Seorang pemimpin seperti Sukarno sejatinya memiliki visi
tentang bagaimanan membangun sebuah ibu kota yang bisa menjadi kebanggaan
bangsa. Menjadikan symbol bagi sebuah cita-cita masa depan. Sukarno
melakukannya kepada Jakarta yang ia percayai dapat membuat Indonesia tidak
dipandang sebelah mata oleh dunia. Berikut salah satu peran Sukarno dalam
membangun Jakarta.
Jalan M.H. Thamrin di Jakarta Pusat kini tampil lebih
elok. Trotoar berdesain modern dan lebar terhampar di sisi kiri dan kanan untuk
memanjakan para pedestrian. Lengkap dengan lampu cantik dan fasilitas pendukung
untuk kaum difabel. Zebra-cross dan yellow box
junction kelihatan mencolok dengan warna putih dan kuning di
tiap simpangan. Marka di tengah jalan tampak cerah bagi para pengendara
bermotor.
“Kayak
di luar negeri, ya,” kata Chairul Muttaqien, seorang pedestrian, kepada Historia. Dia membawa istri dan anaknya untuk berjalan kaki
malam hari di Jalan M.H. Thamrin. Dia memfoto keduanya dengan latar trotoar,
lampu, dan gedung pencakar langit.
Pemerintah
pusat bersama pemerintah daerah Jakarta memperindah Jalan M.H. Thamrin untuk
menyambut Asian Games 2018. Jalan ini merupakan arena tanding untuk cabang
olahraga lari Marathon. Dan kini ia jadi tempat instagramable (menarik
diunggah ke Instagram) bagi warga. Puluhan tahun setelah pembuatannya kali
pertama pada 1949.
Jalan
ini bermula dari pengembangan Kebayoran Baru sebagai kota satelit Jakarta pada
1948. “Tujuannya untuk menanggulangi masalah kekurangan perumahan yang dialami
kota Jakarta,” kata Siswantari, pengajar Program Studi Sejarah pada Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, kepada Historia.
Siswantari
pernah meneliti pembangunan Kebayoran Baru dan dampaknya bagi Jakarta.
Kebayoran Baru terletak di selatan Jakarta. Sekira tujuh kilometer dari
pusat kota. Ia memerlukan akses jalan dari dan menuju pusat kota. Jakarta waktu
itu memiliki pusat kota di wilayah Medan Merdeka hingga kawasan Jalan Hayam
Wuruk-Gajah Mada, dan kota tua. “Pusat perniagaan di Jakarta yang ternama,”
ungkap Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953 dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966.
“Khusus
pada awal pembangunan kotabaru Kebayoran sarana jalan sangat berguna untuk
pengangkutan bahan-bahan bangunan, pegawai, dan buruh,” tulis Siswantari dalam Pembangunan Kota Baru Kebayoran Sebagai Kawasan Pemukiman Penduduk
(1948-1953).
Pemerintah
Kotapraja Jakarta menetapkan jalan itu akan membentang sekira tujuh kilometer
dan menghubungkan Kebayoran Baru di selatan dengan kawasan Medan Merdeka-Hayam
Wuruk-Gajah Mada di utara.
Jalan
itu terbagi dua seksi: seksi satu sejauh empat kilometer dan seksi dua
sepanjang dua kilometeran. Jalan pertama bernama Sudirman, sedangkan jalan
kedua kelak disebut M.H. Thamrin.
Pembuatan
jalan mempunyai target rampung pada 1950 dengan dua tahap. Pertama, pembebasan
lahan. Kedua, pengerjaan fisiknya. Tapi warga kampung di atas lahan jalan seksi
kedua enggan melepas tanahnya begitu saja. Mereka ingin ganti rugi sepadan.
Dialog makan waktu lama. Tenggat perampungan jalan pun meleset.
Pemerintah
Kotapraja sulit memenuhi keinginan warga. Pemerintah yakin lahan jalan itu
milik mereka, tapi menganggur bertahun-tahun. Akhirnya warga mendirikan
bangunan tempat tinggal di atasnya tanpa izin alias liar. Pemerintah
berkesimpulan warga tak berhak menuntut ganti rugi. Tapi sebagai gantinya,
pemerintah menawarkan penampungan di wilayah Bendungan Hilir, lima kilometer
dari tempat tinggal lama warga.
Warga
mengabaikan tawaran Pemerintah Kotapradja. Dua kepentingan gagal berdamai.
Bentrok fisik pun meletus. Pemerintah Kotapraja membongkar ratusan rumah di
lahan tersebut pada Agustus 1951. Polisi menembak pistol ke udara dan menangkap
beberapa orang. Perlawanan warga pun surut.
Pembuatan
jalan itu baru selesai pada 1952. Penamaan jalan mengambil nama tokoh
pergerakan nasional: M.H. Thamrin. Tokoh ini berjuang keras melawan penggusuran
terhadap warga kampung selama masa kolonial. Tapi pada masa kemerdekaan, ketika
dia telah wafat, namanya justru menjadi sebuah jalan yang dibuat dengan
menggusur warga kampung
Aspal jalan M.H. Thamrin berbeda dari aspal jalan lainnya
di Jakarta. Lebih berdaya tahan lama terhadap tekanan kendaraan dan air hujan.
“Jalan ini adalah yang terbaik di Indonesia,” tulis Buntarman dalam Djakarta Kota Lambang Kemerdekaan, terbitan 1958.
Jalan
M.H. Thamrin mempunyai dua jalur untuk kendaraan menuju dan dari arah Kebayoran.
“Di tengah-tengah ada sebuah tanah rumput yang lebarnya enam meter,” tulis
Kementerian Penerangan dalam Kotapradja
Djakarta Raya, terbitan 1958. Tiap jalurnya terdiri atas tiga
lajur dan lebih lebar daripada lajur jalan lainnya di Jakarta.
Dua
lajur jalan M.H. Thamrin untuk kendaraan bermotor dan berkecepatan tinggi. Satu
lajur lagi untuk kendaraan lebih lambat seperti becak dan sepeda. Juga ada
trotoar selebar tiga meter untuk pedestrian. Pembagian jalan secara teratur
begini jadi ciri kota-kota modern di dunia dan sebentuk penghormatan pada nyawa
manusia. “Dengan lalu-lintas demikian kecelakaan dapat dikurangi pula,” tulis
Buntarman.
Jalan
M.H. Thamrin memperoleh sentuhan ulang pada 1960-an ketika situasi politik
Indonesia berayun ke arah Sukarno. Dia memperoleh kembali tempatnya sebagai
pengarah dan penentu revolusi Indonesia. Dia memilih Jakarta sebagai ruang
perwujudan ide-ide revolusionernya tentang Indonesia dan cita-cita besarnya
tentang kota.
“Kita…,
saudara-saudara, sudah cari, cari, cari tempat, tetapi akhirnya pemilihan kita
ialah kepada Jakarta. Tetapi Jakarta masih harus kita bangun dengan cara yang
baru, dengan cara yang memberi inspirasi kepada kita semuanya, memberi
inspirasi kepada pembangunan rakyat Indonesia,” demikian sepotong pidato
Sukarno tentang cita-cita pembangunannya untuk Jakarta, sebagaimana dikutip
oleh Abidin Kusno dalam Zaman Baru
Generasi Modernis.
Kebetulan
pula Jakarta terpilih sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Inilah kesempatan
bagi Sukarno untuk menunjukkan Indonesia baru lewat Jakarta. Tidak hanya kepada
seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga warga dunia. Dan salah satu ruang untuk
itu terhampar di jalan sepanjang dua kilometeran: Jalan M.H. Thamrin.
Sukarno memasukkan gagasan membangun Jakarta dalam
Pembangunan Nasional Semesta Berentjana 1961-1969 pada 1 Januari 1961.
“Sebagian dari rencana itu ialah untuk merobah kota Djakarta, sehingga
Indonesia mempunyai ibukota dengan jalan-jalan yang lebar, taman-taman yang
indah, dan gedung-gedung nasional yang besar dan tinggi,” tulis R.O. Simatupang
dalam Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja.
Sukarno
tak mau berlama-lama dengan gagasannya. Dia lekas memerintahkan pekerja
konstruksi untuk melebarkan Jalan M.H. Thamrin guna mendukung Asian Games 1962.
“Jalan itu seluruhnya nanti akan selebar 49 meter,” tulis Star Weekly, 4 Februari 1961.
Gagasan
pelebaran jalan Thamrin mengambil inspirasi dari jalan-jalan lebar (boulevard) di kota-kota modern dunia. Jalan lebar berfungsi
untuk melancarkan lalu-lintas kendaraan bermotor.
Tak
boleh ada kemacetan di jalan M.H. Thamrin, sebab kemacetan menjadi tanda
kerusakan suatu kota. Maka Sukarno menginginkan sebuah cara untuk memecah
kemacetan di simpangan antara Jalan M.H. Thamrin dengan Jalan Jenderal
Sudirman.
Cara
itu mewujud dalam bundaran. Di tengah bundaran itu nantinya berdiri dua buah
patung berbentuk orang melambaikan tangan sedang menyambut tetamu. “Bundaran
ini dianggap sebagai pintu gerbang kota Jakarta,” tulis Farabi Fakih dalam Membayangkan Ibukota di Bawah Soekarno.
Sukarno
juga punya visi bahwa di sepanjang jalan M.H. Thamrin harus berdiri bangunan
megah. “Mempunyai kualitas melayang tinggi ke atas, berteriak ke angkasa
meninggalkan tanah,” tulis Abidin Kusno. Bangunan itu berupa gedung setinggi
minimal enam lantai. Rancangan gedung-gedung itu terdapat dalam maket tiga
dimensi di Gedung Pola, Jakarta.
Tiga
gedung pencakar langit gagasan Sukarno ialah Hotel Indonesia, Wisma Nusantara,
dan toko serba ada Sarinah. Hotel Indonesia menjadi satu-satunya bangunan
pencakar langit yang kelar dibangun sebelum Asian Games 1962 di jalan M.H.
Thamrin. Sisanya berdiri setelah Asian Games.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar