Powered By Blogger

Kamis, 28 Desember 2017

Garam Memang Tidak "Manis"


Pulau Madura yang berdekatan dengan pula Jawa memang tidak sesubur pulau tetangganya itu. Miskin komoduti pertanian menjadikan Madura tak berkembang dari segi ekonomi kerakyatan. Hal inilah yang membuat pulau Madura tak terlalu diperhatikan oleh Belanda pada jaman colonial. Madura memang sempat jadi sumber serdadu kolonial Belanda. Ada yang namanya Barisan Madoera atau Barisan Tjakra. Namun, secara umum tadinya Madura tidak dianggap penting oleh pemerintah kolonial Belanda. 

“Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya memiliki nilai ekonomi yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang melakukan migrasi besar-besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008). 

Garam juga menjadi julukan pada pulau Madura. Pada Abad ke-15 menjadi awal mula dari pembuatan garam di Madura. Kisah ini di mulai dari tentara Bali yang datang ke Pulau Madura, maksud kedatangannya untuk membalas dendam kepada keturunan Jokotole. Tentara Bali tersebut berlabuh di pantai Sumenep.

Jokotole ialah seorang pahlawan Madura yang gagah berani, yang telah berhasil menaklukkan raja Blambangan pada waktu ia berperang melawan Majapahit. Namun tentara Bali yang menganggap raja Blambangan itu nenek moyangnya, dapat dikalahkan oleh orang-orang Madura.

Bala tentara Bali yang masih hidup melarikan diri ke desa Pinggir Papas (Gir Papas, menurut orang Madura). Desa ini terletak diantara kota Sumenep dan Kalianget. Kira-kira enam kilometer dari kota Sumenep. Di desa Pinggir Papas inilah bala tentara Bali itu menyerah kepada raja Sumenep, yakni Pangeran Wetan. Oleh Raja Sumenep mereka diampuni dan mendapat tanah untuk membangun desa. Diantara tentara Bali tersebut ada seorang panglima perang, bernama Anggosuto. Panglima perang inilah yang pertama kali mempunyai pikiran untuk membuat garam dari air laut yang dijemur.

Cara produksi garam cukup sederhana. Hanya dengan mengalirkan air laut ke dalam tambak-tambak dengan bantuan kincir angin. Air laut dalam tambak itulah yang kemudian dijemur menggunakan panas matahari untuk menguapkan airnya dan meninggalkan kristasl garamnya. Kristal garam yang mengendap kemudian di panen menggunakan garuk dan dikeruk ke pinggir tambak.

Pembuatan garam berkembang pesat di desa Pinggir Papas. Bahkan lama-kelamaan menjadi sumber penghasilan bagi penduduk desa Pinggir Papas.  Tidak hanya di Pinggir Papas saja, namun di daerah-daerah lainnya sampai saat ini pembuatan garam terus berlangsung di Madura dan telah menjadi pekerjaan tetap bagi masyarakat Madura. Dan Tradisi pembuatan kristal putih dari samudera itu telah mengalir dalam darah petani garam.

Paruh kedua abad XIX, terutama setelah Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, Madura punya nilai ekonomis besar bagi Belanda. Pulau ini, menurut Ricklefs, adalah “pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh nusantara.” 

Menurut Danys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996), “rupa-rupanya di Madura penghasilan [garam] itu tidak terlalu tua. Jika J. Crawfurd boleh dipercaya, prinsip tambak garam pada masanya hanya dikenal di pantai-pantai utara Jawa dan daerah Pangasinan di Pulau Luzon (Filipina).” 

Menurut Kuntowijoyo dalam sebuah esainya di buku Radikalisasi Petani: Esei-Esei Sejarah (1993), Belanda tak membeli garam lewat bupati. Mereka, menurut Kuntowijoyo, “secara langsung mengawasi produksi, berhubungan langsung dengan produsen dan memonopoli pemasaran." Karena Madura, garam jadi monopoli yang menguntungkan Belanda. Keuntungan yang seharusnya jatuh ke tangan adipati (bupati) dan jajarannya. 

“Dalam tahun 1852, harga jual garam adalah lebih dari tiga puluh kali harga belinya (dari petani),” lanjut Kuntowijoyo. Di bukunya yang lain, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940 (2002), Kuntowijoyo menyebut “industri garam, bagaimana pun tidak menambah kesejahteraan penduduk.”

Artinya, petani-petani atau kuli-kuli tambak garam tak jauh beda nasibnya dengan kuli-kuli kebon lain di nusantara. Nasib petani garam di masa kini juga cukuplah suram. Meski garam langka, uang tak melimpahi kantong mereka. Padahal belanda si pemonopoli garam sudah lama angkat kaki. 

Sangat ironis jika negara yang punya laut dan pantai harus membeli garam dari luar negeri. Di abad yang lalu tepatnya tahun 1930 di India, hal itu pernah terjadi. Inggris menjadi pemonopoli garam di India, dan banyak orang India menolaknya. Menerima monopoli itu sama saja dengan membiarkan “rakyat India harus membeli garam dari Inggris, meskipun produk itu melimpah ruah,” tulis Jonathan Black dalam Sejarah Dunia yang Disembunyikan (2015). 

Tokoh pergerakan nasional India, Mohandas Karamchand Gandhi pun mengambil tindakan. Meski umurnya sudah kepala enam, dia “membawa mereka (orang-orang India) ke pantai laut untuk menentang peraturan orang Inggris yang melarang rakyat menghasilkan garam dari lautan tanah air mereka sendiri,” tulis buku Semua Manusia Bersaudara (2016). Aparat keamanan Inggris Raya kemudian menangkap Gandhi dan lainnya masuk bui.


Sekali lagi garam bukanlah hanya menjadi milik manusia Madura, garam adalah salah satu komoditi yang seharusnya menjadi “penting” bagi negara ini. Garam tidaklah perlu didatangkan dari negara lain, sangat menyakitkan tentunya jika hal ini terus terjadi. Pemerintah perlu melakukan tindakan strategis untuk menjadikan garam berbuah “manis” untuk rakyat sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar