Powered By Blogger

Rabu, 26 April 2017

Selesai Sudah ???

Konstelasi politik beberapa bulan terakhir memanas diakibatkan digelarnya pilkada DKI Jakarta. Sebenarnya di tahun ini adalah tahun dimulainya kebiasaan baru politik di Indonesia, yaitu pilkada serentak yang digelar di 101 daerah di Indonesia. Namun yang menjadi perhatian bersama - tidak hanya wilayah DKI Jakarta - adalah pilkada di Jakarta. Kenapa ?, mari kita bahas bersama.

Pertama, kontestasi pilkada kali ini adalah menjadi turunan dari pilpres tahun 2014 lalu yang memecah politik di Indonesia menjadi 2 kubu besar, Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih (kubu pak SBY saya kesampingkan karena selalu menjadi penonton yang opurtunis). Dua kubu inilah yang melanjutkan tradisi kompetisi pada pilpres 2014. Sampai dengan saya menulis hari ini, kubu Indonesia Hebat masih menjadi pemenangnya. Hal ini didasarkan melalui peta kekuatan politik di DPR dan secara de facto koalisi Merah Putih bubar dengan sendirinya. Kontestasi pilpres ini menjadi semakin menguat ketika pilkada DKI akan digelar dikarenakan kubu Indonesia Hebat memunculkan nama calon gubernur yang memang sulit untuk ditandingi secara kualitasnya dan pihak lawan yang kalah pada pilpres sebelumnya seakan-akan memiliki dendam tersendiri untuk memenangkannya.

Kedua, Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia adalah sebagai barometer perpolitikan di Indonesia. Tidak ada daerah lainnya yang memiliki konstelasi politik seperti di Jakarta. Di Jakarta, bahkan para mahasiswa pun sudah terjun ke politik praktis. Organisasi kemahasiswaan sudah dijadikan kendaraan politik untuk menggapai level yang lebih tinggi dalam politik praktis. Tujuannya jelas, menjadi pion para politikus, masuk menjadi anggota partai dan tujuan akhirnya adalah jabatan politik. Hal ini sudah lama terjadi, bahkan sejak jaman pergerakan kemerdekaan dimulai.
Ketika kontestasi politik di Jakarta dimenangkan salah satu kubu politik, maka akan menyebar ke daerah lainnya walaupun tidak secara massive. Seperti yang terjadi belakangan, ketika Partai Demokrasi Indonesia berkuasa, 3 daerah utama di pulau Jawa dikuasai oleh partai tersebut dan menjadi viral di pemberitaan nasional. Segala tindakan politiknya menjadi berita utama yang menyedot perhatian nasional dan internasional.

Ketiga, isu SARA menyeruak ketika kontestan pilkada DKI Jakarta kali ini mempertandingkan pribumi dan non pribumi, ditambah satu hal yang selalu menjadi masalah bangsa ini yaitu muslim dan non muslim. Disini diperlukan kedewasaan berpikir sebagai bangsa Indonesia, bukan sebagai individual warga negara. Sukuisme menjadi masalah yang tak pernah usai di negara ini. Chauvanisme menjadi alasannya. Merasa sebagai suku yang lebih baik dari suku lainnya menimbulkan cara berpikir yang egosentrik dan tidak masuk akal. Saya percaya bahwa tidak ada satu kaum pun di dunia ini yang diciptakan melebihi kaum lainnya secara keseluruhan, karena ALLAH maha adil walaupun ALLAH juga bersifat paradoks.

Kembali pada pilkada DKI Jakarta 2017 yang menyelesaikan 2 putaran karena pada putaran pertama tidak ada pasangan calon yang meraih suara 50% + 1 (kontestasi kali ini diikuti oleh 3 calon pasangan yaitu Agus - Silvi dari kubu partai Demokrat, pasangan calon Basuki (Ahok) - Djarot dari kubu PDI dan pasangan calon Anies - Sandiaga dari kubu Partai Gerindra). Putaran kedua diikuti oleh pasangan calon BADJA (Basuki -Djarot) dan Anis - Sandiaga) dan dimenangkan oleh pasangan nomor urut 3, Anies - Sandiaga.

Kemenangan pasangan Anies - Sandiaga memang menjadi keinginan sebagian besar umat muslim di Indonesia, mengapa saya katakan demikian ? Karena penolakan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta tidak hanya dari warga DKI Jakarta, namun dari daerah lainnya juga. Hal ini terbukti dengan aksi masa bela Islam yang digelar 2 kali (411 dan 212) dihadiri umat muslim dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar pulau Jawa. Di satu sisi hal ini membanggakan, namun di sisi lainnya saya merasa hal ini adalah sebuah degradasi kualitas umat muslim di Indonesia.

Kemenangan Anies - Sandi adalah hasil determinasi isu SARA yang dimunculkan, entah oleh siapa. Sentimen anti pemimpin muslim menjadi kekuatan sentral untuk mengalahkan ko Ahok. Pernyataan - pernyataan para pendukung Anies - Sandi ditambah para anti Ahok di berbagai media secara tegas menyatakan sentimen agama. Saya sebenarnya tidak mengharapkan cara-cara demikian dilakukan oleh umat muslim. Intelektualitas dan kedewasaan berpolitik umat muslim seakan hanya retorika belaka.

Sebagai seorang muslim yang taat kepada ketetapan Al Quran, tidak ada keraguan bagi saya untuk memilih pemimpin yang muslim, apalagi berada di negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Walapun negara Indonesia tidak berasas pada hukum Islam, namun bagi saya ketetapan Al Quran untuk memilih pemimpin yang satu agama dengan saya adalah kewajiban. Hal ini adalah ibadah dalam bidang politik.

Al Quran juga mengajarkan bagaimana kami sebagai umat muslim berpolitik praktis dengan intelektual sebagai manusia berakal dan kepercayaan diri berjalan di jalan yang benar. Islam tidak menafikan umat beragama lainnya karena hukum Islam adalah untuk manusia keseluruhan. Jadi ketika banyak kekhawatiran umat beragama lainnya akan hidup dibawah payung hukum islam, itu adalah persepsi yang keliru. Islam sejatinya adalah jalan kebenaran untuk menuju sang pencipta sehingga hukumnya berlaku bagi semua manusia termasuk alam semesta.

Kembali pada riuh ricuhnya pilkada di Jakarta. Setelah kemenangan Anies - Sandi ini, apakah kondisi politik akan kondusif ?. Saya kira belum selesai. Sentimen SARA akan terus mengemuka pada pada bentuk lainnya. Karena perbedaan itulah titik lemah bangsa ini, namun sekaligus kekuatan yang mempersatukannya. Umat Islam di Indonesia dituntut untuk semakin dewasa, menerima dengan intelektual manusia yang bijaksana. Seperti yang dilakukan para pendiri bangsa ini, namun tegas dalam menjalankan syariat. Bangsa ini menjalani sejarah yang panjang untuk mempersatukannya. 72 tahun bukanlah umur bangsa ini, tapi sudah ribuan tahun saya kira. Keberagaman bukanlah sebuah perbedaan, namun adalah sebuah kekuatan utama bangsa ini. Bisa kita buktikan dalam sejarah bahwa bangsa ini adalah bangsa pejuang, setiap daerah memiliki kesadaran akan hal tersebut. Namun sejarah juga mencatat bagaimana dengan mudahnya kita sebagau sebuah bangsa dipisahkan oleh perbedaan diri kita sendiri.

Umat muslim Indonesia adalah role model dunia saat ini. Negara mana yang memiliki penduduk beragama Islam di dunia kecuali Indonesia ?. Menurut saya ini bukanlah sebuah kebetulan, Allah sudah mengaturnya dengan sangat sistematis. Tinggal bagaimana kita untuk bangkit menjadi umat muslim dunia yang kuat dan kembali menegakkan syariat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar