Powered By Blogger

Kamis, 31 Mei 2018

Kapal JONG Sang Penguasa Lautan


Catatan tentang kapal Cheng Ho yang selama ini berasal dari catatan Cina ternyata tidak akurat. Penulisan sejarah adalah bagian dari perang asimetris sehingga beberapa peradaban di dunia membesarkan data-data sejarahnya. Riset yang dilakukan oleh Irawan Djoko Nugroho lewat berebagi referensi membuktikan bahwa kapal-kapal Majapahit jauh lebih besar dari kapal Cheng Ho. Inilah analisa dari Irawan Djoko Nugroho. Dan juga terdapat analisa tentang riset kapal raksasa yang ditemukan di Gunung Arafat Turki yang ternyata dibuat dengan kayu Jati. Dan pohon Jati hingga sekarang hanya ditemukan di Jawa.


Jong adalah sebuah kata Jawa Kuno yang berarti sebangsa perahu (P.J. Zoetmulder, 1995: 427). Dalam khazanah Melayu, kata Jong disebut juga dengan istilah Jung (SM.V: 47 dan SM. X: 77). Menurut khazanah Melayu pula, Jong adalah kapal yang hanya dimiliki oleh Jawa (HRRP: 95, HHT: XII: 228). Keterangan ini sangat berbeda dengan keterangan sejarawan Eropa umumnya. Mereka menyebut kapal-kapal Cina juga dengan istilah jung. Para sejarawan Eropa dan nasional menengarai kapal-kapal Majapahit dalam beberapa penelitian, menggunakan cadik sebagaimana kapal Borobudur.

Di dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung disebutkan bila pada abad ke-15 hingga ke-16 kapal Jung tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Keterangan itu tidak sepenuhnya tepat. Para pelaut Melayu menggunakan kapal Jung dicatat dalam Hikayat Hang Tuah setelah Putri Raja Majapahit menikah dengan Sultan Malaka. Kapal yang dimilikinya pun hanya 1. Kapal yang digunakan pelaut Melayu adalah kapal Ghali atau Galleon. Sedangkan kapal yang digunakan pelaut Cina dalam catatan Melayu baik Sejarah Melayu dan Hikayat Banjar adalah Pilu dan Wangkang.

Menurut catatan para penulis Portugis, Jong disebut dengan Junco. Sedangkan para penulis Italia menyebut dengan istilah zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli (http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung).

Secara umum, kapal Junco merupakan sebuah kapal yang memiliki 4 tiang. Kapal Junco memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan jenis-jenis kapal Portugis umumnya. Dinding Jong terbuat dari 4 lapis papan tebal, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397). Kapal Jong juga memiliki dua dayung kemudi besar di kedua buritan kapal. Kedua dayung kemudi itu hanya bisa dihancurkan dengan meriam. Dinding Jong mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis yang mengepungnya dalam jarak yang sangat dekat, (Robert Dick-Reid, 2008: 69).

Dimensi Jong Jawa
Ukuran Jong menurut catatan Tome Pires dan Gaspar Correia sangat besar. Menurut Tome Pires, kapal Jong tidak dapat merapat ke dermaga karena besarnya. Perlu ada kapal kecil yang diperlukan untuk memuat atau membongkar muatannya. Menurut Gaspar Correia, Jong memiliki ukuran melebihi kapal Flor de La Mar, kapal Portugis yang tertinggi dan terbesar tahun 1511-1512. Menurut Gaspar Correia pula, bagian belakang kapal Flor de La Mar yang sangat tinggi, tidak dapat mencapai jembatan kapal yang berada dibawah geladak kapal Junco.

Saat menyerang Malaka, Portugis dicatat menggunakan 40 buah kapal menurut Hikayat Hang Tuah, atau 43 buah kapal menurut Sejarah Melayu. Setiap kapal mampu mengangkut 500 pasukan dan 50 buah meriam. Dengan demikian saat menyerang Malaka Portugis mengerahkan pasukan sebanyak 20.000 – 21.500 pasukan. Kapal Flor de La Mar dicatat memiliki ukuran di atas kapal-kapal itu.

Menurut Irawan Djoko Nugroho, kapal Junco memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi 4-5 kali kapal Flor de la Mar. Dengan kata lain panjang Junco Jawa adalah 313,2 m – 391,5 m. Hal ini karena kapal Flor de La Mar diperkirakan memiliki panjang 78,30 m dan kapal-kapal yang menyerang Malaka menurut Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu memiliki ukuran panjang 69 meter, (Irawan Djoko Nugroho, 2011: 304-307).

Kapal Jong atau Jung atau Junco merupakan kapal kayu operasional terbesar dunia hingga abad ke 20 awal, bahkan hingga saat ini. Kapal terbesar Amerika Serikat pada abad ke-19 bernama Great Republik pun hanya mampu dibuat sepanjang 100,5 m (John R. Hale, 1984: 86). Tehnologi kapal ini hingga kini menjadi misteri. Seperti misalnya: tehnik sambung seperti apa yang digunakan sehingga kapal Jong tahan akan tembakan meriam. Selain itu, bahan apa yang digunakan untuk merapatkan kayu sehingga kapal Jong aman dari merembesnya air. Juga seperti apa operational maintenance kapal Jong itu karena sifat kapal yang dapat di knock down.

Fungsi Jong Jawa
Kapal Jong Jawa adalah kapal dagang dan dapat digunakan sebagai kapal angkut militer. Kapal ini merupakan kapal utama pengangkut perdagangan hingga abad ke-16. Menurut catatan Duarte Barosa, kapal Jong Jawa ini membawa barang perdagangan seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur untuk diperdagangkan hingga ke Asia Barat (Arab). Dari Arab, barang dagangan tersebut disebarkan ke Eropa, ((Paul Michel Munoz, 2009: 396-397).

Rute perdagangan ke Asia Barat yang dilalui Jong Jawa menurut Duarte Barosa adalah Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397). Barang dagangan yang dibawa Jong Jawa menurut Duarte Barosa pula, diantaranya adalah: beras, daging sapi, kambing, babi, dan menjangan yang dikeringkan dan diasinkan, ayam, bawang putih, dan bawang merah, senjata seperti tombak, belati, dan pedang-pedang yang dibuat dari campuran logam dan terbuat dari baja yang sangat bagus, pewarna kuning atau cazumba (Kasumba), emas, lada, sutra, kemenyan, kamper serta kayu gaharu.

Dalam Sejarah Dinasti Ming Kapal Pusaka, Kapal yang dinaiki Cheng Ho dicatat memiliki panjang 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter (http://muslimdaily.net/artikel/home/laks…lcNL-Jko). Jika dibandingkan dengan kapal Jong Jawa, kapal Pusaka Cheng Ho tidak ada apa-apanya. Kapal Jong Jawa 2,2-2,8 kali lebih besar dari Kapal Pusaka Cheng Ho. Kapal Pusaka Cheng Ho pun hanya 1 buah. Sedangkan Kapal Jong Jawa yang dimiliki Majapahit sebanyak 400 buah.

Berbeda dengan Kapal Pusaka Cheng Ho yang hilang sebelum kedatangan Portugis, Kapal Jong Jawa tetap berlayar hingga Jaman Portugis. Hilangnya Kapal Jong Jawa karena politik Isolasi Diri masa Mataram.

Meluruskan Catatan Diego de Couto
Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645 mengatakan sebagai berikut.
“Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung).

Pernyataan Diego de Couto itu menarik. Namun demikian pernyataan “walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa”, sangat menyesatkan.

Hal ini karena tehnologi kapal Cina demikian terbelakang. Ketika menyerang Jawa pada akhir abad ke 13, Kubhilai Khan yang mengerahkan pelaut-pelaut Cina hanya memiliki kapal kapasitas 30 penumpang. Kapal ini sangat kecil dibanding dengan kapal yang dimiliki Jawa abad ke-3. Pada abad ke-3, kapal Jawa telah memiliki kapal dengan kapasitas 500 orang dengan ukuran kapal 61 m.

Ketika Cheng Ho di abad ke-15 melaut dengan kapal sepanjang 136 m, Kapal Jong Jawa milik Majapahit telah jauh lebih besar dan lebih banyak. Kurang lebih 2,2-2,8 kali lipat lebih besar dan 400 buah lebih banyak dari Kapal Pusaka Cheng Ho.*


Jumat, 18 Mei 2018

Wali Songo


Keberhasilan penyebaran agama Islam di nusantara tidak lepas dari peran penting sebuah dewan yang disebut ‘wali songo”. Mereka membuat pondasi pakem metode penyebaran agama Islam. Tidak hanya itu, unsur-unsur kebudayaan masyarakat saat ini adalah warisan mereka khususnya di pulau Jawa.

Jaman Wali Songo menandakan akhir dari dominasi agama Hindu dan Budha di dalam kebudayaan Nusantara digantikan oleh kebudayaan Islam. Meski banyak tokoh lainnya yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya pulau Jawa, Wali Songo adalah simbolnya. Mereka juga memiliki andil yang cukup besar untuk mendirikan sejumlah kerajaan Islam di Jawa.
Arti Wali Songo
Dalam bahasa Jawa, Wali Songo berarti wali yang sembilan, menandakan jumlah para wali yang ada sembilan. Namun ada pendapat lainnya yang mengatakan bahwa songo/sanga adalah turunan dari bahasa Arab tsana yang berarti mulia.
Ada juga yang menyebutkan bahwa Wali Songo adalah sebuah majelis dakwah kreasi dari Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim di tahun 1404. Tak cuma berdakwah, ajaran Wali Songo memberikan dampak untuk sejumlah budaya baru di masyarakat Jawa, seperti kesehatan, bercocok tanam, perdagangan, kebudayaan, seni, kemasyarakatan sampai ke pemerintahan.

Nama-nama dan Riwayat Para Wali Songo

1.    
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Sunan Thandes adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah keturunan ke-22 dari Rasulullah SAW. Nasab Maulana Malik Ibrahim tercatat dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang merupakan kumpulan catatan dari As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini.
Lahir di Samarkand, Asia Tengah, Sunan Gresik mempunyai tiga orang isteri. Sunan Gresik banyak dianggap sebagai wali yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Selain dakwah, beliau mengajarkan cara baru bercocok tanam untuk mengambil hati masyarakat kebanyakan, yakni mereka yang tersisihkan pada akhir kekuasaan Majapahit.
Krisis ekonomi dan perang saudara saat itu banyak membuat masyarakat Jawa menderita. Sunan Gresik membangun pondokan sebagai tempat menimba ilmu agama di Leran, Gresik untuk memenangkan hati masyarakat. Sebagai pelengkap, ia membangun masjid untuk tempat beribadah. Masjid ini adalah masjid pertama di Pulau Jawa dan masih berdiri hingga sekarang. Nama masjid tersebut adalah Masjid Jami’ Gresik. Sunan Gresik wafat di tahun 1419 dan dimakamkan di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2.  Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Riwayat mengatakan bahwa Sunan Ampel adalah anak dari Ibrahim Zainuddin Al-Akbar. Ibunya adalah seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir dari Dinasti Ming.
Meski bukan yang pertama menyebarkan Islam di Tanah Air, Sunan Ampel dianggap sesepuh oleh para wali lainnya. Ia memiliki pesantren di Ampel Denta, Surabaya yang menjadi pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Setelah wafat, Sunan Ampel dimakamkan di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
3.     
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim
Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel. Semasa hidupnya, Sunan Bonang kerap berdakwah melalui kesenian agar bisa menarik masyarakat Jawa untuk memeluk agama Islam. Pernah mendengar lagu Wijil atau Tombo Ati yang dipopulerkan oleh Opick? Kedua lagu tersebut adalah hasil karya Sunan Bonang.
Untuk menambah unsur Islami dalam lagu-lagu yang digubahnya, Sunan Bonang memasukkan rebab dan bonang sebagai pelengkap dari gemelan Jawa. Oleh sebab itulah ia mendapatkan julukan Sunan Bonang. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525 dan dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
4.  sunan Drajat atau Radem Qasim
Selain Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim yang juga putra dari Sunan Ampel dikenang oleh masyarakat di seluruh Tanah Air sebagai Sunan Drajat. Dalam misinya untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia, ia menggunakan kegiatan sosial sebagai ujung tombaknya.
Ia mempelopori penyantunan anak-anak yatim dan orang-orang sakit. Selain itu Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat umum. Ia sangat mengedepankan sikap dermawan, kerja keras dan meningkatkan kemakmuran rakyat sebagai pengamalan agama Islam.
Wafat di tahun 1522, Sunan Drajat memiliki banyak peninggalan berarti. Di antaranya adalah Pesantren Sunan Drajat di Desa Drajat, Paciran, Lamongan. Ia juga meninggalkan Gamelan Singomengkok, alat musik yang sering ia mainkan. Kini gamelan tersebut disimpan di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5.   
     Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
Berbeda dibandingkan dengan Wali Songo sebelumnya yang pada umumnya langsung menyentuh masyarakat umum untuk menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus memiliki andil yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak. Perannya adalah sebagai panglima perang, penasihat untuk Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim.
Target dakwah Sunan Kudus kebanyakan berada di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Peninggalan Sunan Kudus yang terkenal hingga saat ini adalah Masjid Menara Kudus. Masjid ini memiliki keunikan karena arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus banyak dipercaya oleh masyarakat wafat pada tahun 1550.
6.     

     Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Sunan Giri adalah keturunan langsung dari Maulana Ishaq. Selama hidupnya, ia menimba ilmu Islam dari Sunan Ampel dan bersahabat dengan Sunan Bonang. Peran besarnya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa adalah mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik.
Pemerintahan inilah yang selanjutnya memiliki peran sebagai pusat dakwah Islam untuk wilayah Jawa dan Indonesia Timur hingga ke Maluku. Anaknya, Sunan Giri Prapen berhasil menyebarkan Islam hingga ke Lombok dan Bima.
7.  Sunan Kalijaga atau Raden Said
Raden Said atau Sunan Kalijaga adalah anak dari adipati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Agama Islam ia pelajari dari Sunan Bonang. Dari Sunan Bonanglah ia belajar menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam.
Kesenian yang kerap ia gunakan untuk berdakwah adalah wayang kulit dan tembang suluk. Banyak masyarakat yang memercayai bahwa tembak suluk Lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul adalah hasil karya Sunan Kalijaga.
8.    



     Sunan Muria atau Raden Umar Said
Raden Umar Said atau Sunan Muria adalah anak dari Sunan Kalijaga. Namanya, Muria, diperkirakan oleh masyarakat sekitar Kota Kudus berasal dari nama gunung, yakni Gunung Muria. Gunung Muria itulah tempat di mana kini Sunan Muria dimakamkan.
Gaya dakwah Sunan Muria pada umumnya mengambil metode yang digunakan ayahnya, Sunan Kalijaga, yakni menggunakan kesenian. Namun, Sunan Muria lebih senang tinggal jauh dari hiruk pikuk kota dan tinggal di daerah terpencil untuk menyebarkan agama. Ia juga turut mengajarkan cara bercocok tanam, jual beli dan melaut kepada rakyat jelata.
9.    

     Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah adalah anak dari Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Ayahnya lain lagi, nama ayah Sunan Gunung Jati adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, tokoh Mesir keturunan Bani Hasym dari Palestina. Sunan Gunung Jati belajar agama dari berbagai negara. Sejak usia 14 tahun, ia sudah belajar agama dari para ulama di Mesir.
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya seorang wali yang menjadi kepala pemerintahan. Ia mendirikan Kasultanan Cirebon atau dikenal dengan Kasultanan Pakungwati dengan restu dari para ulama lainnya untuk menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak. Ia memanfaatkan posisinya untuk menyebarkan agama Islam dari pesisir Cirebon hingga ke pedalaman Pasundan.
Di usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mengundurkan diri dari pemerintahan untuk fokus berdakwah. Tampuk kekuasaan diserahkan pada Pangeran Pasarean. Ia meninggal di tahun 1568 pada usia 120 tahun dan dimakamkan di Gunung Sembung, Gunung Jati.




Ambisi Gajah Mada Di Perang Bubat




Tanah lapang itu diperkirakan terletak di utara Kota Majapahit. Di sana raja Sunda, permaisuri, putri, para pengiring dan pengawalnya beristirahat seraya menunggu diterima Hayam Wuruk, raja Majapahit. Nahas, di tempat itu pula mereka menemui ajal.
Menurut arkeolog Agus Aris Mundandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik, Peristiwa Bubat bisa dianggap sebagai titik balik kesuksesan karier Mahapatih Gajah Mada. Ketika Sumpah Palapanya hampir sempurna dibuktikan, Gajah Mada justru menggagalkannya sendiri.
Kejadian ini berawal dari rencana pernikahan putri Sunda, Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Untuk maksud itu, sebagaimana dikisahkan Pararaton dan Kidung Sunda, Raja Sunda dan rombongannya mendatangi Majapahit.
Agus menyatakan hal itu dapat dianggap berbeda dalam perspektif politik Gajah Mada. Kedatangan rombongan Kerajaan Sunda bisa saja dinilai sebagai kelemahan pihak mereka, yaitu seorang penguasa Sunda bersedia datang menghampiri Kerajaan Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Apalagi, pada masa itu, Kerajaan Sunda menjadi wilayah yang tersisa setelah wilayah lain di Pulau Jawa berhasil dikuasai Majapahit.
Namun, pernikahan itu gagal. Dua naskah kuno itu menyebut kegagalan pernikahan itu akibat ambisi Gajah Mada yang bernafsu menaklukkan Kerajaan Sunda di bawah panji-panji Majapahit.
“Kebetulan orang nomor satu dari Kerajaan Sunda hadir di wilayah Majapahit, lalu tinggal ditekan saja agar mau menuruti keinginan sang patih,” ujar Agus.
Rencana Gajah Mada itu tak berjalan mulus. Orang Sunda menolak perintahnya. Mereka tak ingin sang putri dibawa sendiri ke istana Majapahit untuk diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai wujud takluk. Sedari awal, kedatangan mereka mengantar sang putri semata-mata untuk menikahkannya dengan raja Majapahit.
Puncaknya, ketegangan berkembang menjadi pertempuran. Perang berdarah tak terhindarkan di lapangan Bubat. Hampir semua orang Sunda yang ikut rombongan tewas, tak terkecuali raja, patih, para menteri dan bangsawan. Sementara, permaisuri, istri-istri pejabat, dan sang putri bunuh diri.
Agus menilai, Peristiwa Bubat memperlihatkan bahwa untuk mencapai ambisinya, Gajah Mada tak ragu memanfaatkan perasaan Hayam Wuruk. Dia memancing raja Sunda untuk datang ke Majapahit karena merasa tak mampu jika harus mengalahkannya langsung di wilayah asalnya. Kerajaan Sunda yang lahir dari peradaban lebih kuno membuatnya segan.
Di sisi lain, Gajah Mada juga memanfaatkan emosi raja Sunda. Sang raja tak punya pilihan selain mengantarkan putrinya sebagai tanda tunduk atau berperang sampai mati membela kehormatannya. Raja Sunda itu merasa jika dia pulang tanpa melawan, akan menjadi aib sepanjang hidup di hadapan rakyatnya. Dia akan dicap sebagai raja yang gagal melangsungkan perkawinan putrinya.
“Sunda pasti mudah dikalahkan karena berada jauh dari daerahnya dengan tentara yang terbatas pula,” ujar Agus.
Pada akhirnya, hubungan dengan Sunda yang awalnya akan diperteguh melalui ikatan perkawinan menjadi sirna. Padahal, jika berhasil, Kerajaan Sunda bisa dirangkul sebagai negara mitra stata Kerajaan Majapahit. Itu sebagaimana yang disebutkan oleh Nagarakrtagama terhadap sejumlah negara lain yang menjalin hubungan persahabatan dengan Majapahit.
Perang Bubat mungkin membuat Gajah Mada tak dipercaya lagi oleh keluarga kerajaan. Dia membuat Hayam Wuruk kehilangan cintanya. Hubungan Majapahit dengan Kerajaan Sunda pun memburuk.
Maka, kata Agus, demi membersihkan namanya Sang Patih kemudian merancang serangan ke Dompo. Dia sendiri yang memimpin ekspedisi itu.
“Pertama, untuk menghindari cercaan terhadap dirinya. Kedua, ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga kerajaan terhadap dirinya. Ketiga, sebagai bentuk hukuman kepada dirinya sendiri,” jelas Agus.
Adapun bagi Kerajaan Sunda, peristiwa Bubat nampaknya tak cukup besar hingga bisa meruntuhkannya. Kerajaan Sunda baru runtuh akibat serangan tentara Banten pada 1579. Ini 60 tahun lebih lama dari tahun keruntuhan Majapahit, sebagaimana yang diperkirakan arkeolog Hasan Djafar, yaitu tahun 1519.  
Terlepas dari itu, kata Agus, kendati dipaparkan gamblang dalam Pararaton, banyak ahli sejarah kuno yang tak percaya Perang Bubat pernah ada. Mereka menilai Perang Bubat tak lebih dari tuturan yang disisipkan oleh penyalin Pararaton.
“Atau malah tambahan orang Belanda pertama yang meneliti Pararaton serta berbagai alasan lainnya,” ujar Agus.
Sebaliknya, ada pula yang menganggap mengingkari kisah Perang Bubat adalah hal yang aneh. Jika kisah Ken Angrok dalam Pararaton yang mistis saja bisa dipercaya, seharusnya kisah Perang Bubat pun sepatutnya diyakini.




Tak Sempat Tua




Sebuah kado ulang tahun Partai Komunis Indonesia (PKI) ke-45 dipersiapkan Lembaga Sejarah PKI. Bentuknya berupa sebuah buku yang merangkum perjalanan partai tersebut. Konsep penulisannya sudah selesai. Judulnya Sejarah 45 Tahun PKI.
Pada 4 Mei 1965, Busjarie Latif, sekretaris Lembaga Sejarah PKI, berkirim surat kepada “kawan-kawan”-nya menyampaikan manuskrip tersebut. Isinya bersumber dari dokumen-dokumen partai, hasil riset kepustakaan, dan bahan-bahan kuliah Akademi Politik Aliarcham. Kepada “kawan-kawan” itu, yang konon berjumlah 35 orang, dia menyampaikan “penentuan diskusi selanjutnya akan kami beritakan lebih lanjut.”
Namun diskusi tersebut tak pernah terjadi. Sialnya lagi, lima bulan kemudian pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang disusul pembantaian massal orang komunis, termasuk Busjarie Latif. Sejak itu, segala hal yang berbau komunis dirampas dan dihancurkan, tak terkecuali manuskrip ini.
Semaun Utomo, 91 tahun, satu-satunya anggota Lembaga Sejarah PKI yang masih hidup, menerima naskah ini dari China tahun 2013. Ultimus, penerbit buku-buku kiri di Bandung, kemudian menerbitkannya menjadi buku.
Selain memuat kiprah PKI, buku ini menjadi semacam otokritik yang mengevaluasi kesalahan-kesalahan partai. Ini bukan naskah pertama yang dihasilkan Lembaga Sejarah PKI. Sebelumnya mereka menyusun dan menerbitkan 40 Tahun PKI (1960) dan Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang diterbitkan tahun 1961. Namun buku ini menjadi penting justru karena ia merangkum perjalanan partai hingga sebelum kejatuhannya.
Anak Zaman
Ketika memperingati harijadi PKI ke-35, DN Aidit, pemimpin PKI pada 1951, melukiskan kelahiran PKI dalam sajak “Kini Ia Sudah Dewasa”: Ia lahir, dengan kesakitan, kelas termaju, sebagai anak zaman, yang akan melahirkan zaman.
“Suatu kelahiran dengan kesakitan, berarti bahwa ia didahului dengan perjuangan ideologi melawan ideologi non-Marxis-Leninis dan anti-Internasionale III,” tulis buku ini.
Kelahiran PKI tak bisa dilepaskan dari Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (ISDV), organisasi Marxis pertama di Indonesia yang didirikan Henk Sneevliet pada 1913. ISDV kemudian mengalami gejolak dengan keluarnya sosial-reformis JE Stokvis yang mendirikan Partai Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDP) dan penolakan pada 1917 dan penolakan Hertogh terhadap perubahan ISDV menjadi partai komunis sesuai keputusan Internasionale III tahun 1919.
“Kemenangan atas dua macam musuh idelogi proletariat inilah, yang membuka jalan dan memungkinkan ISDV menjadi PKI. Dan ini yang membikin dia besar dengan didahului pembersihan ideologi ke dalam.”
PKI didirikan pada 23 Mei 1920 dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Ia partai komunis pertama di Asia. Kongres II Juni 1924 memutuskan mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia, sehingga menjadi partai pertama yang menggunakan nama “Indonesia”.
Ketika PKI lahir, dunia tengah diselimuti imperialisme. Namun sudah ada pula kelas buruh dan terbentuk serikat-serikat buruh. Begitu pula sudah terjadi Revolusi Sosialis di Rusia pada Oktober 1971. “PKI adalah anak zaman yang lahir pada waktunya.”
Kanak-kanak sampai Dewasa
