Powered By Blogger

Selasa, 27 Desember 2016

SEDULUR

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)

Apa yang anda pikirikan jika membaca Surah Al Kafirun ? Orang - orang kafirkah ? atau Tuhan yang mana yang akan kita sembah ?. 

Bagi saya surah Al Kafirun adalah dasar pemikiran tentang bagaimana toleransi diterapkan. Manusia sejatinya memang diciptakan berbeda - beda. Memiliki kebudayaan yang berbeda adalah hakikat hidup manusia, tidak bisa kita ingkari, namun perbedaan itulah yang melahirkan rahmatan lil alamin.

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan "sekitar"nya sebagai teman hidupnya. Jika kita berdasar pada hakikat penciptaan manusia pertama, Adam tidak bisa hidup tanpa Hawa dan juga membutuhkan alamnya sebagai tempat sosialisasi dirinya terhadap kehidupan. Adam diciptakan berbeda daripada Hawa, walaupun memilki konsepsi yang sama. TUHAN menciptakan perbedaan diantara manusia untuk melengkapi kekurangan diantaranya. Manusia memang memilki kesempurnaan dibandingkan makhluk lainnya, namun manusia juga memilki kekurangan sebagai individu. Kekurangan itulah yang akan melengkapi kesempurnaan. Bayangkan jika semua manusia diciptakan sama persis maka kita tak akan lagi bisa membedakan Adam atau Hawa.

Dengan perbedaan yang dimiliki manusia, kebudayaan lahir sebagai sebuah konsekuensi logisnya. Bahkan dari sebuah komunitas manusia yang sama, lahir kebudayaan yang berbeda. Lantas apakah kita akan menafikan perbedaan kebudayaan tersebut sebagai sebuah sesuatu yang patut kita segmentasikan kedalam benar atau salah ?, kecuali keyakinan terhadap TUHAN dan RASULNYA, yang lainnya tidaklah patut kita sebagai manusia menilai kebenarannya.

Sejarah membuktikan bagaimana perbedaan menjadi dasar manusia berkehendak menjadi TUHAN bagi manusia lainnya. Fir'aun Ramses II yang dipercaya sebagai tirani pada jamannya adalah contoh bagaimana intoleransi dijalankan dengansangat baik diperankan oleh kekuatan seorang raja atau kita juga bisa membahas bagaimana seorang Hitller yang tidak menyukai bangsa Israel dan dengan propagandanya, dia memicu perang dunia pertama. Atau kita juga bisa membahas bagaimana sebuah suku dibantai pada peristiwa genosida Rwanda pada tahun 1994, atau bagaimana kita memaknai peristiwa pertikaan suku Dayak dan suku Madura yang terjadi di negeri kita pada tahun 2001 ?, mengerikan bukan ? saya tidak berani membayangkan intoleransi ini terus berkembang dan membesar menjadi virus dunia ketika anak - anak kita tumbuh menyaksikannya.


 Hasil gambar untuk garuda lambang negara


Namun bertolak belakang dari kisah diatas, kita dapat melihat bagaimana piagam Madinah dibuat dan dijalankan. Pada tahun 622 ketika rasulullah hijrah ke kota Madinah, rasulullah dihadapkan pada pertentangan karena perbedaan suku, ras dan agama. Maka dengan kesepakatan bersama, dibuatlah sebuah aturan - aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban setiap warga Madinah saat itu. Semua orang dilibatkan dalam penyusunan setiap pasalnya, semua orang dilibatkan sebagai bagian dari kesatuan ummat kala itu dan semua orang mengambil perannya masing - masing. Yang terjadi saat itu sungguh diluar dugaan, semua warga kota Madinah yang berbeda suku, ras dan agama bersatu dan bernaung dalam sebuah aturan yang dicetuskan oleh nabi Muhammad tanpa adanya perlakuan diskriminasi kaum mayoritas terhadap kaum minoritas seperti yang terjadi di kota Mekkah. Nabi Muhammad datang ke Madinah bukan hanya sebagai simbol dari sebuah toleransi manusia, namun nabi Muhammad juga datang sebagai eksekutor ajaran - ajaran TUHAN.

Piagam Madinah mengajarkan kita bagaimana menghargai perbedaan. Perilaku Rasulullah yang mulia memberikan contoh yang nyata bagaimana bersikap dengan penuh kedewasaan berpikir menghadapi setiap perbedaan yang ada dan hal ini terbukti ketika penduduk Madinah dari kaum Yahudi setuju untuk berada satu atap hukum dengan saudara - saudara mereka yang beragama Islam dan kaum lainnya yang masih menganut kepercayaan pagan. Rasul juga menegaskan bahwa kesatuan merupakan hasil sebuah akulturasi kebudayaan yang berbeda - beda, dengan kata lain, kesatuan dibentuk dengan adanya kepentingan dan tujuan bersama dari manusia yang memilki perbedaan diantaranya.

Ketika negeri ini akan dibentuk, para founding father kita pun sadar akan keragaman bangsa ini. Perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya dan agama menjadikan bangsa ini memiliki potensi perpecahan. Hanya karena kepentingan dan tujuan yang sama, lahirlah semangat persatuan yang dibungkus dengan toleransi. Maka dari itu dicetuskanlah ide konsep Pancasila yang menjadi dasar pemersatu bangsa ini, Jika kita membandingkan antara piagam Madinah dan Pancasila memang tidak sepadan, namun sebagai ide dan konsep keduanya memilki persamaan, yaitu mempersatukan perbedaan demi kepentigan bersama. 

Sebagai manusia dengan kebudayaan Timur tentunya memiliki konsep toleransi yang lebih membumi dibandingkan konsep toleransi ala kebudayaan Barat. Setiap suku bangsa di nusantara memilki bahasa yang selaras dengan perilakunya. Menghargai perbedaan adalah bukan hal baru bagi kita. Nenek moyang kita berabad - abad lalu atau bahkan trilyunan tahun lalu sudah menerapkannya dengan baik. Menundukkan kepala atau bahkan membungkukkan badan ketika bertemu dengan orang lain adalah contoh bagaimana kita menghargai keberadaan orang lain. Mengucapkan salam - apapun bahasanya - adalah sebuah hasil pemikirian teologis bagaimana manusia menjalankan perintah Tuhannya dan tersenyum kepada orang lain adalah keindahan tersendiri dari sebuah ungkapan kasih sayang manusia terhadap manusia lainnya. Inilah keindahan toleransi yang masih saja utopis di negeri ini.

Lalu mengapa saat ini kita terjebak pada toleransi yang bermuatan kepentingan ? apakah kita sudah kehilangan kemampuan merasakan hati ketika akal pikiran sudah tak mampu lagi menentukan warna putih dan hitam ?, apakah kita sebagai manusia sudah tak lagi menjadi manusia ? Apakah kita sudah kehilangan kesadaran kita ? 

Toleransi dapat kita mulai pada lingkungan kecil keluarga kita. Selalu bersikap adil dengan perbedaan yang ada merupakan langkah awalnya. Menjadi sadar sebagai manusia merupakan kemenangan individu yang dapat kita tularkan kepada individu sekitar kita. Perbedaan bukanlah sebuah hal yang perlu diperdebatkan, namun perlu dicermati kebenarannya. Jika apa yang kita yakini benar menjadi berbeda dengan keyakinan manusia lainnya, wajib kita sampaikan, namun jika tidak diterima sebagai sebuah kebenaran, ya sudah, mengapa harus dipaksakan ?. Prinsip kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan, ketika hal itu menjadi taruhannya dan menimbulkan sikap intoleransi, ini yang harus kita pertahankan sebagai sebuah keyakinan, dan bukannya menyerah pada kenyataan.

Kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, keberagaman bangsa ini sudah menjadi darah dagin kita, lalu mengapa kita menjadi lupa siapa diri kita ini ?




Selasa, 06 Desember 2016

Salam

Assalamualaikum

Greetings the Rastaman I sing
Salam salam salam
Greetings to each and everyone
Salam salam salam
Anytime you meet or greet anyone
Whether it Namaste, Assalamualaikum
Know that Salam means peace unto you
Salam salam salam

Diatas adalah sedikit penggalan lirik lagu SALAM milik RAS MUHAMAD. Dinyanyikan dengan kekhasan suara Muhamad Egar dan dilagukan dengan genre reggae, lagu ini memilki kekuatan tersendiri dan tentunya asik untuk didengarkan.

Salam menjadi tema dari lagu ini, salam yang bagi saya adalah sebuah penghormatan kepada orang lain adalah hasil dari representasi kebudayaan manusia terhadap eksistensinya. Saling mendoakan, saling memberikan penghormatan dan saling memberikan "senyuman" adalah bentuk kedamaian yang selalu menjadi utopia manusia. Bayangkan jika setiap manusia mengucapkan dan memberikan salam kepada manusia lainnya, niscaya tidak ada kejahatan di bumi ini dan kedamaian akan merasuk kesetiap kehidupan manusia.

Salam dalam agama kami dinyatakan sebagai doa kepada saudaranya agar selalu dalam perlindungan sang pencipta. Dialektika manusia dimulai ketika saling bertemu menjalin silaturrahim antar sesamanya dan mendoakannya adalah sebuah etika saling menyayangi yang agung. Memahami manusia lainnya sebagai saudara adalah etika beribadah kita kepada ALLAH.  

"Assalamualaikum" (Assalamualaikum (السلام عليكم as-salāmu 'alaykum) merupakan salam dalam Bahasa Arab, dan digunakan oleh kultur Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang dapat merekatkan Ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Untuk yang mengucapkan salam, hukumnya adalah Sunnah.[1] Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya

Allah memberikan kita dialektika salam sebagai suatu wujud cinta kepada sesama. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna di alam semesta ini. Sebagai makhluk yang memilki dua bagian penting, yaitu akal dan hati. Akal akan membawa kita menelusuri kehebatan alam semesta ini, sedangkan hati sebagai penyeimbang bilamana akal sudah tak mampu menggapainya. Dengan kondisi manusia yang demikian, "salam" hadir sebagai sebuah budaya relegius yang secara psikologis akan mengingatkan manusia bahwa hakikat penciptaan manusia atas dasar cinta.

Semangat yang tersirat dari budaya salam ini sangat pas kiranya jika ditumbuhkan kembali ketika negara kita saat ini terancam keutuhannya. Kepentingan nafsu segelintir orang yang mengatasnamakan kepentingan rakyat namun dibiayai oleh pemegang modal memporak-porandakan kebhinekaan Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia yang majemuk selalu saja dicoba dihancurkan dengan isu SARA. Apalagi jika kita membicarakan agama, salah mengucapkannya dan berada di tempat yang salah, niscaya kita akan berhadapan dengan para pembela agama.

Indonesia yang dulunya adalah Nusantara tidak terlepas dari kebhinekaan, perbedaanlah yang membuat negeri ini terus bertahan. Manusia Indonesia sejak dulu sudah berbeda, ras, suku, bahasa, kesenian bahkan agamanya. Walaupun eksodus orang - orang Barat dan Timur berdatangan dan mengajarkan agama baru, manusia nusantara tak gentar dan tetap pada pendiriannya. Mengutip apa yang selalu didengungkan cak Nun, "jika ingin menjadi ayam, jadilah ayam yang sebenarnya. Jangan bermimpi menjadi burung yang bisa terbang". JIka ingin menjadi manusia nusantara yang hebat, jadilah manusia nusantara yang sesungguhnya, menjunjung tinggi hakikat kebudayaan nenek moyang walapun agama kita adalah Islam. 

Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk tidak menerima budaya nenek moyang kita. Jika Islam tidak memperbolehkannya, dapat dipertanyakan apakah Islam memang benar untuk manusia akhir jaman yang tentunya terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memilki karakteristik tersendiri.

Jika salam saat ini hanya sebagai formalitas kesopanan semata, saatnya kembali ke hakikat dari salam itu sendiri. Salam akan merekatkan ulama dan ummatnya, akan memberikan kedamaian dari penguasa ke rakyatnya dan akan memberikan keselamatan dunia akhirat bagi manusia dengan alam semesta.


Wassalam