Suatu ketika saya
menyempatkan untuk melihat sebuah karya photography di sebuah aplikasi online.
Seperti lukisan digital, perjalanan kebudayaan manusia yang semakin berkembang
membawa ekspektasi manusia terhadap seni semakin tinggi. Keinginan manusia untuk
mengabadikan keindahan di sekitarnya menjadikan kreatifitas manusia itu sendiri
semakin hakiki.
Photography saat ini
berkembang sangat pesat. Waktu kecil saya biasa melihat bapak saya menggunakan
kamera untuk mengabadikan kenangan-kenangan indah kami. Dalam 10 tahun terakhir
era digital juga merambah dunia photography. Sangat memudahkan manusia untuk
semakin berkreasi dalam dunianya. Banyak professional di bidang photography
yang mulai membedakan device era analog dengan digital. Di era analog, intuisi
manusia berperan penting, sedangkan di era digital, kecanggihanlah yang
menentukan. Lepas dari itu semua, kali ini saya ingin menyajikan cerita salah
seorang pribumi yang mencintai photography dalam hidupnya. Tulisan ini bukan
tentang photography, namun tentang bagaimana manusia mengagungkan hasil ciptaan
Tuhan.
Kisahnya dimulai di sebelah timur
Benteng Vredeburg Yogyakarta, dulu terdapat kawasan bernama Loji Kecil
Wetan. Kawasan itu kini berada di sekitar Taman Pintar dan Jalan Suryotomo. Di
situlah, pada pergantian abad ke-19 menuju 20, seorang berdarah Jawa bernama
Kassian Cephas tinggal. Di pergantian abad itu, usianya sudah 55 tahun.
Menurut Gerrit Knaap dalam Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (1999), orang ini lahir pada 15 Januari 1845 di Yogyakarta. Saat itu, Sultan Hamengkubuwana V masih bertakhta. Nama aslinya adalah Kassian, anak dari pasangan Kartodrono dan Minah. Nama Cephas melekat setelah ia dibaptis sebagai seorang Kristen pada 27 Desember 1860, di usia 15 tahun di Gereja Purworejo, Bagelen.
“Dia
salah satu dari dua laki-laki dan tiga perempuan murid Christina Petronella
Phillips-Steven, yang berdakwah ajaran Protestan kepada orang Jawa di masa
tersebut,” tulis Knapp.
Selain Kassian, di abad itu orang terkenal yang kemudian menganut Kristen adalah tokoh Kristen Jawa yang dikenal sebagai Kiai Sadrach. Laki-laki yang aslinya bernama Radin Abas dan dari keluarga Islam di Demak ini, menurut C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (1981), dibaptis pada “14 April 1867 [...] oleh Pendeta Ader di Portugeesche Buitenkerk” di Betawi. Setelah dibaptis di sana, Sadrach menuju Bagelen.
Selain Kassian, di abad itu orang terkenal yang kemudian menganut Kristen adalah tokoh Kristen Jawa yang dikenal sebagai Kiai Sadrach. Laki-laki yang aslinya bernama Radin Abas dan dari keluarga Islam di Demak ini, menurut C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (1981), dibaptis pada “14 April 1867 [...] oleh Pendeta Ader di Portugeesche Buitenkerk” di Betawi. Setelah dibaptis di sana, Sadrach menuju Bagelen.
Di rumah Christina dan
suaminya, Kassian menghabiskan masa bocahnya. Pada awal dekade 1860-an,
Kassian kembali ke kota kelahirannya, dan mulai magang kepada juru foto Simon
Willem Camerik. Nama terakhir adalah milisi berpangkat Letnan Dua yang tinggal
di Yogyakarta sekaligus seorang fotografer.
“Kassian Cephas dilatih sebagai fotografer sejak 1861 hingga 1871 […] Dia mungkin ditunjuk sebagai pelukis istana dan fotografer (oleh Sultan) pada awal tahun 1871,” demikian Knapp mencatat.
Selain itu, Kassian juga belajar dari Isidore van Kinsbergen—seorang fotografer kelahiran Belgia yang bekerja di Jawa Tengah pada 1863-1875 dan pernah memotret Candi Borobudur. Di masa-masa tersebut, raja di Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwana VI. Saat itu teknologi fotografi masih sangat rumit dan sekaligus barang yang luar biasa mewah.
Di tengah masa magangnya, pada sebuah gereja di Yogyakarta, Kassian menikahi Dina Rakijah, perempuan Kristen asal Tegal pada 22 Januari 1866. Dari perkawinan itu lahir empat anak: Naomi (28 Juni 1866), Sem (15 Maret 1870), Fares (30 Januari 1872), dan Jozef (4 Juli 1881). Putra pertamanya, Sem, adalah orang yang dikenal sebagai asisten ayahnya ketika mengambil gambar.
Foto terkenal Cephas salah satunya Taman Sari (1884) yang diproduksi untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan). Terkait dunia arkeologi, Cephas terlibat dalam pemotretan Candi Prambanan dan Borobudur. Dia adalah anggota lembaga penelitian bergengsi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dari 1896 hingga 1912.
Cephas sempat memotret bagian Karmawibangga yang tersembunyi di Candi Borobudur. Sebagai fotografer keraton, Cephas memotret kegiatan seni seperti Tari Bedaya. Dia juga pernah ikut mengabadikan kunjungan Raja Siam Chulalongkorn ke keraton. Dari Raja Siam, dia mendapat tiga kancing berhias batu permata. Karena jasanya mengabadikan kebudayaan Jawa, dia mendapat penghargaan Orde van Oranje-Nassau dari Kerajaan Belanda.
Di luar proyek-proyek tadi, tentu
saja Cephas adalah tukang potret. Pada masa Sultan
Hamengkubuwana VII, hidup Kassian Cephas sebagai tukang potret cukup makmur.
Harga foto masih sangat mahal.
Karena kemakmuran itu, Cephas pun mengajukan diri dan keluarganya untuk diproses Gelijkgesteld agar status hukum mereka disamakan dengan orang-orang Belanda atau Eropa. Status hukum yang sama dengan orang Belanda tentunya bisa menguntungkan kedua anaknya jika masuk ke dalam kehidupan kolonial. Termasuk memasukkan anak ke sekolah bermutu di zaman itu.
Staatsblad van Nederlandisch Indiƫ
(1891) pun mencatat nama Kassian Cephas bersama dua anaknya, Sem dan Feriz.
Untuk proses itu, biasanya mereka harus membayar ribuan gulden. Orang
pribumi Indonesia yang mengajukan biasanya punya posisi penting di
masyarakat. Cephas sendiri adalah fotografer profesional, pekerjaan yang masih
sangat langka di antara kaum pribumi.
Kassian Cephas meninggal pada 16 November 1912 di Yogyakarta, tepat pada hari ini 105 tahun lalu. Karya-karya fotografinya banyak digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tetap abadi hingga kini.
Kassian Cephas meninggal pada 16 November 1912 di Yogyakarta, tepat pada hari ini 105 tahun lalu. Karya-karya fotografinya banyak digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tetap abadi hingga kini.
* disadur dari beberapa sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar