Powered By Blogger

Senin, 17 Oktober 2011

MEMULAI


06 Oktober 2011
15:10
at office
cak noer

Semangat menulis lagi, layaknya rakyat Bali, berbaju serba putih, bersikap satria, tanpa berniat pulang kembali ke rumah mereka, menantang menghadapi bala tentara Belanda dalam perang puputan tahun 1906 atau rakyat Aceh yang tak mengenal takut, bergerilya dari hutan ke hutan, berhadapan dg  pengkhianatan para Teukunya yang takluk akan harta, perang yang melelahkan selama 31 tahun, atau barangkali pada Perang Jawanya Diponegoro selama kurang lebih lima tahun, Perang yang paling menguras kas kompeni Belanda di seluruh Hindia pada saat itu, apa hal untuk itu semua, satu tujuan, mendapatkan kehidupan baru, kehidupan yang merdeka, menjadi manusia bebas, tanpa penjajahan, tanpa dibedakan warna kulit, ras, agama dan golongan.
Semangat yang sama aku rasakan meracuni saraf otakku, dan membawa ke alam khayal yang belum aku temukan artinya. Semangat melawan diri sendiri agar terhindar dari kebodohan, ya, kebodohan, karena kebodohan adalah jalan kesesatan bagi manusia.
Dan, aku pun menjadi gamang kemudian bingung, apa yang akan aku tulis?, aku ceritakan?, kemudian harus memulai dari mana?, Bercerita ataukah mendongeng? Memberitakan kejadian faktual atau informasi sepanjang masa? Mengarang cerpen, fiksi atau realita hidup? Menjadi jurnalis, pengarang cerita novel, fiktif atau cerpen? menggunakan apa untuk menulis?, haruskah “menulis” dalam arti sebenarnya? Ah, aku tak peduli dengan system “menulis” itu yang pasti saat ini ada keinginan kuat untuk menulis, memindahkan pikiran – pikiran dalam akalku melalui media apapun agar tercatat nantinya dan dapat dibaca serta dimengerti oleh anak cucuku, bukan hanya sekedar untuk mengisi kekosongan waktuku saja.
Seperti yang sering didengungkan oleh Bapakku, “jadilah manusia yang berarti bagi Tuhanmu, keluargamu, bangsa dan negaramu”. Bertahun-tahun akupun memikirkan makna dari setiap kata Bapakku itu, harus bagaimana? Berbuat apa? Apa artinya “BERARTI” ? Apakah hanya belajar, mendapatkan nilai baik, kemudian lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi diri dan keluarga? Mungkin bagi sebagian orang, hal ini adalah kewajiban kehidupan, tekun beribadah pada TUHAN, berbakti kepada ORANG TUA, menghasilkan devisa bagi BANGSA dan NEGARA dengan membayar pajak dan bekerja, itu saja? Lalu apa maknanya hidup jika manusiapun diperbudak oleh kebutuhan manusianya? Jadikah dia hanya seonggok daging yang bertulang dan kemudian diatur oleh kebutuhannya sendiri, bukan bebas mengikuti kata hatinya?, lalu apa bedanya dengan binatang? Puhhhh, terlalu ideal kalimat itu, terlalu naif untuk kehidupan manusia-manusia yang saat ini sudah tak pernah memikirkan untuk apa mereka “dilahirkan” dan “hidup”.
Kembali pada ide dasar untuk “menulis”, kesadaran dalam akal dan hati yg mutlak memiliki kewajiban badaniyah untuk ikut serta membuat kehidupan pribadi manusia manusia agar memiliki kegunaan bagi manusia lainnya. Ide ini sebenarnya sudah tercatat ribuan atau bahkan miliaran jumlahnya dalam setiap buku yg pengarangnya manusia ataupun wahyu TUHAN yg diterina manusia dan dituliskan dalam kitab-kitab suci. Tapi pertanyaannya adalah, mengertikah manusia akan hal itu? Kemudian berapa banyak manusia yang mengerti akan ide itu dan melaksanakannya dalam kehidupannya? Saya tidak bisa menghitungnya karena saya tidak tahu dan tidak mau untuk tahu, tapi yang jelas jika kita buka mata hati kita, lebih banyak dari manusia manusia disekitar kita yang acuh pada konsep dari ide mulia TUHAN tersebut. Kemudian apa hubungannya dengan semangat yang aku miliki saat ini untuk menulis?
Belajar memahami kehidupan manusia memang tidak akan putus sampai dengan kebinasaan manusia itu sendiri, menulis adalah memahami persoalan dan membaginya dengan manusia manusia lainnya, sehingga terkadang beban dan permasalahan hidup akan memiliki ruang sendiri untuk di-nafikan, sebentar disingkirkan, sedikit diberikan ruang untuk tidur dan tak bergerak agar tak menjadi semakin besar.
Ilmu pengetahuan manusia sebagai manusia adalah mengerti fungsi akal dan hatinya, akal berpikir dan hati menuntun saat akal sudah tak menemukan jawaban dari logika manusia. Manifestasi dari akal dan hati salah satunya adalah dengan tulisan, ya, tulisan, akan membawa peradaban masa lalu untuk selalu dipelajari, bukan hanya untuk dikenang, tulisan akan membawa manusia menerawang masa depan dan memiliki cita-cita, untuk itulah semangat ini begitu membara, walaupun terkadang lesu oleh waktu hidup, maka, akupun “memulai” untuk “menulis”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar