Powered By Blogger

Rabu, 26 Juni 2013

KYAI PENYAIR

at office
16:14
saat malam menjemput matahari yang memerah malu
by cak noer



Image result for zawawi imron
Dalam umur yang hampir 33 tahun ini, ada beberapa tokoh yang mempengaruhi saya soal seni, salah satunya adalah D Zawawi Imron. Bukan karena berasal dari daerah yang sama, daerah tempat peristirahatan di timur pulau garam, soengenep, begitu orang orang menyebutnya sejak zaman Singhasari.

D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Beliau mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982.
Sejak tamat Sekolah Rakyat, beliau melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.
Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.[1]
Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Beliau juga dikenal sebagai Budayawan Madura.
Pada tahun 2012 beliau menerima penghargaan "The S.E.A Write Award" di Bangkok Thailand, The S.E.A Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN.[2] Selain itu pada tahun 2012, di bulan Juli, beliau juga meluncurkan buku puisinya yang berjudul "Mata Badik Mata Puisi" di Makassar, kumpulan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar. [3]
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.

Salah satu puisi beliau yang saya "nukil" pada posting sebelumnya memiliki makna tergurat dalam di hati saya, bagaimana tidak, IBU, semesta bagi saya merupakan kerinduan yang sampai saat ini tidak tergantikan dahaganya. Beliau menggambarkan cintanya pada IBU lewat kata-kata indah khas orang pesisir Sumenep, lugas dan tegas, namun masih memiliki kelembutan cinta.tak ada yang meragukan ketika IBU menjadi tempat bersemayam hatinya (ibu tempat pertapaanku). 

Sajak atau puisi memang kata-kata yang dipilih dengan keindahannya untuk, menggambarkan imajinasi sang penyairnya, D Zawawi Imrom menjadi bukti bahwa orang-orang di pulan Madura masih memiliki imajinasi
seni yang indah, walaupun hidup dalam kekeringan seni budaya bila dibandingkan dengan jawa misalnya, eksistensi beliau dengan puisi-puisinya menjadi tanda, bahwa manusia memang memiliki kepandaian dalam memaknai hidup dalam suasana apapun.

Kyai Penyair, tulisan tanganmu memang hanya duniawi, tapi roh dalam puisimu membuat hati ini bergetar, selalu rindu akan cintaNYA.

puisi untuk IBU

office 15:25
26 Juni 2013

Apa yang bisa kita berikan untuk IBU kita ??? apakah cukup untuk menebus semua pengorbananya untuk kita ???
Salah satu karya D ZAWAWI IMRON ini memberikan gambaran bagi kita, bahwa ibu adalah segalanya, bukan hanya segalanya, tapi dunia bagi kita, anak-anak IBU.



IBU

karya D Zawawi Imron

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kkuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku

dan ibulah yang melatakkan aku disini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera

sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku