Tanah
lapang itu diperkirakan terletak di utara Kota Majapahit. Di sana raja Sunda,
permaisuri, putri, para pengiring dan pengawalnya beristirahat seraya menunggu
diterima Hayam Wuruk, raja Majapahit. Nahas, di tempat itu pula mereka menemui
ajal.
Menurut arkeolog Agus Aris Mundandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik, Peristiwa Bubat bisa dianggap
sebagai titik balik kesuksesan karier Mahapatih Gajah Mada. Ketika Sumpah
Palapanya hampir sempurna dibuktikan, Gajah Mada justru menggagalkannya
sendiri.
Kejadian ini berawal dari rencana pernikahan putri Sunda,
Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Untuk maksud itu, sebagaimana dikisahkan Pararaton dan Kidung Sunda, Raja
Sunda dan rombongannya mendatangi Majapahit.
Agus menyatakan hal itu dapat dianggap berbeda dalam
perspektif politik Gajah Mada. Kedatangan rombongan Kerajaan Sunda bisa saja
dinilai sebagai kelemahan pihak mereka, yaitu seorang penguasa Sunda bersedia
datang menghampiri Kerajaan Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Apalagi,
pada masa itu, Kerajaan Sunda menjadi wilayah yang tersisa setelah wilayah lain
di Pulau Jawa berhasil dikuasai Majapahit.
Namun, pernikahan itu gagal. Dua naskah kuno itu menyebut
kegagalan pernikahan itu akibat ambisi Gajah Mada yang bernafsu
menaklukkan Kerajaan Sunda di bawah panji-panji Majapahit.
“Kebetulan orang nomor satu dari Kerajaan Sunda hadir di
wilayah Majapahit, lalu tinggal ditekan saja agar mau menuruti keinginan sang
patih,” ujar Agus.
Rencana Gajah Mada itu tak berjalan mulus. Orang Sunda
menolak perintahnya. Mereka tak ingin sang putri dibawa sendiri ke istana
Majapahit untuk diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai wujud takluk. Sedari
awal, kedatangan mereka mengantar sang putri semata-mata untuk menikahkannya
dengan raja Majapahit.
Puncaknya, ketegangan berkembang menjadi pertempuran.
Perang berdarah tak terhindarkan di lapangan Bubat. Hampir semua orang Sunda
yang ikut rombongan tewas, tak terkecuali raja, patih, para menteri dan
bangsawan. Sementara, permaisuri, istri-istri pejabat, dan sang putri bunuh
diri.
Agus menilai, Peristiwa Bubat memperlihatkan bahwa untuk
mencapai ambisinya, Gajah Mada tak ragu memanfaatkan perasaan Hayam Wuruk. Dia
memancing raja Sunda untuk datang ke Majapahit karena merasa tak mampu jika
harus mengalahkannya langsung di wilayah asalnya. Kerajaan Sunda yang lahir
dari peradaban lebih kuno membuatnya segan.
Di sisi lain, Gajah Mada juga memanfaatkan emosi raja
Sunda. Sang raja tak punya pilihan selain mengantarkan putrinya sebagai tanda
tunduk atau berperang sampai mati membela kehormatannya. Raja Sunda itu merasa
jika dia pulang tanpa melawan, akan menjadi aib sepanjang hidup di hadapan
rakyatnya. Dia akan dicap sebagai raja yang gagal melangsungkan perkawinan
putrinya.
“Sunda pasti mudah dikalahkan karena berada jauh dari
daerahnya dengan tentara yang terbatas pula,” ujar Agus.
Pada akhirnya, hubungan dengan Sunda yang awalnya akan
diperteguh melalui ikatan perkawinan menjadi sirna. Padahal, jika berhasil,
Kerajaan Sunda bisa dirangkul sebagai negara mitra stata Kerajaan Majapahit.
Itu sebagaimana yang disebutkan oleh Nagarakrtagama terhadap
sejumlah negara lain yang menjalin hubungan persahabatan dengan Majapahit.
Perang Bubat mungkin membuat Gajah Mada tak dipercaya lagi
oleh keluarga kerajaan. Dia membuat Hayam Wuruk kehilangan cintanya. Hubungan
Majapahit dengan Kerajaan Sunda pun memburuk.
Maka, kata Agus, demi membersihkan namanya Sang Patih
kemudian merancang serangan ke Dompo. Dia sendiri yang memimpin ekspedisi itu.
“Pertama, untuk menghindari cercaan terhadap dirinya.
Kedua, ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga kerajaan terhadap
dirinya. Ketiga, sebagai bentuk hukuman kepada dirinya sendiri,” jelas Agus.
Adapun bagi Kerajaan Sunda, peristiwa Bubat nampaknya tak
cukup besar hingga bisa meruntuhkannya. Kerajaan Sunda baru runtuh akibat
serangan tentara Banten pada 1579. Ini 60 tahun lebih lama dari tahun
keruntuhan Majapahit, sebagaimana yang diperkirakan arkeolog Hasan Djafar,
yaitu tahun 1519.
Terlepas dari itu, kata Agus, kendati dipaparkan gamblang
dalam Pararaton, banyak ahli sejarah kuno yang tak
percaya Perang Bubat pernah ada. Mereka menilai Perang Bubat tak lebih dari
tuturan yang disisipkan oleh penyalin Pararaton.
“Atau malah tambahan orang Belanda pertama yang meneliti Pararaton serta berbagai alasan lainnya,” ujar Agus.
Sebaliknya, ada pula yang menganggap mengingkari kisah
Perang Bubat adalah hal yang aneh. Jika kisah Ken Angrok dalam Pararaton yang mistis saja bisa dipercaya, seharusnya
kisah Perang Bubat pun sepatutnya diyakini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar