Bulan lalu saya pernah membahas tentang keterkaitan Pulau
Madura dan komoditi garam dan saat ini saya akan membahas keterkaitan komoditi
garam di era Jawa kuno.
Belajar dari sejarah di berbagai peradaban dunia kuno masa
lalu, garam pernah menjadi barang berharga yang nilainya bahkan tidak kalah
mahal dengan emas.
Dari masa Jawa klasik sendiri, sejumlah sumber berita
tekstual tercatat memuat topik tentang garam secara luas. Ini bisa diartikan
bahwa garam memiliki nilai penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Prasasti dari Raja Balitung
Istilah “garem” telah muncul dalam prasasti tembaga dari raja
Balitung, bersama dengan padak (garam dari tempat pembuatan garam/pegaraman ~
yang dinamai “garam padak”), minyak (lenga) dan gula, yang dibawa dengan cara
dipikul (pinikul) (Naersen, BKI 95, 1937; 441~461).
Bukti di atas mengungkap bahwa istilah ini telah dipergunakan
sejak abad X Masehi. Kata jadian ‘agarem’ yang berarti digarami atau bergaram
juga terdapat dalam kakawin Ramayana.
Kitab lain, yakni Bomakawya menyingkap pemanfaatan garam
untuk membuat telor asin sebagaimana tergambar dalam kalimat ‘ikantigagarem’
(dari tiga kata: ika, antiga (telur), garem).
Prasasti Sarwadhamma/Penampihan II
Sumber yang menyinggung pajak terhadap garam (pagagarem)
adalah prasasti Penampihan II (Sarwadhamma) bertarikh Saka 1191 (1269 M).
Selain kata “garem, garam dan padak”, ada juga istilah
“uyah”. Istilah dari periode Jawa Kuna/Tengahan yang juga dikenal dalam bahasa
Jawa Baru ini terdapat dalam Kidung Tantri Kadiri dari Masa Majapahit, berkaitan
dengan makanan (panganan). Kalimat yang terbaca adalah “pinangannya tanpa
huyah” yang artinya makanannya kurang/tanpa garam.
Prasasti Garaman
Garam juga di produksi di wanua (desa) Garaman sesuai dengan
yang tercatat pada Prasasti Garaman bertarikh Saka 975 (1053 Masehi) yang
dikeluarkan oleh raja Jenggala Rakai Halu Mapanji Garasakan.
Toponimi ‘Garaman’ yang berkata dasar ‘garam’ menunjukkan
adanya produksi garam di sekitar Lamongan pada abad XI Masehi.
Prasasti tembaga Garaman ditemukan oleh Moh. Dahlan, warga
Dusun Mandungan, Kelurahan Widang Kecamatan Babad Kabupaten Lamongan pada tahun
1985. Disekitar Widang kini sudah tidak terdapat desa atau dusun yang memiliki
nama yang mirip dengan ‘Garaman’. Alih-alih, tidak jauh dari Bluluk terdapat
dusun bernama Graman di daerah Modo. Di daerah tersebut pernah ditemukan
sejumlah peninggalan arkeologis di dasar suatu sendang atau kolam pada tahun
1980-an.
Prasasti tembaga mudah dipindahkan sehingga muncul dugaan barangkali
prasasti tersebut adalah temuan dari desa Graman yang kemudian terelokasi ke
Widang
Prasasti Biluluk
Garam diceritakan panjang lebar pada Prasasti Biluluk yang
ditemukan di Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan. Prasasti ini dikeluarkan
antara tahun 1288-1317 Saka (1366-1397 Masehi), yakni pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk (1350-1389 Masehi) dan Wikramawarddhana (1389-1429 Masehi).
Sejauh ini berhasil ditemukan empat prasasti tembaga
(tamra-prasasti) di Biluluk, yang dilabeli “Prasasti Biluluk I, II, III dan
IV’.
Kini ‘Bluluk’ menjadi nama satu diantara tujuh dusun di Desa
Bluluk, nama desa diantara sembilan desa di Kecamatan Bluluk dan sekaligus nama
salah satu diantara 27 kecamatan di Kabupaten Lamongan – tepatnya terletak di
sub-area selatan Lamongan. Wilayah yang berada lembah sisi utara Pegunungan
Kapur (Kendeng) Tengah ini diapit oleh dua sungai besar, yaitu Bengawan Brantas
dan Bengawan Solo.
Batas wilayah kecamatan Bluluk adalah Kecamatan Ngimbang di
sebelah timur, Sukorame di sebelah selatan, dengan Kecamatan Kedungadem
(Kabupaten Bojonegoro) di sebelah barat dan Modo di sebelah utaranya.
Perkembangan wilayah Bluluk bermula dari dusun Bluluk yang
merupakan nama kuno/ archaic name. Kini Bluluk berkembang menjadi nama dusun,
desa hingga kecamatan.
Informasi mengenai garam hanya didapati di dalam lempeng
Prasasti Biluluk I yang disuratkan di dua sisi (bhimuka) yang memuat empat
baris kalimat pada sisi depan (recto) dan enam baris di sisi belakang (verso).
Informasi mengenai garam berada pada sisi recto.
Prasasti bertahun Saka 1288 (1366 Masehi) ini tidak menyebut
nama raja yang memberi perintah penetapan putusan. Namun, bila merujuk data
Prasasti Biluluk II (11312 Saka = 1391 Masehi), yang menyebut gelar ‘Paduka
Bhattara Sri Parameswara’ , maka pemberlakuan prasasti Bililuk II dimaksudkan
untuk pempertegas perintah (andikanira talampakanita) yang telah sebelumnya
diundangkan oleh Bhattara Sri Paremeswara.
Sesuai dengan yang diberitakan dalam Prasasti Mula-Malurung
(1255 Masehi), yang menyatakan bahwa sepeninggal Bhattara
Parameswara, tahta digantikan oleh Narrarya Guning Bhaya. Nama ‘Bhre
Parameswara’ juga disebut dalam kitab gancaran Pararaton sebagai nama gelar
(abhisekanama) Raden Kudamreta. Nama lengkapnya adalah ‘Paduka Bhattara Matahun
Sri Bhattara Wijayarasanama Wikramottunggadewa’.
Apabila benar demikian, maka ia adalah ‘Bhre Wengker’, yang
juga adalah ‘Bhre Matahun’, yang meninggal pada tahun Saka 1310 (1388 Masehi)
dan didharmakan di Wisnubhwanapura yang tidak lain adalah Candi Surowono (Surabhana).
Nampaknya, analisa terakhir inilah yang lebih mendekati tokoh
yang mengeluarkan perintah untuk warga Biluluk dalam Prasasti Biluluk II. Ada
kemungkinan, raja yang mengeluarkan Prasasti Biluluk I adalah Bhattara
Parameswara, yakni Bhre Matahun yang sekaligus adalah Bhre Wengker Wijayarajasa
yang adalah suami Bhre Daha Raadewi Maharajasa, bibi raja Hayam Wuruk.
Bililuk dalam sisi recto Prasasti Biluluk I tidak disebutkan
sebagai ‘desa (thani)’ namun hanya disebut ‘orang-orang di Biluluk (si samasanak
ing Biluluk)’. Sisi verso juga menyebutkan daerah lain yang bernama
‘Tanggulunan’.
Ada yang perlu dicermati dalam baris ke-1 sisi verso, yang
menyebutkan kata jadian ‘adapur’ di Majapahit, baik terkait dengan Biluluk
maupun Tanggulunan. Secara harfiah, kata ‘dapur’ memiliki arti: kesatuan
masyarakat pedesaan.
Kata ‘dapur’ juga dididapati di dalam Prasasi Pabanyolan
(Gubuk Klakah) dari masa akhir Mahapahit, yang menyebutkan Dapur Pajaran
sebagai tempat pertapaan (patapan) semacam mandala kadewagurwan di lembah
Tengger-Semeru (kini ‘Desa Pajaran’, Kecamatan Poncokusumo).
Apakah ketika itu Biluluk dan Tanggulunan juga suatu desa
yang sekaligus adalah patapan atau semacam mandalakadewagurwan?
Terkait pertanyaan itu, baris awal sisi recto memberitakan
tentang ritual pemujaan yang dilakukan setahun sekali (tatkala pajane pisan
satahun)’ selama sepekan (sapeken) di Biluluk. Dengan demikian, tentulah di
Biluluk terdapat bangunan suci tempat pemujaan agama, yang sayang kini belum
ditemukan jejaknya.
Saat berlangsungnya pemujaan itu, warga Desa Biluluk diberi
kewenangan (rehane wnang) untuk menimba air asin (acibukana banyu asin).
Kata acibukana memberikan petunjuk bahwa air asin itu berada
di permukaan tanah – bukan dalam tanah sehingga untuk mengambilnya cukup secara
manual dengan ‘mencibuk’ menggunakan semacam gayung air. Kewenangan itu juga
diberikan kepada seluruh warga desa lain di sekitarnya (para dapur ing pinggir
samadaya), yang ketika berlangsungnya pemujaan pada kurun waktu sepekan
tersebut juga datang ke Biluluk.
Tradisi ini telah berlangsung sejak jaman dulu (hing
kunakuna), sehingga terus dijaga kelangsungannya, bahkan dijamin lewat putusan
hukum berupa prasasti.
Air asin yang ditimbai oleh banyak orang tersebut sesuai
dengan kalimat pada baris ke-4 sisi recto, digunakan untuk ‘cukai (pajak)
garam’ yang diistilahkan sebagai pegagarame’, yakni sejumlah : 7 kupang (ku)
setiap bulan (nangken wulan).
Perihal ‘pajak terhadap garam (pagarem)’ juga diberitakan
dalam prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh Wisnuwarddhana di dalam Prasasti
Sarwaddharmma (Penampihan II) bertahun (1191 Saka atau 1269 Masehi) untuk
kegiatan ekonomi ‘padadar’ yang bisa diartikan profesi pembuatan lain, atau
bisa juga dimaksudkan untuk kerajinan emas, pamedihan (pajak dalam bentuk pakaian)
dan pagarem.
Penduduk sekitar masih memiliki memori mengenai ‘banyu asin’
di lembah Bukit Goci di wilayah Bluluk. Air asin yang tersisa sekarang, ada
kemungkinan pada masa lalu adalah suatu ‘bledug purba’, yang kini telah mati.
Keberadaan air asin di Biluluk yang dipergunakan sebagai
bahan baku pembuatan garam menjadi hak warga desa Biluluk yang istimewa, yang
dijadikan salah satu mata pencaharianya selain pekerjaan bertani, berdagang
(hadagang), membuat atau mencuci pakaian/kain (hamalanten), mewarnai kain
(hamedel), membuat arak (hamahat), menyembelih binatang (hajagal),
hamuter (menjajakan barang?), berburu hewan dengan panah (hanglaksa), dan
membuat kapur (hangapu). Prasasti Buliluk II juga memberitakan aneka tanaman
budidaya, seperti merica (sahang), cabe, kumukus, dan kapulaga.
Disamping itu, Prasasti Biluluk II dan IV memberitakan
pekerjaan berkenaan dengan pembuatan peralatan dari besi (wsi), termasuk
membuat kuali dari bahan besi (kawali wsi), memahat atau menambang batu
(pabatu), mebuat balai atau bangunan rumah/balai (pabale), membuat atap rumah
(parahab),mencari rotan (panjalin), menanam kapas (kapas), membuat pagar
(parajeg), membuat pasak (pasusuk), dan membuat bendung air (parawuhan,
mustinya ‘padawuhan’). Bahkan, terpahat pula beberapa mata pencaharian khusus,
seperti berjudi, menyabung ayam, melacur, menganyam bambu, pengukir,
membuat/tukang obat, membuat tembikar, pembuat perhiasan, dan lain-lain yang
kesemuanya dikenai pajak.
Dalam Prasasti Biluluk III (1317 Saka = 1395 Masehi) bahkan
ditambahkan informasi bahwa pajak juga dikenakan untuk pembelian latek (hatuku
latek) dan bermacam-macam bea lain. Namun, oleh karena Biluluk ditetapkan
sebagai sima atau daerah perdikan, maka pajak tidak disetor kepada pemerintah
pusat, melainkan dikelola sendiri secara swatantra.
Kebutuhan akan garam bagi rakyat atau warga dalam
(margga/wargga i jro) kerajaan barangkali dipasok dari Biluluk karena
lokasinya yang tidak jauh dari pusat pemerintahan (kadatwan Majapahit) di
Wilwatikta.
(Artikel ini merupakan
penggalan dari artikel utuh yang lebih komprehensif berjudul Urgensi garam
dalam prasasti Biluluk dan fluktuasi garam lintas masa tulisan sejarawan UM Dwi
Cahyono dari sumber patembayancitralekha.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar