Powered By Blogger

Rabu, 24 Januari 2018

Sekilas Tentang Islam Sinkretisme dan Puritan



Sinkretisme kebudayaan inilah yang akhirnya berkembang dan menjadi ciri khas islam nusantara yang tidak ditemukan di belahan bumi lainnya. Sepertiyang dibawa oleh kelompok petani abangan misalnya, adalah system perpaduan antara budaya Islam dan budaya Lokal. Budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permisif terhadap unsut kebudyaan lokal. Oleh karena sifat kebudayaan itu dinamis, maka budaya sinkretis juga dinamis. Sebagai contoh budaya sinkretis yang wujudunya sebagai tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, sesaji, nyalap berkah dan seterusnya, dari dulu hingga sekarang tidaklah sama. Masyarakat saat ini melihat tradisi tersebut sebagai tradisi saat ini, tanpa disadari tradisi tersebut adalah turun temurun yang wujudnya terus berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia pada zamannya. Walaupun tradisi tersebut berubah dan berkembang, namun tetap memperlihatkan adanya suatu benang merah, yaitu hadirnya doa-doa Islam sebagai roh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah dalam budaya Islam sinkretis.

Doa-doa Islami dan peranglat-perangkat lokal tidak diikat oleh aturan tertentu. Seperti dalam “slametan” misalnya, alamin diucapkan ngalamin, alaikum diucapkan ngalaikum dan banyak lagi yang lainnya. Walaupun akan memiliki makna yang berbeda secara Bahasa, namun hal ini diperbolehkan dan sah-sah saja dalam budaya sinkretis. Demikian pula perangkat-perangkat yang disajikan tidaklah harus sama. Setiap komunitas memiliki budayanya sendiri yang direpresentasikan dengan keunikan daerahnya masing-masing. Meskipun memiliki keunikan masing-masing, namun keharmonisan yang terjadi di masyarakat ini tidaklah menimbulkan konflik yang berarti. Kalaupun terjadi konflik kebudayaan, itupun tidak meluas.

Aspek keharmonisan inilah yang membuat kebanyakan masyarakat di pedesaan merasa dekat dengan kelompok Islan sinkretis. Hal ini pula yang membuat mereka masih mempertahankan tradisi sinkretisme, terutama kepercayaan terhadap para tokoh Islam yang dipercaya merupakan seorang “wali” atau wakil Tuhan di dunia. Kebudayaan seperti inilah yang selalu ditentang oleh kaum puritan.
Kaum puritan menerjemahkan Islam haruslah murni. Kegiatan kebudayaan yang mengatasnamakan agama haruslah benar-benar sejalan dengan aturan atau syariat Islam yang tidak dapat kita pungkiri membawa kebudayaan ketika agama Islam diturunkan, yaitu kebudayaan Arab. Kegiatan masyarakat seperti slametan, ziarah makam para wali dan yang lainnya merupakan bid’ah bagi kaum puritan. Sesuatu yang belum pernah ada pada zaman Nabi Muhammad merupakan sebuah keniscayaan kebudayaan yang “haram” dilakukan. Walaupun paham kaum puritan mendapat tantangan dari kebudayaan lokal, namun paham ini terus hidup sebagai sebuah khazanah kebudayaan Islam nusantara.

Begitu pula dengan Islam sinkretis sebagai sebuah kebudayaan lokal tampaknya lebih merupakan objek yang tertekan oleh system budaya Islam puritan yang bersifat ekspansif. Namun demikian, secara subtansif Islam sinkretis juga mengimbangi dengan suatu resistensi terutama yang menyangkut system kepercayaan dan institusi-institusi social dalam bentuk kultur kearifan lokal.
Sejatinya pada tataran teoretis terdapat dua konsep penting yang dimiliki oleh setiap agama, yang dapat mempengaruhi pemeluknya dalam interaksi di antara mereka, yaitu fanatisme dan toleransi. Dua konsep ini selalu dipraktikkan dalam pola yang seimbang, karena ketidakseimbangan di antara keduanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial antar pemeluknya (Turmudi, 2003).

Hal ini sering terlihat di lapangan, bahwa jika fanatisme terlalu kuat sementara toleransi rendah, maka eksistensi agamanya menjadi menguat dan sering menimbulkan permusuhan terhadap penganut agama lain. Sebaliknya, jika fanatisme terlalu lemah sementara toleransi tinggi, maka eksistensi agamanya menjadi melemah karena mereka merasa tidak bangga dengan agama yang dianutnya.

Keanekaragaman budaya, ras, suku bangsa, etnik, dan golongan di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pada tingkat tertentu keanekaragaman itu menimbulkan batas-batas sosial serta perbedaan-perbedaan yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial. Demikian pula keanekaragaman budaya Islam dalam masyarakat pedesaan di Senjakarta, Klaten, baik yang dibawa oleh kelompok pendukung budaya puritanisme maupun pendukung budaya sinkretisme telah mempertegas batas-batas golongan sosial kedua kelompok. Akibatnya, pada tingkat ekstrim, benturan budaya antara kedua kelompok ini pun tidak dapat dihindari. Dalam situasi seperti itu, prasangka-prasangka menjadi lebih mengemuka dan perpecahan pun terjadi. Aspek-aspek simbolik pun dapat berfungsi sebagai penambah faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial.
Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya.

Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.

Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.

Saat Mataram berkuasa, dakwah Islam mulai berubah. Mereka sangat erat memadukan budaya Islam dan budaya sebelumnya. “Dalam segi keagamaan masanya (Sultan Agung) cenderung mengadakan pertimbangan antara Islam dan Hindu,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.

Sutiyono dan Ahmad Dzulfikar dalam Benturan budaya Islam: Puritan & Sinkretis mengatakan, Kerjaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada di pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-Hindu.
Islamisasi Jawa semakin kuat, dan sebaliknya, Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa, seperti Pasuruan (1617 M), Tuban (1619 M), Surabaya (1625 M), Pati (1627 M), dan Giri (1636 M).

Kota-kota itu dihancurkan karena kharisma Islam pesisir yang puritan masih bergema memengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksud politik, yakni pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam sinkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (Kejawaan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar