Pada masa jaya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama
menonjol sebagai bagian dari pejabat elite. Fungsinya memperkokoh kedudukan
pemimpin yang duduk di singgasana.
Di
Asia Tenggara, apalagi Nusantara, hubungan erat raja dan ulama bukan hal yang
aneh. Contohnya di Kerajaan Samudera Pasai.
Ayang
Utriza Yakin dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad
XIV-XIX M menulis, di Samudera Pasai, pemerintah Islam
menunjuk ulama yang punya kemampuan mumpuni sebagai mufti resmi. Itu
berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di
Samudera Pasai pada 1345. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah
menyebut fungsi mufti sangat penting
dalam kesultanan. Sang mufti biasanya duduk
dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara, komandan,
dan pembesar kerajaan.
Sistem
itu, kata Ayang, agaknya dibawa dari kebiasaan di Kesultanan Perlak
(Peureulak). Kerajaan Islam di Aceh itu punya majelis fatwa yang
dipimpin seorang mufti. Ia menangani
persoalan hukum agama. Jabatannya itu di atas kementerian kehakiman.
“Sistem
itu berlanjut hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,” kata
dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.
Gambaran
jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad 16. Salah
satunya Hamzah Fansuri, ulama Melayu Nusantara yang peninggalannya relatif
lengkap mencakup biografi dan karya keislaman. Selain itu, ulama
terkemuka yang meninggalkan karya monumental antara lain Shamsuddin
al-Sumaterani (1693), Nuruddin ar-Raniri (1658), Abdul Rau’f al-Sinkili (1693),
dan Yusuf al-Makassari. Pada abad 18 muncul Abd. Samad al-Falimbani dan Syekh
Daud al-Fatani.
Dosen
sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jajat Burhanudin menjelaskan, kehadiran
ulama Melayu Nusantara sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan
gejala kota. “Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota
dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman,”
kata Jajat.
Dalam
bukunya, Islam
dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menulis, para ulama
senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus
memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim.
Kadi
Dalam
bidang hukum, ulama memegang peran sentral dalam membuat regulasi dan
menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Mereka sebagai kadi atau penghulu di
Jawa.
Lembaga
Kadi makin mapan pada abad 17 di Kerajaan Aceh. Tak hanya memberi legitimasi
dan nasihat kepada raja seperti di Kerajaan Malaka, para kadi juga menjalankan
hukum Islam di kerajaan. Kadi di Aceh mulai berdiri pada masa Sultan Iskandar
Muda (1607-1636).
Kerajaan
Aceh juga memiliki lembaga Syaikhul Islam yang berada langsung di bawah raja.
Lembaga ini mempengaruhi kebijakan raja dalam masalah sosial dan politik.
“Orang-orang
yang bertanggung jawab di lembaga ini adalah ulama Aceh terkemuka,” kata Jajat.
Informasi
soal lembaga itu, salah satunya, didapatkan lewat catatan perjalanan
perwakilan khusus Inggris ke Aceh pada 1602. Sir James Lancaster, menggambarkan
Hamzah Fansuri, Syaikhul Islam waktu itu, sebagai uskup agung. Dia diangkat
raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan antara Aceh dan Inggris.
Jajat
mencatat, Nuruddin ar-Raniri sempat pula mengepalai Syaikhul Islam.
Dia pernah menengahi protes keras Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan
yang menguntungkan pedagang Gujarat. Dengan otoritasnya itu, dia berhasil
meyakinkan raja, Safiyyatuddin (1641-1675), untuk menarik regulasi itu.
“Aceh
merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki lembaga resmi ulama.
Raja-rajanya memberi ulama kesempatan untuk terlibat dalam wilayah yang
melampaui urusan keagamaan,” tulis Jajat.
Di
Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Dalam menjalankan
pemerintahannya, sultan-sultan Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak
sebagai ahlulhalli
walaqdi. Lembaga itu menjadi wadah permusyawaratan
kerajaan yang punya hak ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala
urusan kaum muslimin.
Sunan
Giri pernah menduduki ahlulhalli walaqdi. Diia
berwenang mengesahkan dan memberi gelar sultan pada penguasa kerajaan Islam di
Jawa. Dia juga menentukan garis besar politik pemerintahan dan bertanggung
jawab di bidang keamanan muslim dan kerajaan Islam. Dia juga berhak mencabut
kedudukan sultan bila menyimpang dari kebijakan para wali.
Legitimasi Kekuasaan
Tak
hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam
sistem budaya Indonesia.
“Dalam
tugas itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik
Melayu berorientasi kerajaan,” jelas Jajat.
Karya
intelektual para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan. Salah
satunya Ar-Raniri yang memiliki pandangan lebih rinci tentang hubungan
ulama-raja. Lewat karyanya, Bustan us-Salatin yang ditulis
sekira 1630-an dan didedikasikan kepada Iskandar Thani, dia menjabarkan cara
seorang ulama neo-sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan.
Ar-Raniri
menekankan untuk mematuhi raja sebagai sebuah kewajiban agama. Kepatuhan pada
raja sama saja dengan mengikuti perintah Tuhan.
“Dengan
cara ini, para raja diberikan otoritas politik yang sah, yang harus diakui oleh
umat Islam,” tulis Jajat.
Karenanya,
kata jajat, Islam telah memberi sumbangan bagi pembentukan kerajaan absolut di
dunia Melayu-Indonesia prakolonial. Semakin mapan ulama dalam elite kerajaan,
makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan.
Pada
periode itu, tercatat raja-raja absolut seperti Sultan Iskandar Muda dan
Iskandar Thani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di
Makassar.
“Bisa
diasumsikan sejumlah ulama juga tampil mendukung politik kerajaan absolut,”
tegas Jajat.
* disadur dari beberapa sumber