Radikalisme mengatasnamakan agama di Indonesia sejatinya tak hanya di mulai pada medio tahun 2000an, namun terdapat sebuah peristiwa pada tahun 1981 yang menggegerkan jagad Indonesia kala itu. Kelompok radikalisme tersebut membajak salah satu pesawat Garuda Indonesia sebagai kepentingan kampanye gerakannya.
JUMAT pagi, di Bandara
Talang Betutu, Palembang, 28 Maret 1981. Seperti biasa, Kapten Herman Rante,
pilot berusia 38 tahun bersiap-siap menerbangkan pesawat yang dikemudikannya.
Setelah transit di Palembang, pesawat DC-9 Garuda “Woyla” bernomor penerbangan
206 rute Jakarta-Medan itu akan menuju Bandara Polonia.
Beberapa menit setelah lepas landas, terdengar kegaduhan dari
arah belakang. Lima laki-laki telah menguasai pesawat bagian tengah. Seorang
dari komplotan itu menuju kokpit. Pistol jenis revolver cal 38 ditodongkan ke
kepala Herman Rante. Herman Rante menyadari pesawat yang dikemudikannya sedang
dibajak.
Secara sembunyi-sembunyi, Herman Rante sempat mengirim sinyal
kepada pesawat terdekat. Beruntung, sinyal itu ditangkap oleh Kapten A. Sapari,
pesawat Garuda F -28 yang baru terbang dari Pekan Baru. “Dan ketika kedua pilot
itu berhubungan, Sapari mendengar suara Herman yang gugup. Herman berbicara, “Being hijacked . . . being hijacked . . .,”
(“Dibajak…dibajak”-red) dilansir Tempo,
4-11 April 1981.
Dari kontak itu, berita pembajakan Garuda 206 “Woyla” mencuat
hingga Jakarta. Saat itu hampir seluruh petinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) sedang mengikut Rapimnas tahunan di Ambon, kecuali
Pangkopkamtib, Laksamana Soedomo. Mendengar berita dari Soedomo, Menteri
Pertahanan Jendral M. Jusuf meminta Asisten Intelijen Hankam merangkap Kepala
Badan Intelijen Strategis (BAIS), Letnan Jendral Benny Murdani untuk kembali ke
Jakarta.
Reaksi Soeharto
Di Jalan Cendana, Jakarta, Benny Murdani bersama Soedomo melapor
kepada Presiden Soeharto. Benny memohon izin untuk melaksanakan opsi militer.
Julius Pour dalam Benny Murdani:
Profil Prajurit Negarawan, mengutip percakapan antara Benny
Murdani dan Soeharto kala itu.
“Kamu sudah perkirakan, kemungkinan berhasilnya,” tanya Soeharto
“Fifty-fifty, Pak,” jawab
Benny
“Laksanaken,” Presiden Soeharto merestui.
Benny Murdani segera menunjuk Letnan Kolonel Sintong Panjaitan
menjadi komandan operasi. Sintong merupakan komandan Grup IV/Sandiyudha,
Kopassandha (sekarang Kopassus).
Operasi Antiteror
Sementara itu, pesawat yang tadinya menuju Medan, dialihkan
rutenya menuju Thailand. Di Bandara Don Muang, Bangkok, 42 penumpang yang
disandera mendapat intimidasi. Pendingin ruangan dalam pesawat dimatikan.
Akibatnya, banyak penumpang kepanasan dan menjadi lemas. Tiap perlawanan atau
gerakan mencurigakan dari sandera pria tak jarang dibalas tempelengan dari
pembajak, seraya mengancam akan meledakan pesawat dengan granat. Menurut Kompas, 3 April 1981, selain pistol dan senjata tajam,
pembajak juga membawa alat peledak berupa dua stick dinamit, sebuah TNT ukuran
5x5x7, sebuah granat, dan satu detonator.
"Benda-benda berharga penumpang seperti dompet dan
perhiasan dilucuti kelompok pembajak. Seorang penumpang bernama Emma (21 tahun),
hanya bisa pasrah ketika seorang pembajak melucuti gelangnya seberat 20 gram,
arloji, dan uang tunai Rp 300.000," dilansir Angkatan
Bersenjata, 2 April 1981.
Menurut B. Wiwoho dalam Operasi Woyla:
Sebuah Dokumen Sejarah, dua dari kawanan pembajak juga
melakukan tindakan pelecehan kepada beberapa penumpang perempuan. Di Bangkok,
Kepala Badan Kordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Jenderal Yoga Sugomo menjadi
perwakilan Indonesia sebagai negosiator. Yoga hendak mengulur waktu sembari
Benny Murdani dan Sintong mempersiapkan pasukannya. Kepada Yoga, pemimpin
pembajak mengajukan tuntutannya:
Pembajak meminta agar rekan-rekannya yang tertangkap dalam
Peristiwa Cicendo dibebaskan. Peristiwa yang dimaksud adalah penyerangan pos
polisi di Cicendo, Bandung yang dilakukan pemuda-pemuda kelompok Jamaah Imran,
sebuah perkumpulan Islam radikal pada 11 Maret 1981. Selain itu, “… Uang
tebusan sebesar 1,5 juta dolar, serta sebuah pesawat untuk menerbangkan para
pembajak dan rekannya yang telah dibebaskan ke suatu tujuan yang belum
diketahui (diperkirakan Libya),” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Setelah Yoga berunding dan berjanji tuntutan pembajak akan
terpenuhi pada keesokan pagi, pasukan Sintong bergerak membebaskan pesawat,
pada pukul 02.00 dini hari, 31 Maret 1981. Sebelumnya sempat terjadi perdebatan
pasukan mana yang akan melakukan operasi: ABRI atau Tentara Kerajaan Thailand.
Namun setelah diadakan simulasi pembebasan, ternyata pasukan Sintong jauh lebih
cepat daripada tentara Thailand.
Operasi pembebasan berjalan sukses. Meski demikian baku tembak
tak terhindarkan. Saat penyergapan, seorang pembajak menembakan pistolnya yang
mengenai Herman Rante yang duduk di bangku kemudi sebelah kiri. “Rante ditembak
pembajak yang menjaga bagian kokpit pada pelipis kirinya, ketika bereaksi
dengan coba memutar badan ke belakang,” tulis B. Wiwoho. Kendati sempat
mendapat perawatan, Rante meninggal enam hari kemudian.
Di pihak Kopassus, seorang prajurit gugur dalam penyergapan itu.
Namanya Ahmad Kirang, seorang Calon Perwira (Capa). Saat pasukan penyergap
mendobrak pintu belakang Kirang dengan cepat menaiki tangga hidrolik.
Namun malangnya dia langsung terkena tembakan di bagian bawah perut nya yang
tak dilindungi rompi antipeluru.
Dalam biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang
Prajurit karya Hendro Subroto, tembakan terhadap Kirang
diakibatkan pintu hidrolik yang terbuka secara mekanis dengan memakan waktu
yang cukup lama. Ketika pintu terbuka, pembajak telah bersiap melepaskan
tembakan.
Tiga pembajak tewas seketika. Sedangkan dua lainnya tewas
setelah mengalami luka berat. Sesaat sebelum meninggal salah seorang pembajak
yang sekarat, seperti dikutip Kompas,
4 April 1981, diketahui bernama Wendi sempat mencatat identitas semua anggota
kelompoknya. Nama-nama itu ditulis pada secarik kertas yang disodorkan
kepadanya oleh petugas keamanan Angkatan Udara Thailand. Mereka antara lain:
Fahrizal (pemimpin pembajakan), Abu Sofyan, Abdullah, Zulfikar, dan Wendi.
Wendi tak lain merupakan adik kandung dari Imran.
Menurut Laksamana Soedomo, dalam konferensi pers dikutip Angkatan Bersenjata, 1 April 1981, kelompok pembajak ini
melakukan aksi-aksi yang memaksakan kehendaknya untuk mendirikan agama Islam di
Indonesia. Imran bin Muhammad Zein divonis mati oleh pengadilan karena didakwa
sebagai otak dibalik aksi teror dan pembajakan pesawat Garuda Woyla tersebut.
Dia akhirnya dieksekusi pada 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar