15 10 2011
02:58
at office
cerpen by cak noer
Udara
di kamarku sudah mulai sejuk saat beberapa menit lalu istriku, Suci,
menyalakan penyejuk ruangan
“aku nyalain ac ya mas?”
“aku nyalain ac ya mas?”
“gerah...kamu
g kedinginan kan?”
“kalau
dingin nanti aku peluk ya”
sambil
tersenyum manis padaku, dia rebahkan badannya di peraduan cinta kami,
ditariknya selimut tebal berwarna hijau, warna kesukaannya selain
warna coklat.
Istriku,
masih aku perhatikan wajahnya ketika dia sudah memejamkan matanya.
Walaupun dia tersenyum dalam tidurnya, guratan-guratan lelah di
wajahnya masih terlihat, kasihan dia, lelah mungkin dalam hadapi
kerasnya hidup, mendampingiku, suaminya. .
Kuletakkan
buku yang sedang kubaca, aku lepas kacamata ini, kuletakkan diatas
buku yang masih terbuka, sekaligus penanda sampai dimana aku selami
tulisan-tulisan itu, lalu kuhampiri dia, duduk aku di pinggir tempat
tidur itu. aku belai rambutnya yang lurus, halus dan berwarna hitam,
“massss,
tidur yukkk, besok lagi baca bukunya , ya?”
kata-katanya
bagai hawa angin syurga bagiku, aku membalas ucapannya dengan kucium
kepalanya, keningnya, lalu bibirnya, andai kau tahu, Suci, istriku,
sampai kapanpun, aku sungguh tak rela jika kau sampai tinggalkan
duniaku, karena memang kau duniaku saat ini, tempat aku mencurahkan
cinta, tempat aku dipeluk saat air mata ini tak sanggup hadapi
kerasnya hati,
Sebagai
seorang wanita dan tentunya seorang istri, tidak bisa diremehkan
keberadaan mereka di dunia ini, Hawa diciptakan bukan hanya sebagai
pelengkap hidup sang Adam, tapi sebagai pendamping, penyeimbang,
kawan sekaligus lawan.
Karena
wanita, laki-laki seperti aku bisa menanggalkan semua keegoisan
sebagai pemimpin, bersujud tekuk lutut di keindahan tubuhnya, karena
wanita pula, aku sebagai pria bisa menanggalkan semua logikaku hingga
menjadi tak masuk akal dan karena wanita pula, aku bisa bersedih
sepanjang hidupku. Dan wanita didepanku saat ini sungguh hebat, tak
kalah kesabarannya dengan Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh itu,
ketegarannya sebanding dengan Kartini, wanita Jepara dalam kurungan
adat feodal, dan terlepas dari kehebatannya, dia tetaplah wanita yang
takluk padaku saat aku peluk dalam kenikmatan dunia
“tidur
duluan yah, sebentar lagi aku nyusul” kataku,
hanya
dibalas dengan anggukan dan tetap tersenyum,
akupun
melangkah kembali ke meja yang berada di sudut kamar kami,
dibelakangnya terdapat kursi kayu seperti umumnya dengan alas bantal
kecil, namun bukan kursi itu yang aku pilih, aku pilih kursi goyang
yang berada di samping mejaku, dekat dengan jendela kamar
kami, jenis kursi peninggalan kolonial Belanda ini sangat nyaman
untuk mengendorkan syaraf-syaraf di tubuhku sambil aku gerayangi
setiap tulisan dalam buku-buku itu, hampir setiap malam sehabis
bekerja, selalu aku ulangi kegemaranku ini.
Malam
ini aku gurui otakku sendiri dengan buku tentang gejolak negeri ini
pada tahun 1965 – 1966, saat dimana Partai Komunis Indonesia berada
pada puncak kejayaannya, sekaligus menjadi pecundang bagi para
lawan-lawan politiknya, sekilas aku teringat pada masa laluku, setiap
kali akan tidur siang, sewaktu aku umur 7 tahun sampai dengan
kira-kira kelas 6 SD, suara bersahaja, berat dan bijaksana, selalu
mengantarku berkhayal, cerita dan dongeng-dongengnya, selalu membuat
aku kagum padanya, bukan pada ceritanya.
Kesabarannya
menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan, kemanusian dan
kehebatan bangsa ini, membuat aku tumbuh seperti dalam lautan ilmu.
Penuturan ceritanya sistematik, bahasanya dapat aku mengerti dengan
jelas, walaupun umurku masih sangat muda saat itu, itulah Bapakku,
mentor, guru dan pembimbing hidupku. Manusia yang pendiam, dingin
terhadap kehidupan ini namun menjadi bersemangat, berkobar dan
“comel” dalam bercerita tentang kehebatan manusia-manusia
pribumi. Dialah konduktor dalam orkestra nan megah perkembangan
hidupku, dialah dalang budaya yang pandai memainkan wayang-wayang
penalaranku menghadapi soal-soal kehidupan, tak tergantikan perannya.
Bapak
aku rindu padamu
bangkit
aku dari kursi pemalas itu,
kuarahkan pandanganku ke lemari tanpa pintu yang disitu berjajar
buku-buku koleksiku, semakin aku rindu padamu, bapakku, jika aku
lihat buku-buku itu yang sebagian adalah warisan tak ternilai darimu.
Lalu
aku berpindah ke kursi dibelakang
mejaku, duduk aku terdiam sejenak, masih bingung apa yang aku lakukan
untuk melapaskan rinduku pada bapakku, emmmmm ya!
Aku
cari secarik kertas putih, tak sulit menemukannya, karena memang
letaknya diatas meja sebelah kiri, selanjutnya mataku mencari alat
tulis, yah itu dia, kuambil pensil, aku akan menulis surat
padamu bapakku, akan kutuliskan bagaimana aku hidup sekarang, akan
aku guratkan kerinduanku ini, anakmu yang telah dewasa, dan kumulai
surat itu . . . . . .
Tangerang,
15 Oktober 2011
Sembah
Sujud ananda untuk Bapakku
Bapakku,
apa kabar disana? Sudah lama anakmu ini tidak melihat wajahmu yang
bersahaja, selalu tersenyum saat aku membaca sebuah buku. Ya, bapak,
saat inipun aku masih giat sekali membaca buku, apapun soalnya, apapun judulnya, yang penting buku, yang bapak bilang dulu adalah jembatan
ilmu pengetahuan, yang akan membuat manusia pintar, tidak bodoh,
Masih
juga aku sempatkan sebagian pengahasilanku untuk membeli buku, seperti yang
juga bapak ajarkan padaku, walaupun terkadang istriku masih bingung
dan heran dengan kebiasaanku itu . bapak, dia tidak tahu, kalau itu
adalah amanat bapakku, tapi bapak tak perlu khawatir, menantu bapak
baik hati, cocoklah untuk mendampingi anakmu ini bapak.
Bapak,
anakmu ini begitu rindu padamu, berabad-abad rasanya tak dengarkan
lagi kidung indahmu tentang negeri ini. Walaupun sekarang aku bisa
membaca buku sesuka hatiku, membeli buku apapun atau berpetualang di
dunia internet, yang menurut manusia-manusia jaman ini adalah
pengganti kertas-kertas bertuliskan huruf tercetak rapi itu, tapi
kharisma suaramu dalam kidung-kidung indah itu tak pernah
tergantikan, membekas terpahat dalam akal dan hatiku. Bukan hanya
dongeng tentang bagaimana Gajah Mada, tokoh favoritmu yang menaklukkan
Nusantara, tapi dongeng kehidupan nyata yang kau gurui padaku,
membuat aku sadar akan manusia yang memiliki akal, sebagai pembeda
dari binatang. Benar saja Bapak, di kota tempat aku tinggal ini,
semakin banyak manusia-manusia yang sudah tak lagi sadar bahwa mereka
berakal, mereka hanya sadar akan hawa nafsunya sendiri, bernafsu
memiliki dengan apapun jalannya, seperti Sengkuni yang kau
ceritakan padaku, bersifat penghasut licik, lebih licik dari rubah, tapi tidak semuanya jahat Bapak,
masih ada orang-orang seperti istriku, menantumu, yang kecantikan paras dan hatinya
seperti wanita yang juga pernah kau ceritakan padaku, yang kau idolakan, yang kau tunjukkan patungnya setiap kali kita akan mengunjungi kota Malang, Ken Dedes, wanita
yang melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Bapak,
baru aku rasakan saat ini pahitnya kehidupan, yang belum aku alami
saat masih bersamamu, saat masih aku bersandar padamu, manja dan
“ngambek” saat tidak dibelikan mainan. Kehidupan memang tidak
sederhana saat aku masih menjadi anak kecil dalam genggamanmu.
Menjadi manusia seperti bapak, masih belum aku jalani, tapi kelak aku
yakin aku pasti akan melewatinya bersamau cucumu, bapak.
Akan aku ajarkan sebagaimana kau ajarkan kehidupan dunia fana ini padaku. Akan aku dengungkan dongeng-dongeng indah tentang kebesaran raja-raja di tanah pribumi ini seperti yang kau lakukan padaku. Akan aku “perintah”kan anakku dengan otoriter untuk gemar membaca buku dan tak akan aku biarkan anakku, cucumu, nantinya menjadi orang yang tidak berguna bagi Tuhan, agama, keluarga, bangsa dan negaramu, kata-kata itu sungguh melekat di otakku bapak, kata-kata darimu yang serasa menghipnotis kesadaran akalku.
