Pertanyaan pertama ketika saya diajarkan bagaimana melaksanakan sholat oleh ibu saya adalah "kenapa saya harus beragama" ?. Sebenarnya pertanyaan itu terus menggema di telinga saya dan menggelitik hati serta pikiran saya untuk menemukan jawabannya. Namun dari semua pencarian itu, jawaban pertama yang berasal dari ibu sayalah yang mempesona, "kita beragama agar hidup kita mendapat ridho ALLAH". Jawaban yang singkat dan menyejukkan hati saya. Kemanapun akal pikiran saya berkelana menerobos liarnya dunia, jawaban ibu saya menjadi dasar berpikir saya.
Manusia sejatinya
adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan langkah hidupnya. Akal
dan hati adalah kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Oleh karena
itu, manusia menjadi sempurna. Melalui kehidupan, manusia menghasilkan sebuah
perilaku keseharian yang bermuara pada kebudyaan manusia itu sendiri. Jadi
sangan jelas bahwa budaya berasal dari manusia. Sedangkan agama ada yang
berasal dari firman Tuhan, agama Samawi. Dan agama yang berasal dari kebudayaan manusia, kita menyebutnya sebagai agama kepercayaan kepada nenek moyang.
Mengenai agama dan
budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan
budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya
adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan
budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah
sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama,
yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan
ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat
kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut
agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang
memeluknya.
Di tengah
masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian orang
tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil
contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan
bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan
meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak
mengadakan tahlilan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal
yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan,
mengkafani, menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat
simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan
pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada
sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang
kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam
hal ini adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek
keberagamaan seperti itu secara proporsional.
Sekedar
perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama qurban
(sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah
perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah
masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan
dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan
kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu
’alam. Yang pasti bahwa “sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada
orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras dibandingkan dengan orang yang
tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.
Adalagi produk
budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga dianggap sebagai
bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah nabawi
(pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan diiringi
dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau musik
shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah
diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda
dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta
dinilai sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan
dalam katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis
dalam bahasa Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah
SAW dan doa kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya,
Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai tempat
kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk tradisi
yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang
dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan
dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam
budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu
tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak Islam?.
Apa yang dilakukan para wali songo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah sebuah contoh kolaborasi antara kebudayaan dan agama. Keberhasilan mereka dalam meramu kebudayaan dalam khasanah agama menjadikan Islam dapat diterima oleh masyarakat waktu itu. Satu hal yang menjadi warisan wali songo adalah Islam dengan kebudyaan nusantara, bukan kebudayaan Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar