Powered By Blogger

Rabu, 19 Oktober 2011

Surat yg tak pernah terkirim


15 10 2011
02:58
at office
cerpen by cak noer


Udara di kamarku sudah mulai sejuk saat beberapa menit lalu istriku, Suci, menyalakan penyejuk ruangan
“aku nyalain ac ya mas?”
gerah...kamu g kedinginan kan?”
kalau dingin nanti aku peluk ya”
sambil tersenyum manis padaku, dia rebahkan badannya di peraduan cinta kami, ditariknya selimut tebal berwarna hijau, warna kesukaannya selain warna coklat.
Istriku, masih aku perhatikan wajahnya ketika dia sudah memejamkan matanya. Walaupun dia tersenyum dalam tidurnya, guratan-guratan lelah di wajahnya masih terlihat, kasihan dia, lelah mungkin dalam hadapi kerasnya hidup, mendampingiku, suaminya. .
Kuletakkan buku yang sedang kubaca, aku lepas kacamata ini, kuletakkan diatas buku yang masih terbuka, sekaligus penanda sampai dimana aku selami tulisan-tulisan itu, lalu kuhampiri dia, duduk aku di pinggir tempat tidur itu. aku belai rambutnya yang lurus, halus dan berwarna hitam,
massss, tidur yukkk, besok lagi baca bukunya , ya?”
kata-katanya bagai hawa angin syurga bagiku, aku membalas ucapannya dengan kucium kepalanya, keningnya, lalu bibirnya, andai kau tahu, Suci, istriku, sampai kapanpun, aku sungguh tak rela jika kau sampai tinggalkan duniaku, karena memang kau duniaku saat ini, tempat aku mencurahkan cinta, tempat aku dipeluk saat air mata ini tak sanggup hadapi kerasnya hati,
Sebagai seorang wanita dan tentunya seorang istri, tidak bisa diremehkan keberadaan mereka di dunia ini, Hawa diciptakan bukan hanya sebagai pelengkap hidup sang Adam, tapi sebagai pendamping, penyeimbang, kawan sekaligus lawan.
Karena wanita, laki-laki seperti aku bisa menanggalkan semua keegoisan sebagai pemimpin, bersujud tekuk lutut di keindahan tubuhnya, karena wanita pula, aku sebagai pria bisa menanggalkan semua logikaku hingga menjadi tak masuk akal dan karena wanita pula, aku bisa bersedih sepanjang hidupku. Dan wanita didepanku saat ini sungguh hebat, tak kalah kesabarannya dengan Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh itu, ketegarannya sebanding dengan Kartini, wanita Jepara dalam kurungan adat feodal, dan terlepas dari kehebatannya, dia tetaplah wanita yang takluk padaku saat aku peluk dalam kenikmatan dunia
tidur duluan yah, sebentar lagi aku nyusul” kataku,
hanya dibalas dengan anggukan dan tetap tersenyum,
akupun melangkah kembali ke meja yang berada di sudut kamar kami, dibelakangnya terdapat kursi kayu seperti umumnya dengan alas bantal kecil, namun bukan kursi itu yang aku pilih, aku pilih kursi goyang yang berada di samping mejaku, dekat dengan jendela kamar kami, jenis kursi peninggalan kolonial Belanda ini sangat nyaman untuk mengendorkan syaraf-syaraf di tubuhku sambil aku gerayangi setiap tulisan dalam buku-buku itu, hampir setiap malam sehabis bekerja, selalu aku ulangi kegemaranku ini.
Malam ini aku gurui otakku sendiri dengan buku tentang gejolak negeri ini pada tahun 1965 – 1966, saat dimana Partai Komunis Indonesia berada pada puncak kejayaannya, sekaligus menjadi pecundang bagi para lawan-lawan politiknya, sekilas aku teringat pada masa laluku, setiap kali akan tidur siang, sewaktu aku umur 7 tahun sampai dengan kira-kira kelas 6 SD, suara bersahaja, berat dan bijaksana, selalu mengantarku berkhayal, cerita dan dongeng-dongengnya, selalu membuat aku kagum padanya, bukan pada ceritanya.
Kesabarannya menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan, kemanusian dan kehebatan bangsa ini, membuat aku tumbuh seperti dalam lautan ilmu. Penuturan ceritanya sistematik, bahasanya dapat aku mengerti dengan jelas, walaupun umurku masih sangat muda saat itu, itulah Bapakku, mentor, guru dan pembimbing hidupku. Manusia yang pendiam, dingin terhadap kehidupan ini namun menjadi bersemangat, berkobar dan “comel” dalam bercerita tentang kehebatan manusia-manusia pribumi. Dialah konduktor dalam orkestra nan megah perkembangan hidupku, dialah dalang budaya yang pandai memainkan wayang-wayang penalaranku menghadapi soal-soal kehidupan, tak tergantikan perannya.
Bapak aku rindu padamu
bangkit aku dari kursi pemalas itu, kuarahkan pandanganku ke lemari tanpa pintu yang disitu berjajar buku-buku koleksiku, semakin aku rindu padamu, bapakku, jika aku lihat buku-buku itu yang sebagian adalah warisan tak ternilai darimu.
Lalu aku berpindah ke kursi dibelakang mejaku, duduk aku terdiam sejenak, masih bingung apa yang aku lakukan untuk melapaskan rinduku pada bapakku, emmmmm ya!
Aku cari secarik kertas putih, tak sulit menemukannya, karena memang letaknya diatas meja sebelah kiri, selanjutnya mataku mencari alat tulis, yah itu dia, kuambil pensil, aku akan menulis surat padamu bapakku, akan kutuliskan bagaimana aku hidup sekarang, akan aku guratkan kerinduanku ini, anakmu yang telah dewasa, dan kumulai surat itu . . . . . .

Tangerang, 15 Oktober 2011
Sembah Sujud ananda untuk Bapakku

Bapakku, apa kabar disana? Sudah lama anakmu ini tidak melihat wajahmu yang bersahaja, selalu tersenyum saat aku membaca sebuah buku. Ya, bapak, saat inipun aku masih giat sekali membaca buku, apapun soalnya, apapun judulnya, yang penting buku, yang bapak bilang dulu adalah jembatan ilmu pengetahuan, yang akan membuat manusia pintar, tidak bodoh,
Masih juga aku sempatkan sebagian pengahasilanku untuk membeli buku, seperti yang juga bapak ajarkan padaku, walaupun terkadang istriku masih bingung dan heran dengan kebiasaanku itu . bapak, dia tidak tahu, kalau itu adalah amanat bapakku, tapi bapak tak perlu khawatir, menantu bapak baik hati, cocoklah untuk mendampingi anakmu ini bapak.
Bapak, anakmu ini begitu rindu padamu, berabad-abad rasanya tak dengarkan lagi kidung indahmu tentang negeri ini. Walaupun sekarang aku bisa membaca buku sesuka hatiku, membeli buku apapun atau berpetualang di dunia internet, yang menurut manusia-manusia jaman ini adalah pengganti kertas-kertas bertuliskan huruf tercetak rapi itu, tapi kharisma suaramu dalam kidung-kidung indah itu tak pernah tergantikan, membekas terpahat dalam akal dan hatiku. Bukan hanya dongeng tentang bagaimana Gajah Mada, tokoh favoritmu yang menaklukkan Nusantara, tapi dongeng kehidupan nyata yang kau gurui padaku, membuat aku sadar akan manusia yang memiliki akal, sebagai pembeda dari binatang. Benar saja Bapak, di kota tempat aku tinggal ini, semakin banyak manusia-manusia yang sudah tak lagi sadar bahwa mereka berakal, mereka hanya sadar akan hawa nafsunya sendiri, bernafsu memiliki dengan apapun jalannya, seperti Sengkuni yang kau ceritakan padaku, bersifat penghasut licik, lebih licik dari rubah, tapi tidak semuanya jahat Bapak, masih ada orang-orang seperti istriku, menantumu, yang kecantikan paras dan hatinya seperti wanita yang juga pernah kau ceritakan padaku, yang kau idolakan, yang kau tunjukkan patungnya setiap kali kita akan mengunjungi kota Malang, Ken Dedes, wanita yang melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Bapak, baru aku rasakan saat ini pahitnya kehidupan, yang belum aku alami saat masih bersamamu, saat masih aku bersandar padamu, manja dan “ngambek” saat tidak dibelikan mainan. Kehidupan memang tidak sederhana saat aku masih menjadi anak kecil dalam genggamanmu. Menjadi manusia seperti bapak, masih belum aku jalani, tapi kelak aku yakin aku pasti akan melewatinya bersamau cucumu, bapak. 
Akan aku ajarkan sebagaimana kau ajarkan kehidupan dunia fana ini padaku. Akan aku dengungkan dongeng-dongeng indah tentang kebesaran raja-raja di tanah pribumi ini seperti yang kau lakukan padaku. Akan aku “perintah”kan anakku dengan otoriter untuk gemar membaca buku dan tak akan aku biarkan anakku, cucumu, nantinya menjadi orang yang tidak berguna bagi Tuhan, agama, keluarga, bangsa dan negaramu, kata-kata itu sungguh melekat di otakku bapak, kata-kata darimu yang serasa menghipnotis kesadaran akalku.
Bapakku, janganlah kau terus bersedih dengan kepergian ebok (ibu), memang dia pelita keluarga kita, sanggup memberikan keseimbangan antara diamnya dirimu dengan cerianya sikapnya. Aku tahu bapak, sedihmu sama dengan sedihku, kehilanganmu itu tak tergantikan, aku juga rasakan. Memang bapak, dia adalah satu-satunya ibuku, tidak yang lainnya. Memang kita berdua dirundung sedih yang tak berkesudahan atas meninggalnya ebok, tapi aku khawatir bapak, kesehatanmu semakin hari semakin menurun, sungguh aku khawatir.
Bapak, perkenankanlah dalam surat anakmu ini, aku ingin bertanya. Walaupun tak akan berpengaruh pada siapa diriku ini, tapi tetap akan aku tanyakan bapak, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu kritis atas kebenaran hakiki, kan kau yang ajarkan aku untuk selalu bersikap curiga jika sudah tak jelas duduk perkaranya, Bapak, jangan kau bersedih mendengar pertanyaanku ini, maafkan aku bapak aku harus bertanya setelah sekian lama aku simpan pertanyaan ini,
Bapak, siapakah sebenarnya diriku ini? Darah dagingmu sendirikah aku ini? Lahir dari rahim “ebok”? Istri yang sangat kau cintai itu?, sekali lagi maafkan aku bapak, aku harus menanyakannya, karena banyak kejanggalan yang terjadi di keluarga kita.
Masih ingatkan bapak? Saat aku umur 7 tahun, ketika aku masuk rumah sakit karena demam tinggi? Saat suster itu mengambil contoh darahku yang ternyata bergolongan B, sedangkan akhirnya kuketahui Bapak memiliki darah golongan A dan darah Ebok bergolongan O.
Hobby bapak selain baca buku juga photografi, tak pernah ada moment indah kita dulu yang tak pernah bapak ambil, saat aku ulang tahun, saat kita berlibur ke Bali atau saat kita mengunjungi Borobudur. Saat aku bayipun banyak foto diriku, ketika acara “toron tanah” saat aku berumur 6 bulan, saat aku mulai belajar berjalan dan terjatuh atau mungkin saat di hari pertamaku di taman kanank-kanak, yang tak mau masuk kelas saat bayanganmu pergi meninggalkan aku sendiri di pintu ruang kelas, namun Bapak, ada satu moment penting dalam kehidupanku yang entah kau lupa untuk memotretnya atau saat itu film “kodak” nya sudah habis?
Tidak ada satupun foto saat aku didalam kandungan Ebok, tidak ada satupun foto saat Ebok hamil, itulah celahnya bapak, semakin membuat aku curiga, dibalik kebahagian keluarga kita.
Maafkan aku bapak jika saat ini aku tanyakan hal ini, aku sudah lega, hatiku sudah plong, kosong. Aku tak peduli jawabannya bapak, anak siapakah aku sebenarnya dan knapa aku berada di tanganmu dan di pangkuan Ebok, aku tak peduli asal-usulku bapak, yang aku tahu hanya lah engkau dan Ebok, tangan-tangan yang memandikan aku, mengusap air mataku ketika menangis, menyeka peluhku saat aku lelah, jangan kau ambil semua itu dariku bapak, jangan kau asingkan diriku, setelah kau ambil diriku dari keterasingan.
Maafkan aku bapak, maafkan, tiada maksud hatiku untuk membuatmu sedih dengan segala pertanyaan tololku tadi, tentulah aku ini anakmu anak semata wayangmu, anak laki-laki kesayanganmu, kebanggaanmu, yang akan mewarisi ajaran-ajaranmu, tradisimu dan tentunya segala kebijakanmu. Aku memang gegabah bapak, kenapa harus aku cari jawaban-jawaban yang pertanyaannyapun blum tentu benar, banyak tetangga kita yang mengatakan, rambutku ikal sepertimu, keningku seperti punyamu, alisku juga tebal sepertimu, bulu-bulu halus di dekat kuping memanjang kebawah, isyaratkan aku akan berjambang nantinya, persis sepertimu, atau, mataku dan bibirku ini, mewarisi apa yang dimiliki ebok, sungguh bodoh ya aku, bapak, tak aku pikirkan omongan-omongan tetangga kita itu. Sekarang aku bertambah yakin bapak, bahwa aku adalah benar-benar anakmu.
Bapakku, sudah lama ya, kita tak bertemu, aku rindu suasana rumah, aku rindu masakan Ebok, aku rindu suasana sore di teras rumah, aku rindu alam rumah . Namun maaf bapak, saat ini aku masih belum bisa datang padamu, mencium tanganmu sebagai protokolir cintaku padamu, aku masih belum bisa pulang ke rumah bapak, belum bisa, masih banyak tugas disni yang aku harus selesaikan, masih banyak buku yang belum aku selesai baca, belum aku ambil hikmahnya dan kulangkahkan dalam kehidupanku. Belum semua bapak, kebijaksanaan katamu yang aku laksanakan, belum semua, tapi bapak jangan khawatir, anakmu ini masih dalam kesehatan yang memadai untuk menarik gerobak kehidupan, anakamu ini masih seperti Yudhistira, mencoba bijak menelan kehidupan, seperti Bima, perkasa dalam menaklukkan kehidupan dan tentunya seperti Arjuna kebanggaanmu.
Bapakku, jika nanti tiba waktunya, libur, aku pasti akan pulang ke rumah dari pengembaraan ini, datang padamu, senang rasanya aku membayangkan saat itu terjadi.
Jangan bersedih bapakku, bayangkanlah suatu saat kita akan bertemu lagi, melepas rindu yang sudah berkarat, ah bapak, sudah tak sabar rasanya aku bertemu denganmu.
Akhir kata bapakku, sujud dengan cinta selalu aku haturkan padamu Bapak, anakmu yang selalu mencintaimu

Wassalam

Kubaca lagi surat yang sudah aku tulis itu, ada linangan air mata, tapi ada juga kebanggaan, yang pasti rasa rindu yang amat sangat tercurah pada surat itu, setelah dua kali aku baca dan aku periksa, tak ada satupun kata-kata yang salah tulis, bapakku pasti akan memarahi aku jika dalam menulis bahasa Indonesia saja tak becus!
Aku pandangi meja kerjaku lagi, kucari amplop yang sesuai dengan ukuran kertas suratku itu, nah, itu dia, akhirnya kutemukan amplop itu yang juga berwarna putih. Kulipat menjadi tiga bagian dua lembar kertas tadi yang berisi guratan-guratan kerinduanku terhadap bapakku, setelah itu aku masukkan ke dalam amplop, kuberikan perekat pada pinggir penutupnya, kemudian kubalik amplop itu dan kutuliskan alamat rumahku. Jalan Aries nomor 22, Perum Satelit, Sumenep Madura.
Puas aku, tersenyum, kutimang-timang surat rindu itu, besok akan aku poskan dengan lebel “kilat khusus”, dan dalam 3 hari akan sampai ke tangan bapakku, beliau pasti senang membaca surat kerinduan dari anaknya tersayang.
Kuhirup udara dingin kamarku ini, kupejamkan mataku, dan akupun kembali tersenyum puas, kupastikan dalam akalku tak ada yang kurang dalam surat ini, semuanya sudah aku tumpahkan didalamnya.
Kucari tas kerjaku, tas kulit berwarna coklat yang setiap hari menemaniku nikmati aktivitas kerjaku, tas itu adalah hadiah dari istri tercintaku. Akan aku masukkan surat itu, kubuka penutup tasku, di bagian depannya terdapat dua ruang kecil, nah ini dia pikirku, kubuka reslitingnya, dan . . . . .
astaga!!!
kuperhatikan lagi isi tasku itu, dengan tangan gemetar dan rasa heran tingkat tinggi, aku ambil isi tas itu,
kupikir dengan akal warasku, sambil kupegang isi tasku tadi, lebih dalam lagi dengan mata melotot, nafas di dadaku mulai memburu, detak jantungku sudah mulai tak karuan, ternyata . . . .
ya, ternyata isi tasku tadi adalah sama dengan barang yang akan aku masukkan tadi ke dalam tasku.
Bentuk amplopnya sama, tulisanku tergurat di depan amplop itu, alamatnya sama persis dengan yang kutulis barusan, alamat rumah bapakku!!!
Kubangun kembali kesadaranku, akal dan hatiku kupaksa untuk berpikir dan merasakan kenyataan.
astaghfirullah”, bapak, kau  . . . . . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar