Powered By Blogger

Selasa, 28 November 2017

Sejarah Singkat Tentara Nasional Indonesia



Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah sebuah bentuk realisasi semangat juang bangsa Indonesia. Lahir dari keadaan yang medesak, tidak terorganisir dan seadanya namun memiliki kesetiaan dan kedisiplinan anggotanya merupakan kunci sukses TNI. Ternyata keberadaannya awalnya memang tidak direstui, ditolak namun keadaan inilah yang memicu terbentuknya cikal bakan Tentara Nasional Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu tidak hanya memberikan kebahagiaan, namun sekaligus kewaspadaan. Jepang masih menjadi ancaman meski sudah kalah perang. Bisa saja terjadi bentrokan sebelum pasukan Sekutu tiba untuk melucuti senjata mereka. Selain itu, Sekutu juga perlu diwaspadai.

Situasi genting ini memunculkan silang pendapat antara kaum muda dengan golongan tua. Para pemuda menginginkan agar Indonesia secepatnya membentuk angkatan perang, setidaknya untuk membela diri jika terjadi hal-hal di luar perkiraan. Apalagi, di berbagai wilayah di tanah air telah berdiri laskar-laskar bersenjata yang tidak terbilang banyaknya (S.A. Djamhari, Ichtisar Sejarah Perjuangan ABRI, 1971:2).

Bagi kaum muda, dibentuknya suatu badan pembelaan negara amat diperlukan jika Indonesia ingin benar-benar menjadi negara yang berdaulat. Setelah merdeka, sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu untuk merebut kekuasaan negara sepenuhnya yang masih berada di tangan penguasa Jepang. Dan, untuk mewujudkan misi itu, Indonesia harus punya angkatan perang.

Akan tetapi, tidak semua pihak sepakat dengan wacana yang digaungkan kaum muda itu. Sebagian dari golongan tua berpendapat bahwa kemerdekaan yang telah diproklamirkan dapat dipertahankan tanpa bentrokan, yaitu dengan memperoleh pengakuan dari sekutu selaku pemenang Perang Dunia II. 


Atas dasar keyakinan itu, golongan tua berpendapat bahwa jalur diplomasi menjadi pilihan yang paling tepat dan rasional untuk mengawal kemerdekaan, bukan dengan cara kekerasan termasuk membentuk angkatan perang sendiri kendati hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan.

Kaum muda tetap enggan berdiam diri. Pada 19 Agustus 1945, para pimpinan pemuda di Jakarta menyusun rancangan dekrit pembentukan tentara Indonesia sebagai kelengkapan negara yang telah diproklamirkan, sekaligus untuk menghadapi penguasa Jepang yang masih lengkap persenjataannya (F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, 1992:130).

Ternyata, tidak semua golongan tua menentang rencana itu. Ada sejumlah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang satu suara dengan para pemuda, termasuk Abikoesno Tjokrosoejo dan Otto Iskandardinata. Mereka membawa rancangan pembentukan tentara Indonesia rumusan kaum muda itu ke sidang PPKI

Penjelasan yang dipaparkan Abikoesno Tjokrosoejoso dan Otto Iskandardinata di sidang PPKI sebenarnya sempat diterima meskipun masih terjadi pro dan kontra. Namun, nyali para pengampu negara saat itu kembali menciut begitu penguasa Jepang mengetahui rancangan pembentukan angkatan bersenjata tersebut. Jepang menganggap hal itu sebagai upaya terang-terangan untuk melawan mereka.

Penguasa Jepang yang masih berada di Indonesia pun bertindak cepat dengan membubarkan beberapa kesatuan perang bentukannya yang melibatkan orang-orang Indonesia, seperti Pembela Tanah Air dan Heiho. Jepang bahkan melucuti senjata mereka untuk menghindari perlawanan yang tidak dikehendaki.

Di sisi lain, para pimpinan RI merasa bahwa perumusan rancangan angkatan bersenjata sebagai kesalahan besar. Maka, rancangan dekrit pembentukan tentara yang sempat disetujui itu kemudian diubah menjadi maklumat pembentukan suatu badan keamanan saja. Momen inilah yang menjadi awal kelahiran Badan Keamanan Rakyat atau BKR (Adam Malik, Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan, 1970:67).

Pembentukan BKR pada 22 Agustus 1945 –dan diresmikan Presiden Sukarno sehari kemudian– tidak dilakukan secara gamblang agar Jepang tidak curiga. Oleh para perumus negara Indonesia, BKR hanya disisipkan sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang telah dibentuk dua hari sebelumnya. 

BPKKP sendiri sebenarnya bermula dari badan pembantu prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP) bentukan Jepang yang sudah ada jauh sebelumnya. Wadah ini dibentuk Jepang untuk menaungi kesatuan-kesatuan prajurit yang melibatkan orang-orang lokal, termasuk PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan lain-lainnya itu (Sejarah TNI Jilid I 1945-1949, 2000:1).

Awalnya, BKR tidak ditempatkan sebagai angkatan bersenjata reguler, melainkan hanya untuk menjaga keamanan saja. BKR juga bukan merupakan institusi yang dibebani tanggung jawab sebagai pertahanan negara. Tapi, pada perkembangannya nanti, BKR justru berkembang sendiri menjadi korps pejuang bersenjata (A.H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia Jilid 1, 1970:115).

Kendati golongan tua berhati-hati dalam memposisikan BKR, namun tidak bagi kaum muda. Mereka justru melihat ini adalah peluang besar untuk menggalang kekuatan militer. Maka, struktur kepengurusan BKR pun dirumuskan dengan lebih serius, dan terbentuklah BKR tingkat pusat di Jakarta. BKR digalang para pemuda yang pernah mendapatkan pelatihan perang dari Belanda dan Jepang.

BKR Pusat lalu disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada 29 Agustus 1945. BKR di Jakarta ini dimotori anak-anak muda pemberani macam Moefreni Moekmin Daan Mogot, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrachman, Zulkifli Lubis, Kaprawi, Priyatna, Soeroto Koento, Daan Jahja, Sutaklasana, dan lainnya (Pamoe Rahardjo, Badan Keamanan Rakyat: Cikal Bakal Tentara Nasional Indonesia, 1995:157).

Diresmikannya BKR Pusat memantik pembentukan laskar-laskar serupa di berbagai wilayah di tanah air. Di sejumlah daerah di Jawa Barat, termasuk di Bogor, Bandung, Garut, Majalengka, Tasikmalaya, Ciamis, Lembang, Purwakarta, atau Sumedang, misalnya, BKR diprakarsai oleh Husein Sastranegara, Ibrahim Adjie, Arudji Kartawinata, Pardjaman, Amir Machmud, Umar Wirahadikusumah, dan lainnya.

Dari Jawa Timur, BKR terbentuk berkat kerja-keras Jonosewojo, Soengkono, dan Soetomo alias Bung Tomo (baca: Ora Dadi Jendral Ora Patheken). Sedangkan Soedirman, juga G.P.H. Djatikusumo serta beberapa tokoh lainnya, mempelopori pembentukan BKR di Jawa Tengah. Soedirman inilah yang kelak dikenal sebagai Panglima Besar Angkatan Perang RI.
Tak hanya unsur darat (cikal-bakal TNI AD), BKR juga merambah sektor laut dan udara. BKR Laut yang kelak menjadi TNI AL juga dibentuk atas peran besar para pemuda yang sebelumnya berkecimpung di bidang pelayaran seperti R.E. Martadinata, Mas Pardi, R. Suryadi, dan lainnya. BKR Laut Pusat diresmikan pada 10 September 1945 yang segera diikuti dengan pembentukan turunannya di berbagai daerah.

Begitu pula di sektor angkasa. BKR Udara yang merupakan generasi pendahulu TNI AU dirintis oleh para mantan anggota korps penerbangan Belanda, macam Militaire Luchtvaart (ML), Marine-Luchtvaartdienst (MLD), dan Vrijwillig Vliegers Corps, maupun Jepang yakni Rikugun Koku Butai, Kaigun Koku Butai, serta Nanpo Koku Kabusyiki. BKR Udara berdiri di daerah-daerah yang memiliki pangkalan udara (Sejarah TNI Angkatan Udara: 1945-1949, 2004:8).

Bermunculannya BKR di berbagai wilayah pada mulanya tidak terkoordinasi dengan baik dari pusat karena situasi yang genting pada saat itu seiring kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda. BKR-BKR di daerah-daerah ini berdiri atas peran para pemuda setempat, terlebih setelah diresmikannya BKR Pusat di Jakarta.

Tidak semua wilayah di Indonesia pernah mengalami masa-masa pembentukan BKR lantaran keterbatasan akses komunikasi dan informasi pada waktu itu, terutama di luar Jawa. Namun kaum muda di sana berinisiatif membentuk laskar-laskar perjuangan yang kelak juga melebur ke dalam angkatan perang RI. 

Di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, tidak pernah ada BKR, melainkan lascar-laskar seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Penjaga Keamanan Rakyat (PKR), Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR), Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI), Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI), dan seterusnya.

BKR memang sempat tidak mendapat restu dari pemerintah awal RI yang mengutamakan jalur diplomasi. Namun, tindakan nekat BKR yang menjamur di berbagai daerah, juga berbagai jenis laskar perjuangan, inilah yang justru menjadi pengawal kedaulatan republik dari ancaman Sekutu maupun Belanda, juga sisa-sisa tentara Jepang.

Pada perkembangannya, BKR nantinya resmi dijadikan sebagai angkatan perang RI. Dimulai dari peningkatan fungsi BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat  sejak 5 Oktober 1945 (yang kemudian ditetapkan sebagai hari ulang tahun TNI), kemudian berganti nama Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946, dan akhirnya menjadi TNI sejak 3 Juni 1947. 

*diambil dari berbagai sumber

Kassian Cephas : Sang Fotografer Bumiputera


Suatu ketika saya menyempatkan untuk melihat sebuah karya photography di sebuah aplikasi online. Seperti lukisan digital, perjalanan kebudayaan manusia yang semakin berkembang membawa ekspektasi manusia terhadap seni semakin tinggi. Keinginan manusia untuk mengabadikan keindahan di sekitarnya menjadikan kreatifitas manusia itu sendiri semakin hakiki.

Photography saat ini berkembang sangat pesat. Waktu kecil saya biasa melihat bapak saya menggunakan kamera untuk mengabadikan kenangan-kenangan indah kami. Dalam 10 tahun terakhir era digital juga merambah dunia photography. Sangat memudahkan manusia untuk semakin berkreasi dalam dunianya. Banyak professional di bidang photography yang mulai membedakan device era analog dengan digital. Di era analog, intuisi manusia berperan penting, sedangkan di era digital, kecanggihanlah yang menentukan. Lepas dari itu semua, kali ini saya ingin menyajikan cerita salah seorang pribumi yang mencintai photography dalam hidupnya. Tulisan ini bukan tentang photography, namun tentang bagaimana manusia mengagungkan hasil ciptaan Tuhan.

Kisahnya dimulai di sebelah timur Benteng Vredeburg Yogyakarta, dulu terdapat kawasan bernama Loji Kecil Wetan. Kawasan itu kini berada di sekitar Taman Pintar dan Jalan Suryotomo. Di situlah, pada pergantian abad ke-19 menuju 20, seorang berdarah Jawa bernama Kassian Cephas tinggal. Di pergantian abad itu, usianya sudah 55 tahun. 

Menurut Gerrit Knaap dalam Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (1999), orang ini lahir pada 15 Januari 1845 di Yogyakarta. Saat itu, Sultan Hamengkubuwana V masih bertakhta. Nama aslinya adalah Kassian, anak dari pasangan Kartodrono dan Minah. Nama Cephas melekat setelah ia dibaptis sebagai seorang Kristen pada 27 Desember 1860, di usia 15 tahun di Gereja Purworejo, Bagelen. 

 “Dia salah satu dari dua laki-laki dan tiga perempuan murid Christina Petronella Phillips-Steven, yang berdakwah ajaran Protestan kepada orang Jawa di masa tersebut,” tulis Knapp. 

Selain Kassian, di abad itu orang terkenal yang kemudian menganut Kristen adalah tokoh Kristen Jawa yang dikenal sebagai Kiai Sadrach. Laki-laki yang aslinya bernama Radin Abas dan dari keluarga Islam di Demak ini, menurut C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (1981), dibaptis pada “14 April 1867 [...] oleh Pendeta Ader di Portugeesche Buitenkerk” di Betawi. Setelah dibaptis di sana, Sadrach menuju Bagelen. 

Di rumah Christina dan suaminya, Kassian menghabiskan masa bocahnya. Pada awal dekade 1860-an, Kassian kembali ke kota kelahirannya, dan mulai magang kepada juru foto Simon Willem Camerik. Nama terakhir adalah milisi berpangkat Letnan Dua yang tinggal di Yogyakarta sekaligus seorang fotografer. 

“Kassian Cephas dilatih sebagai fotografer sejak 1861 hingga 1871 […] Dia mungkin ditunjuk sebagai pelukis istana dan fotografer (oleh Sultan) pada awal tahun 1871,” demikian Knapp mencatat.

Selain itu, Kassian juga belajar dari Isidore van Kinsbergen—seorang fotografer kelahiran Belgia yang bekerja di Jawa Tengah pada 1863-1875 dan pernah memotret Candi Borobudur. Di masa-masa tersebut, raja di Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwana VI. Saat itu teknologi fotografi masih sangat rumit dan sekaligus barang yang luar biasa mewah. 

Di tengah masa magangnya, pada sebuah gereja di Yogyakarta, Kassian menikahi Dina Rakijah, perempuan Kristen asal Tegal pada 22 Januari 1866. Dari perkawinan itu lahir empat anak: Naomi (28 Juni 1866), Sem (15 Maret 1870), Fares (30 Januari 1872), dan Jozef (4 Juli 1881). Putra pertamanya, Sem, adalah orang yang dikenal sebagai asisten ayahnya ketika mengambil gambar. 

Foto terkenal Cephas salah satunya Taman Sari (1884) yang diproduksi untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan). Terkait dunia arkeologi, Cephas terlibat dalam pemotretan Candi Prambanan dan Borobudur. Dia adalah anggota lembaga penelitian bergengsi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dari 1896 hingga 1912. 

Cephas sempat memotret bagian Karmawibangga yang tersembunyi di Candi Borobudur. Sebagai fotografer keraton, Cephas memotret kegiatan seni seperti Tari Bedaya. Dia juga pernah ikut mengabadikan kunjungan Raja Siam Chulalongkorn ke keraton. Dari Raja Siam, dia mendapat tiga kancing berhias batu permata. Karena jasanya mengabadikan kebudayaan Jawa, dia mendapat penghargaan Orde van Oranje-Nassau dari Kerajaan Belanda. 

Di luar proyek-proyek tadi, tentu saja Cephas adalah tukang potret. Pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, hidup Kassian Cephas sebagai tukang potret cukup makmur. Harga foto masih sangat mahal. 

Karena kemakmuran itu, Cephas pun mengajukan diri dan keluarganya untuk diproses Gelijkgesteld agar status hukum mereka disamakan dengan orang-orang Belanda atau Eropa. Status hukum yang sama dengan orang Belanda tentunya bisa menguntungkan kedua anaknya jika masuk ke dalam kehidupan kolonial. Termasuk memasukkan anak ke sekolah bermutu di zaman itu. 


Staatsblad van Nederlandisch IndiĆ« (1891) pun mencatat nama Kassian Cephas bersama dua anaknya, Sem dan Feriz. Untuk proses itu, biasanya mereka harus membayar ribuan gulden. Orang pribumi Indonesia yang mengajukan biasanya punya posisi penting di masyarakat. Cephas sendiri adalah fotografer profesional, pekerjaan yang masih sangat langka di antara kaum pribumi.

Kassian Cephas meninggal pada 16 November 1912 di Yogyakarta, tepat pada hari ini 105 tahun lalu. Karya-karya fotografinya banyak digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tetap abadi hingga kini. 

* disadur dari beberapa sumber


Senin, 27 November 2017

Warisan Tan Malaka

Pada kesempatan sebelumnya saya pernah me-review buku MADILOG yang merupakan karya masterpiece dari seorang maestro pergerakan, Tan Malaka. Kali ini saya ingin membahas perihal warisan dari pejuang revolusioner tersebut.

Tan Malaka adalah seorang tokoh revolusioner besar Asia yang jejak dan pemikirannya selama ini sering disalahpahami bahkan tidak diketahui. Upaya Mata Najwa untuk mengangkat biografi Tan Malaka setidaknya patut diapresiasi karena ia berani mengangkat tokoh yang kontroversial di mata publik dalam acara yang memiliki penonton yang besar.

Dalam acara Mata Najwa, Tan Malaka dibedah dari pelbagai sisi: karakternya, riwayat hidupnya, pemikirannya, dan kontribusinya bagi pendirian Indonesia. Semua pembicara sepakat bahwa kontribusi Tan Malaka bagi berdirinya Indonesia tidak diragukan lagi. 

Tan Malaka terjun dalam gelanggang pergerakan melawan kolonialisme Belanda. Bahkan, pada 1925, Tan Malaka menggagas ide mengenai "Republik Indonesia" dalam buku berjudul Naar de Republiek Indonesia. Buku yang beredar di bawah tanah inilah yang menginspirasi pergerakan dan pemikiran para tokoh bangsa selain Massa Actie (1926).

Meski demikian, yang mengganjal dalam pikiran banyak orang, termasuk beberapa pembicara dalam acara tersebut, adalah kenyataan Tan Malaka seorang komunis pada awal kiprahnya dalam dunia pergerakan tahun 1920-an. Tan Malaka tercatat pernah memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahkan menjabat sebagai wakil Komintern untuk wilayah Asia Tenggara. Namun, Tan Malaka (di)keluar(kan) dari keanggotaan PKI setelah pemberontakan yang gagal terhadap pemerintah Belanda pada 1926-1927.

Fakta keterlibatan Tan Malaka dalam jaringan komunis nasional dan internasional pada masa awal perjalanan politiknya sepertinya dianggap merusak kebesaran namanya. Ben Ibratama Tanur, pendiri Tan Malaka Institute, mengatakan Tan Malaka menganggap (gerakan) “komunis adalah alat, bukan tujuan“ (negara komunis). 

Tan Malaka pada awal 1920-an tidak pernah menganggap komunisme sekadar alat, tetapi ia model perjuangan bersama kelas tertindas. Dalam pertemuan dengan Hatta pada 1922, Hatta mengungkapkan Tan Malaka menginginkan “negara yang berlaku dasar sama rata sama rasa, berlaku demokrasi sepenuhnya”. Ia tidak menginginkan model komunisme “diktatoriat orang-seorang" seperti model Stalin. “Ia tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk” tulis Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, Vol 1: Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi (2011).

Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, dalam acara itu mengatakan keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis "hanyalah" salah satu fase awal dalam perjalanan hidupnya. Ia menekankan Tan Malaka adalah seorang manusia multidimensi, bukan satu dimensi. 

Meski mengakui Tan Malaka adalah sosok manusia multidimensi, Fadli Zon dalam pelbagai acara tidak pernah menyinggung mengenai pentingnya keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis internasional dan bagaimana komunisme juga bercampur dengan pemikiran nasionalis, Islamis, dan humanis dalam karya-karya Tan Malaka.

Mengecilkan, menutup-nutupi, atau menyangkal Keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis pada fase awal perjalanan politik sang konseptor republik sama artinya dengan menihilkan warisan politiknya untuk Indonesia dan Asia serta gagal menjelaskan faktor yang membuatnya jadi legenda.
Stigma terhadap Gerakan Komunis.
Sebelum menjelaskan mengapa keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis penting, pertama-tama, kita harus melepaskan cara pandang atau stigmatisasi masa kini yang memandang komunis dengan sangat buruk. Kita harus melepaskan dulu cara pandang atau stigmatisasi kita yang mungkin dipengaruhi oleh narasi peristiwa 1948 atau 1965. Untuk menilai gerakan komunis pada 1920-an, kita harus objektif menempatkan gerakan itu sesuai konteks masa lalunya.

Pada 1920-an, ada tiga gerakan besar yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda: nasionalis, Islamis, dan Marxis-Komunis. Sukarno telah menekankan pentingnya tiga gerakan besar ini lewat tulisannya, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang diterbitkan Suluh Indonesia Muda pada 1926. 

Tiga gerakan besar ini dalam gelanggang pergerakan nasional saling mengisi dan memengaruhi satu sama lain, tapi juga acap kali bertengkar. Tapi, yang pasti, ketiga arus besar gerakan ini punya andil dalam meruntuhkan kolonialisme Belanda.

Keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis dipengaruhi pemikiran Marxisme serta terinspirasi dari keberhasilan Revolusi Bolshevik yang ia pelajari ketika menimba ilmu di Belanda. Selain itu, ketertarikan Tan Malaka dengan gerakan komunis di Hindia Belanda didorong oleh fakta bahwa gerakan inilah yang paling menaruh simpati terhadap nasib rakyat miskin, seperti buruh dan petani, serta terkenal paling radikal dalam melawan kolonialisme Belanda.

Ketika terlibat dalam gerakan komunis inilah nama Tan Malaka melambung dan menjadi legenda dalam kancah pergerakan Indonesia bahkan Asia. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita mesti melihat dan memahami dunia pergerakan anti-imperialisme global pada periode interwar 1918-1939, atau jeda waktu antara Perang Dunia I dan II. Masa ini adalah periode yang disebut oleh Ali Raza, Franziska Roy, dan Benjamin Zachariah (2015) sebagai “internationalist moment”: sebuah periode ketika secara kualitatif interaksi aktor-aktor non-negara dan sirkulasi ide di sekitarnya semakin intensif melewati garis batas teritori negara-bangsa.

Hal ini dimungkinkan tak hanya karena apa yang disebut Ben Anderson sebagai “kapitalisme cetak”, melainkan juga substansi pergerakan pada periode ini didorong oleh peristiwa global yang berdampak sangat besar bagi dunia jajahan. Salah satu yang menyediakan sumber utama inspirasi bagi pergerakan revolusioner di seluruh dunia (jajahan) adalah Revolusi Bolshevik pada 1917.

Kesuksesan Revolusi Rusia 1917 sungguh impresif. Di Asia Tenggara dan Asia Timur, menurut Takeshi Onimaru (2011), komunisme diterima dengan antusias oleh aktivis dan intelektual muda yang ingin membebaskan negaranya dari penjajahan kolonial. Soviet yang sadar dengan potensi gerakan nasionalis anti-kolonialisme di dunia jajahan lalu mendirikan Komintern pada 1919. Organisasi ini meliputi seluruh dunia, bermarkas di Moskow, yang dipersiapkan untuk menjadi basis bagi gerakan revolusioner seluruh dunia untuk berkumpul.

Melalui jaringan yang dibentuk oleh Komintern untuk menyatukan pergerakan komunis dan gerakan-gerakan anti-kolonialisme di dunia jajahan inilah Tan Malaka bergerak aktif membangun jaringan dengan tokoh-tokoh anti-imperialis Asia. Dalam pengasingannya di Belanda pada 1922, Tan Malaka menyeberang dari Rotterdam, singgah dua bulan di Berlin, untuk datang menghadiri Kongres Komintern keempat di Moskow sebagai perwakilan Indonesia.
20 Tahun di Pengasingan
Dalam kongres yang dihadiri oleh tokoh-tokoh anti-imperialisme dunia itu, Tan Malaka berbicara tentang pembentukan aliansi antara Pan-Islamisme dan Komunisme. Idenya terinspirasi oleh pengalaman pergerakan di Hindia Belanda ketika Sarekat Islam, yang beranggotakan sekitar satu juta orang, sangat revolusioner menentang kolonialisme Belanda. Proposal kerjasama yang diajukan Tan Malaka menimbulkan penolakan sebagian kalangan, meski pidatonya mendapat tepuk tangan riuh. Rupanya, dalam pengakuan Tan Malaka dalam Dari Penjara ke Penjara bagian I, “Kongres Komintern ... menganggap Pan-Islamisme sebagai imperialisme corak lama”.

Tan Malaka kemudian ditunjuk sebagai wakil Komintern Asia Tenggara, membawahi wilayah Filipina, Burma, Siam, Annam, dan Indonesia. Dalam tugas barunya ia mulai berkeliling dari dari satu tempat ke tempat lain, dari Kanton, Tokyo, Manila, hingga Singapura. Tapi pemberontakan komunis yang gagal pada 1926-1927 membuat hubungan dengan koleganya di PKI dan komunis Soviet renggang.

Tan Malaka kemudian melanglang buana, bersembunyi dari kejaran intel imperialis Eropa, berpindah-pindah tempat mulai dari Bangkok, Manila, Amoy, Shanghai, Hongkong, Singapura, Rangon, hingga Penang. Total Tan Malaka menghabiskan 20 tahun sebagai pelarian politik mengelilingi hampir seluruh dunia.

Meski pada akhirnya Tan Malaka meninggalkan gerakan komunis, tetapi masa penugasannya yang singkat sebagai wakil Komintern Asia Tenggara berdampak signifikan pada perjalanan pemikirannya. Ketika ditugasi oleh Komintern untuk membangun kontak dengan jaringan nasionalis dan anti-imperialis Asia, Tan Malaka mulai berkenalan dengan tokoh revolusioner Asia, salah satunya Dr. Sun Yat Sen.

Tan Malaka kagum dengan sosok Sun Yat Sen. Seperti yang ditulisnya dalam Dari Penjara ke Penjarabagian I, “Berjumpa dengan revolusioner besar di Rusia adalah hal biasa, tetapi berjumpa revolusioner besar di Asia adalah sesuatu yang istimewa, karena revolusioner sejati yang jaya di kawasan ini jumlahnya sangat kurang”. 

Meski Sun Yat Sen adalah seorang nasionalis bukan marxis dan cara berpikirnya logis bukan dialektis, Tan Malaka mengakui kekuatan Dr. Sun terletak pada demokrasi dan sosialisme. Ia orang yang ulet, jujur, dan dekat dengan Murba (rakyat jelata), ujar Tan Malaka dalam autobiografinya.

Lewat kekagumannya terhadap Dr. Sun Yat Sen, juga terhadap Jose Rizal dari Filipina, itu menandakan Tan Malaka bukanlah seorang komunis yang dogmatis. Ia seorang komunis yang berpikiran terbuka terhadap pelbagai corak pemikiran dan gerakan rakyat, asalkan berjuang demi kemerdekaan tanpa kompromi dan memihak rakyat jelata yang tertindas. Inilah keyakinan yang konsisten yang dibawanya hingga ditembak mati oleh bangsanya sendiri.
Sang Patriot Ekspatriat
Periode singkat sebagai wakil Komintern di Tiongkok juga penting sebab di sinilah Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia yang melambungkan namanya sebagai tokoh penting yang berjasa mengonsepsikan pendirian Republik Indonesia. 

Tan Malaka agaknya mendapatkan inspirasi dari Revolusi Perancis ketika kaum petani, buruh, serta borjuis bersatu mendirikan suatu Majelis Permusyawaratan Nasional (AssemblƩe nationale), kemudian menggulingkan kekuasaan raja dan bangsawan. Dari Majelis Permusyawaratan Nasional inilah, tulis Tan Malaka, lahir kemerdekaan Perancis dan cita-cita republik.

Sugata Bose dalam A Hundred Horizons: The Indian Ocean in the Age of Global Empire (2006) menyebut orang seperti Tan Malaka sebagai “patriot ekspatriat”. Menurut Bose, pembentukan bangsa tidak hanya dipengaruhi oleh nasionalisme yang berakar di tanah jajahan, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek “yang bergerak”.

Patriot ekspatriat adalah orang-orang yang menumbuhkan imajinasi dan pemikiran terhadap tanah airnya melalui perjalanan yang melampaui tanah airnya, berinteraksi dan membangun jaringan transnasional, serta menuliskan pemikirannya yang sebagian dipengaruhi oleh pengalaman dalam pengembaraan. Bila dilihat secara saksama, para figur tokoh pendiri negara modern di Asia Tenggara memiliki karakteristik seperti ini. Tidak hanya Tan Malaka (Indonesia), tapi juga Moh. Hatta (Indonesia), Ho Chi Minh (Vietnam), Phan BĆ“i ChĆ¢u (Vietnam), Jose Rizal (Filipina), dan Mariano Ponce (Filipina).

Tan Malaka adalah seorang legenda dalam narasi pergerakan anti-kolonialisme Asia. Namun, menulis kebesarannya tanpa membicarakan keterlibatannya dalam gerakan komunis nasional dan internasional hanya akan menutupi fakta kebesarannya sebagai tokoh revolusioner Asia. 

* diambil dari beberapa sumber buku




Sekelumit Suksesi Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat



Pengujung 1810 menjadi akhir kekuasaan Sultan Hamengkubuwana (HB) II sebagai raja. Herman William Dandles memimpin penyerbuan Belanda ke istana, menangkap sekaligus mencopot HB II dari takhtanya, kemudian menaikkan Pangeran Suraja sebagai raja baru dengan gelar Sultan Hamengkubuwana III.

Pangeran Suraja adalah anak kandung Sultan HB II, namun keduanya tidak selalu bersepakat lantaran sering berbeda sikap. Belanda yang memang sudah gerah dengan gelagat tak bersahabat yang ditunjukkan HB II akhirnya mendapatkan momen untuk menjungkalkan sang raja dari singgasananya.


Aksi “pemberontakan” Raden Rangga Prawiradirja pada November 1810 menjadi alasan kuat bagi Belanda untuk menghantam kraton sekaligus merencanakan suksesi kepemimpinan istana. Raden Rangga adalah Bupati Madiun yang juga penasihat politik sekaligus menantu Sultan HB II (Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, 2014).


Motivasi Raden Rangga melawan adalah membersihkan tanah Jawa yang ia anggap sudah dinodai Belanda. Ia juga menyatakan pembelaan terhadap orang-orang Jawa dan keturunan Cina atas hak-hak mereka yang terancam dirampas oleh Belanda (Peter Carey, “Raja yang Peduli Leluhur dan Sejarah Yogyakarta-Madiun”, Tempo, Agustus 2015).



Gerakan perlawanan itu bisa ditumpas Belanda hanya dalam tempo kurang dari satu bulan saja. Belanda mencurigai Sultan HB II mendukung aksi Raden Rangga dan memakai pengaruhnya untuk mengatur pergantian raja, dari HB II kepada Pangeran Suraja (HB III) yang lebih “kooperatif” ketimbang ayahnya.



Selain itu, Belanda mengembalikan jabatan Patih Danureja II selaku penasihat utama raja atau semacam perdana menteri. Patih Danureja II sebelumnya dipecat Sultan HB II karena cenderung memihak Belanda (Djoko Marihandono & Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono 2, 2008:83). Sultan HB II juga menduga bahwa Patih Danureja II merencanakan permufakatan jahat dalam upaya merongrong takhta kerajaan.


Sejak era VOC, Belanda punya pengaruh kuat dalam suksesi. Tak hanya di Yogyakarta, tapi juga untuk kebanyakan kerajaan di Nusantara lainnya. Belanda memaksakan kontrak politik mencakup berbagai aspek dan harus dipatuhi jika kerajaan itu tidak ingin dilenyapkan, atau setidaknya raja diturunkan paksa (Soedarisman Poerwokoesoemo, Kasultanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940, 1984).


Belanda beberapa kali harus bertindak keras terhadap Yogyakarta karena memang kerap “membandel”, bahkan sejak awal kerajaan ini dideklarasikan Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Sultan HB I) sebagai pecahan Kasunanan Surakarta. VOC mengatur kesepakatan agar Pangeran Mangkubumi diberikan wilayah untuk membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta karena perlawanan ayah HB II ini cukup merepotkan.


Setelah mencopot HB II, Belanda mendudukkan Pangeran Suraja sebagai Sultan HB III. Tentu saja “pemberian” takhta ini tidak gratis. Belanda juga menyematkan gelar Regent kepada raja baru yang sebenarnya menjadi semacam pengakuan dari Sultan Yogyakarta terhadap kekuasaan penjajah. Kesultanan Yogyakarta selama era Sultan HB III memang cenderung tunduk kepada Belanda. 



Nantinya, perubahan angin politik di Jawa membuat HB II naik singgasana kembali. Sebelum wafat di tengah perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), Sultan HB II dua kali bertakhta sebagai raja, yakni pada periode 1811-1812 dan 1826-1828, kendati Kesultanan Yogyakarta tetap di bawah kendali Belanda.


Peralihan takhta dari Sultan HB II ke HB III yang diotaki Belanda merupakan intrik suksesi kerajaan yang pertama kali sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri. Di waktu-waktu berikutnya, saling telikung demi memperebutkan kekuasaan terus saja berulang, bahkan hingga menumpahkan darah sesama anggota keluarga istana.


Kematian mendadak Sultan HB IV menjadi awal intrik takhta Yogyakarta dalam episode selanjutnya. Tanggal 6 Desember 1823, Sultan HB IV yang dinobatkan sebagai raja pada 1814, meregang nyawa saat sedang berpesiar. Desas-desus yang terdengar, sultan yang baru berusia 19 tahun itu tewas diracun (G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualam: Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen, 1994:18).



Kepastian tentang peristiwa ini memang belum terungkap. Kuat dugaan, pembunuhan Sultan HB IV didalangi oleh Patih Danureja IV yang tidak lain adalah tangan kanan sang sultan sendiri. Sangkaan ini menguat karena setelah Sultan HB IV tiada, Patih Danureja IV menjadi orang yang paling berpengaruh di Kesultanan Yogyakarta karena raja berikutnya (Sultan HB V) dinobatkan pada usia yang masih sangat belia, 3 tahun.

Pengaruh Patih Danureja IV kian kuat setelah Pangeran Natakusuma meletakkan jabatannya sebagai wali raja. Pangeran Natakusuma adalah paman Sultan HB IV yang semula ditunjuk mengawal kerajaan hingga Sultan HB V cukup umur. Nantinya, Natakusuma mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta yakni Kadipaten Pakualaman dengan gelar Paku Alam I (Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, 1985).


Ketiadaan Pangeran Natakusuma menjadikan Patih Danureja IV semakin leluasa memengaruhi kebijakan Sultan HB V yang masih bocah itu, termasuk menempatkan banyak saudara dan kerabatnya untuk mengisi jabatan-jabatan penting di istana. Selain itu, Patih Danureja IV juga dekat dengan Belanda, persis seperti trah Danureja di era raja-raja Yogyakarta sebelumnya.



Pangeran Diponegoro – putra Sultan HB III – pernah meminta kepada Sultan HB V untuk memecat Patih Danureja IV karena ulahnya yang merugikan rakyat dan akrab dengan Belanda, termasuk mendukung kebijakan tanam paksa. Namun, posisi sang patih tetap aman karena dilindungi Belanda (Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme & Teladan Perjuangan, 2009).



Sultan HB V sebenarnya pernah diturunkan dari singgasananya pada 1826. Lagi-lagi Belanda memainkan pengaruh yang sangat kuat dalam fragmen ini. HB V dinilai tidak cukup cakap memerintah, sementara Belanda sangat memerlukan bantuan kraton untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Diponegoro.



Sebagai penggantinya, Belanda menempatkan kembali HB II sebagai raja. Sultan HB II menjadi opsi yang paling tepat karena dikenal dekat dengan rakyat. Kharisma raja tua ini sangat dibutuhkan Belanda untuk memecah dukungan rakyat yang sebagian besar berpihak kepada Pangeran Diponegoro (Purwadi, Perjuangan Kraton Yogyakarta, 2003:54).



Sultan HB II wafat pada 3 Januari 1828 dalam usia 77 tahun. Situasi ini membuat Belanda terpaksa memberikan takhta Yogyakarta lagi kepada HB V yang saat itu berumur 8 tahun. Belanda mengawasi dengan ketat pemerintahan Sultan HB V. Sang raja pun tumbuh menjadi sosok yang enggan mencari masalah dan cenderung mematuhi kehendak bangsa penjajah.


Sultan HB V ternyata bernasib serupa dengan ayahnya, menuai kematian dengan cara tragis. Tanggal 5 Juni 1855, Sultan HB V ditemukan tewas terhunus keris di salah satu ruangan istana. Orang yang diduga kuat sebagai pembunuhnya justru selir raja sendiri, istri ke-5 yang konon paling disayang, Kanjeng Mas Hemawati.


Lantas, mengapa Sultan HB V harus dibunuh? Dan siapa sebenarnya otak pembunuhan itu?



Kebijakan Sultan HB V yang cenderung main aman ternyata tidak memuaskan semua pihak. Daripada mencari masalah dengan Belanda, Sultan HB V memilih fokus ke hal-hal lainnya yang minim risiko, terutama dalam bidang kesenian dan kebudayaan (Sumandiyo Hadi, Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta, 2007).



Salah satu orang dalam istana yang tidak menyukai langkah lunak Sultan HB V itu adalah Pangeran Mustojo. Ia adalah putra ke-12 Sultan HB IV dari permaisuri Ratu Kencono (Bambang Sularto, KGPA Mangkubumi: Karya dan Pengabdiannya, 1986:13). Dengan kata lain, Pangeran Mustojo dan Sultan HB V masih bersaudara kandung.



Ketidaksetujuan Pangeran Mustojo atas sikap Sultan HB V rupanya mendapatkan dukungan dari sebagian warga istana dan rakyat Yogyakarta. Sultan HB V dinilai lembek, pengecut, dan mempermalukan kraton lantaran terlalu patuh kepada Belanda. Polemik ini akhirnya berujung pada kematian Sultan HB V di tangan istri selirnya sendiri, Kanjeng Mas Hemawati.


Alasan Kanjeng Mas Hemawati membunuh suaminya tidak pernah terkuak, meskipun ada indikasi keterlibatan Pangeran Mustojo dari gejala-gejala politik yang berkembang saat itu. Peristiwa tragis yang rincinya hanya diketahui oleh kalangan terbatas tersebut kemudian dikenang dengan istilah wereng saketi tresno atau “mati di tangan yang dicintai”.



Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. Dan, 13 hari setelah sultan tewas, lahirlah anak yang seharusnya menjadi penerus takhta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V itu diberi nama Gusti Timur Muhammad.



Namun, sang putra mahkota tidak pernah sempat menjadi raja karena yang tampil sebagai penguasa Kesultanan Yogyakarta selanjutnya adalah – seperti yang sudah diduga banyak pihak – Pangeran Mustojo dengan gelar Sultan HB VI.



Awalnya – barangkali sebagai siasat meredam kecurigaan – Pangeran Mustojo berjanji akan mengembalikan takhta setelah Pangeran Gusti Timur Muhammad cukup umur. Namun, yang terjadi kemudian tidak seperti yang disepakati sebelumnya.



Sebelum wafat pada 20 Juli 1877, Sultan HB VI justru menunjuk anak sulungnya, yakni Pangeran Murtejo, sebagai putra mahkota. Pangeran Murtejo dikukuhkan sebagai raja dengan gelar Sultan HB VII pada 13 Agustus 1877 (Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa, 2007).



Penobatan ini tentu saja ditentang oleh permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, karena yang seharusnya naik takhta adalah Pangeran Gusti Timur Muhammad sesuai janji Sultan HB VI sebelumnya. Sultan baru ternyata menyikapi protes itu dengan sangat serius.



Ratu Sekar Kedaton, Pangeran Gusti Timur Muhammad, beserta para pengikutnya ditangkap dengan tudingan membangkang terhadap istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII dan keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad dibuang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga wafat di sana.



Suksesi penuh intrik di Kesultanan Yogyakarta masih terjadi di periode selanjutnya, termasuk pada pengujung pemerintahan Sultan HB VII. Tidak seperti raja-raja Yogyakarta sebelumnya yang menjabat hingga akhir hayat, Sultan HB VII justru sudah turun takhta sebelum wafat. Ada sejumlah versi berbeda terkait penyebab dan proses pergantian raja Yogyakarta pada era ini.


Versi yang “baik-baik saja” menyebutkan bahwa Sultan HB VII memang sengaja meletakkan mahkotanya karena ingin menghabiskan masa tua di pertapaan, mengabdikan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sultan HB VII bertakhta hingga tahun 1920.



Setelah “pensiun”, HB VII meninggalkan kraton dan menyepi ke suatu pesanggrahan di daerah Ambarukmo sampai akhir hayatnya (Mohamad Roem & Atmakusuma, Takhta untuk Rakyat, 2011:111). HB VII mangkat pada 30 Desember 1931 atau kurang lebih terpaut 11 tahun sejak keluar dari istana.



Dalam konteks yang sama disebutkan, HB VII menyerahkan kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta kepada salah seorang anaknya. Namun, jika HB VII tetap berada di dalam kraton, maka akan ada dua orang sultan di dalam istana. Inilah yang membuat HB VII terpaksa pergi. Ada pula versi yang menyebut bahwa Sultan HB VII sengaja diasingkan ke Ambarukmo oleh salah seorang putranya yang kemudian bertakhta sebagai Sultan HB VIII.


Masih ada versi lain terkait lengser keprabon-nya Sultan HB VII itu. Versi yang ini menyebutkan bahwa Belanda tidak setuju dengan putra mahkota yang ditunjuk oleh Sultan HB VII untuk menggantikannya nanti. Calon raja tersebut, yakni Pangeran Akhadiyat, tiba-tiba tewas tanpa diketahui penyebabnya. Selain itu, Belanda juga tidak suka dengan gaya kepemimpinan Sultan HB VII sehingga menghendakinya turun takhta lebih cepat.



Adrian Vickers (2013:40) dalam A History of Modern Indonesia menulis, alasan Sultan HB VII mengakhiri jabatannya sebagai raja karena lelah dengan tekanan Belanda. Belanda menuntut HB VII untuk mengubah aturan tentang kepemilikan tanah kerajaan. Selain itu, sultan juga didesak agar mengurangi pengeluaran istana, terutama terkait gaji untuk anggota pegawai dan perangkat kraton lainnya.


Sebelum lengser, Sultan HB VII konon pernah berucap bahwa tidak akan ada raja Yogyakarta yang meninggal dunia di dalam istana setelah dirinya. Faktanya sejauh ini, ucapan HB VII tersebut – yang juga mangkat di pertapaannya yang berada di luar lingkungan kraton – masih berlaku.


Sultan HB VIII – penerus HB VII pengganti putra mahkota yang tewas misterius – menghembuskan nafas terakhir pada 2 Oktober 1939 di kereta api dalam perjalanan dari Batavia (Jakarta) usai menjemput calon penggantinya, GRM Dorojatun (kemudian bergelar Sultan HB IX). Sultan HB VIII meninggal dunia di Wates, Kulon Progo, yang sebenarnya tidak seberapa jauh dari pusat Kraton Yogyakarta.



Demikian pula dengan Sultan HB IX. Raja Yogyakarta yang berandil besar dalam perang kemerdekaan dan sempat menjadi Wakil Presiden RI ini wafat pada 2 Oktober 1988 di Washington, Amerika Serikat, karena serangan jantung (Centre for Strategic and International Studies, Inilah Mati yang Paling Hidup: Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 1912-1988, 1988:10).



Dalam buku Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru karya Pranoedjoe Poespaningrat (2008:233) disebutkan bahwa Sultan HB IX tidak sempat menunjuk putra mahkota sebelum wafat.



Adapun yang kemudian dinobatkan sebagai raja berikutnya adalah salah seorang putra HB IX yakni Raden Mas Herjuno Darpito, sebagai Sultan HB X. Sultan HB X masih bertakhta hingga saat ini sekaligus merangkap jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam naungan NKRI.



Intrik politik yang kerap menyertai suksesi kepemimpinan di Kesultanan Yogyakarta tampaknya masih terawat. Gejala sejenis pun mulai terlihat dalam situasi terkini Kraton Yogyakarta saat ini. Sultan HB X diketahui memiliki 5 orang anak, semuanya perempuan. Dan, Kesultanan Yogyakarta belum pernah sekalipun dipimpin oleh raja wanita sepanjang sejarahnya.



Tanggal 5 Mei 2015, Sultan HB X –yang masih punya beberapa adik kandung laki-laki– mengeluarkan sabda yang menyatakan bahwa putri pertamanya, GKR Pembayun, dianugerahi gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayaning Bawono Langgeng ing Mataram.



Selanjutnya, 31 Desember 2015, Sultan HB X kembali mengeluarkan sabda yang menegaskan bahwa pewaris takhta tidak bisa diturunkan kecuali kepada putra atau putrinya, dan siapapun yang tidak menuruti perintah raja akan dicabut gelar serta kedudukannya, juga dipersilakan pergi dari Bumi Mataram (Antara, 31 Desember 2015).



Dengan sabda raja itu, Sultan HB X telah menutup pintu bagi siapapun, termasuk adik-adiknya sedarah, yang ingin mengambil-alih garis takhta, termasuk dengan memberi putri sulungnya gelar Mangkubumi perempuan pertama dalam riwayat Kesultanan Yogyakarta.


* diambil dari sumber tirto.id