Powered By Blogger

Selasa, 29 November 2016

MADILOG



Buku itu begitu digandrungi anak muda sekitar awal tahun 2000. Anak muda yang katanya kaum pergerakan - entah ini hanya uforia atau tidak - wajib memiliki dan membaca buku yang satu ini. Awalnya saya juga penasaran dengan isi buku ini, maklum pengarangnya sedang hangat diperbincangkan kembali kala itu. Dalam banyak diskusi yang saya hadiri waktu itu, pemikrian dalam buku ini banyak dijadikan referensi cara berpikir untuk melahirkan pemikiran dan gerakan revolusioner kebangsaan. Buku ini memang sempat dibumihanguskan oleh penguasa ORBA dikarenakan alasan bahwa Tan Malaka diduga sebagai pelopor aliran kiri, aliran yang semasa orba adalah musuh rakyat karena dianggap bertanggungjawab atas peristiwa "gestapu".

Sebagai anak muda yang baru menginjakkan kakinya didunia mahasiswa di ibu kota Jakarta, tempat aplikasi politik negeri ini, saya terkesima dengan pemikiran yang ada pada buku ini. Semangat muda yang menggebu - gebu ditambah dengan proses pencarian jati diri, menyempatkan saya berada pada dunia filsafat yang masih membingungkan. Antara kenyataan dan imajinasi berpikir terangkum dalam tindakan keseharian dengan mengikuti banyak organisasi kemahasiswaan. Memang menyenangkan, namun tetap harus waspada terhadap pemikiran yang hanya ilusi.

Saya hanya akan sedikit membahas isi buku ini sebagai resensi setelah saya membaca tuntas buku ini berkali - kali. Lalu kenapa baru saat ini saya me-resensi buku ini. Jawabannya simple, dulu ketika jaman saya kuliah, buku ini harganya mahal, sekitar 300 ribu dan bisa ditebak, untuk ukuran kantong mahasiswa saat itu buku ini benar - benar mahal. Saya baru bisa membelinya sekitar 4 bulan lalu dan selesai membacanya dalam waktu 3 bulan. Yang pasti tidak ada kata terlambat untuk selalu belajar dan belajar.

Kita mulai dengan sang pengarangnya, Tan Malaka yang nama aslinya adalah Sutan Ibrahim melahirkan pemikiran yang baru walaupun sejatinya pemikiran tersebut berasal dari kebudayaan manusia. Alam filsafat membawa imajinasi Tan Malaka membuktikan keilmuan manusia dengan metode yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Boleh dibilang "filosof nusantara". Bukti adalah fakta dan fakta adalah laintanya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dann utama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan pengindraan.  Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (MaterialismeDialektikaLogika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.

Kegelisahan jiwa dan pikiran Tan Malaka diejawantahkan salah satunya dalam buku ini. Bagi saya, madilog adalah masterpiece pemikiran Tan Malaka. Membacanya akan mengantarkan kita melihat nusantara sebagai sebuah kesatuan kebudayaan bangsa yang kala itu masih sebatas wacana, namun saat ini kita menikmatinya sebagai sebuah negara kesatuan yang merdeka, akan tetapi masih terjajah . . . . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar