Powered By Blogger

Rabu, 26 April 2017

Manusia Manusia Suci : Percakapan Di Pinggir Sungai

Sore kala itu ketika sang surya hendak tenggelam, ketika sinar kuningnya berubah menjadi jingga menyejukkan, aku dengan segala keluh kesah hari ini mendudukkan diriku dibawah pohon di pinggir jalan menuju rumahku. Tempat itu memang persinggahan sementara diriku ketika menuju pulang. Beberapa pedagang ada disitu, pedagang bakso, minuman dan makanan kecil, es kelapa muda, kacang rebus dan masih banyak yang lainnya. Yang menjadi kesukaanku adalah es puding. Es puding serasa menjadi tumpahan kepenatan diriku ketika aku mampir di tempat itu. Tidak setiap hari, namun seringkali aku menyempatkan berteduh di tempat itu.

Hari itu aku melihat dua orang laki-laki yang juga sedang mampir di tempat itu. Yang satu usianya sekitar 50 tahun dan yang satu lagi berusia sekitar 30 tahunan. Dari gestut tubuh mereka, aku rasa merekan adalah Ayah dan anak. Laki-laki yang usianya lebih muda dengan sigap melayani permintaan laki-laki yang lebih tua. Dia pesankan segelas es kelapa muda dan semangkok bakso. Setelah dia selesai melayani laki-laki tua itu, diapun menyantap makanan dan minuman yang sama.

Keduanya berpakaian serba putih, ikat kepala, kemeja hingga jubah mereka berwarna putih. Yang muda membawa tas ransel berwarna hijau dengan terpampang lambang sebuah organisasi keagamaan. Dari percakapan mereka, sangat jelas bahwa mereka baru saja melaksanakan kegiatan organsasi mereka. Agama menjadi topik pembicaraan mereka. Laki-laki tua itu dengan pengetahuan hidupnya memberikan wejangan kepada laki-laki muda disampingnya. Bagaimana menjalani kehidupan dengan berlandaskan agama.

"Jangan sekali-kali setiap tindakanmu di dunia ini menympang dari ajaran agamamu" begitu perkataan laki-laki tua itu. Dan laki-laki muda disampingnya hanya mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya. Tidak terjadi percakapan dua arah diantara mereka, karena laki-laki tua itu tidak memberikan kesempatan kepada laki-laki muda disampingnya untuk berpikir, hanya menjejalkan nasihat lewat buah bibirnya.

Ditengah nikmatnya mereka menikmati makanannya dengan bumbu percakapan satu arah, tiba-tiba terdengar suara tertawa sinis. Sontak, kedua laki-laki itu menoleh ke arah suara tertawa yang berasal dari belakang mereka.

"Selamat sore, apakah bapak ini muslim ?" ujar laki-laki tua bersorban putih itu, seketika.
"Hahahaha . . . .saya 100 persen muslim pak haji" timpal laki-laki yang berada di belakang dua laki-laki tadi.
"Assalamualaikum saudara. . . . . nama saya Ahmad Rifa'i, ini menantu saya, sambil menunjuk laki-laki disampingnya. Muhammad Badar namanya dan maaf jangan saudara panggil saya haji karena saya belum menunaikan ibadah haji".
Kemudian 2 laki-laki yang bersorban itu memutar tempat duduknya dan sekarang berhadap-hadapan dengan laki-laki yang menertawai mereka.

"Waalaikum salam" balas laki-laki yang tadi tertawa sinis,
"maaf kalau saya tadi keceplosan tertawa, Hehehe, Nama saya Soleh pak" tambah laki-laki itu sambil setengah berdiri dan menyodorkan tangganya untuk berjabat tangan dengan 2 laki-laki bersorban di hadapannya.

Badar dengan sigap berdiri dan berjabat tangan dengan Soleh, sedangkan mertuanya tetap duduk namun dengan senyuman laki-laki tua itu menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Soleh.
Soleh berperawakan agak gemuk, berwajah sahaja dan aku kira dia orangnya periang. Terlihat dari gestur tubuhnya yang selalu menunjukkan perasaannya, lincah walaupun gendut.

"Maaf kalau saya boleh bertanya, kenapa mas Soleh ini tertawa tadi, seakan-akan mentertawakan kami". Rifa'i membuka obrolan lagi.
"Hehehehe, maaf pak. Saya bukan meremehkan. Saya hanya agak sedikit geli mendengar apa yang bapak katakan kepada mas Badri. Lanjut Soleh.
"Dunia sekarang adalah dunia nyata pak, sedangkan apa yang bapak tadi bilang adalah dunia awang-awang, susah untuk dijalankan". 
"Bagaimana kita akan bisa melaksanakan hukum Islam, kalau dunianya seperti ini", "hehehe, maaf pak saya bukannya ragu, tap saya bingung", Soleh melanjukannya dengan memasang muka kebingungan, tapi ada nada kejujuran pada setiap kalimatnya.

"Kita harus terus berusaha mas, bukankah seorang muslim diperintahkan tanpa lelah untuk terus menyampaikan kebenaran walaupun cuma satu ayat?", Lelaki tua itu menjawab dengan semangat yang berapi-api.

Soleh kembali tersenyum dan ketika dia akan melontarkan lagi pendepatnya, Rifa'i kembali berkata-kata,

"Mas Soleh ini kan seorang muslim, pantang lah berkata demikian, mas Soleh sholat kan ?, dalam sholat kita itu harus terus ikhtiar dan berdoa, bukannya putus asa"

Untuk kedua kalinya Soleh tersenyum, dan mulutnya siap-siap untuk berkata-kata, namum . . .

"Ini yang saya ajarkan kepada anak-anak saya, termasuk Badri mantu saya"

Tiba-tiba Soleh memotong pembicaraan,

"Pak, saya tahu apa yang bapak katakan kepada saya, saya 9 tahun nyantri pak di pesantren. Jadi apa yang bapak katakan atau nantinya bapak menyebutkan dalil kepada saya, saya sudah pernah mendengarnya pak. Bukan hanya setiap hari, tapi setiap jam, bahkan dalam tidurpun saya bemimpi tetap membaca kita-kitab yang kyai saya ajarkan". Tapi apa hasilnya bagi hidup saya ? Tidak ada pak. Ilmu-ilmu yang saya pelajari itu tidak ada gunanya ketika saya lepas dari pesantren. Ketika saya harus menghadapi dunia kenyataan, dunia di luar pesantren. Ketika saya harus bekerja menghidupi keluarga saya, ketika saya harus tetap bertahan di kehidupan ini. Yang bapak katakan tadi itu hanya di angan-angan, berbicara tentang akhirat yang bentuk dan kebenarannya saja kita gak tahu. Makanya pak saya hanya fokus saja sama apa yang saya kerjakan saja tiap hari, tujuannya membuat keluarga saya bisa hidup, punya rumah, mobil, anak-anak saya bisa sekolah. Jadi dimana peran ilmu-ilmu itu pak ?"

Soleh mengakhiri perkataannya dengan sedikit tersenyum sinis. Tampak kepuasan di wajahnya namun masih getir di sorot matanya. Ternyata Soleh tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya.

"Astaghfirullah, kok bisa ya mas Soleh ini punya pikiran seperti itu?". "ilmu-ilmu agama yg mas Soleh pelajari itu pegangan mas Soleh, dunia akhirat". Meledak dada Rifa'i. Tangan kirinya mengepal menahan amarah. 

Badri yang duduk disamping mertuanya menjadi salah tingkah. Sepertinya dia merasa tidak nyaman dengan obrolan mertuanya dan Soleh.

"Santai pak, saya tak ingin kita berdebat. Saya nggak nyalahin bapak, Silahkan bapak ajarkan yang menurut bapak benar kepada menantu bapak. Lebih baik kita habisakan bakso ini, mumpung masih anget, hehehehe". Soleh mencoba untuk mencairkan suasana yang sempat tegang, walaupun dengan nada bicara yang masih menegang.

Tanpa berkata-kata, Rifa'i memutar badannya kembali menghadap kali. Soleh melihatnya sekejap sambil menyuap bakso yang dari tadi tertunda akibat obrolan singkat itu, sedangkan Badri dengan kikuknya juga mengikuti apa yang dilakukan mertuanya,

Soleh tak peduli dengan kelakuan dua orang itu. Dengan cuek dia tetap meneruskan menyantap semangkok bakso. Tak lama berselang dia pun selesai dan membayar makanannya. Tanpa menoleh kembali kepada Rifa'i dan Badri, dia segera menghidupkan motornya, memakai helm dan pergi begitu saja.

Sedangkan Rifa'i dan Badri sudah selesai menghabiskan makanan mereka namun tidak ada sepatahpun kata keluar dari mereka berdua. Rifa'i meneguk air dalam botol yang dia keluarkan dari dalam tasnya. Begitu juga Badri melakukan hal yang sama. Lewat tatapan mata Rifa'i kepada Badri, Badri segera membayar makanan mereka berdua sedangkan mertuanya berjalan ke arah pinggir jalan raya. Tak lama Badri menghampirinya dan melambaikan tangan untuk memberhentikan sebuah kendaraan angkutan umum. Lalu mereka berdua pun naik kedalamnya. Dari kaca jendela mobil angkutan umum itu, aku masih bisa melihat raut muka mereka berdua. Badri, masih merasa salah tingkah, kebingungan melanda dirinya seakan-akan dia merasa bersalah atas kejadian singkat yang barusan terjadi, sedangkan Rifa'i masih terlihat pada wajahnya yang menahan amarah, entah amarah apa yang dia tanggung dari percakapan singkat dengan Soleh.

Sambil menyalakan rokok yang ke empat kalinya, aku masih tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku berpikir apa jadinya jika topik diskusi pendek tadi dibicarakan oleh banyak orang ?. Begitu banyak perbedaan pastinya. Begitu banyak amarah tentunya dan bisa jadi akan mengarah kepada permusuhan. Dunia memang aneh memperlakukan mereka, manusia-manusia suci.

Bersambung . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar