Powered By Blogger

Senin, 29 Juni 2015

ISLAM NUSANTARA

Saat ini istilah Islam Nusantara telah menimbulkan polemik pro dan kontra. Bagi NU sebagai ormas Islam terbesar, Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahwa Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Dari pijakan sejarah itulah, NU akan bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka dan toleran. Presiden Jokowi juga telah menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara, yaitu Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama dan penuh toleransi.
Namun, banyak kalangan yang melontarkan kritik dan penolakan terhadap istilah Islam Nusantara karena terkesan memperhadapkan dengan Islam di Arab, bahkan dianggap rasial dan menimbulkan fanatisme primordial dan akan semakin mengkotak-kotakkan umat Islam, bahkan dituduh sebagai bagian strategi baru dari agenda islam liberal dan zionis. Karenanya, agar tidak terjadi tumpang tindih dan kesalahpahaman terkait Islam Nusantara, penting kiranya memaknai Islam Nusantara sebagai konsep dan bagaimana operasionalisasinya dalam konteks keberagamaan di Indonesia saat ini. Hal ini karena kita bertanggung jawab menyebarluaskan paham Islam Nusantara sebagai bentuk penegasan Islam yang memberi kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memaknai Islam Nusantara

Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Bisa jadi butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (seperti pesantren) serta sistem Kesultanan (KH. Said Aqil Siraj: 2015). Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara.
Pemahaman tentang formulasi Islam Nusantara menjadi penting untuk memetakan identitas Islam di negeri ini. Islam Nusantara dimaksudkan sebuah pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi (Abdul Mun’im DZ: 2010). Islam nusantara tidak hanya terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu, Islam Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia (Ahmad Baso: 2015). Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.
Menyimak wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan, karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah karena bersifat tawasut (moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik. Model Islam Nusantara itu bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah Nusantara yang disebutnya melalui proses vernakularisasi dan diikuti proses pribumisasi, sehingga Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia (Azyumardi Azra:2-15). Oleh karena itu, sudah selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri mana pun, namun tidak harus bernama dan berbentuk seperti Islam Nusantara karena dalam Islam Nusantara tidak mengenal menusantarakan Islam atau nusantarasasi budaya lain.
Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. Dengan demikian, corak Islam Nusantara tidaklah homogen karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki cirikhasnya masing-masing tetapi memiliki nafas yang sama. Kesamaan nafas merupakan saripati dan hikmah dari perjalanan panjang Islam berabad-abad di Nusantara yang telah menghasilkan suatu karakteristik Islam Nusantara yang lebih mengedepankan aspek esotoris hakikah ketimbang eksoteris syariat.
Salah satu dari masterpiece Islam Nusantara adalah tegaknya NKRI dan Pancasila (Zainul Milal Bizawie: 2014). Dalam pandangan Islam Nusantara, Indonesia adalah darussalam dan Pancasila merupakan intisari dari ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah. Karenanya, mempertahnakan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia utk menjalankan syariat Islam. Pancasila merupakan pengejawantahan dari Islam Nusantara, karena itu nilai-nilai Pancasila harus terus ditegakkan, apalagi saat ini tengah terjadi liberalisasi sistem politik dan ekonomi serta budaya, sehingga keberadaan Pancasila menjadi samar-samar.
Perlu ditegaskan disini bahwa Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam. Tentu saja, Islam Nusantara tidak seekstrim apa yang terjadi di Turki era Mustafa Kemal Attaturk yang pernah mengumandakan adzan dengan bahasa Turki. Ada pokok-pokok ajaran Islam yang tidak bisa dibudayakan ataupun dilokalkan. Dalam hal ini, penggunaan tulisan Arab Pegon oleh ulama-ulama terdahulu adalah salah satu strategi jitu bagaimana budaya lokal bedialektika dengan budaya Arab dan telah menyatu (manunggal). Pesan rahmatan lil alamin menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat bukan menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan.

Landasan dan operasionalisasinya

Dalam membangun karakteristik Islam Nusantara, peran penyebar masuknya Islam di Nusantara seperti Walisongo cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam Nusantara. Para Wali yang merupakan gabungan antara ahli syari’ah dan tasawuf ini telah mengembangkan Islam ramah yang bersifat kultural. Sifat kultural ini bisa terbentuk, karena penekanan para Wali atas substansi Islam yang akhirnya bisa membumi ke dalam bentuk budaya keagamaan lokal pra-Islam. Proses ini yang disebut KH. Abdurrahman Wahid (1980-an) sebagai pribumisasi Islam, di mana ajaran Islam disampaikan dengan meminjam “bentuk budaya” lokal. Pribumisasi Islam ala Walisongo mengajarkan toleransi, substansi dan kesadaran kebudayaan di dalam dakwah Islam. Pola pribumisasi Islam inilah yang akhirnya membentuk perwujudan kultural Islam. Sebuah perwujudan keislaman yang bersifat kultural yang merupakan pertemuan antara nilai-nilai normatif Islam dengan tradisi lokal.
Perwujudan kultural ala Walisongo ini kemudian mencapai titik paripurna di dalam pesantren. Hal ini tidak lepas dari jejaring ulama Nusantara pada abad-abad setelahnya yang menggambarkan proses kesinambungan yang terus berproses menyempurnakan. Proses tersebut mengalami persilangan lintas kultur, dengan transmisi keilmuan, jaringan ulama dan interaksi kebudayaan. Persilangan lintas kultural antara kawasan Nusantara dengan Arab, Yaman, Haramain, Ottoman dan kawasan Asia tengah menjadi titik penting untuk melihat bagaimana penyerbukan lintas budaya terjadi. Islam Nusantara lahir dari interaksi antar budaya yang menghasilkan harmoni dalam tradisi, ritual dan pemahaman konsep-konsepnya. Islam di Nusantara tidak berangkat dari kekerasan, namun dari cara-cara perdamaian untuk meresap di hati.
Bentuk operasionalisasi Islam Nusantara adalah proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui (bentuk) budaya lokal. Dalam tataran praksisnya, membangun Islam Nusantara adalah menyusupkan nilai Islami di dalam budaya lokal atau mengambil nilai Islami untuk memperkaya budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai nilai Islam. Proses tersebut dimungkinkan karena dalam Islam terdapat kaidah fikih al-‘adah al-muhakkamah (adat bisa menjadi hukum) maupun pengembangan dan pemahaman aplikasi nash (al Qur’an dan Hadits). Kaidah Fiqh dan pengembangan tersebut semata-mata ditujukan untuk tercapainya maqāṣīd al-syarīʻah (tujuan syariat), yaitu terwujudnya kemaslahatan (maṣlaḥah) manusia di dunia dan akhirat, suatu kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yaitu hifẓ ad-dīn, hifẓ al-ʻaql, hifẓ an-nafs, hifẓ al-māl, dan hifẓ al-ʻirḍ.
Oleh karenanya, sudah selayaknya kita terlepas dari pandangan orientalis, para peneliti barat atau cendekiawan pribumi yang berprespektif seperti mereka, bahwa Islam di Nusantara sebagai periferal, singkretis, pinggiran, dan Islam yang jauh dari bentuk asli yang terdapat dan berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Justru dalam perjalanan sejarah, Islam Nusantara teruji telah tahan banting dan sanggup mengemban Islam rahmatan lil alamin dan untuk kepentingan kemaslahatan ummat. Islam Nusantara sudah selayaknya dijadikan model dan suatu cara pandang membangun dan mengkaji berbagai persoalan di dunia.
Dalam konteks inilah, meneguhkan Islam Nusantara dimaksudkan untuk memperkokoh dan upaya terus menerus menemukan (Invention), meramifikasi, merekonsiliasi, mengkomunikasikan, menganyam dan menghasilkan konstuksi-konstruksi baru (inovation). Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaharuan secara total atau kembali ke tradisi masa lalu secara total, melainkan bisa saja hanya pembaharuan terbatas. Sebuah invensi tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentitas secara literal, mengkopi apa yang pernah dilakukan, melainkan bagaimana tradisi lokal itu menjadi suatu yang dapat dimodifikasi ulang sehingga dalam konteks kekinian jadi relevan dan kontekstual. Dengan demikian, Islam Nusantara merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan tidak berhenti dalam menemukan bentuk dan manhaj berfikir dan bertindak dalam keberislaman yang selalu mengkontekstualisasikan dalam gerak sejarah. (*)
Zainul Milal BizawiePenulis Buku Laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad, Penggiat Historiografi Islam Nusantara