Akan aku ajarkan sebagaimana kau ajarkan kehidupan dunia fana ini padaku. Akan aku dengungkan dongeng-dongeng indah tentang kebesaran raja-raja di tanah pribumi ini seperti yang kau lakukan padaku. Akan aku “perintah”kan anakku dengan otoriter untuk gemar membaca buku dan tak akan aku biarkan anakku, cucumu, nantinya menjadi orang yang tidak berguna bagi Tuhan, agama, keluarga, bangsa dan negaramu, kata-kata itu sungguh melekat di otakku bapak, kata-kata darimu yang serasa menghipnotis kesadaran akalku.
Bapakku,
janganlah kau terus bersedih dengan kepergian ebok (ibu), memang dia
pelita keluarga kita, sanggup memberikan keseimbangan antara diamnya
dirimu dengan cerianya sikapnya. Aku tahu bapak, sedihmu sama dengan
sedihku, kehilanganmu itu tak tergantikan, aku juga rasakan. Memang
bapak, dia adalah satu-satunya ibuku, tidak yang lainnya. Memang kita
berdua dirundung sedih yang tak berkesudahan atas meninggalnya ebok,
tapi aku khawatir bapak, kesehatanmu semakin hari semakin menurun,
sungguh aku khawatir.
Bapak,
perkenankanlah dalam surat anakmu ini, aku ingin bertanya. Walaupun
tak akan berpengaruh pada siapa diriku ini, tapi tetap akan aku
tanyakan bapak, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu kritis atas
kebenaran hakiki, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu bersikap
curiga jika sudah tak jelas duduk perkaranya, Bapak, jangan kau
bersedih mendengar pertanyaanku ini, maafkan aku bapak aku harus
bertanya setelah sekian lama aku simpan pertanyaan ini,
Bapak,
siapakah sebenarnya diriku ini? Darah dagingmu sendirikah aku ini?
Lahir dari rahim “ebok”? Istri yang sangat kau cintai itu?,
sekali lagi maafkan aku bapak, aku harus menanyakannya, karena banyak
kejanggalan yang terjadi di keluarga kita.
Masih
ingatkan bapak? Saat aku umur 7 tahun, ketika aku masuk rumah sakit
karena demam tinggi? Saat suster itu mengambil contoh darahku yang
ternyata bergolongan B, sedangkan akhirnya kuketahui Bapak memiliki
darah golongan A dan darah Ebok bergolongan O.
Hobby
bapak selain baca buku juga photografi, tak pernah ada moment indah
kita dulu yang tak pernah bapak ambil, saat aku ulang tahun, saat
kita berlibur ke Bali atau saat kita mengunjungi Borobudur. Saat aku
bayipun banyak foto diriku, ketika acara “toron tanah” saat aku
berumur 6 bulan, saat aku mulai belajar berjalan dan terjatuh atau
mungkin saat di hari pertamaku di taman kanank-kanak, yang tak mau
masuk kelas saat bayanganmu pergi meninggalkan aku sendiri di pintu
ruang kelas, namun Bapak, ada satu moment penting dalam kehidupanku
yang entah kau lupa untuk memotretnya atau saat itu film “kodak”
nya sudah habis?
Tidak
ada satupun foto saat aku didalam kandungan Ebok, tidak ada satupun
foto saat Ebok hamil, itulah celahnya bapak, semakin membuat aku
curiga, dibalik kebahagian keluarga kita.
Maafkan
aku bapak jika saat ini aku tanyakan hal ini, aku sudah lega, hatiku
sudah plong, kosong. Aku tak peduli jawabannya bapak, anak siapakah
aku sebenarnya dan knapa aku berada di tanganmu dan di pangkuan Ebok,
aku tak peduli asal-usulku bapak, yang aku tahu hanya lah engkau dan
Ebok, tangan-tangan yang memandikan aku, mengusap air mataku ketika
menangis, menyeka peluhku saat aku lelah, jangan kau ambil semua itu
dariku bapak, jangan kau asingkan diriku, setelah kau ambil diriku
dari keterasingan.
Maafkan
aku bapak, maafkan, tiada maksud hatiku untuk membuatmu sedih dengan
segala pertanyaan tololku tadi, tentulah aku ini anakmu anak semata
wayangmu, anak laki-laki kesayanganmu, kebanggaanmu, yang akan
mewarisi ajaran-ajaranmu, tradisimu dan tentunya segala kebijakanmu.
Aku memang gegabah bapak, kenapa harus aku cari jawaban-jawaban yang
pertanyaannyapun blum tentu benar, banyak tetangga kita yang
mengatakan, rambutku ikal sepertimu, keningku seperti punyamu, alisku
juga tebal sepertimu, bulu-bulu halus di dekat kuping memanjang
kebawah, isyaratkan aku akan berjambang nantinya, persis sepertimu,
atau, mataku dan bibirku ini, mewarisi apa yang dimiliki ebok,
sungguh bodoh ya aku, bapak, tak aku pikirkan omongan-omongan
tetangga kita itu. Sekarang aku bertambah yakin bapak, bahwa aku
adalah benar-benar anakmu.
Bapakku,
sudah lama ya, kita tak bertemu, aku rindu suasana rumah, aku rindu
masakan Ebok, aku rindu suasana sore di teras rumah, aku rindu alam
rumah . Namun maaf bapak, saat ini aku masih belum bisa datang
padamu, mencium tanganmu sebagai protokolir cintaku padamu, aku masih
belum bisa pulang ke rumah bapak, belum bisa, masih banyak tugas
disni yang aku harus selesaikan, masih banyak buku yang belum aku
selesai baca, belum aku ambil hikmahnya dan kulangkahkan dalam
kehidupanku. Belum semua bapak, kebijaksanaan katamu yang aku
laksanakan, belum semua, tapi bapak jangan khawatir, anakmu ini masih
dalam kesehatan yang memadai untuk menarik gerobak kehidupan, anakamu
ini masih seperti Yudhistira, mencoba bijak menelan kehidupan,
seperti Bima, perkasa dalam menaklukkan kehidupan dan tentunya
seperti Arjuna kebanggaanmu.
Bapakku,
jika nanti tiba waktunya, libur, aku pasti akan pulang ke rumah dari
pengembaraan ini, datang padamu, senang rasanya aku membayangkan saat
itu terjadi.
Jangan
bersedih bapakku, bayangkanlah suatu saat kita akan bertemu lagi,
melepas rindu yang sudah berkarat, ah bapak, sudah tak sabar rasanya
aku bertemu denganmu.
Akhir
kata bapakku, sujud dengan cinta selalu aku haturkan padamu Bapak,
anakmu yang selalu mencintaimu
Wassalam
Kubaca
lagi surat yang sudah aku tulis itu, ada linangan air mata, tapi ada
juga kebanggaan, yang pasti rasa rindu yang amat sangat tercurah pada
surat itu, setelah dua kali aku baca dan aku periksa, tak ada satupun
kata-kata yang salah tulis, bapakku pasti akan memarahi aku jika
dalam menulis bahasa Indonesia saja tak becus!
Aku
pandangi meja kerjaku lagi, kucari amplop yang sesuai dengan ukuran
kertas suratku itu, nah, itu dia, akhirnya kutemukan amplop itu yang
juga berwarna putih. Kulipat menjadi tiga bagian dua lembar kertas
tadi yang berisi guratan-guratan kerinduanku terhadap bapakku,
setelah itu aku masukkan ke dalam amplop, kuberikan perekat pada
pinggir penutupnya, kemudian kubalik amplop itu dan kutuliskan alamat
rumahku. Jalan Aries nomor 22, Perum Satelit, Sumenep Madura.
Puas
aku, tersenyum, kutimang-timang surat rindu itu, besok akan aku
poskan dengan lebel “kilat khusus”, dan dalam 3 hari akan sampai
ke tangan bapakku, beliau pasti senang membaca surat kerinduan dari
anaknya tersayang.
Kuhirup
udara dingin kamarku ini, kupejamkan mataku, dan akupun kembali
tersenyum puas, kupastikan dalam akalku tak ada yang kurang dalam
surat ini, semuanya sudah aku tumpahkan didalamnya.
Kucari
tas kerjaku, tas kulit berwarna coklat yang setiap hari menemaniku
nikmati aktivitas kerjaku, tas itu adalah hadiah dari istri
tercintaku. Akan aku masukkan surat itu, kubuka penutup tasku, di
bagian depannya terdapat dua ruang kecil, nah ini dia pikirku, kubuka
reslitingnya, dan . . . . .
astaga!!!
kuperhatikan
lagi isi tasku itu, dengan tangan gemetar dan rasa heran tingkat
tinggi, aku ambil isi tas itu,
kupikir
dengan akal warasku, sambil kupegang isi tasku tadi, lebih dalam lagi
dengan mata melotot, nafas di dadaku mulai memburu, detak jantungku
sudah mulai tak karuan, ternyata . . . .
ya,
ternyata isi tasku tadi adalah sama dengan barang yang akan aku
masukkan tadi ke dalam tasku.
Bentuk
amplopnya sama, tulisanku tergurat di depan amplop itu, alamatnya
sama persis dengan yang kutulis barusan, alamat rumah bapakku!!!
Kubangun
kembali kesadaranku, akal dan hatiku kupaksa untuk berpikir dan
merasakan kenyataan.
“astaghfirullah”,
bapak, kau . . . . . .