Powered By Blogger

Jumat, 27 Desember 2013

KETIKA MANUSIA DINILAI OLEH MATERI

at office
14:26
by cak noer 

Apa sebenarnya esensi dari penciptaan makhluk yang bernama manusia, apakah hanya sebagai boneka sang penciptanya ??? atau sebagai penerus makhluk-makhluk terdahulu - sebelum manusia - yang akhirnya harus "juga" musnah. Memang pertanyaan itu tidak semudah menjawab pertanyaan manusiawi, seperti, "apakah kamu lapar saat ini" ? , tapi juga tidak sesulit pertanyaan pelajaran fisika (buat saya, karena saya tidak suka pelajaran itu). 
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan pemikiran bijak yang hakiki, mengerti dan sadar siapa diri kita. Di tulisan ini saya tidak akan memberikan dan membahas jawaban (versi saya) dari pertanyaan itu, karena biarlah akal imajiner anda semua yang mencoba mencari jawabannya dengan pengetahuan dan pengalaman individual anda masing-masing.
Saya ingin menggelontorkan wacana jika manusia dinilai oleh manusia lainnya dengan materi. Materi dalam hal ini tentunya sinonim dengan harta, kekayaan atau uang. Lebih spesifik lagi dalam dunia kerja. Memang betul, manusia memiliki kebutuhan hidup, sandang, pangan dan papan, yang di era modern ini bisa ditukar dengan benda yang bernama uang. 
Di dunia kerja kita dapat menghargai diri kita sendiri dengan "berapa" kita dibayar, negosiasi kita dengan pemilik modal menjadi sebuah kewajiban.
Menjadi naif jika kita bekerja dengan tujuan untuk kenyamanan, seperti yang dikatakan salah seorang rekan kerja saya, "gue cari kenyamanan kerja, walaupun gaji yang ditawarkan oleh perusahaan yang baru lebih kecil". Atau rekan kerja lainnya berpendapat, "gue lebih memilih gaji besar dibandingkan dengan jabatan". Semua memiliki hak untuk berpendapat dan mengambil sikap dalam hidupnya, mau kaya, boleh, mau tenang dan tak memikirkan duniawi juga boleh, apapun boleh. Namun yang menjadi konsen saya adalah, jika apa yang dikerjakan manusia dihargai oleh "materi' semata, dan menjadi ambigu ketika manusia sebagai objek kehidupan terkekang oleh penilaian itu.
Angka dan nilai tidak mampu menghargai atau menjadi acuan bagi manusia. Manusia terbodoh pun masih lebih mulia dari makhluk lainnya. Sang penguasa hidup tidak menciptakan manusia berdasarkan nilai dan angka-angka, melainkan dari keinginan dan kesempurnaan. Lalu apa jadinya jika manusia dinilai dengan angka-angka, tidakkah hal itu menjadikan manusia rendah drajatnya, bersifat materi, dan terbelenggu oleh standarisasi materi ?
Sejatinya manusia dihargai dari apa yang dihasilkan oleh pikiran, dan perbuatannya, semisal tukang batu dihargai dengan upah yang pantas atas kerja beratnya, bukan dinilai dari tingkat pekerjaan yang dikerjakannya, atau wajar jika seorang insinyur yang merancang jembatan dihargai dengan upah yang tinggi, karena tanggungjwabnya yang besar. Hasil pemikirian manusia -menurut saya- lebih mulia dari dari apa yang dihasilkan tenaganya, karena itu adalah bentuk kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk lainnya.
Ketika materi menguasai manusia, maka TUHAN itupun tenggelam, terdesak oleh nafsu menguasai dunia, dan materialisme menjadi TUHAN baru. Tuhan yang oleh para kaum marxis ditentang keberadaannya, begitupun dengan pemikiran dalam Islam. 
"Tiada TUHAN selain ALLAH, tidak serta merta diartikan dalam pengertian ibadah vertikal, atau secara sederhana dicoba ditafsirkan kedalam kebudayaan manusia mengenal Tuhan. Kalimat tersebut dapat diimplementasikan disemua aspek manusiawi kehidupan. Manusia memang gemar membuat TUHAN baru, evolusi dalam pemikirannyapun bisa menjadi TUHAN baru, Tuhan yang baru itu akan membimbingnya lupa dari esensi penciptaannya sebagai makhluk dan tersesat dalam kegembiraan materi. 
Sekali lagi manusia bukanlah sebuah materi yang pantas dinilai dengan materi, manusia jauh lebih mulia dari materi, esensi penciptaannya adalah "kesempurnaan".