CARA PANDANG ILMUWAN BARAT DAN MUSLIM
TERHADAP SAINS KASUS ASTRONOMI
Oleh: Dr. Husain Heriyanto
Pengantar
Hassan Hanafi menyebutkan bahwa
salah satu syarat agar umat Islam dapat memasuki kembali gerak sejarah (sebagai
subyek) adalah dengan mengkaji ulang secara kreatif terhadap tradisi dan khasanah
Islam klasik. Gagasan ini ia sebut sebagai revitalisasi khazanah Islam klasik
(ihya Alturas al-qadim). Menurutnya, tajdid mesti kita pahami sebagai proses
reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan kebutuhan zaman.
Tradisi merupakan kekayaan sejarah yang
sarat dengan kandungan nilai dan karenanya juga menjadi sebuah wahana
pembaharuan. Nilai tradisi tidak terletak pada dirinya an sich melainkan pada elaborasi
terus menerus untuk menafsirkan realita dan mentransformasi fakta-fakta menjadi
nilai-nilai (Ridwan, 1998).
Untuk itu, kita membutuhkan proses
reinterpretasi yang melibatkan kajian-kajian hermeneutic dan fenomenologi.
Hermeneutik diterapkan untuk melangsungkan proses dialektika pemahaman dan
penafsiran terus menerus untuk selalu menyingkap makna-makna teks tradisi,
sedangkan fenomenologi berguna untuk menganalisis realitas-realitas:
masyarakat, politik dan ekonomi, 2 khasanah Islam, dan tantangan Barat
(Shimogaki, 1993; Ridwan, 1998).
Tulisan ini merupakan salah satu bentuk
upaya yang dikemukakan oleh Hanafi di muka sebagai revitalisasi khazanah Islam
klasik. Penulis mengambil sebuah fenomena yang amat penting dalam perkembangan
pemikiran manusia modern, yaitu revolusi astronomi yang tercetus pada abad
ke-16 M oleh Copernicus.
Yang menarik adalah bahwa ternyata .
setelah melalui studi historis . kemajuan ilmiah yang dicapai astronom astronom
Muslim hingga abad ke-13 M sebenarnya sudah sampai pada model non-Ptolemeus.
Secara teknis-ilmiah mereka telah mampu membangun sistem astronomi baru.
Namun, mengapa mereka tidak melakukannya?
Faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka enggan melakukan sesuatu yang
akhirnya dilakukan juga oleh astronom Eropa, yang notabene adalah murid-murid
mereka?
Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi
jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut guna mengungkapkan hikmah yang
terkandung di dalamnya. Untuk itu, sebagaimana yang disarankan oleh Hanafi,
metode hermeneutika cukup relevan digunakan di sini. Melalui studi hermeneutis terhadap
kultur-historis kita akan menangkap pesan-pesan, tanda-tanda atau semangat
zaman (zeitgeist)1 yang melatarbelakangi kemunculan teori-teori dan
konsep-konsep sains.
Gagasan sentral tulisan ini adalah setiap
pertumbuhan sains dilatarbelakangi oleh etos, budaya
dan epos zaman. Tidak akan
pernah berkembang pemikiran-pemikiran dan temuan-temuan ilmiah yang baru dan
revolusioner tanpa iklim sistem nilai dan sosial budaya yang sesuai. Ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak lahir dari kevakuman kebudayaan.
Dimensi kultur inilah yang sering
dilupakan ketika berbicara tentang upaya peningkatan sains dan teknologi di
dunia Islam.
Mengapa Copernicus?
Jika kita mempelajari sejarah
ilmu pengetahuan astronomi secara cermat dan obyektif, maka timbul pertanyaan
pada diri kita: mengapa teori heliosentris dikemukakan pertama kalinya oleh Nicolas
Copernicus pada pertengahan abad ke-16 di Eropa? Bukankah berabad-abad
sebelumnya para astronom Muslim telah banyak mengkoreksi dan mengkritik sistem
geosentris Ptolemeus dan, bahkan, telah mengajukan model planet baru yang
non-Ptolemeus? Bukankah karya-karya astronom Muslim, sebagaimana yang
disebutkan oleh Ronan (Ronan, 1982), berpengaruh besar terhadap para astronom
Eropa seperti Johannes Keppler, Tycho Brahe, Copernicus, dan Galileo
Galilei?
Setelah karya besar Ptolemeus
yang berjudul Almagest diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 M, sejak
abad ke-9 M buku tersebut banyak mendapat kritikan tajam dari para astronom
Muslim.
Al-Farghani pada abad ke-9 M telah
mengkoreksi data-data dan cara-cara perhitungan
astronomis yang lebih akurat
dan ilmiah daripada Ptolemeus.
Pada abad yang sama Tsabit ibn
Qurrah juga mengkoreksi sistem bola langit Ptolemeus (S.H. 3Nasr, 1968).
Al-Battani pada abad ke-10 M telah sampai
pada upaya mengkoreksi dan mengkritik konsepkonsep dasar sistem astronomi
Ptolemeus; ia pun telah merenovasi astronomi Ptolemus yang statis menjadi
astronomi dinamis sedemikian rupa sehingga karya-karyanya masih dikutip oleh para
astronom terkemuka Eropa sampai abad ke-18 M (Ajram, 1992).
Ia dikenal sebagai guru astronom-astronom
Eropa yang banyak memperkenalkan terminologiterminologi astronomi yang digali
dari bahasa Arab, diantaranya azimut, zenith, nadir. Tokoh yang dijuluki
.Ptolemeus dari Baghdad. ini pun adalah astronom yang pertama kali mengintrodusir
penetapan satu hari yang terbagi dalam 24 jam (Arsyad, 1989).
Sedang Ibn al-Haitsam pada abad ke-11 M
telah melukiskan gerak planet-planet dalam suatu model non-Ptolemeus memberikan
pengaruh besar kepada dunia astronomi Eropa hingga masa Kepler (Nasr, 1968).
Tokoh fisikawan Muslim yang dijuluki oleh
Sarton sebagai .the greatest students o optics of all times. (Sarton, 1952) ini
menggugat tafsiran Ptolemeus terhadap langit-langit sebagai bentukbentuk geometris
abstrak belaka. Tokoh lainnya seperti al-Biruni pada abad ke-11 telah mengajukan
untuk pertama kalinya dalam dunia astronomi mengenai gerak bumi mengelilingi matahari,
dan telah membahas pula kemungkinan rotasi bumi di sekeliling sumbunya.
Prestasi al-Biruni ini berarti telah mendahului Copernicus lima abad sebelumnya
(Nasr, 1968; Ajram,1992).
Puncak perkembangan astronomi Muslim
tercapai pada era Nashiruddin al-Thusi pada abad ke-13 M. Ilmuwan universal ini
(ahli matematika, teologi, filsafat, etika, fisika, astronomi) mendirikan
observatorium di Maragha, yang menurut Nasr, menjadi jembatan penghubung perkembangan
astronomi Islam dengan astronomi Eropa.
Observatorium ini memiliki
instrumen-instrumen astronomis yang sangat maju dan lengkap pada masanya, dan
menjadi pusat ilmiah yang masyhur di kalangan sarjana di Timur dan Barat.
Prestasi gemilang al-Thusi dalam astronomi
adalah ia telah sampai pada tingkat pengajuan model planet yang baru, yang
non-Ptolemeus. Salah satu temuan ilmiahnya diabadikan hingga sekarang dengan
istilah Tusi couple (pasangan Tusi) (Nasr, 1968).
Model planet baru itu, menurut temuan para
sejarawan, sangat mirip dengan model planet yang dikembangkan Copernicus.
Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Copernicus dapat dianggap sebagai murid
dari tradisi Maragha, bahkan, ada yang mencurigai Copernicus telah menjiplak model
planet baru itu setelah diselesaikan oleh Ibn Syathir, murid al-Thusi. Model
planet baru al-Thusi itu memang diteruskan dan diselesaikan oleh murid-muridnya
seperti Ibn Syathir dan Quthbuddin al- Syirazi. Tapi, konsep-konsep dasarnya
telah dirancang oleh al-Thusi (Nasr,1968).
Karena sedemikian persisnya model planet
rancangan al-Thusi (abad ke-13 M) dengan model planet Copernicus (abad ke-16
M), maka Nasr menulis bahwa semua data astronomis yang dianggap baru pada
Copernicus pada dasarnya telah dapat ditemukan dalam aliran al-Thusi dan murid-muridnya
di Maragha (Nasr, 1968). Hal ini berarti, secara teknisilmiah astronomis, tidak
ada perkembangan yang signifikan yang dilakukan oleh Copernicus terhadap model
planet al-Thusi.
Lalu, mengapa Copernicus tiba-tiba dikenal
dalam sejarah melakukan lompatan revolusioner dalam sistem astronomi yang
mengubah sistem geosentris Ptolemeus menjadi system heliosentris? Sistem
astronomi ini dianggap berpengaruh besar terhadap perkembangan peradaban modern
selanjutnya, dan perubahan revolusioner itu pun dikenal dengan Revolusi Kopernikan,
yang oleh banyak sejarawan, menganggapnya sebagai salah satu titik balik
penting dalam sejarah peradaban manusia.
Kembali kepada pertanyaan awal: mengapa
sistem heliosentris itu tidak dicetuskan oleh al-Thusi dan murid-muridnya?
Bukankah mereka telah mengajukan model planet baru yang non- Ptolemeus? Mengapa
Copernicus, dan bukan al-Thusi? Mengapa para astronom Muslim terlihat tidak
progresif mengajukan model planet baru yang betul-betul berbeda secara
revolusioner dengan sistem Ptolemeus? Bukankah mereka telah mengkritik dan
mengkoreksi konsep-konsep dasar Ptolemeus, bahkan, telah menciptakan model
planet baru yang non-Ptolemeus?
Sebaliknya, kita juga bertanya: mengapa
Copernicus yang mengemukakan teori heliosentris sehingga namanya tercatat dalam
sejarah sebagai tokoh utama astronomi modern? Bukankah model planet yang
dicetuskan Copernicus itu, secara teknis-ilmiah astronomis, tidak memiliki perbedaan
esensial sama sekali dengan model planet yang diajukan al-Thusi dan murid muridnya?
Lalu, faktor apa yang membuat Copernicus
dikenal progresif dan revolusioner dalam
mengajukan sistem astronomi
modern?
Faktor Kultur-Historis: Zeitgeist
Prinsip pertama yang penting
dan perlu kita catat adalah bahwasanya sebuah teori, paradigm atau
pandangan-dunia tidak mungkin lahir dan hidup dalam kevakuman
sosio-kultur-historis. Sedemikian besarnya korelasi yang terjadi antara konteks
sosio-historis dan pandangan dunia yang dianut, sehingga Jurgen Habermas
menyebut theory of knowledge (epistemologi) sebagai sebuah teori sosial
(Habermas, 1972).
Demikian pula halnya dengan konsep-konsep
dan teori-teori ilmiah sangat dipengaruhi oleh etos, epos, nilai budaya dan
semangat zaman (zeitgest) ketika teori itu diformulasikan.
Dalam konteks inilah, sistem heliosentris
Copernicus sangat populer bukan terutama karena datadata teknis ilmiahnya,
melainkan karena interpretasi filosofisnya yang menempatkan manusia sebagai
subyek yang aktif dalam kosmos. Sistem heliosentris menempatkan bumi setara
dengan planet-planet lain untuk ikut mengitari matahari sebagai pusat tata
surya.
Hal ini ditafsirkan sebagai pemberontakan
terhadap kosmologi tradisional yang teologismetafisis, dan sekaligus
menempatkan manusia penghuni bumi setara dengan makhluk-makhluk lainnya. Namun,
pada saat yang sama, keadaan seperti itu ditafsirkan sebagai upaya aktif pencarian
jati diri sendiri secara otonom dan rasional, tidak menerima .nasib. atau peran
secara taken for granted.
John Marks (Marks, 1990)
menyebutkan bahwa istilah revolusi dalam frase .Revolusi Ilmiah. dan atau yang
belakangan .Revolusi Industri. terinspirasi oleh judul karya Copernicus On the Revolution
of the Heavenly Spheres yang terbit tahun 1543. Istilah Revolusi Kopernikan ini
pun digunakan oleh filsuf besar Abad Pencerahan Immanuel Kant (w. 1804).
Mengacu kepada perubahan revolusioner
pandangan kosmologis itu, Kant menyebutkan bahwa sistem filsafatnya berbeda
secara revolusioner dengan filsafat tradisional. Filsafat tradisional mengarahkan
subyek kepada obyek, sedang filsafat modern (Abad Pencerahan) yang dibangun Kant
sebaliknya, yaitu obyek yang harus mengarahkan diri kepada subyek. Oleh karena
itu, Kant mengubah pendekatan yang tidak lagi mulai dari obyek-obyek, melainkan
dari subyek. Ia memulainya dengan penyelidikan kritis terhadap subyek sendiri
(Kant, 1984).
Dengan demikian, revolusi astronomis yang
dilakukan oleh Copernicus merupakan representasi semangat zaman (zeitgeist)
yang mengisi sosiokultur Eropa ketika itu. Peradaban modern bermula dari
petualangan manusia Eropa untuk mencanangkan kedaulatan dirinya atas segenap kehidupannya
di dunia. Mereka berpetualang mencari jati dirinya, hakekat eksistensi kemanusiaannya
melalui gerakan-gerakan seperti Renaisans (Renaissance), antroposentrisme filsafat/pemikiran
modern, Reformasi dan Pencerahan (Enlightenment, Aufklarung).
Renaisans (kelahiran kembali) menyuguhkan
pandangan baru tentang hakekat manusia dengan mencanangkan humanisme yang
menitikberatkan kesadaran individual sebagai subyek yang otonom.
Manusia tidak lagi menganggap dirinya
hanya sebagai peziarah di dunia (viator mundi),
melainkan sebagai pencipta
dunia (faber mundi). Manusia Eropa ketika itu seakan terlahir kembali setelah
ribuan tahun tertidur dalam masa Darks Ages. Mereka mengklaim terinspirasi oleh
peradaban Yunani- Romawi (Greco-Roman), yang sebetulnya mereka warisi langsung
dari peradaban Islam yang telah mencapai kejayaan ketika mereka masih dalam
Dark Ages.
Dalam suasana semangat humanisme itu juga
lahir seorang Descartes (w. 1650) yang merasa terpanggil untuk ikut serta dalam
kafilah peradaban baru. Ia pun mencari pendasaran dan landasan filosofis yang
sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist) ketika itu. Dan ia menemukan fundasi
primer filosofisnya, yaitu: Cogito ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada).
Doktrin dasar Cartesian yang berwatak subyek-antroposentristik ini merupakan
representasi zeitgeist sekaligus pembangun kesadaran modern yang hingga kini
masih tertanam kuat pada dunia modern.
Dalam suasana zeitgeist seperti itu,
manusia modern memberontak terhadap cara berpikir metafisis atau pun teologis.
Mereka menganggap segenap nilai-nilai tradisi, terutama yang berasal agama,
sebagai belenggu kebebasan dan kreativitas mereka dalam petualangan itu. Maka, langitlangit
suci dikoyakkan melalui gerakan kebudayaan dan pemikiran; salah satu
diantaranya yang revolusioner adalah melalui .interpretasi-kontekstual. kosmologi
Kopernikan. Revolusi Kopernikan lebih merupakan representasi zeitgeist ketika
itu, dan yang pada gilirannya berpengaruh besar terhadap perjalanan
perkembangan pemikiran modern selanjutnya.
Disebut sebagai .interpretasi
kontekstual. karena peta langit heliosentris yang dibuat Copernicus diinterpretasikan
sedemikian rupa guna dijadikan alat perlawanan terhadap ajaran Gereja, padahal
sebagaimana yang telah disebutkan Nasr (1968) bahwa semua hal yang astronomis
baru pada Copernicus dapat ditemukan pada teori dan peta langit yang dibuat
astronom Muslim Ibn Syathir, murid Nashiruddin al-Thusi, pendiri observatorium
Maragha pada abad ke-13 M.
Perbedaannya adalah peta langit astronom
Muslim tidak diinterpretasikan sebagai alat
perlawanan terhadap agama.
Secara teknis pun peta langit yang dibuat Tycho Brahe sudah cukup memadai
menjelaskan fenomena gerak benda-benda langit, namun komunitas ilmiah ketika
itu lebih memilih sistem Copernicus. Galileo, misalnya, lebih memilih
Copernicus daripada Tycho Brahe atau Kepler yang mengajukan sistem kosmologis
non-Copernicus dan sekaligus non- Ptolemeus (Marks, 1990). Demikian pula tokoh
utama revolusi ilmiah, Isaac Newton, juga mendukung kosmologi Copernicus karena
lebih sesuai dengan filsafat alamnya (kosmologi) yang mekanistik-deterministik.
Bahwa heliosentrisme Kopernikan lebih
merupakan interpretasi ilmuwan modern abad ke-17 M makin disadari pada awal
abad ke-20 M ketika Teori Relativitas Umum dicetuskan oleh Albert Einstein.
Menurut Teori Relativitas, penggambaran peta langit apakah geosentris ataukah heliosentris
tergantung kepada titik acuan yang kita pilih. Jadi, sebetulnya secara
teknis-ilmiah tidak terlalu persoalan apakah memilih geosentris ataukah
heliosentris
Mengapa Bukan Al-Thusi?
Di bagian muka telah kita
uraikan latar belakang dan faktor-faktor yang berperan dalam
melahirkan fenomena bahwa
sistem heliosentris dicetuskan oleh Copernicus. Disebutkan bahwa kemunculan
revolusi Kopernikan itu dipengaruhi oleh semangat zaman (zeitgeist) dan nilai sosiokultur
Eropa ketika itu, yaitu lahirnya gerakan-gerakan seperti humanisme, renaisans,
dan antroposentrisme. Meskipun secara teknis-ilmiah, peta langit yang dibuat
Copernicus bukan sesuatu yang baru, bahkan, diduga menjiplak model planet
al-Thusi dari observatorium Maragha karena kemiripannya, namun Copernicus
tercatat sebagai pencetus teori heliosentris. Yang baru bagi dunia astronomi
dan dunia ilmiah umumnya adalah interpretasi filosofis terhadap model planet
yang non-Ptolemeus, yaitu filsafat subyek-antroposentristik dan kosmologi yang mekanistik.
Para astronom Muslim sebelumnya telah
cukup berpuas diri dengan koreksi-koreksi yang signifikan terhadap sistem
Ptolemeus serta mengajukan model planet yang non-Ptolemeus. Namun, meskipun
demikian, mereka tidak pernah terpikir untuk merombak total sistem model planet
Ptolemeus sebagaimana yang dilakukan oleh pewarisnya, yaitu astronom Eropa pada
abad ke-15 hingga ke-17 M. Muncul pertanyaan: mengapa demikian? Mengapa para
astronom Muslim tidak melakukan revolusi dalam sistem astronomi dengan
mengganti secara radikal system geosentris Ptolemeus, padahal temuan-temuan
ilmiah merekalah yang dijadikan oleh Copernicus, Kepler dan Galileo sebagai
bahan untuk membangun sistem heliosentris? Adakah faktor-faktor sosiokultur-historis
dan latar belakang pemikiran filosofis sedemikian sehingga mereka tidak melakukannya?
Prinsip Keharmonisan
Salah satu bentuk pengaruh
wahyu pada tradisi keilmuan Islam adalah keterpaduan yang kokohdi antara
tradisi-tradisi keilmuan. Kesalingterkaitan ilmu-ilmu itu ibarat sebuah pohon.
Wahyu Al-Quran dan Hadis adalah seperti akar dan batang dari pohon tradisi
keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya dan sains, insitusi-institusi sosial
adalah seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang lebih dekat kepada
batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun, kesemuanya merupakan bagian-bagian
dari sebuah organisme yang tumbuh dari akar.
Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam
merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh obyek kajian
berbagai ilmu itu sebagai ayat-ayat Tuhan. Pandangan integralholistik inilah
yang mendorong para sarjana Muslim untuk menelaah berbagai tradisi keilmuan.
Seorang sarjana Muslim klasik dapat
mereguk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibn Sina (w. 1037) misalnya,
merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun juga sekaligus seorang filsuf, hafidz
Quran, dan sufi. Jabir ibn Hayyan (w. 815) yang dikenal sebagai Bapak Kimia
yang mendirikan laboratorium kimia pertama di dunia adalah juga seorang
astronom, matematikawan, kosmolog dan sufi. Al-Biruni yang dikenal fisikawan
dan Bapak Eksperimentalis yang pertama kali menghitung keliling bumi dan
mengukur massa jenis bebeberap logam adalah juga seorang matematikawan,
astronom, epistemolog, sosiolog, dan penulis perbandingan agama yang banyak dipuji
karena obyektivitasnya.
Oleh karena itu, telah menjadi tradisi di
kalangan sarjana Muslim untuk mengadakan klasifikasi ilmu-ilmu. Klasifikasi
Islam atas ilmu-ilmu didasarkan pada hierarki dan kesalinghubungan antar-berbagai
disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi ketunggalan dalam kemajemukan. Menurut
Nasr, ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antarberbagai disiplin
ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog
hingga filsuf, dari sufi hingga sejarawan, sehingga banyak di antara mereka
mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu (Bakar, 1992).
Adanya klasifikasi ilmu itu selain
merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan yang integral-holistik para
sarjana Muslim, juga menjaga keharmonisan, proporsionalitas dan keseimbangan
ilmu-ilmu. Klasifikasi ilmu ini merupakan kunci pemahaman terhadap dimensi utama
tradisi intelektual Islam. Seperti juga sebuah cabang tak terus tumbuh tanpa
hingga, begitu pula suatu disiplin ilmu tidak selayaknya dipelajari sedemikian
rupa sehingga mengabaikan disiplin ilmu yang lain.
Menurut Nasr (Nasr, 1968), cendekiawan
Muslim abad pertengahan menganggap menuntut suatu cabang ilmu melampaui
batasnya . dengan demikian merusak harmoni dan proporsi segala sesuatunya .
sebagai suatu hal yang tak berguna, malah dapat dikatakan satu tindakan
melanggar aturan, seperti halnya jika sebuah cabang kayu tumbuh terus tidak
terbatas, akhirnya akan merusak keharmonisan pohon itu sebagai suatu
keseluruhan.
Menurut Nasr, subyek klasifikasi dan
integrasi ilmu ini pun merupakan kunci bagi system pendidikan Islam untuk
mencegah para pendidik Muslim kontemporer melepaskan diri dari kekacauan dan
kerancuan yang berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan
buta terhadap model-model Barat yang sering kali terbaur secara ad hoc dengan
modelmodel yang tetap hidup dalam sistem madrasah (Ashraf, 1989).
Tradisi klasifikasi ilmu inilah yang
sekarang hilang pada sarjana modern, di Barat atau pun di Timur dan Islam.
Ketiadaan klasifikasi ilmu inilah yang menciptakan terjadinya fragmented knowledge
dan ketidakseimbangan ilmu-ilmu. Adanya fragmented knowledge pun pada gilirannya
melahirkan pandangan-dunia (world-view) yang terpecah, fragmented personality
dan fragmented society. Ketidakseimbangan ilmuilmu melahirkan praktek
penganak-emasan beberapa disiplin ilmu, dan sebaliknya, penganak-tirian
disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Beberapa studi seperti sains empiris dan
teknologi diprioritaskan, namun studi ilmu-ilmu kemanusiaan seperti etika,
filsafat, agama dikebelakangkan. Akibatnya, sains dan teknologi bukan untuk
mencerahkan dan mensejahterakan umat manusia secara keseluruhan, tetapi seringkali
digunakan untuk menggertak, mengancam, membunuh, membuat bom atom dan membumihanguskan
suatu wilayah yang dianggap musuh.13 Lebih jauh dari itu, bahkan, alam kosmos
beserta isinya pun siap diluluhlantakkan oleh hasrat megalomania kekuasaan
dengan senjata-senjata pemusnah massal.
Dengan demikian, sikap yang nampak
.konservatif. atau .tidak progresif. pada astronom Muslim yang enggan melakukan
revolusi sistem astronomi dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis dari
pandangandunia integrasi-holistik mereka. Mereka tidak bersedia mengorbankan system
umum integrasi pohon ilmu-ilmu secara keseluruhan dengan membesarkan sebuah
cabang ilmu secara tidak seimbang dan harmonis.
Hal ini mungkin dapat kita analogikan
dengan ketidaksediaan sarjana Muslim mengembangkan teknologi mesiu untuk
persenjataan meskipun secara teknis-ilmiah telah dapat mereka lakukan.
Mereka mempunyai pertimbangan bahwa jika
teknologi itu jatuh kepada manusia yang tidak tepat (jahat, tidak bertanggung
jawab), maka teknologi itu justru akan membawa malapetaka bagi umat manusia.
Mungkin inilah salah satu perbedaan sarjana Muslim klasik dengan sarjana Barat atau
sarjana modern pada umumnya.
Lalu, di mana letak keburukan atau
ketidakseimbangan yang terjadi pada interpretasi astronom modern, khususnya
Copernicus dan kawankawan, yang mencetuskan sistem heliosentris? Sejauh manakah
dampak sistem heliosentris itu pada peradaban modern? Mengapa astronom Muslim lebih
mengedepankan keutuhan pohon ilmu sehingga tidak bersedia memproklamirkan system
heliosentris?
Dijelaskan bahwa sikap mereka yang tampak
.konservatif. itu terkait dengan cara pandang keilmuan mereka yang sangat
menekankan pada prinsip keharmonisan. Mereka memandang berbagai disiplin ilmu
saling terkait dan tersalinghubungkan secara organis bagaikan sebuah pohon.
Sebagaimana pohon yang indah dan baik
adalah pohon yang tumbuh secara seimbang dan harmonis (tidak ada salah satu
cabangnya yang menjulang tinggi sedang cabang lainnya tidak tumbuh atau
batangnya malah sekarat), demikian pula pohon ilmu yang baik dan indah adalah terjaganya
keutuhan, keseimbangan, dan keharmonisan berbagai cabang ilmu.
Lalu, pertimbangan apa yang
dilakukan oleh sarjana Muslim itu? Faktor apa yang membuat mereka berpandangan
bahwa perubahan dalam sistem astronomi adalah merusak keharmonisan sistem/klasifikasi
ilmu-ilmu secara keseluruhan? Sejauh manakah peran sistem astronomi dalam bangunan
ilmu pengetahuan suatu peradaban?
Astronomi sebagai Filsafat Alam Telah
menjadi khas suatu peradaban, kata Seyyed Hossein Nasr (Nasr, 1964), untuk
memiliki sistem astronomi dan kosmologi sendiri. Ciri suatu peradaban kerapkali
ditentukan oleh system astronominya. Astronomi sangat dekat dengan kosmologi,
yaitu suatu filsafat alam. Astronomi merupakan komponen utama suatu kosmologi.
Sedangkan kosmologi terkait erat juga dengan epistemologi. Menurut Nasr,
pandangan sekularisasi terhadap kosmos berhubungan dengan sekularisasi terhadap
pengetahuan (Nasr, 1989). Oleh karena itu, suatu sistem astronomi berhubungan
erat dengan gagasan-gagasan metafisika, filsafat, dan agama di mana system astronomi
itu dibangun. Dengan kata lain, filsafat dan agama adalah konteks kebudayaan
dan peradaban yang tak terpisahkan dari sistem astronomi yang lahir dan tumbuh
dari peradaban tersebut.
Kenyataan bahwa sistem astronomi terkait
erat dengan suatu peradaban diakui oleh para sarjana dan cendekiwan umumnya.
Kita telah menguraikan di muka bahwa kelahiran sistem heliosentris yang
dicetuskan oleh Copernicus dan didukung oleh sarjana-sarjana seperti Descartes,
Kepler, Galileo dan Newton merupakan representasi semangat zaman (zeitgeist)
ketika itu yang hendak memberontak terhadap sistem astronomi yang
teologis-metafisis. Mereka melakukan gerakan pemisahan total dari nilai-nilai
agama dan memandang alam hanya sebagai kumpulan materi materi yang mekanis,
mati dan kuantitatif. Oleh karena itu, muncullah sekulerisme yang telah menjadi
tuntutan alamiah manusia modern sebagai akibat dari pandangan dunia mereka yang
mekanis dan atomistik terhadap alam, termasuk alam langit.
Jadi, sistem heliosentris selain
representasi zeitgest zaman, juga sekaligus pembentuk semangat dan cara pandang
manusia modern umumnya terhadap alam dan realitas. Itulah sebabnya mengapa Y.B.
Mangunwijaya, misalnya, menyebutkan bahwa Revolusi Kopernikan (heliosentris)
sebagai salah satu titik balik dalam sejarah peradaban manusia (Mangunwijaya, 1987).
Lebih tepatnya lagi, dapat kita katakan bahwa revolusi heliosentris itu sebagai
perubahan pandangan dunia dari pandangan dunia yang
metafisis-simbolik-kualitatif-holistik menjadi pandangan dunia yang
mekanis-empiris-kuantitatif-atomistik. Nah, demikian pula tentunya, sarjana
Muslim juga menganut pandangan dunia tertentu yang mengarahkan
kegiatan-kegiatan ilmiah mereka. Menurut Nasr, konsepsi alam kosmos, termasuk dunia
langit, bagi sarjana Muslim terkait erat dengan pewahyuan dan hirarki
pengetahuan dalam skema filsafat Islam (Nasr, 1964). Langit menjadi sebuah
simbol pengetahuan dan kehadiran Tuhan. Bagi sarjana Muslim, kosmos adalah
sistem hidup, kualitatif, simbolik sehingga harus
dipahami secara holistik dan terintegrasi,
tidak dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagiansebagaimana sarjana Barat modern
melakukannya.
Meski pun demikian, perlu dicatat bahwa
sebagaimana yang kerapkali kita utarakan, cara pandang yang holistik, simbolik
dan kualitatif ini tidak mengurangi ketajaman analisis dan metode ilmiah para
sarjana Muslim. Hanya saja, mereka menjadi tampak .konservatif. atau terlalu
berhati-hati untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran ilmiah.
Namun, hal ini, sekali lagi ditekankan,
semata-mata terjadi karena mereka tidak hendak merusak tatanan pohon ilmu
secara keseluruhan sebagai konsekuensi logis dari pandangan dunia yang holistik
dan non-sekuleristik. Nasr menyebutkan bahwa sikap para sarjana Muslim yang
tidak memutuskan hubungan dengan sistem Ptolemeus sangat terkait erat dengan pandangan
dunia abad pertengahan. Tak seorang pun dari mereka yang berkehendak melakukan
untuk mengambil tindakan merombak pandangan dunia tradisional, seperti yang
terjadi pada masa Renaisans di Barat.
Karena, perubahan itu tidak hanya revolusi
dalam astronomi, tapi juga pergolakan di bidang agama, filsafat dan sosial.
Dengan latar belakang itulah Nasr mengingatkan bahwa tidak seorang pun dapat
menduga pengaruh revolusi astronomi terhadap pikiran manusia (Nasr, 1968).
Oleh karena itu, para sarjana Muslim nampaknya
sengaja .mengerem. kemajuan sains astronomi demi keutuhan dan keharmonisan
pohon ilmu yang terkait erat dengan kosmologi dan filsafat Tauhid. Nasr (1968)
menulis: .Selama tatanan pengetahuan tetap utuh dalam Islam, dan Scientia (sains)
tetap dalam naungan sapientia (kebijaksanaan), maka .pembatasan. (pengereman)
tertentu dalam salah satu cabang sains dapat diterima guna menjaga kebebasan
perkembangan dan realisasi dalam bidang spiritual. Dinding kosmos tetap
dipertahankan guna menjaga makna simbolis, yang ditimbulkan oleh pandangan
kosmos semacam itu pada kebanyakan umat manusia. Seakan-akan saintis dan para
sarjana Muslim meramalkan bahwa merombak dinding itu juga akan merusak muatan
simbolis dari kosmos dan malah menghapus makna .kosmos. (yang berarti tertib,
teratur) untuk sebagian besar manusia, yang sukar memahami langit sebagai semacam
bahan yang berpijar, memusar di angkasa dan sekaligus sebagai tahta Tuhan..
Dengan dasar pemikiran di muka, yaitu
mempertimbangkan efekefeknya secara sosial, filosofis dan spiritual yang
menurut sarjana Muslim lebih banyak membawa keburukan, maka mereka mengurungkan
niat atau kehendaknya untuk merombak total sistem Ptolemeus, meski secara teknisilmiah
telah mampu mereka lakukan. Nasr (1968) melanjutkan ulasannya: Meskipun semua
kemungkinan teknis (ilmiah) telah disadari (untuk membangun system astronomi
baru non-Ptolemeus), namun langkah untuk mendobrak pandangan dunia tradisional tidaklah
diambil, dan sarjana Muslim cukup puas dengan mengembangkan dan menyempurnakan
sistem astronomi yang diwarisi dari Yunani, India dan Persia, yang kesemua tradisi
ini telah diintegrasikan secara utuh dan penuh dalam pandangan dunia Islam
(kosmologi dan epistemologi Tauhid)..
Sikap .konservatif. dan keberhati-hatian
para sarjana Muslim ini tidak terjadi dalam sains astronomi saja. Dalam banyak
cabang sains, sering terjadi bagaimana mereka mengurungkan hasrat progresivitas
mengembangkan suatu cabang sains dengan pertimbangan untuk mempertahankan
keharmonisan pohon dan sistem keilmuan yang mereka anut. Dalam sains fisika,
misalnya, tokoh besar seperti al-Biruni dan Ibn al- Haitsam tidak akan
mengorbankan prinsip-prinsip keharmonisan dan kebijaksanaan Islam demi kemajuan
eksperimen-eksperimen
FISIKA
Menurut Nasr, meski pun para
sarjana Muslim klasik begitu menekuni studi fisika dengan pendekatan
kuantitatif-empiris, namun mereka tetap di dalam satu pandangan hidup
.nonprogresivisme., karena bagi mereka semua scientia (sains) ditundukbawahkan
kepada Sapientia (Kebijaksanaan). Matriks pandangan hidup mereka tetap tidak
berubah, meskipun sementara itu mereka terlibat penuh menuntut studi dunia
fenomena yang selalu berubah. Oleh karena itu, cara-pandang seorang al-Haitsam
yang merintis ilmu optik yang hidup dalam
spiritualitas atau epistemologi Islam akan
berbeda dengan cara-pandang seorang ahli optik yang hidup di dunia
modern-sekuleristik (Nasr, 1968).
Penutup
Uraian di muka memberikan
gambaran bagaimana sebuah matriks pandangan-dunia, nilai budaya, etos, filsafat
dan semangat zaman sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Kemandegan gerak perkembangan sains di dunia Islam lebih disebabkan oleh faktor-faktor
yang menyangkut etos, budaya, visi, sistem nilai dan kesadaran kolektif yang dianut.
Kita bisa lihat bagaimana kemajuan sains astronomi Islam yang telah mencapai puncaknya
pada abad ke-13 M dan jauh meninggalkan dunia Barat pada akhirnya diungguli
oleh Barat dengan etos dan paradigma yang baru dan sesuai dengan nilai
budayanya. Karena, ketika itu telah terjadi stagnasi dalam lapangan pemikiran
filsafat dan kebudayaan Islam yang memadamkan ruh dan etos peradaban Islam itu
sendiri, yang pada gilirannya mematikan perkembangan sains Islam. Tulisan ini,
yang tentu saja jauh dari maksud-maksud apologetik, membawa suatu pesan sentral
bahwa kita hanya dapat mencapai kemajuan dan perkembangan yang berarti dalam
ilmu pengetahuan jika kita menganut cara-pandang yang genuine, otentik dan
sesuai dengan etos keilmuan itu sendiri baik dalam ranah teologi maupun ranah
epistemologi (filsafat pengetahuan). Sains tanpa etos dan sistem nilai budaya
yang genuine dan otentik hanyalah ibarat raga tanpa jiwa.
Catatan Kaki:
1. Zeitgeist adalah istilah
yang digunakan oleh Hegel (w. 1831) ketika menguraikan filsafat
sejarahnya. Ia berpendapat
bahwa sejarah adalah sebuah perjalanan roh (geist).
2. Elemen-elemen pengkonstitusi
(pembentuk) kebudayaan dan kesadaran kolektif suatu
komunitas atau umat meliputi
banyak hal, yaitu: sistem nilai, ideologi, teologi, epistemologi,
moral, hukum, tradisi, etos
ilmiah, etos kerja, sistem sosiopolitik, dan adat istiadat. Elemenelemen
inilah yang bekerja membangun
pola pikir dan kesadaran kolektif yang menjadi bingkai
makna atau sistem tanda atau
kerangka penafsiran setiap komunikasi dan interaksi yang terjadi di
antara anggota komunitas.
3. Sejak dasawarsa 1970-an
berkembang suatu diskusi yang disebut sebagai wacana teknokultur.
Lahirnya wacana ini berkaitan
dengan tumbuhnya kesadaran kritis terhadap klaim-klaim sains
dan teknologi modern seperti:
bebas-nilai, obyektif, dan universal. Ketika itu mulai disadari
bahwa di balik klaim-klaim
tersebut tersembunyi asumsi-asumsi yang dipengaruhi oleh
12
pandangan-dunia dan ideologi
tertentu. Istilah teknokultur menunjukkan adanya hubungan yang
mendalam antara teknologi dan
budaya, dan mendorong kita untuk menyadari bahwa teknologi
tidak dapat terpisahkan dari
manusia.
4. Qadir juga mengutip
pernyataan seorang sejarawan Barat, Paul Lende, yang menulis,
.Pengaruh karya-karya
astronomis Muslim sangatlah besar. Sekarang ini, sebagai contoh, istilahistilah
perbintangan masih bertahan
dengan nama-nama yang diberikan oleh para astronom
Muslim, seperti: acrob (dari
.aqrab., kalajengking), altair (dari .al-tair., penerbang), deneb (dari
dhanb, ekor), pherkard (dari
.farqad., calf) dan kata-kata semacam zenith, nadir, azimuth;
semuanya mengingatkan kita
kepada karya-karya para sarjana Muslim.. (C.A. Qadir, Philosophy
and Science in the Islamic
World, Routledge, London, 1988, hal. 116.117)
5. Dalam hal ini, Ajram
menyebutkan bahwa adanya hubungan kontinuitas tersebut menjawab
tekateki selama ini perihal
proses munculnya tokoh seperti Copernicus dan Galileo yang tiba-tiba
saja terbangun dari tidur dan
kegelapan pandang (Dark Ages) dunia Barat. Mereka tidak
mungkin begitu saja melakukan
lompatan raksasa dari cara-pandang kuno geosentris ke carapandang
heliosentris tanpa proses
pembelajaran dari generasi sebelumnya. Karena, kemajuan
suatu peradaban tidak berawal
dari kevakuman. Ia berpendapat bahwa astronom Muslim lah
yang memberi mereka dasardasar
teori untuk membangun dan mengembangkan lebih lanjut
astronomi modern. Namun,
kontribusi sarjana Muslim ini ditutupi-tutupi dalam penulisan sejarah
perkembangan astronomi modern,
karena Barat berkepentingan untuk mempertahankan
hegemoni mereka terhadap dunia
Islam (Ajram, 1992).
6. Dalam karyanya Knowledge and
Human Interests (Boston, 1972), Habermas menulis khusus
dalam satu bab mengenai gagasan
tentang teori pengetahuan sebagai teori sosial (Chapter 4: The
Idea of the Theory as Social
Theory).
7. Hal itu dikemukakan oleh
Kant pada Pengantar edisi kedua karya utamanya The Critique of
Pure Reason; dikutip dari Kant,
I., The Critique of Pure Reason (trans. J.M.D. Meiklejohn),
Encyclopedia Britanica-The
University of Chicago, Chicago, 1984, hal. 7.
8. Renaisans berasal dari dari
bahasa Italia rinascimento yang berarti kelahiran kembali.
9. Mengenai gerakan humanisme
Renaisans dapat dibaca buku Jill Kraye (ed.), The Cambridge
Companion to Renaissance
Humanism, Cambridge University Press, Cambridge, 1996.
10. Mengenai kontribusi
karya-karya filsuf dan saintis Muslim yang berperan membangun
kesadaran baru Eropa dapat
dibaca pada buku-buku seperti: George Sarton, Introduction to the
History of Science (Baltimore,
1927); Thomas Welty, Human Expression: A History of the
World (New York, 1985 ); Ronan,
Science: Its Histrory and Development Among the World.s
Culture (New York, 1972); Will
Durant, The Age of Faith (New York, 1952); S.H. Nasr, Science
and Civilization in Islam
(Cambridge, 1968).
11. Terintegrasinya pandangan
keilmuan sarjana Muslim tidak mengharuskan dirinya menguasai
pelbagai disiplin ilmu,
terlebih lagi pada perkembangan sains modern yang makin terspesialisai
dan terdiferensiasi. Faktor
yang terpenting dari keutuhan-holistik cara pandang keilmuan itu
13
adalah adanya fundasi
epistemologis yang mengkaitkan satu disiplin ilmu dengan ilmu-ilmu
lainnya; jadi, tidak
terpilah-pilah secara tajam sebagaimana yang terjadi pada pendidikan
modern, khususnya seperti
antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan atau antara
sains-teknologi dan ilmuilmu
nilai.
12. Nasr menyebutkannya dalam
pengantar terhadap buku Osman Bakar Classification of
Knowledge in Islam (1992)
13. Seperti yang dipraktekkan
oleh negara adidaya Amerika Serikat terhadap negara-negara yang
dianggapnya membangkang
terhadap skenario yang ia ciptakan.
Daftar Pustaka
Ajram, K. 1992. The Miracle of
Islamic Science. Cedar Graphics, Iowa.
Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru
Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Arsyad, Natsir. 1989. Ilmuwan
Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan
Bakar, Osman. 1992.
Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy
Research
Habermas, Jurgen. 1972.
Knowledge and Human Interests. Boston: Beacon Press
Hamlyn, D.W. 1987. The Penguin
History of Western Philosophy. London: Penguin Books Ltd
Kant, Immanuel. 1984. The
Critique of Pure Reason (trans. J.M.D. Meiklejohn), Encyclopedia
Britanica. Chicago: The
University of Chicago
Mangunwijaya, Y.B. 1987. Putri
Duyung yang Mendamba. Jakarta: Yayasan Obor
Marks, John. 1990. Science and
the Making of the Modern World. Oxford: Heinemann
Educational Books Ltd.
Nasr, Seyyed Hossein. 1964. An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.
Cambridge-Massachussets:
Harvard University Press
Nasr, Seyyed Hossein. 1968.
Science and Civilization in Islam. Cambridge-Massachussets :
Harvard University Press
Nasr, Seyyed Hossein. 1989.
Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York
Press
Qadir, C.A. 1988. Philosophy
and Science in the Islamic World. London: Routledge
Ridwan, A. H. 1998. Reformasi
Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang
14
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan.
Yogyakarta: Ittaqa Press
Ronan, C.A. 1982. Science: Its
Histrory and Development Among the World.s Culture. New
York: Hamly Publ. Group
Sarton, George. 1952. A History
of Science (vol 1 .3). New York: John Wiley & Sons, Inc.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri
Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta :
LkiS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar