Powered By Blogger

Rabu, 19 Oktober 2011

Surat yg tak pernah terkirim


15 10 2011
02:58
at office
cerpen by cak noer


Udara di kamarku sudah mulai sejuk saat beberapa menit lalu istriku, Suci, menyalakan penyejuk ruangan
“aku nyalain ac ya mas?”
gerah...kamu g kedinginan kan?”
kalau dingin nanti aku peluk ya”
sambil tersenyum manis padaku, dia rebahkan badannya di peraduan cinta kami, ditariknya selimut tebal berwarna hijau, warna kesukaannya selain warna coklat.
Istriku, masih aku perhatikan wajahnya ketika dia sudah memejamkan matanya. Walaupun dia tersenyum dalam tidurnya, guratan-guratan lelah di wajahnya masih terlihat, kasihan dia, lelah mungkin dalam hadapi kerasnya hidup, mendampingiku, suaminya. .
Kuletakkan buku yang sedang kubaca, aku lepas kacamata ini, kuletakkan diatas buku yang masih terbuka, sekaligus penanda sampai dimana aku selami tulisan-tulisan itu, lalu kuhampiri dia, duduk aku di pinggir tempat tidur itu. aku belai rambutnya yang lurus, halus dan berwarna hitam,
massss, tidur yukkk, besok lagi baca bukunya , ya?”
kata-katanya bagai hawa angin syurga bagiku, aku membalas ucapannya dengan kucium kepalanya, keningnya, lalu bibirnya, andai kau tahu, Suci, istriku, sampai kapanpun, aku sungguh tak rela jika kau sampai tinggalkan duniaku, karena memang kau duniaku saat ini, tempat aku mencurahkan cinta, tempat aku dipeluk saat air mata ini tak sanggup hadapi kerasnya hati,
Sebagai seorang wanita dan tentunya seorang istri, tidak bisa diremehkan keberadaan mereka di dunia ini, Hawa diciptakan bukan hanya sebagai pelengkap hidup sang Adam, tapi sebagai pendamping, penyeimbang, kawan sekaligus lawan.
Karena wanita, laki-laki seperti aku bisa menanggalkan semua keegoisan sebagai pemimpin, bersujud tekuk lutut di keindahan tubuhnya, karena wanita pula, aku sebagai pria bisa menanggalkan semua logikaku hingga menjadi tak masuk akal dan karena wanita pula, aku bisa bersedih sepanjang hidupku. Dan wanita didepanku saat ini sungguh hebat, tak kalah kesabarannya dengan Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh itu, ketegarannya sebanding dengan Kartini, wanita Jepara dalam kurungan adat feodal, dan terlepas dari kehebatannya, dia tetaplah wanita yang takluk padaku saat aku peluk dalam kenikmatan dunia
tidur duluan yah, sebentar lagi aku nyusul” kataku,
hanya dibalas dengan anggukan dan tetap tersenyum,
akupun melangkah kembali ke meja yang berada di sudut kamar kami, dibelakangnya terdapat kursi kayu seperti umumnya dengan alas bantal kecil, namun bukan kursi itu yang aku pilih, aku pilih kursi goyang yang berada di samping mejaku, dekat dengan jendela kamar kami, jenis kursi peninggalan kolonial Belanda ini sangat nyaman untuk mengendorkan syaraf-syaraf di tubuhku sambil aku gerayangi setiap tulisan dalam buku-buku itu, hampir setiap malam sehabis bekerja, selalu aku ulangi kegemaranku ini.
Malam ini aku gurui otakku sendiri dengan buku tentang gejolak negeri ini pada tahun 1965 – 1966, saat dimana Partai Komunis Indonesia berada pada puncak kejayaannya, sekaligus menjadi pecundang bagi para lawan-lawan politiknya, sekilas aku teringat pada masa laluku, setiap kali akan tidur siang, sewaktu aku umur 7 tahun sampai dengan kira-kira kelas 6 SD, suara bersahaja, berat dan bijaksana, selalu mengantarku berkhayal, cerita dan dongeng-dongengnya, selalu membuat aku kagum padanya, bukan pada ceritanya.
Kesabarannya menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan, kemanusian dan kehebatan bangsa ini, membuat aku tumbuh seperti dalam lautan ilmu. Penuturan ceritanya sistematik, bahasanya dapat aku mengerti dengan jelas, walaupun umurku masih sangat muda saat itu, itulah Bapakku, mentor, guru dan pembimbing hidupku. Manusia yang pendiam, dingin terhadap kehidupan ini namun menjadi bersemangat, berkobar dan “comel” dalam bercerita tentang kehebatan manusia-manusia pribumi. Dialah konduktor dalam orkestra nan megah perkembangan hidupku, dialah dalang budaya yang pandai memainkan wayang-wayang penalaranku menghadapi soal-soal kehidupan, tak tergantikan perannya.
Bapak aku rindu padamu
bangkit aku dari kursi pemalas itu, kuarahkan pandanganku ke lemari tanpa pintu yang disitu berjajar buku-buku koleksiku, semakin aku rindu padamu, bapakku, jika aku lihat buku-buku itu yang sebagian adalah warisan tak ternilai darimu.
Lalu aku berpindah ke kursi dibelakang mejaku, duduk aku terdiam sejenak, masih bingung apa yang aku lakukan untuk melapaskan rinduku pada bapakku, emmmmm ya!
Aku cari secarik kertas putih, tak sulit menemukannya, karena memang letaknya diatas meja sebelah kiri, selanjutnya mataku mencari alat tulis, yah itu dia, kuambil pensil, aku akan menulis surat padamu bapakku, akan kutuliskan bagaimana aku hidup sekarang, akan aku guratkan kerinduanku ini, anakmu yang telah dewasa, dan kumulai surat itu . . . . . .

Tangerang, 15 Oktober 2011
Sembah Sujud ananda untuk Bapakku

Bapakku, apa kabar disana? Sudah lama anakmu ini tidak melihat wajahmu yang bersahaja, selalu tersenyum saat aku membaca sebuah buku. Ya, bapak, saat inipun aku masih giat sekali membaca buku, apapun soalnya, apapun judulnya, yang penting buku, yang bapak bilang dulu adalah jembatan ilmu pengetahuan, yang akan membuat manusia pintar, tidak bodoh,
Masih juga aku sempatkan sebagian pengahasilanku untuk membeli buku, seperti yang juga bapak ajarkan padaku, walaupun terkadang istriku masih bingung dan heran dengan kebiasaanku itu . bapak, dia tidak tahu, kalau itu adalah amanat bapakku, tapi bapak tak perlu khawatir, menantu bapak baik hati, cocoklah untuk mendampingi anakmu ini bapak.
Bapak, anakmu ini begitu rindu padamu, berabad-abad rasanya tak dengarkan lagi kidung indahmu tentang negeri ini. Walaupun sekarang aku bisa membaca buku sesuka hatiku, membeli buku apapun atau berpetualang di dunia internet, yang menurut manusia-manusia jaman ini adalah pengganti kertas-kertas bertuliskan huruf tercetak rapi itu, tapi kharisma suaramu dalam kidung-kidung indah itu tak pernah tergantikan, membekas terpahat dalam akal dan hatiku. Bukan hanya dongeng tentang bagaimana Gajah Mada, tokoh favoritmu yang menaklukkan Nusantara, tapi dongeng kehidupan nyata yang kau gurui padaku, membuat aku sadar akan manusia yang memiliki akal, sebagai pembeda dari binatang. Benar saja Bapak, di kota tempat aku tinggal ini, semakin banyak manusia-manusia yang sudah tak lagi sadar bahwa mereka berakal, mereka hanya sadar akan hawa nafsunya sendiri, bernafsu memiliki dengan apapun jalannya, seperti Sengkuni yang kau ceritakan padaku, bersifat penghasut licik, lebih licik dari rubah, tapi tidak semuanya jahat Bapak, masih ada orang-orang seperti istriku, menantumu, yang kecantikan paras dan hatinya seperti wanita yang juga pernah kau ceritakan padaku, yang kau idolakan, yang kau tunjukkan patungnya setiap kali kita akan mengunjungi kota Malang, Ken Dedes, wanita yang melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Bapak, baru aku rasakan saat ini pahitnya kehidupan, yang belum aku alami saat masih bersamamu, saat masih aku bersandar padamu, manja dan “ngambek” saat tidak dibelikan mainan. Kehidupan memang tidak sederhana saat aku masih menjadi anak kecil dalam genggamanmu. Menjadi manusia seperti bapak, masih belum aku jalani, tapi kelak aku yakin aku pasti akan melewatinya bersamau cucumu, bapak. 
Akan aku ajarkan sebagaimana kau ajarkan kehidupan dunia fana ini padaku. Akan aku dengungkan dongeng-dongeng indah tentang kebesaran raja-raja di tanah pribumi ini seperti yang kau lakukan padaku. Akan aku “perintah”kan anakku dengan otoriter untuk gemar membaca buku dan tak akan aku biarkan anakku, cucumu, nantinya menjadi orang yang tidak berguna bagi Tuhan, agama, keluarga, bangsa dan negaramu, kata-kata itu sungguh melekat di otakku bapak, kata-kata darimu yang serasa menghipnotis kesadaran akalku.
Bapakku, janganlah kau terus bersedih dengan kepergian ebok (ibu), memang dia pelita keluarga kita, sanggup memberikan keseimbangan antara diamnya dirimu dengan cerianya sikapnya. Aku tahu bapak, sedihmu sama dengan sedihku, kehilanganmu itu tak tergantikan, aku juga rasakan. Memang bapak, dia adalah satu-satunya ibuku, tidak yang lainnya. Memang kita berdua dirundung sedih yang tak berkesudahan atas meninggalnya ebok, tapi aku khawatir bapak, kesehatanmu semakin hari semakin menurun, sungguh aku khawatir.
Bapak, perkenankanlah dalam surat anakmu ini, aku ingin bertanya. Walaupun tak akan berpengaruh pada siapa diriku ini, tapi tetap akan aku tanyakan bapak, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu kritis atas kebenaran hakiki, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu bersikap curiga jika sudah tak jelas duduk perkaranya, Bapak, jangan kau bersedih mendengar pertanyaanku ini, maafkan aku bapak aku harus bertanya setelah sekian lama aku simpan pertanyaan ini,
Bapak, siapakah sebenarnya diriku ini? Darah dagingmu sendirikah aku ini? Lahir dari rahim “ebok”? Istri yang sangat kau cintai itu?, sekali lagi maafkan aku bapak, aku harus menanyakannya, karena banyak kejanggalan yang terjadi di keluarga kita.
Masih ingatkan bapak? Saat aku umur 7 tahun, ketika aku masuk rumah sakit karena demam tinggi? Saat suster itu mengambil contoh darahku yang ternyata bergolongan B, sedangkan akhirnya kuketahui Bapak memiliki darah golongan A dan darah Ebok bergolongan O.
Hobby bapak selain baca buku juga photografi, tak pernah ada moment indah kita dulu yang tak pernah bapak ambil, saat aku ulang tahun, saat kita berlibur ke Bali atau saat kita mengunjungi Borobudur. Saat aku bayipun banyak foto diriku, ketika acara “toron tanah” saat aku berumur 6 bulan, saat aku mulai belajar berjalan dan terjatuh atau mungkin saat di hari pertamaku di taman kanank-kanak, yang tak mau masuk kelas saat bayanganmu pergi meninggalkan aku sendiri di pintu ruang kelas, namun Bapak, ada satu moment penting dalam kehidupanku yang entah kau lupa untuk memotretnya atau saat itu film “kodak” nya sudah habis?
Tidak ada satupun foto saat aku didalam kandungan Ebok, tidak ada satupun foto saat Ebok hamil, itulah celahnya bapak, semakin membuat aku curiga, dibalik kebahagian keluarga kita.
Maafkan aku bapak jika saat ini aku tanyakan hal ini, aku sudah lega, hatiku sudah plong, kosong. Aku tak peduli jawabannya bapak, anak siapakah aku sebenarnya dan knapa aku berada di tanganmu dan di pangkuan Ebok, aku tak peduli asal-usulku bapak, yang aku tahu hanya lah engkau dan Ebok, tangan-tangan yang memandikan aku, mengusap air mataku ketika menangis, menyeka peluhku saat aku lelah, jangan kau ambil semua itu dariku bapak, jangan kau asingkan diriku, setelah kau ambil diriku dari keterasingan.
Maafkan aku bapak, maafkan, tiada maksud hatiku untuk membuatmu sedih dengan segala pertanyaan tololku tadi, tentulah aku ini anakmu anak semata wayangmu, anak laki-laki kesayanganmu, kebanggaanmu, yang akan mewarisi ajaran-ajaranmu, tradisimu dan tentunya segala kebijakanmu. Aku memang gegabah bapak, kenapa harus aku cari jawaban-jawaban yang pertanyaannyapun blum tentu benar, banyak tetangga kita yang mengatakan, rambutku ikal sepertimu, keningku seperti punyamu, alisku juga tebal sepertimu, bulu-bulu halus di dekat kuping memanjang kebawah, isyaratkan aku akan berjambang nantinya, persis sepertimu, atau, mataku dan bibirku ini, mewarisi apa yang dimiliki ebok, sungguh bodoh ya aku, bapak, tak aku pikirkan omongan-omongan tetangga kita itu. Sekarang aku bertambah yakin bapak, bahwa aku adalah benar-benar anakmu.
Bapakku, sudah lama ya, kita tak bertemu, aku rindu suasana rumah, aku rindu masakan Ebok, aku rindu suasana sore di teras rumah, aku rindu alam rumah . Namun maaf bapak, saat ini aku masih belum bisa datang padamu, mencium tanganmu sebagai protokolir cintaku padamu, aku masih belum bisa pulang ke rumah bapak, belum bisa, masih banyak tugas disni yang aku harus selesaikan, masih banyak buku yang belum aku selesai baca, belum aku ambil hikmahnya dan kulangkahkan dalam kehidupanku. Belum semua bapak, kebijaksanaan katamu yang aku laksanakan, belum semua, tapi bapak jangan khawatir, anakmu ini masih dalam kesehatan yang memadai untuk menarik gerobak kehidupan, anakamu ini masih seperti Yudhistira, mencoba bijak menelan kehidupan, seperti Bima, perkasa dalam menaklukkan kehidupan dan tentunya seperti Arjuna kebanggaanmu.
Bapakku, jika nanti tiba waktunya, libur, aku pasti akan pulang ke rumah dari pengembaraan ini, datang padamu, senang rasanya aku membayangkan saat itu terjadi.
Jangan bersedih bapakku, bayangkanlah suatu saat kita akan bertemu lagi, melepas rindu yang sudah berkarat, ah bapak, sudah tak sabar rasanya aku bertemu denganmu.
Akhir kata bapakku, sujud dengan cinta selalu aku haturkan padamu Bapak, anakmu yang selalu mencintaimu

Wassalam

Kubaca lagi surat yang sudah aku tulis itu, ada linangan air mata, tapi ada juga kebanggaan, yang pasti rasa rindu yang amat sangat tercurah pada surat itu, setelah dua kali aku baca dan aku periksa, tak ada satupun kata-kata yang salah tulis, bapakku pasti akan memarahi aku jika dalam menulis bahasa Indonesia saja tak becus!
Aku pandangi meja kerjaku lagi, kucari amplop yang sesuai dengan ukuran kertas suratku itu, nah, itu dia, akhirnya kutemukan amplop itu yang juga berwarna putih. Kulipat menjadi tiga bagian dua lembar kertas tadi yang berisi guratan-guratan kerinduanku terhadap bapakku, setelah itu aku masukkan ke dalam amplop, kuberikan perekat pada pinggir penutupnya, kemudian kubalik amplop itu dan kutuliskan alamat rumahku. Jalan Aries nomor 22, Perum Satelit, Sumenep Madura.
Puas aku, tersenyum, kutimang-timang surat rindu itu, besok akan aku poskan dengan lebel “kilat khusus”, dan dalam 3 hari akan sampai ke tangan bapakku, beliau pasti senang membaca surat kerinduan dari anaknya tersayang.
Kuhirup udara dingin kamarku ini, kupejamkan mataku, dan akupun kembali tersenyum puas, kupastikan dalam akalku tak ada yang kurang dalam surat ini, semuanya sudah aku tumpahkan didalamnya.
Kucari tas kerjaku, tas kulit berwarna coklat yang setiap hari menemaniku nikmati aktivitas kerjaku, tas itu adalah hadiah dari istri tercintaku. Akan aku masukkan surat itu, kubuka penutup tasku, di bagian depannya terdapat dua ruang kecil, nah ini dia pikirku, kubuka reslitingnya, dan . . . . .
astaga!!!
kuperhatikan lagi isi tasku itu, dengan tangan gemetar dan rasa heran tingkat tinggi, aku ambil isi tas itu,
kupikir dengan akal warasku, sambil kupegang isi tasku tadi, lebih dalam lagi dengan mata melotot, nafas di dadaku mulai memburu, detak jantungku sudah mulai tak karuan, ternyata . . . .
ya, ternyata isi tasku tadi adalah sama dengan barang yang akan aku masukkan tadi ke dalam tasku.
Bentuk amplopnya sama, tulisanku tergurat di depan amplop itu, alamatnya sama persis dengan yang kutulis barusan, alamat rumah bapakku!!!
Kubangun kembali kesadaranku, akal dan hatiku kupaksa untuk berpikir dan merasakan kenyataan.
astaghfirullah”, bapak, kau  . . . . . .


subuh kesiangan


09 10 2011
18:59
at office
cerpen by cak noer


Belum lagi rasa kantuk ini hilang, baru sedikit saja akan masuk ke alam mimpi, kudengar suara aneh dengan logat yang sangat khas daerah kami,
ndhul, bangun, ayoh bangun, nanti kyai bisa marah lagi sama kamu, dasar mbandel kamu”
ughhhh. . . . apalagi ini?, suara apalagi sekarang?, makhluk seperti apa ini?, tidak tahu sopan santun, tidak berperasaan, baru saja aku ingin terbebas dalam aktivitas keseharian yang melelahkan di tempat seperti penjara bagiku ini, baru saja aku ingin nikmati aliran darahku yg mengalir lancar pada seluruh pembuluh nadiku, aghhhhh, kubuka mataku pelan-pelan, coba rasakan setiap udara di kulitku, hemmmmmm, samar-samar kulihat langit-langit diatasku ternyata masih sama, tanpa plafon, terlihat jelas batang-batang kayu penyangga atap, aroma kayunya yang khas menyeruak masuk dalam ronga-rongga hidungku, isyaratkan kayu-kayu itu masih baru. dinding di sekelilingnya dibuat tinggi agar sirkulasi udara lancar teratur, memang itu membuat udara di kamar ini sejuk, menyiasati iklim di tempat asalku ini yang terkenal panasnya minta ampun, ya, pulau tempat aku hidup ini bagaikan batu apung mengapung di lautan, jika siang hari panas menyengat kulit terasa membakar sampai pori-porinya. namun untuk urusan julukan, bisa membuat hati “adem”. sebutannya , 'serambi Madinah', menyaingi Nanggaroe Aceh Darusslam, “serambi Mekkah”, daerah yg terletak di barat Nusantara sana, sama seperti Aceh, pulauku ini salah satu daerah yang pemeluk agama Islamnya sangat fanatik.
Tak berlama-lama aku diam, dengan malas aku tolehkan kepalaku ke kiri, walaupun dengan kepala seperti tertindih gunung kapur yang menghiasi pulau tempat aku tinggal ini, kulihat ranjang disebelah kiriku, milik temanku – Marzuki - dari pesisir Jawa bagian timur itu, sudah kosong!, dengan nafas berat aku bangunkan tubuhku, kusandarkan pada tembok di belakangku, kuperhatikan sekeliling, didepanku, dua ranjang itu, juga sudah tak berpenghuni, didepan sebelah kiriku, dekat pintu, milik Joko , yang asalnya dari Ngayokarto Hadiningrat, dan yang tepat dihadapanku adalah milik Muhaimin, mungkin dialah pemilik suara yang kuarang ajar tadi tanpa permisi, berteriak-teriak dekat kupingku, apa haknya dia berlaku seperti itu, memangnya dia siapa?
Kuseka mataku di sudut-sudutnya, mencari kesadaran penglihatan, kemudian kembali kuperhatikan tempat tidur dihadapanku, kain pembalut kasurnya dengan bantalnya sudah tertata rapi, kuperhatikan lagi lemari yang berada disamping kanan tempat tidur itu, lemari itu memiliki dua pintu besar yang bisa dibuka kekanan dan kekiri, dibawahnya terdapat dua laci yang tidak cukup besar, terbuat dari bahan kayu yang tak bisa dibilang bagus dan awet seperti kayu jati, warna gestur kayunya masih terlihat jelas, hanya diberikan “pelitur” coklat agar nampak rapih, bukan indah, tingginya mungkin sama dengan pundakku. Diatasnya, sudahpun tertata rapi barang-barang milik penghuninya, beberapa buku yang diberdirikan berjajar meniru peletakan buku di perpustakaan, alat tulis, kopiah berwara hitam yang lapisan luarnya terbuat dari beludru berhias seperti kaligrafi dengan benang berwarna emas dan hijau, minyak rambut yang tak kukenal merknya, dan botol-botol minyak wangi yang kata pemiliknya didapatkan dari ayahnya, ketika ayahnya sedang berbelanja di pasar kecamatan, betapa bangganya dia ketika bercerita tentang ayahnya, seorang petani jagung. Ya, di daerah aku tinggal, jagung adalah salah satu garapan para petani, karena iklim dan tanahnya cocok, memang, jagung hasil dari daerahku tidak besar ukurannya dan menarik bentuknya seperti yang dihasilkan oleh sebagian besar di daerah pulau Jawa.
Jagung yang dihasilkan dari tempatku berpijak ini, berukuran kecil, tapi rasanya manis, jika direbus, dibakar, atau sebagai olahan makanan lainnya, akan jauh lebih gurih dari jagung yang dihasilkan daerah lainnya.
Muhaimin, anak seorang petani jagung, yamg berpenghasilan tidak lebih baik dari seorang pegawai negeri golongan 2B - jika dihitung rata-rata penghasilan yg diterima pada setiap bulannya, bukan pada saat panen yang terjadi 3 sampai 4 bulan sekali - sangat bangga karena bisa masuk dalam sebuah lembaga pendidikan “Pondok Pesantren A”, yang sangat tersohor ke seantero Nusantara, dan beberapa negara asia, bahkan ketika beberapa tahun yang lalu diadakan renovasi mesjid di tempat ini, sumbangan dana dan tenaga, tidak hanya datang dari seantero negeri, namun beberapa negara asiapun ikut serta. Inilah tempat kebanggan kami saat ini, Ponpes – singkatan yang biasa digunakan untuk Pondok Pesantren – kami memiliki sarana dan prasarana yang sangat memadai, laboratorium bahasa dan ilmiah, alat – alat praktikum mesin, sport center, dan segudang keunggulan lainnya, dan bahkan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya milik pemerintah, kamipun bisa mencemburui para siswanya dengan fasilitas yang kami miliki, bahkan bahasa yang kami gunakan di lingkungan sekolah adalah bahasa pemersatu dunia, bahasa Inggris, bahasa pemersatu manusia, Bahasa Alquran – bahasa Arab – dan tentunya bahasa pemersatu Nusantara, bahasa Indonesia, dan 'haram' bagi kami menggunakan bahasa daerah masing-masing, hebat kan, kami!,
Bukan hanya itu kebanggan kami, alumnus dari ponpes disni, memiliki kesempatan medapatkan beasiswa di universitas luar negeri, khususnya di Arab dan Mesir, jarang sekali sekolah yang mendapat kesempatan seperti itu di negeriku, dan untuk itulah, Muhaimin temanku tadi sering berkata sampai berbusa mulutnya,
bapakku hanya tani, rumah cuma satu, punya sepeda motor butut satu, ladang cuma satu petak, tak lebih, tapi, dengan aku sekolah di ponpes ini, aku akan menjadi orang besar, terpandang dan kaya, bisa ngasih duit buat bapak dan ebhu (ibu dalam bahasa kromo Madura), untuk naik haji, nyekolahin adik-adikku sampai setinggi-tingginya”
kata kata itulah yang hampir kudengar tiap hari dari mulut temanku itu, mungkin lebih tepat sahabat. Semenjak aku kenal tiga bulan yang lalu, khayalan atau cita-citanya, aku juga bingung membedakannya, sangat tinggi, memang tidak setinggi badannya, yang terbilang “kerdil”, paling-paling rambut yang ada di kepalanya hanya bisa menyentuh ketiakku, tak lebih, namun jangan tanyakan semangatnya untuk membuat kehidupan dia dan keluarganya menjadi lebih baik, keinginannya setelah lulus dari tempat ini, akan melanjutkan ke AL-AZHAR di Kairo, Mesir. Wowwww. Hebat khayalannya, akupun masih belum memikirkan masa depanku, sahabatku itu sudah meluncur ke bintang mimpinya.
Dialah teman yang selama ini menjadi pengekorku, tak jarang juga mau jadi jongosku. Kemanapun aku pergi - kecuali ke kamar mandi tentunya – dia pasti ada di sampingku, setia dalam suka dan duka sampai dengan saat ini, pernah aku tanyakan pada dia, mengapa dia bersikap seperti itu padaku, dan dengan logat madura pesisir yang kental, lidahnya berbual
kamu baik mas, sangat baik”
baik? Apa karena aku selalu membagi kesenangan bersamanya, atau karena aku juga selalu membagi uang jajanku bersamanya? Emmmmm, naif sahabatku, naif, atau mungkin sebagai alasan utama dia menjadi pengekorku, dia tahu bahwa aku cucu seorang kyai besar di kotaku,
aku pengen dapet karomah mbahmu mas”, katanya,
kata-katanya terdengar sangat mistis, bodoh dan feodalistik, tapi dialah manusia yang paling aku butuhkan di tempat ini, teman berkata-kata tapi tidak untuk berdebat dan diskusi, meluapkan kemarahanku, terkadang, atau teman dalam kesedihan dan kerinduan akan Ibuku, bapakku dan tentunya kakekku. Dia berharap besar, bahwa dengan menyandang lulusan ponpes ini, akan merubah keadaan ekonomi dan status sosial keluarganya, ahhh, kenapa kau sebodoh itu Min, sahabatku. Berapa banyak lagi orang-orang seperti kau, masih saja terhipnotis ajaran gaya feodal, terbius akan menjadi “priyai”, terpandang dalam strata sosial masyarakat, padahal tetap dipenjara oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan manusia-manusia itu, hemmmmm, kasihan kau sahabat, karena bermimpi menjadi manusia yang ingin menggenggam dunia, tapi kau begitu polos dan lugu hadapi duniamu sendiri, ayo sahabat, bangun dari mimpi-mimpi indahmu, pijakkan kakimu dalam-dalam pada bumi, memiliki illmu pengetahuan bukan untuk kekayaan dan status sosial, muliakan dirimu dalam terangnya ilmu pengetahuan. Sangat naif memang, ternyata masih ada manusia-manusia seperti sahabatku itu.
Lalu apa bedanya dengan diriku ?
Aku dikirim ke tempat ini bukan serta merta keinginan akal sadarku, lebih pada untuk melanjutkan tradisi keluarga, keluarga yang oleh masyarakat mendapat predikat dan kasta tersendiri, diberikan penghormatan, diikuti tingkah lakunya, dijalankan titahnya tanpa terlewatkan satu katapun, keluarga KYAI, biasa kami disebut.
Bindhere”, sebutan didepan namaku, diucap para santri kakekku sejak aku mengenal wajah-wajah mereka, menunduklah mereka jika berpapasan dengan keluargaku, tinggilah kepala kami, perlihatkan keangkuhan status sosial kami.
Aku adalah satu-satunya cucu laki-laki yang sangat disayang oleh kakekku, walaupun masih ada dua orang lagi cucu laki-lakinya, namun kakekku tak pernah menghiraukan mereka, untuk alasan ini aku tak pernah secara terang-terangan menanyakan pada kakekku, Jadilah aku “pangeran”, cikal bakal penerus tahta “tradisi”.
Mungkin karena akalku yang bisa dibilang jenius, pintar atau pandai atau apapun sebutannya, tapi yang jelas aku memang termasuk manusia yang haus akan ilmu dan memiliki “ke-nyelenehan” sendiri dalam memandang ilmu pengetahuan, ya, tidak jauh berbeda dengan kakekku dalam memandang ilmu pengetahuan, tapi, aku merasa ada hal khusus yang masih segelap rahasia para pesulap, kenapa aku “sangat” mendapatkan perlakuan khusus di keluargaku, untuk inipun aku wajib curiga dan berprasangka, tapi tidak untuk saat ini.
Kakekku seorang otokrasi moderat, terdidik untuk tidak mengatakan 'tidak' pada kebudayaan yang mengabdi pada norma-norma dan kebiasaan adat. Agama ditranformasikan ke dalam budaya adalah harga mati dan mutlak harus dikerjakan tanpa terkecuali, dibumbui dengan feodalistik patriarki, yang menjerat setiap wanita para istri-istrinya, walaupun kakekku hanya memiliki satu istri, tapi keluarga besar kami telah terbiasa hidup bergumul dengan adat seperti itu dan lagi-lagi ajaran agama adalah alasan yang kuat bagi kaum pria, yang entah karena kebajikannya ataukah hawa nafsunya, seringkali beralibi, “sunnah rasul”, alasan paling picisan untuk dibenarkan agar bisa berpoligami, tak terkecuali mereka yang disebut KYAI.
Kyai bagi sebagian ummat adalah “perpanjangan tuhan”, pengganti nabi, setiap perkataannya adalah kebenaran, harus dlaksanakan, didewakan keberadaannya, dicium tangannya, disembah kakinya, dimuliakan hidupnya, puh . . . ., urusan apa manusia menjadi mulia karena golongan dan kastanya?
Akupun memberontak dalam prinsip pemikiran seperti itu, aku sadar harus memahami agamaku secara benar dari sumber yang benar, bukan serta merta takluk pada tafsiran kitab-kitab kuning, yang setiap sehabis subuh selalu dikumandangkan dengan berjamaah dan suara nyaring, akupun tak tahu maknanya dilakukan seperti itu. Akalku terus mencari kebenaran, jiwaku sebenarnya dalam keterasingan lingkunganku sendiri, lingkungan yang menjadi titik tolak kehidupanku di bumi ini. Untunglah, kebetulan atau takdir, Bapakku bukanlah penganut kolaborasi distorsi agama dan adat kebudayaan moderat, asal usulnya, maksudku kehidupan dan pola pikir keluarganya, kurang aku ketahui, mungkin karena aku lahir di keluarga ibuku, tapi yg jelas, saat ini aku kagum akan pola pikirnya, dia mengajarkan dengan tingkah lakunya kepadaku, berkata tak lebih banyak dari diamnya dia berpuasa, terkadang dingin dihadapanku dan terkadang menunjukkan realitas sejati dengan kasih sayangnya, tidak menuntut dan mensoalkan kasta-kasta kemanusian, tanpa pamrih, dan memang melawan arus kebiasaan, tapi itulah pola pikir dan prinsip hidupnya.
Menurutnya, manusia diciptakan tidak dibedakan, tidak ada kasta, hanya perbuatan yang menjadikan manusia itu memiliki perbedaan dengan yang lainnya, baik buruk tidak ditentukan oleh darimana dia berasal, golongan ummat atau kalangan kyai. Kyai dan ummat adalah manusia, keduanya bisa salah membaca, bisa salah mengartikan, bisa salah memahami dan bisa salah bertindak, manusia tidak berbeda! Sekilas memang, dia seperti brahmana, kearifannya ditunjukkan oleh sikap dan perkataan yg tak terlalu banyak, pola pikirnya tentang kesatuan manusia dan kesatuan makhluk dan penciptanya masih merupakan pe-er buatku, untuk aku taklukkan rahasia ilmunya.
Bapakkulah yang dengan kesabarannya membuat aku tumbuh dengan dua idealisme yang berbeda, kebebasan sebagai manusia berakal namun terbelenggu adat kebiasaan, yang akhirnya aku jawab dengan ketidakberdayaan sikapku, ketika perintah “sabda” kakekku, dan kobaran semangat islami ibuku, “nyi” Siti, seorang 'motivator' pengajian ibu-ibu – dari pengajian ibu-ibu pejabat sampai dengan kawula-kawula yang tak berdaya karena kemiskinan - yang sangat tersohor di kotaku, membawa aku ke tempat ini. Tempat yang menjadi idamannya untuk anak semata wayangnya.
Ibuku, anak tertua dari kakekku, adalah seorang perempuan yang luar biasa, semangatnya, mensyiarkan agama Islam, tidak bisa diremehkan, bahkan, menurutku, dia adalah wanita dengan semangat “jihad fisabilillah”, seperti para mujahidin Palestine. Pola pikirnya memang sederhana, praktis, seperti kebanyakan wanita, tidak memiliki filosofi yang bertingkat, bahkan terkadang sifat feodalistiknya sering muncul kepermukaan untuk menyatakan sikap tegasnya terhadap pergesekan budaya yang menggerogoti norma-norma, dan adat kebiasaan yang telah dijaga dan dipertahankan turun temurun.
Hemmmmmm, Sembari menggeliatkan tubuh malasku ini, seperti singa jantan terbangun dari tidurnya, aku kembalikan akalku dari alasan argumen kenapa aku berada di tempat ini, kubuka lebar mataku hingga melotot, “astaghfirullah”, pekikku, makhluk apa lagi ini, aroma badannya seperti wangi-wangian bunga, tapi menyengat hidung, badannya lebar menutupi cahanya lampu di atas kamar ini, berkumis tebal, berkepala putih, alisnya berdiri laksana buntut kalajengking, matanya juga melotot menatap dan menantang mataku, seperti seekor ular yang menghipnotis mangsanya agar tidak lari dan sukarela untuk dilumat dalam mulutnya.
Nurrrrrrr!!! mau jadi apa kamu!!! jam berapa ini? Waktunya sholat apa sekarang?” dalam bahasa Arab yang fasih, suara itu nyelonong masuk keras dalam kupingku, menggema, berulang-ulang, bau air liurnya yang keluar dari mulut lebar itu menyempitkan pernafasanku, tiba-tiba buyar semuanya, , PLAKKKK!!!
yah, itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku, tangan besar dan kasar Kyai Ahmad - salah seorang pengasuh kami di ponpes ini, yang bertugas mendisiplinkan segala aktivitas kami - mendarat tanpa permisi 'kulonuwon' di pipi kananku, seketika kulit di sekitar wajahku seperti tersengat tawon, sakit, panas menyengat dan, lebih dari itu, kaget bukan kepalang. Amarah membumbung tinggi ke ubun-ubun, seperti larva yang memanas dan memburu udara diangkasa, Buru-buru aku fokuskan pandanganku, tapi bukan wajah Kyai Ahmad yang tampak, yang tampak adalah bayangan putih yang lama-lama membius akal, berlenggak-lenggok di depan mataku, dan seketika itu jiwa dan tubuhku kembali tidur dalam alam bawah sadar.
Sekali lagi aku kalah, kalah akan waktu yang membuat aku terlena bermimpi tentang kebebasan berpikir, berkehendak menjadi manusia sesuai dengan filosofi penciptaannya.
maafkan aku Ibu, anakmu ini masih malas untuk sholat subuh, karena masih terbuai indahnya malam untuk bermimpi menjadi manusia dalam mimpi-mimpi indahmu,
maafkan aku kakek, aku belum mampu menjadi penerusmu untuk melanjutkan tradisi keluarga, menjadi pangeran bertahta hegemoni kuasa atas agama dan budaya
dan . . . .
maafkan aku Bapak, aku belum menjadi manusia yang bebas dan bersikap BERANI melawan pembodohan terorganisir, seperti cita-citamu yang aku ketahui dari sikap memberontak diam dalam keterasingan hidupmu.

Senin, 17 Oktober 2011

MEMULAI


06 Oktober 2011
15:10
at office
cak noer

Semangat menulis lagi, layaknya rakyat Bali, berbaju serba putih, bersikap satria, tanpa berniat pulang kembali ke rumah mereka, menantang menghadapi bala tentara Belanda dalam perang puputan tahun 1906 atau rakyat Aceh yang tak mengenal takut, bergerilya dari hutan ke hutan, berhadapan dg  pengkhianatan para Teukunya yang takluk akan harta, perang yang melelahkan selama 31 tahun, atau barangkali pada Perang Jawanya Diponegoro selama kurang lebih lima tahun, Perang yang paling menguras kas kompeni Belanda di seluruh Hindia pada saat itu, apa hal untuk itu semua, satu tujuan, mendapatkan kehidupan baru, kehidupan yang merdeka, menjadi manusia bebas, tanpa penjajahan, tanpa dibedakan warna kulit, ras, agama dan golongan.
Semangat yang sama aku rasakan meracuni saraf otakku, dan membawa ke alam khayal yang belum aku temukan artinya. Semangat melawan diri sendiri agar terhindar dari kebodohan, ya, kebodohan, karena kebodohan adalah jalan kesesatan bagi manusia.
Dan, aku pun menjadi gamang kemudian bingung, apa yang akan aku tulis?, aku ceritakan?, kemudian harus memulai dari mana?, Bercerita ataukah mendongeng? Memberitakan kejadian faktual atau informasi sepanjang masa? Mengarang cerpen, fiksi atau realita hidup? Menjadi jurnalis, pengarang cerita novel, fiktif atau cerpen? menggunakan apa untuk menulis?, haruskah “menulis” dalam arti sebenarnya? Ah, aku tak peduli dengan system “menulis” itu yang pasti saat ini ada keinginan kuat untuk menulis, memindahkan pikiran – pikiran dalam akalku melalui media apapun agar tercatat nantinya dan dapat dibaca serta dimengerti oleh anak cucuku, bukan hanya sekedar untuk mengisi kekosongan waktuku saja.
Seperti yang sering didengungkan oleh Bapakku, “jadilah manusia yang berarti bagi Tuhanmu, keluargamu, bangsa dan negaramu”. Bertahun-tahun akupun memikirkan makna dari setiap kata Bapakku itu, harus bagaimana? Berbuat apa? Apa artinya “BERARTI” ? Apakah hanya belajar, mendapatkan nilai baik, kemudian lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi diri dan keluarga? Mungkin bagi sebagian orang, hal ini adalah kewajiban kehidupan, tekun beribadah pada TUHAN, berbakti kepada ORANG TUA, menghasilkan devisa bagi BANGSA dan NEGARA dengan membayar pajak dan bekerja, itu saja? Lalu apa maknanya hidup jika manusiapun diperbudak oleh kebutuhan manusianya? Jadikah dia hanya seonggok daging yang bertulang dan kemudian diatur oleh kebutuhannya sendiri, bukan bebas mengikuti kata hatinya?, lalu apa bedanya dengan binatang? Puhhhh, terlalu ideal kalimat itu, terlalu naif untuk kehidupan manusia-manusia yang saat ini sudah tak pernah memikirkan untuk apa mereka “dilahirkan” dan “hidup”.
Kembali pada ide dasar untuk “menulis”, kesadaran dalam akal dan hati yg mutlak memiliki kewajiban badaniyah untuk ikut serta membuat kehidupan pribadi manusia manusia agar memiliki kegunaan bagi manusia lainnya. Ide ini sebenarnya sudah tercatat ribuan atau bahkan miliaran jumlahnya dalam setiap buku yg pengarangnya manusia ataupun wahyu TUHAN yg diterina manusia dan dituliskan dalam kitab-kitab suci. Tapi pertanyaannya adalah, mengertikah manusia akan hal itu? Kemudian berapa banyak manusia yang mengerti akan ide itu dan melaksanakannya dalam kehidupannya? Saya tidak bisa menghitungnya karena saya tidak tahu dan tidak mau untuk tahu, tapi yang jelas jika kita buka mata hati kita, lebih banyak dari manusia manusia disekitar kita yang acuh pada konsep dari ide mulia TUHAN tersebut. Kemudian apa hubungannya dengan semangat yang aku miliki saat ini untuk menulis?
Belajar memahami kehidupan manusia memang tidak akan putus sampai dengan kebinasaan manusia itu sendiri, menulis adalah memahami persoalan dan membaginya dengan manusia manusia lainnya, sehingga terkadang beban dan permasalahan hidup akan memiliki ruang sendiri untuk di-nafikan, sebentar disingkirkan, sedikit diberikan ruang untuk tidur dan tak bergerak agar tak menjadi semakin besar.
Ilmu pengetahuan manusia sebagai manusia adalah mengerti fungsi akal dan hatinya, akal berpikir dan hati menuntun saat akal sudah tak menemukan jawaban dari logika manusia. Manifestasi dari akal dan hati salah satunya adalah dengan tulisan, ya, tulisan, akan membawa peradaban masa lalu untuk selalu dipelajari, bukan hanya untuk dikenang, tulisan akan membawa manusia menerawang masa depan dan memiliki cita-cita, untuk itulah semangat ini begitu membara, walaupun terkadang lesu oleh waktu hidup, maka, akupun “memulai” untuk “menulis”