Buku ini menyebut kehidupan PKI dari pembentukannya; pemberontakan PKI 1926-1927, serta Revolusi Agustus 1945 sebagai masa kanak-kanak karena partai belum menguasai teori Marxisme-Leninisme. Dan karena itulah revolusi menemui kegagalan.
Sebagai dampak kegagalan Pemberontakan PKI 1926-1927, pemerintah kolonial melakukan “teror putih” terhadap orang-orang komunis melalui penindasan, penangkapan, penggantungan, dan pembuangan. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Musso, melalui kadernya, Pamudji, menghidupkan kembali PKI pada pertengahan 1938, kendati harus bergerak di bawah tanah sehingga disebut PKI-ilegal. Program-programnya disalurkan melalui partai kiri legal, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Perlawanan terhadap bahaya fasis Jepang dilakukan dengan mendorong Gerindo dan partai politik lainnya membentuk Gabungan Politik Indonesia. Kader-kader PKI sendiri membentuk Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf). Akibat gerakan ini, tidak kurang dari 300 orang komunis ditangkap tentara Jepang.
Salah satu kegiatan bawah tanah adalah mendengarkan radio, sehingga Aidit mengklaim lebih dulu mendengar kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. Dia segera mencari Wikana dan mengumpulkan para pemuda untuk menentukan langkah-langkah memproklamasikan kemerdekaan. Dalam rapat 15 Agustus 1945 malam, Aidit mengusulkan agar Sukarno ditetapkan sebagai presiden Indonesia pertama.
Pada masa revolusi, kaum komunis terpecah: PKI-ilegal, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI Mohammad Joesoeph (kemudian dilikuidasi), dan Pesindo. Setelah Musso tiba pada 1948 dengan gagasan “jalan baru”, dilakukanlah fusi tiga partai bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI-ilegal, PBI, dan Partai Sosialis. “Dari sini PKI mulai dewasa.” Hal ini karena partai mulai memadukan teori Marxisme-Leninisme dengan praktik kongkret revolusi Indonesia.
Namun kembali mereka harus menghadapi “teror putih”. Kali ini dilancarkan pemerintahan Muhammad Hatta, yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. PKI tiarap dan baru muncul lagi awal 1951 di tangan anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman.
“Dalam tahun 1951, tahun kelahiran kembali PKI, PKI menjadi dewasa dan dalam Kongres Nasional V 1954 menjadi dewasa sepenuhnya.”
Mati Sebelum Tua
Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan, PKI mengambil strategi “front persatuan nasional”. Dalam rumusan Kongres V pada 1954, partai berniat membangun persekutuan antara “kelas buruh, tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional” melawan borjuasi yang bekerjasama dengan kaum imperialis dan tuan tanah feodal. Tujuan akhirnya ialah apa yang disebut “demokrasi rakyat” di mana di dalamnya tersedia cukup ruang untuk “kapitalisme nasional”.
Namun jalan sejarah berkata lain. PKI tidak sempat mewujudkan “demokrasi rakyat” atau melahirkan zaman baru yang dicita-citakannya. Setelah dewasa, PKI tak sempat menjadi tua; ia lebih dulu mati. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diikuti “teror putih” penguasa mengakhir hidup PKI, mungkin, untuk selamanya.
PKI hanya sempat merayakan ulangtahun ke-45, meski tanpa kado yang dipersiapkan Busjarie Latif dkk. Toh PKI menerima kado lain yang sama bobotnya, yakni Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920-23 Mei 1965 yang dikeluarkan Politbiro CC PKI.

*disadur dari beberapa sumber

3 Serangkai Pelahap Buku - Memperingati Hari Buku Nasioanal



Tidak banyak yang tahu bahwa setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Momen bersejarah itu bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Namun, menilik minat baca masyarakat Indonesia hari ini, terbayang kenyataan memprihatinkan. Menurut data Most Littered Nation In the World yang dikeluarkan UNESCO tahun 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Ironisnya, Indonesia hari ini memiliki Perpustakaan Nasional Indonesia yang disebut-sebut sebagai gedung perpustakaan tertinggi di dunia.
Membaca buku bukan lagi kegiatan pilihan seiring majunya teknologi informasi. Berbanding terbalik dengan generasi zaman pergerakan tempo dulu. Ibarat makanan, buku adalah kebutuhan. Lewat asupan literatur, pemikiran mereka menghasilkan ide untuk berjuang dan merdeka. Beberapa tokoh bahkan dikenal sebagai bibliofil alias pecinta buku.
Sukarno, presiden pertama Indonesia, misalnya. Dalam otobiografinya, Sukarno mengatakan seluruh waktunya dipergunakan untuk membaca.  “Dan disana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah dasar pendirianku," kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kegemaran Bung Karno terhadap buku diakui salah seorang putrinya, Rachmawati. Dalam pandangan Rachma, jika tak ada tamu di Istana maka yang dilakukan Sukarno hanyalah membaca dan membaca. Kamar tidur penuh dengan buku. Tempat tidur, kursi, dan kamar mandi berubah fungsi menjadi perpustakaan.
“Bapakku sudah seperti ensiklopedi berjalan saja. Bapak hafal akan isi buku-buku yang dibacanya, juga detail dan kalimat-kalimatnya. Bapak sangat kaya pengetahuan karena membaca,” kenang Rachmawati dalam memoar Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi.
Selain Sukarno, wakilnya Mohammad Hatta juga bibliofil. Soal buku, Bung Hatta bahkan lebih maniak. Menurut kakaknya, Ny. R. Lembaq Tuah, di sekitar Hatta selalu ada buku. Setiap lembar kertas dari bukunya, dibuka secara hati-hati dan dibaca secara cermat. Sewaktu pemerintah kolonial memenjarakannya dalam pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira, Hatta hanya meminta agar dikirimkan buku. Karena baginya, dengan buku dia merasa bebas.
“Setiap orang yang meminjam bukunya, selalu dicatat dalam buku: nama, tanggal meminjam, tanggal mengembalikan serta orang tersebut selalu diingatkannya agar menjaga buku yang dipinjam sebaik-baiknya,” ujar Ny. Lembaq dalam “Hatta: Adik dan Kenangan” termuat di kumpulan tulisan Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan suntingan Meutia Farida Swasono.
Sepanjang hayatnya, Hatta mengoleksi sekira sepuluh ribu judul buku. Ekonomi menjadi genre buku yang paling digemari Hatta, selain koperasi, agama, hukum, dan sejarah. Jumlah koleksi bukunya menyebabkan Hatta tergolong dalam kelompok “orang langka Indonesia”. Buku-buku koleksi pribadi Hatta masih tersimpan di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatra Barat.  
Tak Dikembalikan   
Seperti dua kompatriotnya, Sutan Sjahrir –perdana menteri pertama Indonesia– pun pelahap buku. Kegemaran Si Bung Kecil terhadap buku diungkap sejarawan Rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Ketika tumbuh remaja di kota Medan, Sjahrir mengaku telah membaca ratusan buku dan novel kanak-kanak Belanda. Tak heran di tengah keluarganya, Sjahrir disebut anak paling pandai.  
Pada 1930, Sjahrir menempuh pendidikan tinggi di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengambil jurusan hukum adat Hindia. Di Leiden, Sjahrir kerap meminjam buku tentang kajian negeri Hindia (indologi) kepada seniornya Joss Riekerk. Joss yang mengambil jurusan indologi merupakan rekan Sjahrir di perkumpulan mahasiswa sosialis.
Bertahun berselang. Sjahrir pulang ke Indonesia dan menjadi aktivis pergerakan bersama Hatta. Ketika Sjahrir berada dalam pengasingan di Banda Neira, Joss sudah bertugas di Pulau Sumba sebagai pegawai kolonial. Saat itulah Joss dibikin repot oleh ulah Sjahrir.
“Saya masih terus disibukkan dengan nota-nota, surat-surat dari Perpustakaan Leiden yang meminta agar saya mengembalikan buku-buku itu, atau membayar dendanya,” ujar Joss Riekerk kepada Mrazek dalam wawancara pada 15 Oktober 1983.
*disadur dari beberapa sumber