Sejak awal pulau hitam yang berlimpah kekayaan alam di timur negeri ini sudah menjadi rebutan. Hingga saat ini hal ini masih terjadi. Penemuan harta karun di bumi Papua dimulai dari petualangan
penjelajah Belanda, Jean Jacques Dozy pada 1936. Dozy melakukan pendakian di
gunung Papua untuk mencari ladang baru eksplorasi minyak saat bergabung dengan
perusahaan minyak, Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Wilayah di ujung timur negeri ini kerap memantik silang
pendapat sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas
wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua. Rekaman
perbincangan ini tercatat dalam dalam rapat BPUPKI pada 10—11 Juli 1945.
Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam
wilayah Indonesia didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan.
Pendapat Kahar Muzakkar dilandasi pertimbangan pragmatis. Namun, dia tetap
menghargai rakyat Papua apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela.
“Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih
hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi
sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang
kita hilang dengan sia-sia belaka,” kata Kahar tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei
1945—19 Agustus 1945.
Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan
pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang
terbentang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan
Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua. Menurut
Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Soal Papua pun demikian. “Papua adalah
wilayah Indonesia,” kata Yamin.
Menurut Yamin, posisi Papua sebagai pintu
gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. “Sehingga untuk
menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua
seluruhnya dimasukan ke dalam Republik Indonesia,” ujar Yamin. Yamin yang
seorang ahli hukum dan pakar sejarah itu juga mengikat Papua dengan gagasan
historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan)
kerajaan Tidore di Maluku.
“Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk
lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu
benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin. Dengan dalil itu, maka jelas sudah
alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia.
Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda
pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan
konsep Yamin. Gagasan “ilmiah” Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus
untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik
Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih
Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai
keseluruhan Indonesia.
“Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan
Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta. “Karena,
seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air
Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.”
Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang
Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu.
Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan
mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah
lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani
saja oleh Jepang.
Sukarno lalu datang menyampaikan suara yang
senada dengan gagasan Yamin. Menurut Sukarno, wilayah Indonesia yang terbentang
dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama
(yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Sukarno
menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau
Papua.
Gagasan Yamin dan Sukarno tampaknya mendapat banyak dukungan
dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior,
Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota
Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan
Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat.
“Pada hari yang lain kita boleh membicarakan
soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda
saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua
itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara
saudara-saudara,” kata Soetardjo. Pun demikian dengan Alexander Maramis,
anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya,
Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia.
Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI,
Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk
dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2)
Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia
Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya, dari 66
peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39
suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara.
Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan
Sukarno memperoleh suara terbanyak. Konsep ini lah yang kemudian diterima
sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan
Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit.
Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever,
penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang
representatif. Pasalnya, tiada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan
suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak. Wakil Papua baru tampil sebagai
delegasi setahun kemudian dalam Konferensi Malino- perundingan yang
diselenggarakan pihak Belanda.
Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa.
Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang
berasal dari Ambon. Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta
merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua.
“Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang
interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang tetap akan membuat gejolak dalam
percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya
sedikit saja,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan
Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu nyatanya
tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary
ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua. Namun
Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan. Belanda
keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua bahkan
setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Sengketa panjang Belanda dengan
Republik Indonesia pun dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar