Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

Tetralogi Buru


23 November 2011
14:51


tetralogi Buru bisa dibilang merupakan satu upaya Pramoedya Ananta Toer untuk menjawab apa itu menjadi Indonesia. Di akhir tahun 50an, ketika perkara menjadi Indonesia sedang hangat, jika tak bisa dikatakan panas, ia mulai memikirkan satu seri novel yang bisa mencari dan melacak jejak-jejak nasionalisme Indonesia.

Jawaban Pramoedya adalah kembali ke akhir abad 19 hingga awal abad 20. Itulah memang masa subur benih-benih nasionalisme Indonesia mulai disemai dan bertunas. Dalam hal ini, Pramoedya berhasil menemukan tokoh ideal anak kandung semangat ini: Tirto Adhi Soerjo. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno, atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka, tapi seorang wartawan sekaligus penulis roman.



Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) merupakan perintis suratkabar dan kewartawanan nasional. Melalui Tirto, Pramoedya bisa mencomot simbol-simbol nasionalisme Indonesia. Terutama karena Tirto merupakan pendiri suratkabar pertama berbahasa Melayu, Medan Prijaji. Tirto ini pula yang mengerti fungsi organisasi sebagai motor gerakan nasional, dengan membentuk Sarekat Dagang Islam.

Begitulah Pramoedya kemudian mempergunakan Tirto sebagai model untuk tokoh Minke dalam tetralogi Buru. Karya ini terdiri dari empat rangkaian novel, yang saling bersambung sekaligus masing-masing bisa dianggap karya terpisah: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), danRumah Kaca (1988).
Sekaligus melalui karya tersebut, Pramoedya memperlihatkan betapa nasionalisme Indonesia pada dasarnya merupakan anak kandung yang sah dari modernisme (sekali lagi modern-isme) Indonesia. Barangkali bahkan bisa dikatakan, tetralogi Buru sebagai sebuah karya modern dalam makna yang sesungguhnya: di sana lah “identitas” menjadi penting dan manusia serta kemanusiaan menjadi perkara utama di atas segalanya. Dengan kata lain, modernisme merupakan tema pokok karya ini dan dari sanalah bagaimana nasionalisme Indonesia dibentuk.
Digambarkan Minke merupakan protagonis dengan latar belakang anak priyayi, feodal Jawa. Itu menjadi latar belakang yang kontras karena kemudian Minke bicara mengenai pencerahan, revolusi Prancis, serta kesetaraan (misalnya dikisahkan bagaimana ia lebih suka memilih bahasa Melayu yang tak mengenal strata daripada bahasa Jawa yang berjenjang-jenjang).
Tokoh ini bukan tanpa karakter tragik sama sekali: di satu sisi ia mencoba membebaskan diri dari kungkungan feodalisme, di sisi lain ia demikian terpukau oleh modernisme yang dibawa oleh orang Eropa; keterpukauan yang kadang harus diingatkan oleh teman-teman Eropanya juga. Di satu sisi ia belajar dari orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari belenggu tradisinya, namun sekali lagi, di sisi lain ia harus melawan orang-orang Eropa ini demi merebut kembali tafsir akan kepribumiannya. Jangan dilupakan pula: ia jatuh cinta kepada gadis Indo, gadis Cina, dan puteri Maluku. Di sini ada sejenis kritik tersembunyi: semuanya dilihat dari kepala orang Jawa (Minke), dan menjadi “modern” seolah-olah sekadar menjadi “tidak Jawa” (atau menikah dengan bukan orang Jawa).
“Modern” tak hanya layak dimateraikan kepada novel-novel ini menyangkut temanya, melainkan juga atas bagaimana karya ini ditulis Pramoedya. Ditulis dalam bentuk sejenis memoar, tetralogi Buru memperlihatkan karakter utama dari apa yang disebut modern: segala sesuatu dipersonifikasikan ke dalam diri, subyek. Begitulah bagaimana Indonesia, tepatnya sejarah Indonesia yang sedang bergerak di pergantian abad itu, dilihat dari cara pandang Minke. Meskipun begitu, di beberapa tempat kita bisa menemukan bagaimana subyek ini bergerak dari tokoh satu ke tokoh lain (misalnya Nyai Ontosoroh), hanya untuk menemukan semesta tetap dilihat dengan cara dipersonifikasi.
Secara mengejutkan, di novel keempat, Rumah Kaca, kita menemukan apa yang selama ini menjadi subyek, tak lebih dari obyek. Hanya dengan cara mengetahui apa itu “modern” bisa mengerti permainan ini.
Di novel ini, tafsir mengenai ke-indonesia-an jelas bukan sesuatu proyek gemilang yang berakhir bahagia. Minke meninggal di masa ketika kebanyakan orang justru mulai melupakannya, sendirian dan terasing. Demikian pula penafsiran ini tak juga kunjung gemilang ketika novel tersebut mulai dipikirkan pengarangnya. Barangkali Pramoedya tak akan pernah menuliskan tetralogi Buru seandainya apa yang disebut Indonesia telah terang-benderang dan tak ada masalah. Kenyataannya di awal tahun 60an keadaan demikian gawat: persaingan antara Partai Komunis dan militer nyata terlihat; Soekarno memimpin dengan demokrasi yang “terpimpin”; perang dingin merongrong di luar dan di dalam perbatasan. Tetralogi Buru bisa dikatakan merupakan usaha lebih lanjut Pramoedya dari apa yang telah dilakukan Tirto Adhi Soerjo setengah abad sebelumnya.
Novel ini seolah melengkapi nasib tragik untuk menemukan tafsir menjadi Indonesia yang diangankannya. Meskipun telah direncanakan sejak akhir tahun 50an, tetralogi Buru baru ditulis sekitar dua belas tahun kemudian, di dalam tahanan.
Inilah yang diperoleh Indonesia dalam usahanya menjadi “modern” di tahun 65. Pemberontakan yang gagal oleh segerombolan orang yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September, menjadi awal perburuan orang-orang Komunis dan simpatisannya. Pramoedya yang dikenal sebagai salah satu ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia, menjadi salah satu yang kemudian ditangkap oleh tentara. Itu kali ketiga ia masuk tahanan: pertama kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda di masa agresi militer karena ketahuan membawa selebaran gelap, kedua ditahan A.H. Nasution di masa Soekarno karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia, yang membela keberadaan etnis Cina.
Ia sempat ditahan di penjara Salemba, kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Pada tanggal 16 Agustus 1969, Pramoedya memulai hari-hari pembuangannya yang terentang hingga 10 tahun di Pulau Buru, sebuah pulau di bagian selatan Maluku. Bersama ribuan tahanan politik lainnya, ia menebang kayu, membuka lahan, berternak ayam, dan dilarang menulis. Izin untuk menulis baru ia terima empat tahun kemudian, dan dari sanalah ia menulis beberapa karya penting, di antaranya empat serangkai novel yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai Karya Buru, mengacu ke tempat novel-novel itu ditulis dan pengarangnya ditahan.
Novel pertama, Bumi Manusia, terbit setahun setelah Pramoedya dibebaskan tahun 1979, melalui penerbitan yang didirikannya bersama teman sesama veteran Pulau Buru, Hasta Mitra. Disusul novel kedua, Anak Semua Bangsa enam bulan kemudian. Meskipun memperoleh sambutan penuh antusias dari pembaca, kedua novel ini ditanggapi dengan sinis oleh pemerintah: dibreidel. Seorang mahasiswa bahkan harus masuk penjara karena menjual novel ini. Melalui Hasta Mitra, dengan gigih Pramoedya terus menerbitkan karya-karya burunya, dan dengan gigih pula, Kejaksaan Agung terus membreidelnya.
Inilah harga yang harus dibayar novel “modern” di Indonesia yang konon “modern”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar