Sejatinya
Islam mengajarkan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia untuk
mempersiapkan kehidupan di akhirat. Segala prilaku manusia di dunia tidak dapat
dilepaskan dari agama, termasuk kemudian dalam berpolitik. Menurut saya tidak
tepat jika ada pendapat yang memisahkan kegiatan politik dan agama, karena
Islam dengan jelas mengatur bagaimana umat muslim berpolitik.
Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia .
Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk melakukan
pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan
menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam
merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa
dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.
Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk
menempatkan peran Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di
Indonesia. Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan
dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang?
Kenyataannya umat muslim di Indonesia memang tidak siap untuk
berpolitik. Kesamaan agama selalu menjadi kekuatan dasar untuk mengumpulkan
suara para pemilih, bukan pada kekuatan politik itu sendiri. Partai-partai yang
katanya berdasar atas Islam belum mampu menghasilkan output politik yang
profesional, mereka masih mengandalkan kesamaan agama para pemilihnya. Bahkan
Partai Kebangkitan Bangsa pada era Gus Dur belum mampu mengejawantahkan
pemikiran-pemikiran Gus Dur yang plural. Saya mencatat sejak pemilu pertama
pada tahun 1955, partai Islam tidak pernah menjadi pemenang di konstestasi
politik di negeri ini. Ironis memang, negara dengan penduduk mayoritas muslim
terbesar di dunia tidak pernah memenangkan poitik di negaranya sendiri.
Masyumi sebagai partai Islam terbesar pada awal kemerdekaan
Indonesia hanya meraih 20,9 persen suara pada pemilu pertama tahun 1955. Memang
partai tersebut tampil menjadi urutan kedua setelan Partai Nasional Indonesia,
namun tidak tampil dominan karena partai Islam lainnya yaitu Nahdlatul Ulama
dan Partai Syarikat Islam juga ikut bertarung di pemilu tahun tersebut.
Selanjutnya pada zaman Orde Baru, partai Islam yang diwakili
oleh Partai Persatuan Pembangunan tidak bisa bicara banyak. Hanya sebagai
penggembira dan penonton kedigdayaan Golongan Karya yang selalu menjadi
pemenang selama 32 tahun. Bahkan pada era ini tidak ada partai politik yang
benar-benar sebagai partai politik.
Masa reformasi sempat menjadi harapan bagi banyak umat muslim di
Indonesia yang mendambakan partai Islam bangkit menjadi penguasa di Indonesia.
Maka dengan euforia yang besar, bermuncullah partai-parta Islam. Ada yang baru,
ada juga yang memakai nama lama seperti partai Masyumi. Namun sekali lagi
disinilah kelemahan umat muslim Indonesia. Jika tujuannya adalah sebuah
kekuasaan negara berdaulat berdasarkan atas syariat Islam, kenapa harus
bermunculan begitu banyak partai Islam ?. Tidak bisakah umat muslim Indonesia
bersatu dalam satu partai untuk kemenangan umat muslim Indonesia ?. Tidak
bisakah para tokoh-tokoh Islam melepaskan pertentangan dalam mazhab,
perselisihan tentang fiqih dan atau perbedaan lainnya demi satu tujuan ?.
Jika menilik pada sejarah bangsa kita di periode awal kesadaran
berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara, Islam di Indonesia menjelma
sebagai kekuatan rakyat yang teguh melalui keikutsertaan umat Islam dalam
Sarekat Dagang Islam dan kemudian di Sarekat Islam. Sarekat Islam dianggap sebagai
penjelmaan Islam di dalam organisasi modern pertama, tetapi di dalamnya tidak
ada watak ideologis, bahkan yang terlihat adalah watak kultural tahap awal. Di
satu pihak, Sarekat Islam mengembangkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran
Islam, di pihak lain SI menampakkan sebagai mitos. Sarekat Islam menjadi
tumpuan masyarakat sebagai 'Ratu Adil' yang merupakan cita-cita pemberontakan
akibat penjajahan dan kemiskinan dalam masa itu. Umat waktu itu menginginkan
lahirnya satu kerajaan utopis, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menuju ke
sana dan tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan.
Watak kultural ini sama sekali belum mempunyai muatan ideologis,
meski kecerdasan akan kesatuan sebagai bangsa telah muncul. Wawasan kebangsaan
yang dimiliki SI sejak dini perjuangan merupakan benang merah yang senantiasa
ada dalam perjuangan organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul
dengan bendera Islam hingga kini.
Pada kenyataannya, muatan wawasan kebangsaan memang lebih dahulu
muncul daripada aspirasi ideologis Islam. Kelahiran organisasi Islam seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan lain-lain pada mulanya merupakan gerakan
kultural. Politik masih mempunyai arti yang luas sebagai upaya bersama untuk
mencerdaskan umat, membangun kesejahteraan mereka, dan mengupayakan
pemasyarakatan ajaran-ajaran Islam, dan karena itu keterlibatan mereka dalam
suatu kerangka kebangsaan semata-mata ingin menghilangkan penjajahan.
Setelahnya umat muslim Indonesia seperti kehilangan arah
perjuangannya. Para tokohnya seakan belomba mengumpulkan dukungan para ummat.
Tidak seperti yang dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang terus konsisten
berjuang memenangkan hati rakyat untuk diajak bersama-sama mengumandangkan
'kemerdekaan", para tokoh Islam selalu sibuk dengan mempertentangkan
perbedaan-perbedaan fiqih. Jalan yang dibangun oleh para pendahulu SI,
Muhammadiyah dan NU seakan tidak pernah mencapai tujuannya. Muhammadiyah dan NU
yang hingga saat ini sebagai representasi dari umat muslim Indonesia belum
mampu menjadi "wakil rakyat" terhadap kepentingan berpolitik ummat.
Seharusnya umat muslim Indonesia harus sudah keluar dari
bayang-bayang perbedaan fiqih diantara sesamanya. Kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan berlandaskan syariat Islam akan jauh lebih penting untuk
diperjuangkan bersama-sama sebagai kesatuan umat muslim. Pada era ini, pilkada
Jakarta sebagai sebuah barometer kekuatan politik Islam sesungguhnya. Jika umat
muslim kalah dalam kontestasi ini, maka akan sangat sulit membangkitkan
kesadara politik Islam pada umat muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar