Sebagai anak muda yang baru menginjakkan kakinya didunia mahasiswa di ibu kota Jakarta, tempat aplikasi politik negeri ini, saya terkesima dengan pemikiran yang ada pada buku ini. Semangat muda yang menggebu - gebu ditambah dengan proses pencarian jati diri, menyempatkan saya berada pada dunia filsafat yang masih membingungkan. Antara kenyataan dan imajinasi berpikir terangkum dalam tindakan keseharian dengan mengikuti banyak organisasi kemahasiswaan. Memang menyenangkan, namun tetap harus waspada terhadap pemikiran yang hanya ilusi.
Saya hanya akan sedikit membahas isi buku ini sebagai resensi setelah saya membaca tuntas buku ini berkali - kali. Lalu kenapa baru saat ini saya me-resensi buku ini. Jawabannya simple, dulu ketika jaman saya kuliah, buku ini harganya mahal, sekitar 300 ribu dan bisa ditebak, untuk ukuran kantong mahasiswa saat itu buku ini benar - benar mahal. Saya baru bisa membelinya sekitar 4 bulan lalu dan selesai membacanya dalam waktu 3 bulan. Yang pasti tidak ada kata terlambat untuk selalu belajar dan belajar.
Saya hanya akan sedikit membahas isi buku ini sebagai resensi setelah saya membaca tuntas buku ini berkali - kali. Lalu kenapa baru saat ini saya me-resensi buku ini. Jawabannya simple, dulu ketika jaman saya kuliah, buku ini harganya mahal, sekitar 300 ribu dan bisa ditebak, untuk ukuran kantong mahasiswa saat itu buku ini benar - benar mahal. Saya baru bisa membelinya sekitar 4 bulan lalu dan selesai membacanya dalam waktu 3 bulan. Yang pasti tidak ada kata terlambat untuk selalu belajar dan belajar.
Kita mulai dengan sang pengarangnya, Tan
Malaka yang nama aslinya adalah Sutan Ibrahim melahirkan pemikiran yang baru
walaupun sejatinya pemikiran tersebut berasal dari kebudayaan manusia. Alam
filsafat membawa imajinasi Tan Malaka membuktikan keilmuan manusia dengan
metode yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Boleh dibilang "filosof
nusantara". Bukti adalah fakta dan fakta adalah laintanya ilmu bukti. Bagi
filsafat, idealisme yang pokok dann utama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran
dan pengindraan. Filsafat materialisme menganggap
alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok
dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang
pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional
dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara
konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya
dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan
permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama
rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah
yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi
nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir
yang teoretis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak
tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang
meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948),
maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang
merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada
gagasan-gagasan dalam perjuangannya.
Kegelisahan jiwa dan pikiran Tan Malaka diejawantahkan salah satunya dalam buku ini. Bagi saya, madilog adalah masterpiece pemikiran Tan Malaka. Membacanya akan mengantarkan kita melihat nusantara sebagai sebuah kesatuan kebudayaan bangsa yang kala itu masih sebatas wacana, namun saat ini kita menikmatinya sebagai sebuah negara kesatuan yang merdeka, akan tetapi masih terjajah . . . . .
Kegelisahan jiwa dan pikiran Tan Malaka diejawantahkan salah satunya dalam buku ini. Bagi saya, madilog adalah masterpiece pemikiran Tan Malaka. Membacanya akan mengantarkan kita melihat nusantara sebagai sebuah kesatuan kebudayaan bangsa yang kala itu masih sebatas wacana, namun saat ini kita menikmatinya sebagai sebuah negara kesatuan yang merdeka, akan tetapi masih terjajah . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar