak Kelinci terdiam sesaat. Dia heran, ada orang yang tidak mau minta apa-apa. Bung Karno yang paham betul tabiat Hoegeng, cuma tertawa. “Ya begitu, sudah. Dari Hoegeng itu saja,” kata si Bung. 

Sejak kejadian itu, Konijnenberg tertarik dengan sosok Hoegeng dan menaruh hormat kepadanya.

Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso wafat pada 14 Juli 2004. Andaikata Hoegeng diberi kesempatan berumur lebih panjang, hari ini ia persis berusia 96 tahun. Ia lahir pada 14 Oktober 1921.

Di alam sana, barangkali ia sedang merayakan ulang tahun dengan bernyanyi Hawaiian bersama Bung Karno dan, tentu saja, Gus Dur. Di alam sini, orang-orang — kita semua — masih sedang dan akan terus menerus mencari Hoegeng yang baru. 

* dirangkum dari beberapa sumber

Kamis, 14 Desember 2017

Sukarno dan Hatta

Awal kemerdekaan republik ini, nama Sukarno dan Hatta tidak bisa dipisahkan, Dwitunggal menjadi idiom mereka untuk mempersatukan bangsa yang baru merdeka. Walaupun secara politik keduanya memang tak pernah akur.

Suatu hari di tahun 1960, dalam perjalanan kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta, Mohammad Hatta berbincang dengan Pak Wangsa, sekretarisnya, “… sejarah dunia memberi petunjuk bahwa diktator yang bergantung kepada kewibawaan orang-seorang tidak lama umurnya.”

Kisah itu diceritakan Sergius Sutanto dalam Hatta: Aku Datang Karena Sejarah (2013). “Sebab itu pula,” imbuh Hatta, “sistem yang dilahirkan Sukarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Sukarno sendiri… Apabila Sukarno tidak ada lagi, maka sistemnya itu akan roboh dengan sendirinya seperti sebuah rumah dari kartu” (hlm. 275-276).

Ramalan Hatta, yang juga terekam dalam tulisan berjudul “Demokrasi Kita” yang dimuat Pandji Masjarakat, itu ternyata terbukti. Kejatuhan Sukarno mulai tampak beberapa warsa berselang, setelah terjadinya insiden berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Dari titik krusial itulah, Bung Karno, yang dulu sangat digdaya, kian tak berdaya. Soeharto yang kemudian menampilkan dirinya sebagai juru selamat mulai menggerus pengaruh sang penyambung lidah rakyat. 

Orde Lama akhirnya tumbang pada 1968 seiring ditetapkannya Soeharto sebagai Presiden RI yang baru. Dimulai lah upaya sistematis, masif, dan terstruktur untuk merombak semua ajaran, pengaruh, serta apapun yang melekat pada sosok penguasa beserta rezim sebelumnya.

Dan, seperti kata Bung Hatta, segala macam gagasan sekaligus sistem yang dibangun Sukarno ambruk. Sesuatu yang kelak juga dituai Soeharto karena sebab yang sama: kediktatoran.
Genap satu dekade setelah ditetapkan sebagai Wakil Presiden RI untuk mendampingi Sukarno pada 17 Agustus 1945, Hatta tampaknya mulai tidak nyaman duduk di kursi jabatannya. 

Sebelum Pemilu 1955, Hatta menyatakan, apabila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, maka jabatan wapres akan ia lepaskan. Saat negara memiliki kabinet parlementer, sebut Hatta, sosok kepala negara hanyalah simbol semata. Dengan begitu, peran wakil presiden tidak dibutuhkan lagi.

Pikiran semacam itu sudah menggelayut di benak Hatta sejak lama. Seperti diungkap Wawan Tunggul Alam dalam Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta (2003), jika tetap menjadi wakil presiden dalam sistem parlementer, Hatta tidak bisa aktif mengurus pemerintahan, sulit berperan langsung membangun negeri (hlm. 252).

Dan ketika parlemen (DPR) dan Konstituante pilihan rakyat akhirnya terbentuk dari hasil Pemilu 1955, Hatta kembali menegaskan tekadnya untuk menanggalkan jabatan wapres. Secara resmi, keinginan itu dituangkan melalui surat tertanggal 20 Juli 1956 yang ditujukan kepada Mr. Sartono selaku Ketua DPR.

Dikutip oleh Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990), Wakil Presiden RI pertama itu menulis, "… setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi” (hlm. 482).

Mr. Sartono dan segenap anggota parlemen tampaknya sepakat untuk tidak membalas surat itu, dengan harapan Hatta mengurungkan niatnya. Namun, Hatta rupanya benar-benar serius. Dikirimkanlah surat kedua pada 23 November 1956 dengan isi yang kurang lebih sama. Kali ini, Hatta menegaskan bahwa ia akan benar-benar mundur pada 1 Desember 1956.

DPR kali ini tak kuasa menolak. Maka, dalam sidang pada 30 November 1956, parlemen memberikan persetujuan atas pengunduran diri itu. Hanya sehari berselang, 1 Desember 1956—tepat hari ini 61 tahun lampau—Hatta resmi bukan sebagai Wakil Presiden RI lagi.
Bukan lantaran persoalan parlementer saja yang membuat Hatta merasa tidak nyaman menjalankan pemerintahan bersama Sukarno. Naga-naganya, Hatta memang sudah tidak sepaham lagi dengan sang presiden dalam beberapa hal yang prinsipil.

Selain ketidaksetujuan Hatta atas tindakan Sukarno yang memasukkan unsur komunis dalam kabinet yang dibentuk 24 Maret 1956, perbedaan pandangan antara dua tokoh ini sebenarnya sudah berlangsung sangat lama, bahkan saat keduanya masih sama-sama berjuang di era pergerakan nasional pada era 1930-an.

Hatta tampaknya tidak terlalu sepakat dengan gagasan persatuan yang digaungkan Sukarno kala itu. Bahkan, pada 1932, Hatta sudah mengkritisi ide Sukarno tersebut.

“Apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tidak tak lain dari per-sate-an. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing, disate jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing,” tukas Hatta dalam tulisannya di surat kabar Daulat Ra’jat (1932).


Relasi keduanya memang mengalami pasang-surut. Sempat mereda selama belasan tahun hingga Indonesia merdeka, pertentangan Sukarno-Hatta kembali menyeruak pada November 1945. Saat itu, Sukarno menolak mengesahkan Maklumat No. X yang menjadi pintu masuk sistem multipartai dan demokrasi parlementer.

Sukarno tidak pernah setuju dengan gagasan multipartai karena menurutnya jumlah partai politik sudah seharusnya dibatasi agar mudah dikendalikan—sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan Hatta. 

Situasi yang kian memanas itu mencapai puncaknya pada 1956. Seperti dikutip Syamsuddin Haris dalam Demokrasi di Indonesia (1995), Sukarno selaku presiden mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin, dan berseru: “Marilah sekarang kita kubur semua partai!” (hlm. 118).

Hatta tentu saja kecewa. Ia mengecam konsep Demokrasi Terpimpin ala Sukarno sebagai bentuk kediktatoran. Hatta bahkan, seperti dikutip Herbert Feith & Lance Castles dalam Pemikiran Politik Indonesia, 1945 1965 (1988) menyebut Sukarno adalah diktator (hlm. 63).

Itulah fragmen penting yang akhirnya berujung pengunduran diri Hatta dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.

Setelah meninggalkan istana, Hatta mencurahkan waktu dengan mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat di Bandung. Hatta sepenuhnya sadar bahwa Sukarno tidak akan membiarkannya hidup tenang meskipun ia sudah tidak terlibat lagi dalam pusaran kekuasaan. Dan memang itulah yang terjadi.

Setelah 4 tahun menjalani aktivitas di ranah akademis, tugas Hatta mendadak dipungkasi. Hatta paham betul bahwa itu tidak menimpanya begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan.


Suatu hari di tahun 1960, dalam perjalanan pulang dengan kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta, seperti dikisahkan Sutanto, Hatta berkata kepada Pak Wangsa, “Tak apalah. Pada prinsipnya, toh saya tidak bisa menjadi perpanjangan tangan kebijakan pemerintah yang kuanggap salah.” (hlm. 276).

“Sampai jumpa wahai segala pepohonan yang telah menghijaukan negeri ini. Sampai jumpa di masa yang lebih arif memandang demokrasi,” lanjutnya lirih. 

* diambil dari beberapa sumber

Ratu SHIMA


Ratu dalam ideology sejarah bangsa ini selalu bermuara pada ratu Shima, seorang ratu yang tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang hebat. Ada satu cerita terkait sikap tegas yang melekat pada diri Ratu Shima. Ketegasan penguasa Kerajaan Kalingga yang bertakhta sejak 674 hingga 695 Masehi itu konon sudah terkenal di berbagai penjuru, hingga ke luar Jepara, luar pulau, bahkan sampai ke negeri-negeri lain yang jauh.

Kabar itulah yang membuat seorang raja bernama Ta-Shih penasaran. Secara diam-diam, raja yang disebut-sebut berasal dari Timur Tengah ini datang ke Kalingga dan meletakkan sekantung emas di persimpangan jalan dekat alun-alun kerajaan. Raja asing ini ingin tahu, apakah rakyat Kalingga berani mengambil sesuatu yang bukan milik mereka.

Beberapa bulan berlalu, kantung berisi emas itu masih tetap di tempatnya. Hingga pada suatu saat, Pangeran Narayana yang tidak lain adalah putra Ratu Shima, berjalan melewati lokasi tersebut. Kakinya tak sengaja menyentuh kantung emas yang tergeletak di situ.

Di sinilah ketegasan Ratu Shima diuji. Semua orang tahu, Ratu Shima amat menyayangi Narayana, anak lelaki satu-satunya yang bahkan sudah dinobatkan sebagai putra mahkota selaku penerus estafet kepemimpinan Kerajaan Kalingga nantinya. Lantas, apa keputusan Ratu Shima?.

Ratu Shima semula menjatuhkan hukuman mati terhadap putra terkasihnya itu. Namun, para pejabat dan keluarga istana meminta keringanan kepada sang ratu agar sang pangeran diampuni kesalahannya.

Namun, hukum tetap harus ditegakkan. Lantaran kaki sang pangeran yang menyentuh kantung emas itu meskipun tidak sengaja, maka Ratu Shima memerintahkan agar kaki anaknya dipotong sebagai hukuman (R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2, 1988:37).
Terlepas benar atau tidaknya kisah yang melegenda itu, Ratu Shima memang kerap dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang tegas, bahkan cenderung keras. Nama Shima kerap diidentikkan dengan istilah simo yang berarti “singa” (Gunawan Sumodiningrat, Membangun Indonesia Emas, 2005:83). Kendati begitu, sang ratu sangat dicintai rakyatnya.

Kalingga adalah kerajaan Hindu yang pernah menjadi pemerintahan terbesar di Jawa, khususnya di bagian tengah pulau tersebut. Kerajaan ini berpusat di pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di daerah Jepara sekarang. Kalingga juga dikenal dengan nama Kerajaan Holing atau Kaling (Jepara dalam Angka,2007:38).

Ratu Shima sendiri bukan berasal dari Jawa. Ia lahir pada sekitar tahun 611 M di Sumatera bagian selatan, di dekat daerah yang kini bernama Musi Banyuasin. Ratu Shima, putri seorang pemuka agama Hindu-Syiwa, diboyong ke Jepara setelah menikah dengan pangeran dari Kalingga bernama Kartikeyasinga, yang kemudian menjadi raja sejak tahun 648 M.


Setelah Kartikeyasinga wafat pada 674 M, Ratu Shima melanjutkan peran suaminya sebagai penguasa Kalingga (Catatan-catatan Tercecer Mengenai Kerajaan-kerajaan dan Raja-raja pra Islam di Jawa Barat,1993:16). Ratu Shima naik takhta karena dua anaknya, yakni Parwati dan Narayana, masih kecil.

Antara Kalingga dengan kerajaan-kerajaan di negeri Melayu memang terjalin ikatan kekerabatan yang cukup erat. Ibunda Kartikeyasinga atau mertua Ratu Shima adalah putri dari Kerajaan Sribuja yang berpusat di Palembang. Kelak, kerajaan ini ditaklukkan oleh Sriwijaya pada 683 M.


Setelah diperistri oleh Kartikeyasinga, Ratu Shima sempat tinggal di kawasan yang disebut Adi Hyang di pegunungan Dieng yang sampai saat ini masih didapati candi-candi bercorak Hindu. Maka, sempat terjadi perdebatan terkait lokasi Kerajaan Kalingga meskipun dugaan terkuat tetap Jepara (Solichin Salam, R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi, 1987:14).
Kerajaan Kalingga semasa Ratu Shima berkuasa disebut-sebut mencapai puncak keemasannya. Pelabuhan milik Kalingga pada masa itu merupakan salah satu pusat perdagangan paling sibuk di Jawa, dan menjadi tempat pertemuan banyak orang dari berbagai bangsa. 

Kalingga mengambil-alih peran bandar dagang teramai yang semula dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara di pesisir utara Jawa bagian barat. Bahkan, Kalingga telah menjalin relasi dengan kekaisaran di Cina sejak abad ke-5 M (Ismawati, dkk., Continuity And Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa, 2006:36).

Tak hanya sektor perdagangan, kehidupan perekonomian Kalingga ditopang pula dengan majunya aspek-aspek lainnya, termasuk pertanian. Dalam hal ini, Ratu Shima memakai sistem pengairan subak, yang juga diterapkan oleh masyarakat petani Hindu di Bali.

Dikutip dari Seni, jurnal terbitan Institut Seni Indonesia (Volume 5, 1996:367), penduduk Kalingga pada era Ratu Shima juga dikenal terampil dalam hal kerajinan tangan, seperti membangun rumah, membuat kapal atau perahu, berbagai perabotan rumah tangga, dan pekerjaan di bidang pertukangan lainnya.

Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga selama 21 tahun. Semasa periode itu, Kalingga menjadi satu-satunya kerajaan besar di Jawa bagian tengah, sekaligus penguasa pesisir pantai utara. Ratu Shima mengayomi pemeluk agama lain, termasuk Buddha, dan orang-orang Islam dari Timur Tengah yang datang untuk berdagang.

Sebelum Ratu Shima wafat pada 695 M, wilayah Kalingga dibagi dua untuk kedua anaknya, yakni Parwati dan Narayana. Parwati, yang diperistri Rahyang Mandiminyak dari Kerajaan Sunda-Galuh, menguasai Kalingga utara. Sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Narayana (Atja Wangsakerta, Pustaka Raja-raja di Bumi Nusantara, 1991:63).


Parwati nantinya punya cucu bernama Sanjaya, yang menikah dengan Dewi Sudiwara yang tidak lain adalah cucu dari Narayana. Perkawinan antar cicit Ratu Shima ini dikaruniai anak laki-laki bernama Rakai Panangkaran, lahir pada 717 M. Rakai Panangkaran inilah yang kelak menurunkan raja-raja besar di Jawa. 

*diambil dari beberapa sumber

Fusako Shihgenobu

Jika kita membicarakan para tokoh pergerakan kiri, tak banyak yang berasal dari Jepang. Mereka biasanya lahir di negara yang rakyatnya tertindas akibat penjajahan kapitalisme, sedangkan Jepang adalah sebuah negara dengan kultur budaya yang khas dan tidak pernah benar – benar dijajah oleh kapitalisme. Namun rasa humanism mereka yang membuat tindakan mereka menjadi “pembela kemanusiaan”.

Fusako Shigenobu namanya, seorang wanita Jepang yang pemberani melawan penindasan para kamu kapitalis dunia. Osaka tahun 2000 menjadi saksi berakhirnya petualangan Fusako Shigenobu bersama kelompok komunis Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army, JRA). Fusako ditangkap pihak berwenang atas sederet kasus pelanggaran keamanan dalam lingkup internasional. Dia tidak melawan ketika pihak berwenang berhasil menangkapnya.
  
Jejak pengembaraan Fusako dimulai sejak dekade 60an tatkala ia memimpin Fraksi Tentara Merah (Red Army Faction) atau dalam bahasa Jepang beridentitas Sekigun-ha. Organisasi ini bagian dari kelompok sayap Liga Komunis. Sekigun-ha dikenal militan, independen, dan revolusioner. Pada September 1969, mereka menyatakan perang terhadap negara dan ditangkap polisi. Walhasil, sebagian besar anggota, termasuk pendiri dan aktor intelektual Sekigun-ha yang juga suami dari Fusako, Takaya Shiomi dijebloskan ke bui pada 1970.

Akibat dari penangkapan massal itu, Sekigun-ha kehilangan sekitar 200 anggota. Demi menjaga keberlangsungan kelompok, Fusako ditemani Tsuyoshi Okudara terbang ke Timur Tengah guna menjalin kontak internasional seperti yang diwacanakan Fraksi Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army Faction) kepada mereka pada Februari 1971.

Niat awal Fusako dan Okudara memang ingin membuat kontak internasional. Namun dalam perjalanannya Fusako mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari Fraksi Tentara Merah Jepang. Perpisahan disebabkan oleh jarak ideologis, walaupun banyak pihak menilai lepasnya Fusako bermula dari konflik personalnya dengan pimpinan baru Fraksi Tentara Merah Jepang, Tsuneo Mori.

Lebanon menjadi medan Fusako untuk menempa mental revolusioner dengan membentuk Japanese Red Army (JRA) pada awal 1971. Bersama 40 anggota yang tersisa, kali ini Fusako berhati-hati mempersiapkan kebangkitan kelompok, agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Selain itu, alasan Fusako memilih Lebanon adalah untuk mendukung kemerdekaan Palestina, seperti yang dituliskan pada memoar berjudul A Personal History of the Japanese Red Army: Together with Palestine.

Di saat anggota-anggota JRA Saat sedang membangun independensi, Fusako bergabung dengan Popular Front for the Liberation Palestine (PFLP) sebagai relawan. Dari sini pula, hubungan JRA dan PFLP tumbuh sejalan. Mereka saling mengisi kekosongan satu sama lain, misalnya saat PFLP merekrut tiga anggota JRA untuk mendukung serangan di Bandara Internasional Lod, Tel Aviv atau ketika PFLP memberikan bantuan berupa pelatihan, persenjataan, sampai finansial kepada JRA.

Berdasarkan catatan yang dipublikasikan Universitas Pricenton, Fusako beranggapan bahwa praktik revolusi harus dilandasi kerjasama antar dua pihak untuk menciptakan kemungkinan serta kepastian memimpin dunia yang berasaskan sosialisme. Semua dilakukan semata-mata untuk menantang imperialisme dunia dengan berbagai wujudnya. 

Fusako dilahirkan beberapa minggu setelah Hiroshima-Nagasaki dibom atom pada 1945. Ayah Fusako adalah anggota organisasi sayap kanan Jepang, The Blood Oath League yang berdedikasi memberantas para politisi korup.

Kondisi keluarga Fusako tak seberuntung lainnya, terutama untuk urusan finansial. Dengan segala keterbatasan, Fusako mesti rela menunda kuliah dan bekerja sebagai penari guna mencukupi kebutuhan.

Impian Fusako untuk kuliah akhirnya terwujud. Dalam tulisan berjudul “I Decided to Give Birth to You Under an Apple Tree” ia mengisahkan bahwa setamat SMA, ia diterima di suatu perusahaan sehingga bisa berkuliah pada malam hari. Fusako berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mengemban gelar sarjana politik ekonomi dan sejarah di Universitas Meiji.

Kepekaan Fusako terhadap ketimpangan sosial terasah di bangku kuliah. Pada tahun 1960an, Fusako menjadi pemimpin gerakan para mahasiswa yang memprotes kenaikan biaya kuliah. Seiring waktu, Fusako kian gencar menyuarakan kritik. Fusako memiliki harapan untuk memberantas wabah kelaparan dan kesenjangan sosial. Semangat revolusinya memang tak bisa dihentikan. Seperti dikutip Akasha News, Fusiko pernah  “Revolusi adalah kekasihku.”

Latar belakang itu pula yang membawanya ke pucuk pimpinan kelompok komunis militan. Niatnya menghapus kelas-kelas sosial dan segala bentuk imperialisme tak bisa ditawar. Bersama JRA dan bantuan PFLP, perlahan-lahan Fusako mulai melakukan aksi-aksi teror berskala global.

Serangan yang dilakukan terjadi pada rentang awal 1970an hingga akhir 1980an. The Japan Timesmencatat serangan pertama dimulai pada Mei 1972 saat JRA membantu PFLP menyerang Bandara Internasional Lod di Tel Aviv. Serangan ini menyebabkan 26 orang tewas dan 80 orang luka-luka. 

Dua dari tiga pelaku serangan yang juga anggota JRA tewas di tempat. Sedangkan satunya, Kozo Okamoto tertangkap. Setahun berselang, Juli 1973, pesawat Japan Airlines dibajak ketika terbang ke Belanda. Penumpang dan kru pesawat dibebaskan di Libya dan pesawatnya diledakkan.

Januari 1974, JRA dan PFLP menyerang fasilitas Shell Oil di Singapura serta menyandera lima anggota menggunakan kapal feri hasil pembajakan. Pemerintah Singapura menjamin keamanan pelaku penyerangan sebagai tawaran untuk pembebasan sandera. Delapan bulan kemudian, tiga anggota JRA menyerang Kedutaan Perancis di Den Haag. Mereka menawan duta besar dan 10 orang lainnya. Pembebasan tahanan ditukar dengan jaminan bebasnya anggota mereka, Yatsuka Furuya yang saat itu dipenjara.

Tak berhenti sampai situ, Agustus 1975 mereka kembali beraksi dengan menawan lebih dari 50 orang di beberapa titik gedung kedutaan Kuala Lumpur. Otoritas setempat menyetujui tawaran mereka untuk membebaskan lima anggota yang dipenjara sebagai jaminan keselamatan sandera. 

Bulan September 1977, mereka kembali membajak maskapai Japan Airlines yang sedang menuju ke India. Pesawat diminta mendarat di Bangladesh. Pemerintah Jepang setuju melepaskan enam tahanan mereka dan membayar upeti sejumlah $6 miliar. Pada April 1988 mereka meledakkan sebuah klub di Napoli yang menewaskan lima serdadu Amerika Serikat.

Serangan-serangan yang gencar dilakukan kelompok Fusako pun akhirnya menemui titik impas. Pada November 2000, Fusako ditangkap di sebuah hotel di Takatsuki, dekat Osaka dan dibawa ke Tokyo untuk diperiksa lebih lanjut. Berdasarkan laporan-laporan media Jepang, Fusako diyakini tinggal di Osaka sejak pertengahan Juli atas nama seorang kawannya dan dengan nama samaran. Pihak polisi mengatakan, Fusako menyewa kamar hotel di Takatsuki dengan identitas laki-laki.

Sebagai timbal balik dari kejahatan yang dia lakukan, Fusako dituntut 20 tahun penjara pada 8 Maret 2006 atas berbagai aksi teror lintas negara, misalnya penyerangan Kedubes Perancis pada 1974. Pada 2010, Fusako mendapatkan putusan akhir dari Mahkamah Agung dengan nota yang sama; melakukan serangkaian aksi terorisme.

Walaupun Fusako ditahan, namun kritiknya terhadap pemerintah Jepang masih mengudara. Dalam wawancara dengan The Guardian, Fusako menyatakan, “Pemerintahan yang dipimpin Abe ingin mengambil peran untuk membawa Jepang sebagai negara adidaya di bidang ekonomi, politik, dan militer. Pada dasarnya Jepang ingin merangkul Cina, mendapatkan kursi tetap di Dewan Keamanan PBB, serta menerapkan kebijakan luar negeri yang pragmatis untuk menciptakan lingkungan militer yang kolaboratif terhadap isu global sebagai tanggapan atas tuntutan militer Amerika Serikat.”

“Sudah saatnya orang-orang Jepang seperti saya, yang berjuang demi tujuan politik menciptakan masyarakat yang lebih baik, mendapatkan tawaran politis untuk keluar dari jalan buntu,” tambahnya.

* diambil dari beberapa sumber 





Fidel Castro Pembela Palestina

Palestina memang mengundah simpati banyak pihak, tidak hanya umat muslim dunia namun beberapa orang dengan kapasitas sebagai tokoh dunia juga “pasang badan” untuk kepentingan rakyat Palestina. Entah dengan alasan apa, para tokoh pergerakan dunia seakan- akan menjadikan Palestina juga sebagai medan perang mereka untuk melawan kesewenangan negara adidaya.  Tak terkecuali seorang Fidel Castro, salah seorang pemimpin dunia yang beraliran komunis. Seperti kita ketahui bersama bahwa seorang Fidel Castro memang salah satu orang yang sangat dibenci oleh Amerika beserta kroninya.

Fidel Castro ternyata seorang pembela Palestina. Mantan presiden yang juga dedengkot komunis Kuba ini mendukung perlawanan rakyat di negara muslim tersebut untuk tidak tinggal diam atas penindasan yang dilakukan oleh Israel. 

Awal Agustus 2014, Castro menandatangani manifesto internasional sebagai wujud sikap tegas bahwa ia dan segenap rakyat Kuba adalah pro-Palestina. Isi manifesto yang diteken Castro antara lain menuntut Israel untuk menghormati resolusi PBB yang telah disepakati pada 1967. 

Komandan Revolusi Kuba ini menyerukan kepada negara zionis tersebut untuk segera mundur dari Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. “Serangan Israel di Gaza adalah fasisme dalam bentuk baru, sungguh menjijikkan!” tukas Castro saat itu.

Castro bukanlah orang yang anti Yahudi, sama sekali bukan. Ia justru pernah menyatakan respek kepada umat Nabi Musa itu karena menjadi korban kekejaman rezim Nazi-Jerman di bawah komando Adolf Hittler pada dekade 1940-an yang telah lampau. 

"Simpati besar untuk orang-orang Yahudi yang teraniaya sepanjang sejarah," begitu ucap Castro seperti yang tercatat dalam wawancara dengan jurnalis The Atlantic, Jeffery Goldberg.

Tak pelak, pernyataan Castro itu mendapat pujian dari para tokoh besar Israel macam Benjamin Netanyahu dan Shimon Peres. “Castro memperlihatkan bahwa ia cukup mendalam dalam memahami sejarah bangsa Yahudi dan Israel,” sebut Netanyahu.

Peres pun sepakat dengan Netanyahu. "Menurut saya, pernyataan Anda (Castro) sangat tidak terduga, namun penuh dengan kedalaman intelektual yang unik,” tulis mantan Presiden Israel itu yang ditujukan khusus untuk Castro.

Tapi, bersimpati kepada kaum Yahudi bukan lantas membuat Castro bisa memaklumi apapun yang dilakukan oleh Israel, terutama terhadap bangsa Palestina. Dukungan nyatanya kepada Palestina menunjukkan bahwa Castro adalah seorang komunis yang anti penindasan tanpa pandang bulu.

”Mengapa pemerintah negara ini (Israel) berpikir bahwa dunia akan tahan terhadap genosida yang mengerikan itu? Apa yang sedang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina?" sergah Castro dalam tulisannya yang dimuat di surat kabar resmi Partai Komunis Kuba.


Bagi sejumlah kalangan, barangkali agak aneh melihat seorang tokoh merah seperti Fidel Castro rela pasang badan untuk Palestina yang mayoritas rakyatnya memeluk Islam. Namun, bagi Castro, ini bukan persoalan agama atau pertentangannya dengan idealisme tertentu. Ini adalah murni tentang kemanusiaan.

Kini, Fidel Castro telah tiada. Komandan komunis Kuba yang amat dibenci Amerika Serikat itu pergi begitu saja dengan meninggalkan serangkaian jejak yang sebenarnya masih menyisakan pro dan kontra. Selamat berjuang di sana, Kamerad! 

* diambil dari beberapa sumber

Resensi Buku : Heroes and Martyrs of Palestine by Laleh Khalili

Tak pernah ada habisnya ketika kita membahas Palestina. Sebagai umat muslim Indonesia, kami memiliki keterikatan emosianal dan religi yang kuat dengan bangsa Palestina. Dari awal bangsa Nusantara ini selalu berada dibarisan depan sebagai pembela Palestina dan hingga saat ini perhatian serta pengorbanan yang diberikan umat muslim Indonesia tidak pernah berakhir. Dari sekedar melakukan "tweet" di medsos hingga menjadi "mujahid" di medan perang Palestina. Percayalah bahwa bangsa Indonesia tidak pernah kendor semangatnya menjadi pembela Palestina.

Lewat tulisan kali ini, kita akan sedikit membahas sebuah buku tentang bagaimana para "mujahid" berjuang di tanah Palestina, tanah pengharapan agama Tuhan.

Bagaimana Palestina menjadi “bangsa”? Apakah ia menjadi bangsa karena sekumpulan orang Palestina, beserta adat-istiadatnya, sudah tinggal di kawasan Timur Tengah selama berabad-abad? Ataukah Palestina baru menjadi bangsa seiring didirikannya negara bernama Israel pada 1948 di atas tanah warga Arab?

Satu pertanyaan yang kerapkali muncul dalam diskusi politik abad 20 adalah apa pijakan terbentuknya sebuah bangsa. Kesamaan bahasa dan etnisitas adalah dua macam jawaban klasik—dan paling problematis—yang paling sering dirujuk untuk menamai tumbuhnya nasionalisme di negara-negara Eropa pada paruh kedua abad ke-19 yang kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan nasionalis di Dunia Ketiga.

Jawaban lainnya mengacu pada respons terhadap kolonisasi Eropa, beserta pelbagai corak perjuangan sosial yang menyertainya—termasuk anti-kapitalisme dan anti-feodalisme, sebagaimana yang jamak terjadi di Asia dan Afrika. Dus, bangsa Indonesia pun tidak pernah benar-benar eksis tanpa pengalaman eksploitasi Belanda selama ratusan tahun.
   
Tapi dalam praktiknya, seringkali sebuah bangsa terbentuk setelah atau bersamaan dengan pendirian suatu negara. Dalam Imagined Communities (1990:6) ilmuwan politik Benedict Anderson menyatakan, "sebuah bangsa dibedakan bukan berdasarkan kepalsuan/keasliannya, tetapi dari cara di mana mereka dibayangkan." 

Di sinilah karya Laleh Khalili, Heroes and Martyrs of Palestine: The Politics of National Commemoration(2007), menjadi penting untuk dibaca. Khalili, profesor kajian politik Timur Tengah di SOAS, University of London, tidak berangkat dari klaim-klaim esensial tentang kebangsaan Palestina. Ia memilih membaca nasionalisme Palestina melalui ekspresi-ekspresi populer, khususnya yang dibangun oleh kelompok-kelompok perlawanan. 

Sejak 1948, identitas rakyat Palestina terbangun dari cerita-cerita berdirinya Israel dan cerita-cerita tentang pengusiran warga Arab serta kerinduan pulang ke kampung halaman. Inilah bangsa yang identitasnya tersusun dari kisah hidup di kamp-kamp pengungsian dan pemukiman kumuh di Lebanon, Yordania, dan sekitarnya. 

Sejak 1998 hingga hari ini, tiap tanggal 15 Mei orang Palestina memperingati Nakhba—yang di Israel merupakan hari kemerdekaan, serta pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatilla di Lebanon yang menewaskan pengungsi Palestina dan warga Syiah setempat dalam perang sipil pada 1982. Adapun para martir (syuhada) diperingati oleh beragam kelompok militan, dari yang beraliran nasionalis, komunis, dan Islamis.

Warga Palestina kebanyakan memperingati berbagai peristiwa, benda, dan manusia. Pohon zaitun, rumah batu yang dibangun di desa-desa, jeruk, serta gaun bersulam menjadi ikon nasionalisme keseharian warga Palestina yang mengacu pada imajinasi kehidupan kolektif pra-pendudukan Israel. Ikon-ikon ini memperoleh makna politisnya ketika gerakan nasionalis Palestina bangkit pada 1960an.

Namun, imajinasi bangsa tidak hanya selesai pada peringatan tragedi dan fantasi masa lalu. Yang menonjol—dan paling terkenal hingga kini—adalah mitologisasi martir. Ideologi dan metode perjuangan kelompok-kelompok militan Palestina kemudian mempengaruhi bangunan bangsa-pengungsi-pemberontak ini melekat dalam identitas Palestina, sebagaimana orang Indonesia kebanyakan mengingat bambu runcing ketika membayangkan perjuangan anti-kolonialisme pada 1945-1949.
Gagasan-gagasan transnasional juga berperan besar. Pada tahun 1960an, wacana Kiri dunia ketiga yang dipopulerkan oleh Fidel Castro dan Mao Zedong masuk ke Timur Tengah dan memberi corak internasionalis pada gerakan kemerdekaan Palestina, menghubungkannya dengan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan dan gerilyawan Vietkong di Asia Tenggara. 

Tak hanya itu, idiom-idiom kultural pun diserap. Partai-partai kiri di Palestina, misalnya, mempropagandakan perlawanan melalui poster laki-laki berkafiyeh yang memegang senapan dengan latar belakang merah tiba-tiba mudah ditemui di dinding-dinding kota, berikut foto-foto militan yang tewas dalam operasi bersenjata atau dibunuh oleh pasukan musuh. Popularisasi kafiyeh dari Palestina ke seluruh dunia, termasuk di kalangan progresif Eropa dan Amerika, berasal dari periode ini.

Bersamaan dengan itu, kaum nasionalis seperti Fatah menyumbang tradisi lagu-lagu heroik untuk memperingati martir-martir mereka dalam upacara pemakaman. Sosok gerilyawan laki-laki kemudian diadopsi menjadi ikon nasionalis dan jika meninggal dikekalkan sebagai fida’yi (pejuang). Citra pejuang inilah yang kemudian diartikulasikan sebagai syahid dan diekspor ke negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim ketika gerakan Islamis seperti Hamas mendominasi gerakan perlawanan Palestina.

Pengarusutamaan politik kemanusiaan yang dilakukan oleh LSM-LSM juga turut mengamplifikasi isu Palestina dan memberi corak tersendiri. Palestina, yang sempat populer dengan imaji martir dan gerilyawan, sejak 1980an identik dengan kamp pengungsian dan foto anak-anak yang menjadi korban agresi militer Israel. Namun pada gilirannya, imaji korban ini lantas diserap oleh kampanye-kampanye gerakan Islamis di berbagai tempat dan menjadikan Palestina suatu simbol penderitaan kaum muslim seluruh dunia.

Heroes and Martyrs tidak hanya mempelajari persepsi sebuah masyarakat mengenai diri dan lingkungannya, melainkan juga dinamika konstruksi politik bernama bangsa yang kita tangkap dalam kapasitas orang luar sebagai efek perjuangan pelbagai kelompok di Palestina. 


Sejarah Palestina kemudian menjadi sebuah “laboratorium bangsa” yang unik di mana arus nasionalisme Dunia Ketiga, perjuangan penentuan nasib (self-determination), Islamisme, dan humanitarianisme saling berkompetisi dan berdampak luas pada dunia. 

* diambil dari beberapa sumber

Rabu, 06 Desember 2017

Maulid NABI MUHAMMAD


Muhammad bagi umat manusia ialah manusia yang utama. Sejatinya tidak hanya bagi umat beragama Islam, namun bagi manusia setelah Muhammad mendapat wahyu. Keutamaan beliau sudah dikabarkan jauh sebelum beliau dilahirkan. Bahkan manusia pertama, Adam pun mengucapkan namanya seperti dikisahkan ketika penciptaan Adam.

Ketika Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam AS dan setelah membukakan penglihatan matanya, maka memandanglah Nabi Adam AS pada ‘Arsy dan melihat tulisan ‘Muhammad’ diatas istana ’Arsy, maka bertanyalah dia kepada Allah, “Tuhanku, adakah orang yang lebih mulya disamping-Mu selain aku?”

Jawab Allah SWT: “Benar, dia adalah (nama) seorang Nabi dari keturunan-mu yang lebih mulya dari pada engkau. Dan jika tidak karena dia (Muhammad), Aku tidak menciptakan langit, bumi,surga dan neraka”

Sebelum beliau dilahirkan terdapat kejadian – kejadian yang luar biasa yang menjadi tanda kelahiran manusia yang utama. Kejadian – kejadian tersebut adalah :

Pasukan Gajah dan Burung Ababil
Raja Abrahah merasa kesal karena banyaknya orang yang berbondong-bondong mengunjungi Ka'bah, sehingga dia membangun gereja yang megah untuk menyaingi Ka'bah. Namun gereja tersebut diabaikan, malah ada yang melemparinya dengan kotoran manusia. Raja Abrahah pun merasa marah hingga memutuskan untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam perjalanan, pasukan gajah Raja Abrahah yang dipimpin oleh Panglima Abu Rughal diserang oleh burung-burung ababil yang membawa batu-batu panas dan berpijar.



Api Majusi Padam
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, masyarakat Majusi menyembah api dan menganggap api itu sebagai Tuhan. Api itu tidak pernah padam selama beratus-ratus tahun. Namun saat Nabi Muhammad SAW lahir api itu mati seketika. Para pengikut Majusi berusaha menyalakan apinya, tapi tetap tidak menyala.

Jin Tidak Bisa Mencuri Berita
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, para jin leluasa mencuri berita gaib dari langit untuk disampaikan kepada para tukang sihir. Setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW jin yang berusaha mencuri dengar berita gaib dari langit akan menjumpai panah api yang akan membunuh mereka.
Ketika mereka dilarang naik ke langit, maka mereka berkumpul pada Iblis alaihilla'nah (raja setan), mereka berkata;

"Dahulu kami bisa naik ke langit, tetapi hari ini kami telah di larang untuk naik"
Iblis menjawab;

"Menyebarlah kalian di muka bumi, dari barat sampai timur, dan perhatikan dengan seksama apa yang sebenarnya telah terjadi!"

Mereka lalu menyebar. Setelah mengeliling bumi dari timur ke barat, sampailah mereka ke Kota Mekah. Di sana tampak oleh mereka Nabi kita sedang dikelilingi para malaikat, dan memancar cahaya dari dirinya hingga mencuat ke langit, sedangkan para malaikat-malaikat itu saling memberi ucapan selamat satu dengan yang lain.

Kemudian setan-setan itu kembali menghadap Iblis, sambil menceritakan semua apa yang telah mereka saksikan itu.

Maka Iblis pun berteriak dengan suara yang sangat keras;
"Aaaaah, telah keluar “ayatul 'alam” dan rahmat bagi bani Adam, karena itulah kalian telah dicegah untuk naik ke langit, tempat pandangannya dan pandangan umatnya!!"

Bintang Besar Bercahaya
Para ahli kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) melihat bintang besar dan bercahaya seperti berlensa tepat di hari kelahiran Muhammad SAW, sebelumnya bintang itu tidak pernah terlihat. Di antara mereka ada yang berseru, "Nabi penutup zaman sudah lahir".

Ka'bul Akhbar ra berkata; "Saya telah melihat di dalam Taurat bahwa Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada Kaum Musa tentang saat keluarnya Muhammad saw;

“Sesungguhnya bintang tetap yang telah kamu ketahui itu, bila ia bergerak dari tempatnya menandakan bahwa Rasulullah saw telah keluar”
Ketika Rasulullah SAW lahir, bintang itu pun bergerak dan pindah dari dari tempat asalnya. Maka orang-orang Yahudi itu semuanya mengetahui bahwa Rasul yang diberitakan Allah itu telah lahir ke dunia, namun mereka merahasiakan disebabkan kedengkian mereka juga.

Salam Burung-Burung
Saat kelahiran Nabi Muhammad SAW, burung-burung indah berterbangan di atas langit Mekkah dan berkicau seolah memberi salam sejahtera kepada Nabi akhir zaman.

Pohon Kurma Kering Kembali Berbuah
Dalam Injil (kitab suci Nabi Isa a.s.) digambarkan tentang tanda-tanda kelahiran Nabi Muhammad SAW.
“Bahwasanya apabila pohon kurma kering mengeluarkan daun-daunan, maka itu menandakan keluarnya Rasulullah ke dunia”

Ketika Rasulullah SAW lahir, pohon kurma yang kering dan layu menjadi segar, berdaun dan berbuah. Melihat hal itu, orang-orang Nasrani itu pun mengetahui bahwa Rasul yang dijanjikan Allah di dalam kitab Injil itu telah lahir ke dunia. Tetapi hal itu mereka rahasiakan, disebabkan kedengkian mereka juga.

Hal itu benar terjadi, namun orang-orang Yahudi menyembunyikannya karena kedengkian mereka kepada Nabi Muhammad SAW yang bukan berasal dari Bani Israil.

Mata Air Kering Memancar Kembali
Di kitab Zabur (kitab suci Nabi Daud a.s.) dikabarkan juga tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW. "Ketika mata air yang sudah kalian kenal kering dan tiba-tiba memancarkan air dengan derasnya maka pada saat itulah Nabi Muhammad SAW telah lahir ke dunia." Karena kedengkian orang-orang Yahudi juga menyembunyikan tanda-tanda yang mereka ketahui.

Berhala Bersujud
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Abdul Muthalib berkata, "Sewaktu ku berada di dekat Ka'bah, patung berhala yang ada di dalam Ka'bah tiba-tiba jatuh tersungkur dari tempatnya dalam bentuk bersujud kepada Allah Ta'ala. Aku juga mendengar suara dari dinding Ka'bah, 'Nabi terpilih telah lahir yang akan menghancurkan orang-orang kafir, dan membersihkan aku dari beberapa patung berhala, serta memerintahkan untuk menyembah kepada Dzat Yang Merajai Alam ini."

Suara dari Kakbah
Ada suara lain dari Ka'bah saat Rasulullah SAW lahir. Antara lain berbunyi "Katakanlah telah datang kebenaran (Islam) dan tidak akan memulai kebatilan, juga tidak akan mengembalikan kekufuran."

Aminah Tidak Merasa Letih
Selama mengandung Muhammad SAW, Aminah sang ibunda tidak merasa letih akibat kandungannya. Padahal setiap wanita yang hamil selalu merasa letih karena kandungannya.
Imam Ibnu Katsir meriwayatkan dalam kitabnya, Qishashul Anbiyya, bahwa ketika Aminah mengandung Rasulullah SAW, sama sekali ia tidak merasa kesulitan maupun kepayahan sebagaimana wanita umumnya yang mengandung.

Ia juga menyatakan bahwa selama mengandung Rasulullah SAW, dalam mimpinya ia senantiasa didatangi para Nabi-nabi terdahulu, dari sejak bulan pertama, yaitu bulan Rajab hingga kelahirannya di bulan Rabi’ul Awwal.

Bulan ke-1 didatangi oleh Nabi Adam (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan menjadi pemimpin agama yang besar.
Bulan ke-2 didatangi Nabi Idris (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan mendapat derajat paling tinggi di sisi Allah.
Bulan ke-3 didatangi Nabi Nuh (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan memperoleh kemenangan dunia dan akhirat.
Bulan ke-4 didatangi Nabi Ibrahim (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan memperoleh pangkat dan derajat yang besar di sisi Allah.
Bulan ke-5 didatangi Nabi Ismail (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan memiliki kehebatan dan mu’jizat yang besar.
Bulan ke-6 didatangi Nabi Musa (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan memperoleh derajat yang besar di sisi Allah.
Bulan ke-7 didatangi Nabi Daud (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan memiliki Syafaat dan Telaga Kautsar.
Bulan ke-8 didatangi Nabi Sulaiman (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan menjadi penutup para Nabi dan Rasul.
Bulan ke-9 didatangi Nabi Isa (as) yang berkata kepadanya bahwa anak yang dikandungnya itu akan membawa Al-Qur’an yang diridhai.

Semua Nabi-nabi yang hadir di mimpi Aminah itu sama-sama berpesan kepadanya bahwa jika telah lahir, namai anak itu dengan nama Muhammad yang artinya Terpuji, karena anak itu akan menjadi makhluk yang paling terpuji di dunia dan akhirat.

Firasat mengenai penamaan Muhammad itu pun terbersit di hati mertuanya, Abdul Muthalib, sehingga ketika Rasulullah SAW lahir, Abdul Muthalib memberinya nama Muhammad. Ketika masyarakat Mekkah bertanya mengapa ia dinamai Muhammad, bukan nama para leluhur-leluhurnya, maka Abdul Muthalib menjawab: “Aku berharap ia akan menjadi orang yang terpuji di dunia dan akhirat.”

Tamu Agung Penghuni Surga
Aminah merasakan tanda-tanda akan melahirkan secara tiba-tiba pada malam hari. Pada saat itu mertuanya Abdul Muthalib sedang pergi ke Masjidilharam. Sementara, Abdullah suaminya, sudah meninggal dunia. Kemudian, datang banyak wanita cantik. Ada 2 wanita yang jadi perhatian Aminah, mereka memberi salam dan menyebut dirinya Asiya (istri Raja Fir'aun) dan Maryam (ibu Nabi Isa a.s.).

Aminah Tidak Merasa Sakit
Aminah tidak merasa sakit layaknya wanita yang melahirkan. Padahal saat itu belum ada obat bius sehingga melahirkan benar-benar secara alami.

Kelahiran beliau adalah lentera bagi manusia akhir jaman. Apa yang dibawa oleh beliau merupakan jalan keselamatan bagi manusia, jadi tak heran jika kehadiran beliau dipuja oleh umat manusia.  Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, memulai peringatan “maulid” sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:

Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil – semoga Allah merahmatinya.

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, dia telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.

Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, dia mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “Al-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir”. Karya ini kemudian dia hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar.

Para ulama, semenjak zaman Sultan Al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh Al-Hadis telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), Al-Hafizh Al-Iraqi (w. 806 H), Al-Hafizh As-Suyuthi (w. 911 H), Al-Hafizh Al-Sakhawi (w. 902 H), SyeIkh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Al-Imam Al-Nawawi (w. 676 H), Al-Imam Al-Izz ibn Abd Al-Salam (w. 660 H), mantan mufti Mesir yaitu Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H), mantan Mufti Beirut Lubnan yaitu Syeikh Mushthafa Naja (w. 1351 H), dan terdapat banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan Al-Imam Al-Suyuthi menulis karya khusus tentang Maulid yang berjudul “Husn Al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid”. Karena itu perayaan Maulid Nabi, yang biasa dirayakan pada bulan Rabiul Awal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar. Namun juga terdapat pihak lain yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela islam pada masa Perang Salib.

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ

Artinya:
Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Dia menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.

Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ
Artinya:

Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Dia yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Pada masa dia, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terbesar luas.

Sumber lain mengatakan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustaz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).

Masyarakat Muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa, bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten.