JAYANAGARA menggantikan
takhta ayahnya, Kertarajasa sebagai raja Majapahit pada 1309. Jayanagara anak
Kertarajasa dari pernikahannya dengan Dara Petak, seorang putri asal Melayu
(Sumatera). Empat tahun setelah penobatannya, Jayanagara harus menghilang dari
istana Majapahit karena pemberontakan Kuti. Kuti adalah satu dari tujuh dharmaputera (pegawai
istana yang diistimewakan) oleh Kertarajasa, yang tidak puas dengan
pengangkatan Jayanagara.
Kuti berhasil menduduki istana, namun gagal menangkap Jayanagara.
Gajah Mada sebagai bekel (kepala pengawal) dengan limabelas orang
pasukannya yang disebut bhayangkara, menyelamatkan Jayanagara ke Desa Badander. Dia
melarang keras pengawalnya meninggalkan Badander demi menjaga rahasia lokasi
persembunyian. Bahkan, Gajah Mada membunuh seorang pengawal yang memaksa ingin
kembali ke Majapahit.
Lima hari kemudian, Gajah Mada sendiri yang pergi ke Majapahit
menemui pembesar dan warga Majapahit. Dia menyampaikan bahwa raja telah
terbunuh oleh pengikut Kuti. Mereka menangis, Gajah Mada berkata: “Diamlah!
Bukankah kamu sekalian memang ingin mengabdi kepada Kuti?” Warga menjawab, “Apa
katamu? Dia bukan tuan kita!” Dengan demikian, Gajah Mada tahu bahwa para
pembesar dan warga Majapahit berada di pihak Jayanagara.
Dibantu para pembesar Majapahit, Gajah Mada berhasil menumpas
pemberontakan Kuti. Jayanagara kembali ke istana dan berkuasa. Sebagai balas
jasa, Jayanagara mengangkat Gajah Mada menjadi patih di Kahuripan. Dua tahun
kemudian, dia menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai patih di Daha.
Sembilan tahun setelah pemberontakan Kuti, Jayanagara mati di
tangan Tanca, seorang dharmaputera. Cerita pembunuhan itu bermula pada 1328, saat
Tanca yang juga seorang tabib diminta mengoperasi bisul yang diderita
Jayanagara. Dalam operasi bisul yang ketiga kalinya itu Tanca menikam
Jayanagara di tempat tidurnya. Gajah Mada yang menunggu di samping raja segera
bangkit menusuk Tanca dan mati seketika itu juga.
Namun peristiwa pembunuhan itu masih simpang siur. Ada beberapa
versi sejarah tentang siapa sang pembunuh dan apa motifnya. Slamet Muljana
dalam Tafsir
Sejarah Nagara Kretagama, menyebutkan suatu hari Tanca menerima
laporan dari istrinya kalau Jayanagara berbuat tidak senonoh terhadap dua
saudara tirinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi Maharajasa. Tanca kemudian
mengadukannya pada Gajah Mada, namun tidak mengambil tindakan apa-apa.
“Ia (Tanca, red) menunggu kesempatan yang baik. Kebetulan Raja
Jayanagara menderita bisul yang menghendaki pembedahan,” tulis Slamet Muljana.
Momen mengobati sang raja digunakan sebagai jalan untuk membunuhnya.
Versi lain menurut arkeolog Belanda N.J. Krom dalam Hindoe-Javaansche
Geschiedenis, sebagaimana dikutip Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia,
istri Tanca menyebarkan berita bahwa dirinya dicabuli Jayanagara. Mendengar hal
itu Gajah Mada malah balik menuduh dan mengadukan Tanca menebarkan fitnah.
Versi lain yang lebih menyentak, tulis Parakitri, “menurut N.J.
Krom lagi, dalam tradisi Bali, justru Gajah Mada yang menjadi otak pembunuhan
tersebut. Konon Raja Jayanagara mencabuli istri Gajah Mada. Tanca hanya
diperalat oleh Gajah Mada untuk membunuh Jayanagara.”
Slamet Muljana juga menafsirkan bahwa Gajah Mada yang pada
hakikatnya tidak suka pada sikap Jayanagara, menggunakan Tanca sebagai alat
untuk memusnahkan sang prabu. Untuk menyelimuti perbuatannya, dia segera
membunuh Tanca. “Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah
Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk dharmaputeraTanca
sampai mati,” tulis Slamet Muljana.
Bantahan Muhammad Yamin
Sementara itu, Muhammad Yamin dalam Gajah Mada
Pahlawan Persatuan Nusantara, menyebut bahwa Tanca
terus-menerus merasa tak senang pada raja atas kejadian yang menimpa Kuti,
kawan Tanca sesama dharmaputera.
Secara ketus Yamin menulis, “awal sengketa berasal dari mulut
seorang perempuan, yaitu istri Darmaputera Ra Tanca. Istri ini mengeluarkan
perkataan bahwa dia mendapat gangguan dari Sang Prabu. Kabar angin menimbulkan
kegemparan dalam keraton dan di pusat pemerintahahan.”
Gajah Mada kemudian memeriksa Tanca. Namun, waktu pemeriksaan
berjalan, raja sakit dan meminta Tanca membedah bisulnya. Kesempatan itu
digunakan Tanca untuk melepaskan dendamnya membunuh raja.
Yamin, pengagum dan penemu wajah Gajah Mada, membela Gajah Mada.
“Di belakang lakon yang menyedihkan hati ini, terbayang pula suatu tuduhan
kepada Gajah Mada bahwa dialah yang mendorong Ra Tanca berlaku demikian, karena
kabarnya Sang Prabu salah lihat dan salah raba kepada istri Gajah Mada yang
teguh setia itu. Namun, tuduhan ini tak beralasan dan berlawanan dengan
kesetian hatinya kepada Seri Mahkota,” tulis Yamin.
Lepas dari terlibat atau tidaknya dalam pembunuhan Jayanagara,
karir Gajah Mada terus menanjak. Pasca Jayanagara mangkat, digantikan ibu
tirinya, Gayatri dengan anaknya, Tribhuwana sebagai pelaksana pemerintahan
karena dia juga menjadi rani di Kahuripan. Pada 1334, Gajah Mada diangkat
menjadi mahapatih menggantikan Arya Tadah yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan
meminta pensiun.
Setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana tetap sebagai
pelaksana pemerintahan Majapahit. Dari pernikahannya dengan raja Singhasari,
Kertawardhana, dia dikaruniai dua putri dan satu putra, yakni Hayam Wuruk yang
lahir pada 1334. Setelah Tribhuwana meninggal pada 1350, Hayam Wuruk diangkat
sebagai raja Majapahit dalam usia 17 tahun.
Pada waktu penobatan Hayam Wuruk, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya
yang tersohor, Sumpah Palapa (Amukti Palapa): “Jika telah menundukkan
Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan
beristirahat!"
diambil dari majalah Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar