Powered By Blogger

Jumat, 25 November 2016

MENDADAK BENAR

Akhir bulan Oktober 2016, di Indonesia khusunya di ibu kota Jakarta dan sekitarnya "mendadak" jadi-jadian. "mendadak religius", "mendadak berperan mendajadi politikus", "mendadak mengetahui segalanya dan yang lebih fantastis adalah "mendadak paling benar". Kondisi ini tidak terlepas dari konstelasi politik yang memanas menjelang pilkada di ibu kota. Salah satu calon yang merupakan public enemy "muslim" menjadi bulan-bulanan, diserang dari segala pejuru mata angin dan dikondisikan sangat bersalah. 

Basuki Tjahaya Purnama namanya, seorang "koboi" jadi-jadian, dengan track record mentereng dan dukungan politik yahud, dia berhasil menduduki kursi panas di ibu kota Jakarta. Namun karena dia dianggap bukan "pribumi" dan bukan pemeluk agama mayoritas di negeri ini, menjadikannya sebagai public enemy nomer satu saat ini. Semua pemikiran, tenaga dan waktu serta materi dikondisikan berhadapan dengan koh Ahok. Apapun tindakannya dianggap salah. 

Koh Ahok ini bertipikal temperament, berapi-api jika berbicara namun jujur dan tegas. Banyak lawan politik yang tersinggung dan terluka akal pikirannya jika sudah berdebat dengan koh Ahok. Seperti contoh salah satu jagoan pribumi, sang "USB" yang sempat beberapa kali terlibat perselisihan sengit dengan koh Ahok dan akhirnya mundur perlahan karena bukti-bukti yang disodorkan koh Ahok begitu kuat. Dan tak bisa kita lupakan bagaimana pria yang satu ini ketika berselisih dengan partai yang mendukungnya di kursi wakil gubernur kala itu dibuatnya menyerah dengan tingkah laku politik sang koboi ini. 

Sejatinya sampai dengan tulisan ini dibuat, sang koboi masih "tidak tersentuh" walaupun pada tanggal 4 November 2016, gerakan massa yang menamakan "pembela ISLAM" melakukan mahademo dengan mendatangakan ribuan atau bahkan jutaan masa ke ibu kota untuk menuntut pemerintah pusat agar memproses dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Saya tidak tertarik untuk membahas benar atau tidaknya Ahok melakukan penistaan agama melalui perkataannya di Pulau Seribu beberapa waktu lalu dengan konteks bahasa (karena saya tidak ahli bahasa), namun menurut saya apa yang dikatakan Ahok tidaklah tendesius menistakan agama. Yang berpendapat bahwa Ahok menistakan agama ya boleh-boleh saja, toh setiap orang berhak berpendapat walaupun tidak berdasar logika dan fakta. Namun satu yang menjadi catatan saya tentang perkataan Ahok di pulau Seribu, secara etika politik dan kebangsaan, Ahok sejatinya tidak memiliki hak untuk "menggunakan" ayat Al Quran untuk kampanye pidatonya, apalagi di depan warga yang "hanya" beragama muslim, disitu letak kesalahannya , , , !!!

Selanjutnya menurut saya, Ahok juga bisa menyinggung perasaan umat muslim ketika dia menyinggung perihal prisip umat muslim seperti membicarakan Al Quran. Super sensitif, apalagi muslim dengan pemahaman "syar'i" akan mendasarkan kepribadian dan tindakannya berdasarkan pemahaman tentang bagaimana menjadi muslim yang kaffah, walupun secara filosfi masih jauh dari perjalanan kebenaran yang hakiki. Tidak ada yang salah memang jika kaum muslimin yang masih pada pemahaman syar'i ini, karena segala sesuatunya  melalui proses. Ibarat manusia, proses pemahaman syar'i ini seperti manusia yang baru lahir, yang masih mencari kesadaran dirinya sebagai makhluk ciptaan ALLAH.

Seperti yang saya singgung sebelumnya bahwa sang koboi ini diserang dari segala penjuru mata angin, itulah sebabnya isu kontroversial ini diangkat dengan judul "penistaan agama" dan jelas sasarannya adalah penganut umat beragama mayoritas di negeri ini yang sejatinya masih merasa superior di negeri ini.

Islam di Indonesia adalah mayoritas dalam hal kuantitas, kualitasnya ? saya pun mempertanyakan pada diri sendiri. Saya merasa tidak berhak sebenarnya membicarakan dan menilai ke-agamaan seseorang, namun jika berbicara kedewasaan berpikir umat Islam, kita dapat melihat kenyataan di masyarakat muslim Indonesia yang masih mencari identitas kemuslimannya.

Sejarah yang saya ketahui tentang berdirinya negara ini tidak lepas dari tokoh-tokoh agama, terutama tokoh agama Islam. Kyai dan santri-santrinya adalah pelopor pemikiran dan tindakan untuk "merdeka" lepas dari segala bentuk penjajahan. Saya berkeyakinan, pemikiran seperti ini dimasa lalu adalah sesuatu yang revolusioner, memilki visi jauh kedepan dan bukan sekedar imajiner belaka. Pemikiran maju dengan disertai toleransi berkebudayaan, menghasilkan tindakan yang begitu massive, dimulai oleh perang Diponegoro pada tahun 1825 -1830 yang puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Tak ada kata lain yang bisa mengungkapkan kejadian-kejadian tersebut selain "kesurupan berjamaah", apa pasalnya ? Kekuatan intelektual muslim saat itu begitu berkharisma, begitu dihormati bukan cuma personalisasinya namun diikuti setiap perkataan dan tindakannya.

Apa yang terjadi saat ini ? Hilangnya kharisma personalisasi dan kualitas intelektual para "guru" serta tingkatan makrifat para ulama menghasilkan output yang alakadarnya. Masyarakat muslim diajarkan bagaimana caranya mengeruk pahala dan berpenampilan muslim yang mengikuti kebudayaan Arab. Muslim diperkenalkan dengan pemahanan yang merasionalitaskan perihal syariat, tidak ada lagi yang mengajarkan bagaimana batin dan akal ini mengenal dan mencintai sang pencipta.

Para ustadz yang memiliki peranan penting dalam hal ini yang tidak mampu lagi menampilkan Islam yang hakiki, yang benar sesuai dengan yang diperintahkan ALLAH dan dicontohkan oleh RASULULLAH,

Berbusana muslim dan menyanyikan lagu-lagu yang katanya Islami menjadi bagian dari kehidupan muslim saat ini. Berkata-kata bahasa Arab dan tampil sebagai ulama super star adalah hal yang dinanti-nantikan oleh masyarakat, padahal hal tersebut bukan inti dari ajaran Islam, namun masyarakat muslim saat ini begitu percaya akan hal itu dibandingkan apa yang terkandung dalam Al Quran.

Degradasi kualitas intelektual dan kebatinan para "guru" tersebut yang menyebabkan hilangnya ruh muslim pada masyarakat muslim Indonesia. Begitu disulut isu "penistaan agama", api "jihad" menyambar, membakar segala emosi. Tidak perduli benar atau tidak, yang terpenting adalah membela "Islam", membela "Rasul" dan membela "ALLAH". Ironis memang disaat makhluk yang tercipta karena kehendak ALLAH, akan membela ALLAH yang tentunya lebih superior dari makhluk ciptaannya.

Kata "kafir" dengan mudah dinyatakan kepada orang-orang yang menurut mereka tidak dijalan ALLAH, padahal tidak satupun manusia yang berhak menyatakan kafir terhadap sesamanya, kenapa ? lah wong yang berhak adalah sang pencipta, sesama murid tidak berhak menilai kecuali gurunya, begitu kira-kira Cak Nun menjelaskan.

Meminjam kata-kata Gus Mus,
"yang menghina agamamu, tidak merusak agamamu"
"yang merusak agamamu, justru prilakumu"

Jika kita adalah pengikut Rasul yang taat, maka ikutilah apa yang dilakukan rasulullah Muhammad, tersenyum ketika selalu dihina, dicaci dan dimaki. Rasul kita masih saja menunjukkan belas kasih sesuai ajaran Islam ketika banyak manusia yang menghinanya, bahkan akan membunuhnya.

Apa yang dikatakan Ahok di Pulau Seribu merupakan bukti nyata lemahnya umat muslim Indonesia, sejatinya dengan huru hara ini umat muslim Indonesia sadar dan bangkit dengan mengkaji dan mengaplikasikan satu - satunya pedoman bagi manusia akhir zaman, Alquran dan bukannya menjadi pahlawan pembela agama yang tidak memilki arah perjuangan jihad yang jelas atau bahkan mengada - ada.

Menjadi ISLAM adalah bukan bagaimana menghiasi diri dengan budaya yang tidak kita kenal, namun menjadi ISLAM adalah bagaimana menyelaraskan hati dan akal yang menghasilkan budaya manusia ISLAM.


in our land where we stand
never afraid coz we all friends
we may vary but hand in hand
appreciate and understand
why democracy if occupied by oligarchy?
nggo opo demokrasi nek mung ngapusi?
why religion if only to kill humanity?
nggo apa agama nek mung mateni
hey oxymoron, you don’t need to teach me
rasah nggurui merga ora migunani

#jogjahiphopfoundation#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar