Negara ini tidak pernah lepas dengan pergerakan pemuda. Mahasiswa menjadi pioner dalam pergerakan tersebut. Sedari tahun-tahun awal pergerakan para pemuda yang sadar akan bangsa dan negara yang merdeka, hingga yang paling mutakhir pada periode reformasi sekitar tahun 1998 - 2000. Tak jarang gerakan itu juga ditunggangi oleh kekuatan politik yang berseberangan dengan sang penguasa. Para kekuatan politik itu memanfaatkan gerakan para pemuda atau mahasiswa untuk menjatuhkan lawan politiknya, atau paling tidak membuat opini masyarakat mengarah pada propaganda yang dikehendaki.
Seperti yang dikisahkan oleh salah satu pelaku sejarah pergerakan mahasiswa pada tahun 1966. Dalam kisahnya dia bercerita bagaimana terjadinya gesekan antar pergerakan mahasiswa yang terpecah diakibatkan oleh kekuatan politik pada saat itu.
WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara,seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Seperti yang dikisahkan oleh salah satu pelaku sejarah pergerakan mahasiswa pada tahun 1966. Dalam kisahnya dia bercerita bagaimana terjadinya gesekan antar pergerakan mahasiswa yang terpecah diakibatkan oleh kekuatan politik pada saat itu.
WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara,seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
“Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang
supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten
82 tahun lalu tersebut.
Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota
Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengordinasi
anak-anak muda sesama “marhanenis” untuk melakukan reaksi atas
demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi
tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno.
“Bung Karno itu kan ibarat bapak kami sendiri, wajar dong jika
kami saat itu melakukan pembelaan terhadap beliau …” katanya kepada Historia.
Memasuki tahun 1966, desakan kelompok kanan untuk mengeliminasi
Presiden Sukarno dan kekuatan-kekuatan kiri semakin besar. Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didominasi aktivis-aktivis HMI dan PMKRI
(Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) hampir tiap waktu turun ke
jalan.
“Demonstrasi tersebut kerap diringi juga aksi penempelan poster
dan pamflet yang isinya menggugat pemerintahan Sukarno dan PKI,” ujar John R.
Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Aliansi kelompok mahasiswa kiri yang terdiri dari GMNI
Ali-Surachman, Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI), tentu tak diam saja. Mereka pun membuat demonstrasi
tandingan dan balik merobek poster-poster yang ditempelkan massa KAMI lalu
menggantinya dengan poster-poster yang diantaranya berbunyi : “Hidup Bung
Karno!” atau “KAMI kanan dan Ditunggangi Nekolim!”
Menurut Soe Hok Gie, beberapa hari sebelum turun ke jalan,
perwakilan GMNI-Germindo telah datang menemui Presiden Sukarno. Di hadapan sang
presiden, mereka berjanji untuk membela Bung Karno sampai mati. Hok Gie juga
juga melansir sebuah kabar yang ia dapat dari Soeripto, kawannya yang bekerja
di KOTI (Komando Operasi Tertinggi) bahwa telah disediakan sejumlah dana untuk menandingi
demonstrasi KAMI dan mendirikan Barisan Sukarno.
“Jumlahnya 100 juta rupiah…” tulis Soe Hok Gie dalam Catatan
Seorang Demonstran.
Bentrok antara massa akhirnya tak terelakan. Bukan saja di
jalanan, di kampus-kampus pun terjadi adu aksi berujung perkelahian. Suasana
semakin kritis karena kedua pihak sama-sama didukung oleh kesatuan-kesatuan
tentara. Itu terbukti saat chaos berlangsung di Salemba, suatu
peleton pasukan Cakrabirawa sempat membuat pos di suatu sudut kampus UI.
“Sementara pasukan-pasukan Kostrad dan RPKAD berpakaian preman
selalu siap melindungi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti Sukarno,” tulis
John Maxwell.
Perkembangan politik pada akhirnya tidak berpihak ke kubu kelompok
sayap kiri. Pada Maret 1967, Presiden Sukarno dilengserkan lewat sidang MPRS.
Jenderal Soeharto naik sebagai pejabat Presiden.Begitu berkuasa, Soeharto
langsung memberangus kekuatan-kekuatan kiri termasuk Germindo dan CGMI.
GMNI sendiri tentu saja langsung terkena imbas angina politik yang
tengah bertiup kencang. Unsur-unsur kanan kaum yang bercokol di PNI (Partai
Nasional Indonesia) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja kembali menemukan
momentumnya. Tanpa perlu waktu lama mereka pun membersihkan GMNI dari
unsur-unsur kiri dan lewat kongres-nya yang kelima mengganti pimpinannya dengan
orang-orang pro Orde Baru.
* sumber majalah Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar