Powered By Blogger

Selasa, 05 Desember 2017

Ketika Dokumen Negara Hilang dan Berubahnya Penulisan Sejarah

 Naskah atau dokumen resmi sebuah negara menjadi sangat penting ketika anak bangsa menggali sejarah dan jati dirinya. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sangat menghargai sebuah dokumen. Seperti kisah fiktif rekaan Hollywood, Indiana Jones sang petualang. Dalam banyak aksi dan petualangannya tak jarang Indiana mencari dan menemukan dokumen berharga untuk mengungkap sebuah rahasia sejarah.

Dalam perspektif pemerintahan, naskah atau dokumen penting sebuah negara dapat dijadikan penentu kebijakan serta keputusan sebuah rezim. Seperti rezim orde baru misalnya, secara politik menggunakan “SUPERSEMAR” untuk menggantikan orde lama walaupun sampai dengan saat ini dokumen tersebut menjadi perdebatan yang belum usai.
Tak jarang juga sebuah naskah dijadikan sumber untuk penulisan sejarah “resmi” oleh sebuah negara. Zaman VOC, banyak manuskrip yang ditemukan dijadikan sumber untuk penulisan sejarah kerajaan di Indonesia.

Hilangnya sebuah dokumen penting bagi sebuah negara adalah malapateka. Apalagi jika dokumen tersebut adalah dokumen yang sangat penting menyangkut rahasia sebuah negara dan ketika ditemukan dikemudian hari ternyata sangat berbeda dengan sejarah yang sudah ditulis sebelumnya. Salah satu contoh yang bisa diajukan adalah hilangnya notulensi rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan  Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).  Dokumen notulensi itu sangatlah penting, amat penting bahkan, karena memuat laporan rinci tentang segala perdebatan yang terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang sedang merancang konsep berbangsa dan bernegara. Dari sanalah publik bisa mengetahui perdebatan, perselisihan, dan konsensus yang terjadi di balik kelahiran konstitusi Indonesia: Undang-Undang Dasar 1945.

Dua salinan itu berisi berbagai dokumen persidangan, salah satunya adalah notulensi perjalanan sidang yang dibuat oleh dua stenografer. Notulensi itulah yang menjadi naskah paling otentik karena begitu rinci melaporkan sidang. Semua pidato, diskusi lisan, perdebatan, hingga tawa dan tepuk tangan peserta sidang pun dicatat dengan rapi.

Dokumen itu hilang, atau tidak diketahui rimbanya, selama kurang lebih 30 tahun. Dari dua salinan notulensi, salinan pertama yang disimpan oleh Abdoel Karim Pringgodiggo dirampas Belanda dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Salinan itu diterbangkan ke Belanda dan menjadi koleksi arsip Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie pada Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Salinan yang lain berhasil selamat dari perampasan dan disimpan oleh Abdul Gaffar Pringgodigdo dan menjadi koleksi pribadi. 

Duo Pringgodigdo di atas memang kakak beradik yang berlatar belakang pendidikan hukum. Abdoel Gaffar (A.G. Pringgodigdo) adalah anggota BPUPKI, menjabat sebagai sekretaris Ketua BPUPKI yang dijabat oleh Radjiman Wedyodiningrat. Sedangkan adiknya, Abdoel Karim (A.K. Pringgodigdo), menjadi bagian dari delegasi Indonesia di berbagai perundingan penting dengan Belanda. Keduanya pernah menjabat sebagai menteri, baik selama periode 1945-1950 maupun sesudahnya.


Pada pertengahan 1950an, Muhammad Yamin meminjam satu-satunya salinan yang masih ada di tanah air yang disimpan A.K. Pringgodigdo untuk kepentingan riset mengenai perumusan UUD 1945. Dari dokumen itulah Yamin menerbitkan tiga jilid buku Naskah Persiapan UUD 1945, jilid pertama rilis pada 1959.

Buku Yamin ini menjadi sangat strategis karena pada saat yang sama Yamin tidak mengembalikan salinan notulensi yang ia pinjam dari A.K. Pringgodigdo (sedangkan salinan yang disimpan A.G. Pringgodigdo sudah berada di Belanda dan saat itu belum ada yang tahu di Belanda disimpan di mana). Bertahun-tahun kemudian, setidaknya sampai pertengahan 1990an, buku Yamin praktis menjadi satu-satunya acuan.

Dari sanalah kemudian muncul polemik tentang Hari Lahir Pancasila. Nugroho Notosusanto, sejarawan dari Universitas Indonesia yang mendirikan Pusat Sejarah ABRI, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik pada 1978. Buku yang semula menjadi brosur untuk bahan pengajaran di internal ABRI ini kemudian menjadi polemik karena dianggap mengecilkan peranan Sukarno dalam perumusan Pancasila.

Dari tiga jilid buku Yamin itulah Nugroho menyusun argumentasinya. Ia membantah Sukarno sebagai penemu Pancasila. Pertama, kata Nugroho, bukan hanya Sukarno yang berpidato tentang dasar-dasar negara. Ada dua orang lain yang menyampaikan pidato yaitu Yamin dan Soepomo. Ketiga-tiganya, kata Nugroho, sama-sama sudah menguraikan lima poin yang ditawarkan sebagai cikal bakal Pancasila. 

Nugroho bahkan mengesankan kalau Sukarno hanya “mengikuti” dua nama sebelumnya. Argumentasinya sederhana: karena Yamin dan Soepomo berpidato lebih dulu (29 Mei 1945), sedangkan Sukarno baru berpidato keesokan harinya (1 Juni 1945).

Kedua, pada saat yang sama Nugroho juga menepikan ketiga pidato tersebut dengan alasan bahwa lima sila Pancasila yang kita kenal sekarang tidak sama dengan satu pun rumusan dari Sukarno, Yamin atau Soepomo. Sila-sila Pancasila yang kita kenal sekarang baru diresmikan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi, dalam rapat PPKI yang diketuai oleh Sukarno.

Argumentasi Nugroho tidak begitu saja diterima. Bantahan justru datang dari para pelaku sejarah. Yang paling keras datang dari Muhammad Hatta. Ia membantah buku Nugroho (Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik) dan sekaligus mendelegitimasi buku Yamin (Naskah Persiapan UUD 1945). 


Ia mengatakan bahwa Yamin tidak berpidato dalam durasi panjang seperti yang tercantum dalam buku Yamin, yang kemudian diamini oleh Nugroho. Beberapa tokoh lain yang menjadi anggota BPUPKI, di antaranya Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, dan Sunario, juga segendang sepenarian: buku Yamin tak bisa dipercaya.

Pemerintah membentuk tim khusus untuk menerbitkan versi “resmi”. Di bawah koordinasi Sekretaris Negara, tim itu kemudian melahirkan buku berjudul Risalah Sidang BPUPKI/PPKI. Buku itu terbit pada 1980 dan dikeluarkan langsung Sekretariat Negara. Mudah ditebak, buku Yamin yang menjadi rujukan utama. Edisi pertama Risalah Sidang BPUPKI/PPKI bahkan tak ubahnya cetak ulang saja dari buku Yamin. 

Itulah versi resmi dari rezim Orde Baru.

Polemik itu tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan karena rezim Orde Baru menguasai diskursus publik. Versi Yamin, yang diartikulasikan dengan lebih ideologis oleh bukunya Nugroho, menjadi versi resmi negara dalam bentuk buku keluaran Sekretariat Negara.

Padahal Sukarno sebenarnya tidak ingin mengklaim sendirian sebagai penemu Pancasila. Berulang kali, dalam banyak kesempatan, Sukarno mengaku hanyalah “penggali” belaka. Sukarno bahkan menulis kata pengantar untuk buku Yamin dan di sana Sukarno mengatakan bahwa UUD 1945, juga Pancasila, adalah suatu “ciptaan nasional” dan dirinya hanyalah satu dari “62 orang putera dan puteri Indonesia” yang ikut andil merumuskannya.

Namun kerendahan hati Sukarno itu dianggap tidak cukup oleh rezim Orde Baru, bahkan dimanfaatkan untuk mengecilkan peranan Si Bung. Fakta bahwa Sukarno yang paling rinci menyodorkan rancangan Pancasila, bahkan dialah yang menyebut istilah Pancasila untuk kali pertama, diabaikan. Desukarnoisasi, yang sudah jadi praktik politik sejak Orde Baru berkuasa, sampai juga pada soal mendasar mengenai konstitusi dan dasar negara.

Diskursus menemukan titik balik saat salinan notulensi BPUPKI yang disimpan Yamin ditemukan di Solo dalam koleksi pribadi keluarga Yamin. Temuan itu membuat tiga jilid buku Yamin dapat ditinjau ulang berdasar dokumen primer. Puncaknya saat salinan notulensi yang dirampas Belanda dikembalikan kepada Indonesia pada 1994.

Dari sanalah A.B. Kusuma, yang pada awalnya ikut menyunting buku Risalah Sidang BPUPKI/PPKI terbitan Sekretariat Negara, menerbitkan buku berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dengan tebal 671 halaman. 

Berdasarkan penelusurannya, Kusuma berkesimpulan bahwa Yamin tak memberikan pidato seperti yang ditulis di buku Naskah Persiapan yang disusun Yamin sendiri. Dalam bukunya, ia memuat pidato Yamin yang asli yang hanya sekitar dua halaman saja. Pidato itu diperkirakan hanya menelan tidak lebih 20 menit saja. Ini sesuai dengan kesaksian Hatta.


Dari salinan notulensi yang sudah ditemukan itu diketahui bahwa Yamin membesar-besarkan peranannya dalam perumusan Pancasila.  Mustahil Yamin berpidato sepanjang itu karena ada tujuh pembicara yang berpidato pada 29 Mei dan semuanya (termasuk Yamin) menghabiskan waktu 120 menit. 

Diketahui juga kalau Soepomo tidak mengajukan lima rumusan dasar negara, melainkan mengajukan lebih banyak poin. A.B. Kusuma mengatakan bahwa usaha Nugroho untuk menjelaskan bahwa Soepomo juga sudah mengajukan lima sila sebagai rancangan dasar negara sebagai berlebihan.

Berdasarkan salinan asli notulensi sidang BPUPKI/PPKI, terlihat cukup jelas bahwa Sukarno adalah satu-satunya yang punya rumusan komprehensif dan menyeluruh. Sukarno pula satu-satunya orang yang dalam sidang BPUPKI sudah menyebut kata “Pancasila”. Lagi pula, Sukarno pun memang hanya mengajukan lima sila, tidak lebih dan tidak kurang. 

Bahwa redaksional, atau susunan kalimat versi Sukarno, tidak sama persis dengan lima sila seperti yang kita kenal sekarang itu memang benar. Bahwa Sukarno juga menawarkan versi ringkas Pancasila, dari lima menjadi tiga, kemudian menawarkan satu sila sebagai saripatinya, yaitu “gotong royong”, itu juga benar. Tapi cukup jelas betapa lima sila yang ditawarkan Sukarno pada 1 Juni 1945 menjadi sumber utama, bahkan satu-satunya, yang lantas diadopsi menjadi Pancasila sebagaimana disahkan pada 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI.

Ketika arsip yang dibawa Yamin tak bisa diakses sejarawan atau publik, maka sejarah soal BPUPKI tak bisa diungkap dengan baik. Hingga bisa menimbulkan kerancuan di masyarakat juga di lingkungan akademis. Soal kapan hari Pancasila, apakah tanggal 1 Juli atau 29 Juli pun bertahun-tahun lamanya menjadi sulit dijelaskan. 

Arsip soal BPUPKI ini bukan satu-satunya arsip yang hilang di Indonesia. Naskah proklamasi pun sempat “hilang”. 

Dalam buku BM Diah Wartawan Serba Bisa (1997), Toeti Kakiailatu menyebut bahwa BM Diah memungut kertas hasil coret-coretan rancangan naskah proklamasi tersebut dari tong sampah tak lama setelah naskah proklamasi selesai dirumuskan. Tak ada ada yang sadar akan pentingnya kertas itu. 

Naskah itu baru kembali ke tangan pemerintah atas inisiatif BM Diah sendiri yang mengembalikannya pada 1992. Artinya, butuh 47 tahun bagi negara ini untuk dapat memiliki dokumen luar biasa penting bernama proklamasi. Bahkan dokumen sepenting itu pun nyaris setengah abad lamanya disimpan oleh perorangan, bukan oleh negara.


Karena serangan Belanda, naskah proklamasi versi ketikan pun pun sempat menghilang dari tangan negara. Atas usaha Adam Malik, naskah proklamasi versi ketikan diserahkan kepada Yuliarso Surowidjojo untuk diamankan dan selanjutnya disimpan oleh sang istri, Soejati. Barulah pada awal 1960-an naskah itu diserahkan kepada pemerintah RI. 

Mengherankan dokumen-dokumen sepenting itu tersimpan sedemikian lama di tangan perseorangan, betapa pun barangkali maksud sang penyimpan awalnya baik. Betapa memalukannya jika naskah proklamasi itu sampai jatuh ke tangan Belanda. Apalagi salinan notulensi sidang BPUPKI-PPKI pun (salah satunya) sudah dirampas oleh Belanda.
Sebagai bangsa yang lalai menjaga dokumen, tidak jelasnya nasib arsip tentang Munir itu tidaklah mengejutkan. Naskah Proklamasi saja pernah tidak diketahui rimbanya, begitu juga arsip kerja BPUPKI. 

Bahkan Surat Perintah kebanggaan Orde Baru juga hilang. Ya, pernah pernah suatu masa ada arsip yang hilang dan justru menjadi dasar hukum bagi seorang jenderal untuk mengambil-alih kepemimpinan ini. Ia mengaku memperoleh mandat (dari Presiden) untuk mengambil-alih pemerintahan. Surat Perintah Sebelas Maret, atau Supersemar, sampai kini masih menjadi misteri yang mungkin akan abadi. 

Dampak paling fatal dari raibnya dokumen-dokumen penting negara adalah sejarah menjadi sumir, kabur, atau lebih tepatnya lagi: disumirkan, dikaburkan. Jika ada episode penting dalam perjalanan sejarah bangsa ternyata diselumit kekaburan, maka rezim penguasa akan mengisi kekaburan itu dengan mendesakkan versinya sendiri. Dan versi itu akan sukar dibantah karena dokumen terpentingnya tidak bisa terakses, sehingga evaluasi, kritik, atau bantahan akan sulit untuk meyakinkan.

Dampaknya sama: sejarah gampang dibuat kabur, untuk kemudian dari sanalah versi rezim penguasa bisa didesakkan sebagai versi resmi. Hilangnya sebuah arsip, bukan tidak mungkin, membuat manipulasi sejarah menjadi gampang dilakukan. Jika manipulasi itu disebarkan melalui berbagai saluran resmi, dan menyusup ke dalam kurikulum pendidikan dan buku pelajaran, sebuah bangsa akhirnya hidup dalam sebuah kebohongan. 


*disadur dari beberapa sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar