Tragedi
kelam pernah dialami bangsa ini, pembantaian besar-besaran pernah terjadi pada
kurun waktu tahun 1965 – 1967. Tidak ada catatan resmi yang bisa dijadikan
rujukan perihal berapa korban dari pembataian massal ini, namun dari beberapa
sumber diperkirakan 500.000 sampai dengan 1 juta orang terbunuh.
Ikhwalnya
adalah karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang sering disebut
sebagai G 30 S PKI. Peristiwa ini dalam sejarah resmi Indonesia diterjemahkan
sebagai sebuah puncak gerakan pemberontakan terhadap negara dan permerintahan
yang sah oleh Partai Komunis Indonesia. Gestapu nama lain dari gerakan ini
(nama yang selalu disebutkan oleh Sukarno) berakibat runtuhnya pemerintahan
Sukarno dengan segala kejadian politiknya, dan bangkitnya rezim pemerintahan
baru yang belakangan disebut sebagai Orde Baru dengan dikomandoi oleh Suharto.
Berapa
waktu yang lalu, Amerika Serikat merilis dokumen rahasianya yang salah satunya
melaporkan tentang kondisi Indonesia setelah peristiwa GESTAPU. Dalam salah satu dokumen bertanggal 20 November 1965,
dari ringkasan mingguan yang dihimpun oleh Sekretaris Pertama Kedubes AS, Mary
Louise Trent, disebutkan "serangkaian pertemuan dengan para pemimpin
mahasiswa, Jenderal AH Nasution—saat itu Menteri Pertahanan—mengungkapkan
tekadnya untuk terus melancarkan kampanye merepresi PKI."
"Represi terhadap
simpatisan PKI ini sudah mencapai level pembunuhan massal di beberapa provinsi
di Indonesia, yang rupanya berdasarkan perintah Jenderal Soeharto, setidaknya di
Jawa Tengah," tulis Rent. "Baik di provinsi tersebut dan di
Djakarta, represi atas PKI terus digencarkan."
Karena saking banyaknya jumlah simpatisan komunis yang ditahan, ada masalah utama: kapan mereka diberi makan dan di mana rumah yang akan dijadikan sebagai tahanan.
"Kejadian di provinsi-provinsi lain Indonesia berhasil mengatasi masalah tersebut dengan mengeksekusi mati para tahanan atau membunuh mereka sebelum ditangkap," tulis dokumen tersebut.
Setidaknya nama Medan, Solo
dan Kudus (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur), Makassar, Bali, dan NTT disebut
sebagai situs pembunuhan massal, terutama setelah Resimen Para Komando AD hadir
di daerah-daerah tersebut dan memobilisasi pembantaian.
Pegawai konsulat AS di Surabaya melaporkan "kami terus menerima laporan orang-orang PKI dibantai di sejumlah daerah di Jawa Timur."
Seorang misionaris yang kembali dari Kediri pada 21 November 1965 mendengar pembantaian besar-besaran di Tulungagung, yang dilaporkan sekitar "15.000 orang" terbunuh. Meski agak berlebihan, tulis dokumen ini, laporan konsulat itu menyatakan "pembantaian besar-besaran" memanglah terjadi.
Belakangan, meski ada laporan pembantaian sudah berhenti di Jawa Timur, arsip lain bilang pembantaian terus berlangsung. Metode pembantaian juga diubah, dari dilempar ke sungai jadi dikubur di luar daerah atau desa. Kepala polisi daerah Jawa Timur bahkan mengatakan “sangat sulit menyetop pembunuhan”.
Laporan lain, yang ditulis Direktur Intelijen Angkatan Udara Indonesia, memberi pandangan yang agak jarang terhadap laporan internal Angkatan Darat di balik gerakan 30 September. Laporan ini menerangkan kegiatan RPKAD di sekitar Surakarta, terutama di Solo, yang diperlakukan sebagai "zona perang" oleh Angkatan Darat karena tingginya popularitas PKI di sana.
Sebagian pasukan RPKAD yang sebelumnya dikerahkan untuk kampanye Konfrontasi dengan Malaysia lantas dipakai untuk membantu serangan meluas terhadap PKI.
Dokumen lain pada 21 Desember 1965 menyebutkan, “sedikitnya 100.000 orang terbunuh, termasuk 10.000 orang di Bali, dalam kampanye anti-PKI yang digerakkan tentara.”
“Pembunuhan di Bali dimulai pada awal Desember ketika RPKAD dan unit Brawijaya, yang dikomandani Sarwo Edhie Wibowo tiba. Pembunuhan terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian, menyebabkan sekitar 80.000 orang terbunuh.”
Laporan pada 3 Agustus 1966 menyebutkan soal pembantaian di Nusa Tenggara Timur. "Pada Januari atau Februari, Detasemen Angkatan Darat datang ke Rote dan mengeksekusi pemimpin PKI setempat serta seorang kader partai dari Jakarta bernama Sukirno.”
Cerita ini berdasarkan pengamatan antropolog AS, James Fox, dan istrinya yang menghubungi Kedutaan untuk mengisahkan peristiwa itu ketika mereka tinggal di sana selama kurun pembunuhan.
“Tentara kembali pada pertengahan Maret dan mengeksekusi antara 40 dan 50 orang Rote serta 30 orang komunis lain dari Pulau Sawu [sebelah barat Pulau Rote],” ujar Fox. Ia meyakini antara 800-1.000 orang yang dituduh komunis telah dieksekusi oleh tentara di NTT.
Telegram dari Duta Besar AS
Marshall Green meringkas situasi politik dan keamanan di Sulawesi, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur, menyusul represi yang ditopang Angkatan Darat, termasuk
terhadap penduduk Cina.
Menurut Green—mengutip pemuka Protestan di Sulawesi, “90 persen ruko Cina di Makassar dirazia dan isinya dihancurkan dalam kerusuhan 10 November 1965 yang dilaporkan melibatkan semua penduduk.”
Laporan mingguan Kedubes mencatat, di Jawa saja, ada lebih dari 34 ribu anggota PKI ditangkap. Sementara anggota Politbiro partai tersebut selain ditangkap juga dieksekusi mati.
“Komandan militer regional akan mengambil alih semua penggilingan padi dan perusahaan tekstil yang dimiliki anggota Baperki,” tulis laporan tersebut. Baperki adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia dengan tokohnya yang terkenal adalah Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki, yang mempromosikan politik "integrasi", merapat pada Sukarno dan PKI, sehingga termasuk target anti-PKI dalam kampanye pembersihan 65.
Dalam dokumen yang bernilai luar biasa, Sekretaris Pertama Kedubes AS, Mary Louise Trent, melaporkan soal nasib para pemuka PKI di tengah puncak pembunuhan massal, menunjukkan pengetahuannya yang mendalam atas operasi Angkatan Darat menangkap atau membunuh para pemimpin PKI.
Kedubes AS Marshall Green menggambarkan upaya Angkatan Darat
melarang Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi
dengan PKI, dan rencana melengserkan Menteri Perburuhan Sutomo alias Bung
Tomo.
* dirangkum dari beberapa sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar