09 10 2011
18:59
at office
cerpen by cak noer
Belum
lagi rasa kantuk ini hilang, baru sedikit saja akan masuk ke alam
mimpi, kudengar suara aneh dengan logat yang sangat khas daerah kami,
“ndhul,
bangun, ayoh bangun, nanti kyai bisa marah lagi sama kamu, dasar
mbandel kamu”
ughhhh.
. . . apalagi ini?, suara apalagi sekarang?, makhluk seperti apa
ini?, tidak tahu sopan santun, tidak berperasaan, baru saja aku ingin
terbebas dalam aktivitas keseharian yang melelahkan di tempat seperti
penjara bagiku ini, baru saja aku ingin nikmati aliran darahku yg
mengalir lancar pada seluruh pembuluh nadiku, aghhhhh, kubuka mataku
pelan-pelan, coba rasakan setiap udara di kulitku, hemmmmmm,
samar-samar kulihat langit-langit diatasku ternyata masih sama, tanpa
plafon, terlihat jelas batang-batang kayu penyangga atap, aroma
kayunya yang khas menyeruak masuk dalam ronga-rongga hidungku,
isyaratkan kayu-kayu itu masih baru. dinding di sekelilingnya dibuat
tinggi agar sirkulasi udara lancar teratur, memang itu membuat udara
di kamar ini sejuk, menyiasati iklim di tempat asalku ini yang
terkenal panasnya minta ampun, ya, pulau tempat aku hidup ini
bagaikan batu apung mengapung di lautan, jika siang hari panas
menyengat kulit terasa membakar sampai pori-porinya. namun untuk
urusan julukan, bisa membuat hati “adem”. sebutannya , 'serambi
Madinah', menyaingi Nanggaroe Aceh Darusslam, “serambi Mekkah”,
daerah yg terletak di barat Nusantara sana, sama seperti Aceh,
pulauku ini salah satu daerah yang pemeluk agama Islamnya sangat
fanatik.
Tak
berlama-lama aku diam, dengan malas aku tolehkan kepalaku ke kiri,
walaupun dengan kepala seperti tertindih gunung kapur yang menghiasi
pulau tempat aku tinggal ini, kulihat ranjang disebelah kiriku, milik
temanku – Marzuki - dari pesisir Jawa bagian timur itu, sudah
kosong!, dengan nafas berat aku bangunkan tubuhku, kusandarkan pada
tembok di belakangku, kuperhatikan sekeliling, didepanku, dua ranjang
itu, juga sudah tak berpenghuni, didepan sebelah kiriku, dekat pintu,
milik Joko , yang asalnya dari Ngayokarto Hadiningrat, dan yang tepat
dihadapanku adalah milik Muhaimin, mungkin dialah pemilik suara yang
kuarang ajar tadi tanpa permisi, berteriak-teriak dekat kupingku, apa
haknya dia berlaku seperti itu, memangnya dia siapa?
Kuseka
mataku di sudut-sudutnya, mencari kesadaran penglihatan, kemudian
kembali kuperhatikan tempat tidur dihadapanku, kain pembalut kasurnya
dengan bantalnya sudah tertata rapi, kuperhatikan lagi lemari yang
berada disamping kanan tempat tidur itu, lemari itu memiliki dua
pintu besar yang bisa dibuka kekanan dan kekiri, dibawahnya terdapat
dua laci yang tidak cukup besar, terbuat dari bahan kayu yang tak
bisa dibilang bagus dan awet seperti kayu jati, warna gestur kayunya
masih terlihat jelas, hanya diberikan “pelitur” coklat agar
nampak rapih, bukan indah, tingginya mungkin sama dengan pundakku.
Diatasnya, sudahpun tertata rapi barang-barang milik penghuninya,
beberapa buku yang diberdirikan berjajar meniru peletakan buku di
perpustakaan, alat tulis, kopiah berwara hitam yang lapisan luarnya
terbuat dari beludru berhias seperti kaligrafi dengan benang berwarna
emas dan hijau, minyak rambut yang tak kukenal merknya, dan
botol-botol minyak wangi yang kata pemiliknya didapatkan dari
ayahnya, ketika ayahnya sedang berbelanja di pasar kecamatan, betapa
bangganya dia ketika bercerita tentang ayahnya, seorang petani
jagung. Ya, di daerah aku tinggal, jagung adalah salah satu garapan
para petani, karena iklim dan tanahnya cocok, memang, jagung hasil
dari daerahku tidak besar ukurannya dan menarik bentuknya seperti
yang dihasilkan oleh sebagian besar di daerah pulau Jawa.
Jagung
yang dihasilkan dari tempatku berpijak ini, berukuran kecil, tapi
rasanya manis, jika direbus, dibakar, atau sebagai olahan makanan
lainnya, akan jauh lebih gurih dari jagung yang dihasilkan daerah
lainnya.
Muhaimin,
anak seorang petani jagung, yamg berpenghasilan tidak lebih baik dari
seorang pegawai negeri golongan 2B - jika dihitung rata-rata
penghasilan yg diterima pada setiap bulannya, bukan pada saat panen
yang terjadi 3 sampai 4 bulan sekali - sangat bangga karena bisa
masuk dalam sebuah lembaga pendidikan “Pondok Pesantren A”, yang
sangat tersohor ke seantero Nusantara, dan beberapa negara asia,
bahkan ketika beberapa tahun yang lalu diadakan renovasi mesjid di
tempat ini, sumbangan dana dan tenaga, tidak hanya datang dari
seantero negeri, namun beberapa negara asiapun ikut serta. Inilah
tempat kebanggan kami saat ini, Ponpes – singkatan yang biasa
digunakan untuk Pondok Pesantren – kami memiliki sarana dan
prasarana yang sangat memadai, laboratorium bahasa dan ilmiah, alat –
alat praktikum mesin, sport center, dan segudang keunggulan lainnya,
dan bahkan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya milik
pemerintah, kamipun bisa mencemburui para siswanya dengan fasilitas
yang kami miliki, bahkan bahasa yang kami gunakan di lingkungan
sekolah adalah bahasa pemersatu dunia, bahasa Inggris, bahasa
pemersatu manusia, Bahasa Alquran – bahasa Arab – dan tentunya
bahasa pemersatu Nusantara, bahasa Indonesia, dan 'haram' bagi kami
menggunakan bahasa daerah masing-masing, hebat kan, kami!,
Bukan
hanya itu kebanggan kami, alumnus dari ponpes disni, memiliki
kesempatan medapatkan beasiswa di universitas luar negeri, khususnya
di Arab dan Mesir, jarang sekali sekolah yang mendapat kesempatan
seperti itu di negeriku, dan untuk itulah, Muhaimin temanku tadi
sering berkata sampai berbusa mulutnya,
“bapakku
hanya tani, rumah cuma satu, punya sepeda motor butut satu, ladang
cuma satu petak, tak lebih, tapi, dengan aku sekolah di ponpes ini,
aku akan menjadi orang besar, terpandang dan kaya, bisa ngasih duit
buat bapak dan ebhu (ibu dalam bahasa kromo Madura), untuk naik haji,
nyekolahin adik-adikku sampai setinggi-tingginya”
kata
kata itulah yang hampir kudengar tiap hari dari mulut temanku itu,
mungkin lebih tepat sahabat. Semenjak aku kenal tiga bulan yang lalu,
khayalan atau cita-citanya, aku juga bingung membedakannya, sangat
tinggi, memang tidak setinggi badannya, yang terbilang “kerdil”,
paling-paling rambut yang ada di kepalanya hanya bisa menyentuh
ketiakku, tak lebih, namun jangan tanyakan semangatnya untuk membuat
kehidupan dia dan keluarganya menjadi lebih baik, keinginannya
setelah lulus dari tempat ini, akan melanjutkan ke AL-AZHAR di Kairo,
Mesir. Wowwww. Hebat khayalannya, akupun masih belum memikirkan masa
depanku, sahabatku itu sudah meluncur ke bintang mimpinya.
Dialah
teman yang selama ini menjadi pengekorku, tak jarang juga mau jadi
jongosku. Kemanapun aku pergi - kecuali ke kamar mandi tentunya –
dia pasti ada di sampingku, setia dalam suka dan duka sampai dengan
saat ini, pernah aku tanyakan pada dia, mengapa dia bersikap seperti
itu padaku, dan dengan logat madura pesisir yang kental, lidahnya
berbual
“kamu
baik mas, sangat baik”
baik?
Apa karena aku selalu membagi kesenangan bersamanya, atau karena aku
juga selalu membagi uang jajanku bersamanya? Emmmmm, naif sahabatku,
naif, atau mungkin sebagai alasan utama dia menjadi pengekorku, dia
tahu bahwa aku cucu seorang kyai besar di kotaku,
“aku
pengen dapet karomah mbahmu mas”, katanya,
kata-katanya
terdengar sangat mistis, bodoh dan feodalistik, tapi dialah manusia
yang paling aku butuhkan di tempat ini, teman berkata-kata tapi tidak
untuk berdebat dan diskusi, meluapkan kemarahanku, terkadang, atau
teman dalam kesedihan dan kerinduan akan Ibuku, bapakku dan tentunya
kakekku. Dia berharap besar, bahwa dengan menyandang lulusan ponpes
ini, akan merubah keadaan ekonomi dan status sosial keluarganya,
ahhh, kenapa kau sebodoh itu Min, sahabatku. Berapa banyak lagi
orang-orang seperti kau, masih saja terhipnotis ajaran gaya feodal,
terbius akan menjadi “priyai”, terpandang dalam strata sosial
masyarakat, padahal tetap dipenjara oleh kepentingan-kepentingan
kekuasaan manusia-manusia itu, hemmmmm, kasihan kau sahabat, karena
bermimpi menjadi manusia yang ingin menggenggam dunia, tapi kau
begitu polos dan lugu hadapi duniamu sendiri, ayo sahabat, bangun
dari mimpi-mimpi indahmu, pijakkan kakimu dalam-dalam pada bumi,
memiliki illmu pengetahuan bukan untuk kekayaan dan status sosial,
muliakan dirimu dalam terangnya ilmu pengetahuan. Sangat naif memang,
ternyata masih ada manusia-manusia seperti sahabatku itu.
Lalu
apa bedanya dengan diriku ?
Aku
dikirim ke tempat ini bukan serta merta keinginan akal sadarku, lebih
pada untuk melanjutkan tradisi keluarga, keluarga yang oleh
masyarakat mendapat predikat dan kasta tersendiri, diberikan
penghormatan, diikuti tingkah lakunya, dijalankan titahnya tanpa
terlewatkan satu katapun, keluarga KYAI, biasa kami disebut.
“Bindhere”,
sebutan didepan namaku, diucap para santri kakekku sejak aku mengenal
wajah-wajah mereka, menunduklah mereka jika berpapasan dengan
keluargaku, tinggilah kepala kami, perlihatkan keangkuhan status
sosial kami.
Aku
adalah satu-satunya cucu laki-laki yang sangat disayang oleh kakekku,
walaupun masih ada dua orang lagi cucu laki-lakinya, namun kakekku
tak pernah menghiraukan mereka, untuk alasan ini aku tak pernah
secara terang-terangan menanyakan pada kakekku, Jadilah aku
“pangeran”, cikal bakal penerus tahta “tradisi”.
Mungkin
karena akalku yang bisa dibilang jenius, pintar atau pandai atau
apapun sebutannya, tapi yang jelas aku memang termasuk manusia yang
haus akan ilmu dan memiliki “ke-nyelenehan” sendiri dalam
memandang ilmu pengetahuan, ya, tidak jauh berbeda dengan kakekku
dalam memandang ilmu pengetahuan, tapi, aku merasa ada hal khusus
yang masih segelap rahasia para pesulap, kenapa aku “sangat”
mendapatkan perlakuan khusus di keluargaku, untuk inipun aku wajib
curiga dan berprasangka, tapi tidak untuk saat ini.
Kakekku
seorang otokrasi moderat, terdidik untuk tidak mengatakan 'tidak'
pada kebudayaan yang mengabdi pada norma-norma dan kebiasaan adat.
Agama ditranformasikan ke dalam budaya adalah harga mati dan mutlak
harus dikerjakan tanpa terkecuali, dibumbui dengan feodalistik
patriarki, yang menjerat setiap wanita para istri-istrinya, walaupun
kakekku hanya memiliki satu istri, tapi keluarga besar kami telah
terbiasa hidup bergumul dengan adat seperti itu dan lagi-lagi ajaran
agama adalah alasan yang kuat bagi kaum pria, yang entah karena
kebajikannya ataukah hawa nafsunya, seringkali beralibi, “sunnah
rasul”, alasan paling picisan untuk dibenarkan agar bisa
berpoligami, tak terkecuali mereka yang disebut KYAI.
Kyai
bagi sebagian ummat adalah “perpanjangan tuhan”, pengganti nabi,
setiap perkataannya adalah kebenaran, harus dlaksanakan, didewakan
keberadaannya, dicium tangannya, disembah kakinya, dimuliakan
hidupnya, puh . . . ., urusan apa manusia menjadi mulia karena
golongan dan kastanya?
Akupun
memberontak dalam prinsip pemikiran seperti itu, aku sadar harus
memahami agamaku secara benar dari sumber yang benar, bukan serta
merta takluk pada tafsiran kitab-kitab kuning, yang setiap sehabis
subuh selalu dikumandangkan dengan berjamaah dan suara nyaring,
akupun tak tahu maknanya dilakukan seperti itu. Akalku terus mencari
kebenaran, jiwaku sebenarnya dalam keterasingan lingkunganku sendiri,
lingkungan yang menjadi titik tolak kehidupanku di bumi ini.
Untunglah, kebetulan atau takdir, Bapakku bukanlah penganut
kolaborasi distorsi agama dan adat kebudayaan moderat, asal usulnya,
maksudku kehidupan dan pola pikir keluarganya, kurang aku ketahui,
mungkin karena aku lahir di keluarga ibuku, tapi yg jelas, saat ini
aku kagum akan pola pikirnya, dia mengajarkan dengan tingkah lakunya
kepadaku, berkata tak lebih banyak dari diamnya dia berpuasa,
terkadang dingin dihadapanku dan terkadang menunjukkan realitas
sejati dengan kasih sayangnya, tidak menuntut dan mensoalkan
kasta-kasta kemanusian, tanpa pamrih, dan memang melawan arus
kebiasaan, tapi itulah pola pikir dan prinsip hidupnya.
Menurutnya,
manusia diciptakan tidak dibedakan, tidak ada kasta, hanya perbuatan
yang menjadikan manusia itu memiliki perbedaan dengan yang lainnya,
baik buruk tidak ditentukan oleh darimana dia berasal, golongan ummat
atau kalangan kyai. Kyai dan ummat adalah manusia, keduanya bisa
salah membaca, bisa salah mengartikan, bisa salah memahami dan bisa
salah bertindak, manusia tidak berbeda! Sekilas memang, dia seperti
brahmana, kearifannya ditunjukkan oleh sikap dan perkataan yg tak
terlalu banyak, pola pikirnya tentang kesatuan manusia dan kesatuan
makhluk dan penciptanya masih merupakan pe-er buatku, untuk aku
taklukkan rahasia ilmunya.
Bapakkulah
yang dengan kesabarannya membuat aku tumbuh dengan dua idealisme yang
berbeda, kebebasan sebagai manusia berakal namun terbelenggu adat
kebiasaan, yang akhirnya aku jawab dengan ketidakberdayaan sikapku,
ketika perintah “sabda” kakekku, dan kobaran semangat islami
ibuku, “nyi” Siti, seorang 'motivator' pengajian ibu-ibu – dari
pengajian ibu-ibu pejabat sampai dengan kawula-kawula yang tak
berdaya karena kemiskinan - yang sangat tersohor di kotaku, membawa
aku ke tempat ini. Tempat yang menjadi idamannya untuk anak semata
wayangnya.
Ibuku,
anak tertua dari kakekku, adalah seorang perempuan yang luar biasa,
semangatnya, mensyiarkan agama Islam, tidak bisa diremehkan, bahkan,
menurutku, dia adalah wanita dengan semangat “jihad fisabilillah”,
seperti para mujahidin Palestine. Pola pikirnya memang sederhana,
praktis, seperti kebanyakan wanita, tidak memiliki filosofi yang
bertingkat, bahkan terkadang sifat feodalistiknya sering muncul
kepermukaan untuk menyatakan sikap tegasnya terhadap pergesekan
budaya yang menggerogoti norma-norma, dan adat kebiasaan yang telah
dijaga dan dipertahankan turun temurun.
Hemmmmmm,
Sembari menggeliatkan tubuh malasku ini, seperti singa jantan
terbangun dari tidurnya, aku kembalikan akalku dari alasan argumen
kenapa aku berada di tempat ini, kubuka lebar mataku hingga melotot,
“astaghfirullah”, pekikku, makhluk apa lagi ini, aroma badannya
seperti wangi-wangian bunga, tapi menyengat hidung, badannya lebar
menutupi cahanya lampu di atas kamar ini, berkumis tebal, berkepala
putih, alisnya berdiri laksana buntut kalajengking, matanya juga
melotot menatap dan menantang mataku, seperti seekor ular yang
menghipnotis mangsanya agar tidak lari dan sukarela untuk dilumat
dalam mulutnya.
“Nurrrrrrr!!!
mau jadi apa kamu!!! jam berapa ini? Waktunya sholat apa sekarang?”
dalam bahasa Arab yang fasih, suara itu nyelonong masuk keras dalam
kupingku, menggema, berulang-ulang, bau air liurnya yang keluar dari
mulut lebar itu menyempitkan pernafasanku, tiba-tiba buyar semuanya,
, PLAKKKK!!!
yah,
itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku, tangan besar dan kasar
Kyai Ahmad - salah seorang pengasuh kami di ponpes ini, yang bertugas
mendisiplinkan segala aktivitas kami - mendarat tanpa permisi
'kulonuwon' di pipi kananku, seketika kulit di sekitar wajahku
seperti tersengat tawon, sakit, panas menyengat dan, lebih dari itu,
kaget bukan kepalang. Amarah membumbung tinggi ke ubun-ubun, seperti
larva yang memanas dan memburu udara diangkasa, Buru-buru aku
fokuskan pandanganku, tapi bukan wajah Kyai Ahmad yang tampak, yang
tampak adalah bayangan putih yang lama-lama membius akal,
berlenggak-lenggok di depan mataku, dan seketika itu jiwa dan tubuhku
kembali tidur dalam alam bawah sadar.
Sekali
lagi aku kalah, kalah akan waktu yang membuat aku terlena bermimpi
tentang kebebasan berpikir, berkehendak menjadi manusia sesuai dengan
filosofi penciptaannya.
maafkan
aku Ibu, anakmu ini masih malas untuk sholat subuh, karena masih
terbuai indahnya malam untuk bermimpi menjadi manusia dalam
mimpi-mimpi indahmu,
maafkan
aku kakek, aku belum mampu menjadi penerusmu untuk melanjutkan
tradisi keluarga, menjadi pangeran bertahta hegemoni kuasa atas agama
dan budaya
dan
. . . .
maafkan
aku Bapak, aku belum menjadi manusia yang bebas dan bersikap BERANI
melawan pembodohan terorganisir, seperti cita-citamu yang aku ketahui
dari sikap memberontak diam dalam keterasingan hidupmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar