Powered By Blogger

Selasa, 24 Januari 2017

Agama dan Budaya


Pertanyaan pertama ketika saya diajarkan bagaimana melaksanakan sholat oleh ibu saya adalah "kenapa saya harus beragama" ?.  Sebenarnya pertanyaan itu terus menggema di telinga saya dan menggelitik hati serta pikiran saya untuk menemukan jawabannya. Namun dari semua pencarian itu, jawaban pertama yang berasal dari ibu sayalah yang mempesona, "kita beragama agar hidup kita mendapat ridho ALLAH". Jawaban yang singkat dan menyejukkan hati saya. Kemanapun akal pikiran saya berkelana menerobos liarnya dunia, jawaban ibu saya menjadi dasar berpikir saya.

Manusia sejatinya adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan langkah hidupnya. Akal dan hati adalah kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia menjadi sempurna. Melalui kehidupan, manusia menghasilkan sebuah perilaku keseharian yang bermuara pada kebudyaan manusia itu sendiri. Jadi sangan jelas bahwa budaya berasal dari manusia. Sedangkan agama ada yang berasal dari firman Tuhan, agama Samawi. Dan agama yang berasal dari kebudayaan manusia, kita menyebutnya sebagai agama kepercayaan kepada nenek moyang.

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.

Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani, menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek keberagamaan seperti itu secara proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa “sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada Allah SWT. 

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak Islam?.

Apa yang dilakukan para wali songo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah sebuah contoh kolaborasi antara kebudayaan dan agama. Keberhasilan mereka dalam meramu kebudayaan dalam khasanah agama menjadikan Islam dapat diterima oleh masyarakat waktu itu. Satu hal yang menjadi warisan wali songo adalah Islam dengan kebudyaan nusantara, bukan kebudayaan Arab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar